Nama gue Rain, Rain Alvaro Xavier. Gue biasa dipanggil Rain, umur 24 taun meskipun wajah gue lebih cocok kaya remaja umur 17 taun. Ya, itulah gue dengan segala kekerenan yang melekat pada diri gue.
Perkerjaan gue, komplit sih. Jauh lebih komplit daripada paket komplit yang ada di warung makan serba sepuluh ribu. Selain sebagai aktor, gue juga dikenal sebagai penyanyi, dan model, model papan seluncur. Hahahhaha, apaan sih. Yang baca gosah ikut ketawa. Bisa dibilang, gue itu superstar masa kini, masa datang, dan masa-masa yang akan terlewati sepanjang hidup. Asal jangan di masa lampau, gue ga siap hidup di masa lampau apalagi ikutan perang gerilya sama Jendral Soedirman. Yang ada noni-noni Belanda bisa-bisa jatuh cinta sama gue. Kasian, udah jauh-jauh dateng, mana gagal jajah lagi, malah hatinya terjajah sama gue. Repot juga kan kalo buku sejarah harus dirombak ulang, bukannya Indonesia yang terjajah, tapi noni-noni Belanda yang terjajah cintanya. Cie, cie, cie.
Pagi ini, kelopak mata menawan ini terbuka saat silau cahaya matahari masuk ke kamar apartemen gue. Ya, gue emang tinggal sendiri di apartemen. Kesibukan gue sebagai superstar yang jam kerjanya bisa dibilang infinity, tapi bukan infinity war kaya di Avangers loh ya. Gue mah ga sanggup jadi Avangers, bisa-bisa Robert Downey ** sama Chris Evans tersaingi hingga mereka terjatuh, terjembab ke jurang yang paling dalam karena insecure sama gue.
Gue kemudian bangkit dari atas tempat tidur lalu berjalan ke depan cermin, kemudian melihat setiap bagian tubuh gue.
''Ah, masih sempurna. Belum ada satu persen pun ketampanan atau kekerenan gue yang luntur. Karena masih terlihat keren dan luar biasa, itu artinya gue ga usah mandi. Ga enak sama yang lain, gue ga mandi aja meraka udah kalah cakep, apalagi kalo gue mandi, bisa-bisa seluruh manusia di lapisan bumi ini makin insecure sama gue.
Bagi gue diri ini memang terlihat sempurna, baik dari ujung rambut sampai ujung kaki. Seolah-olah kesempurnaan jadi milik gue. Mungkin, gue salah satu wujud laki-laki paling keren, sprektakuler, dan tiada duanya untuk saat ini. Untuk saat ini ya, karena kalo di masa lalu ada Nabi Muhammad dan Nabi Yusuf yang jauh lebih tampan dibandingkan gue, catet!
Gue masih memandang wajah dan tubuh gue di cermin. Yeah, wajah gue emang tampan, rupawan, dan menawan. Mulai dari rambut gue yang hitam, tebal, lurus, tapi ga kaya gadis tiara sunsilk ya. Lalu hidung gue yang mancung, ya biarpun ga semancung Shah Rukh Khan sih tapi ini udah cukup, gue ga mau terlalu mancung, bisa-bisa lubang idung gue jadi sarang tawon lagi. Hahahaha, yang baca gosah ikutan ketawa.
Oh iya gue sampe lupa, yang paling penting dalam ciri-ciri main course atau tokoh utama di novel nih, gue juga punya tatapan mata yang setajam burung elang, inget ya burung elang, bukan burung gagak. Lalu rahang nih, rahang gue juga tegas kaya tokoh utama di novel-novel yang lain, gue ga mau dong kalah saing sama CEO-CEO atau mafia-mafia di novel, idiiihhh ajegileeee, masa gue kalah saing, ga asik banget.
Ya, boleh dibilang, kesempurnaan raga memang melekat pake banget sama diri gue, yang spektakuler, keren, dan mempesona.
Saat gue sedang memainkan perut kotak-kotak gue yang kaya roti sobek, inget ya roti sobek bukan semvak sobek, tiba-tiba ponsel gue berbunyi. Gue berjalan ke atas nakas, untuk mengambil ponsel yang ada di atas nakas itu.
"Mami Rosalinda," ucapku saat melihat nama Mami di layar ponsel itu. Nama nyokap gue emang Rosalinda, ya temen baiknya Esmeralda lah di cerita sebelah yang jarang mandi, sama kayak gue. Nama panjangnya Rosalinda Ayamore, sedangkan nama bokap gue Ucup Samudra, tapi bukan saudaranya Almarhum Imam Samudra ya.
[Halo Rain.]
[Iya Mi, what happen?]
[Nanti sore kamu pulang ke rumah ya, Rain. Mami mau ngobrol.]
[Tinggal ngobrol aja, Mi. Susah-susah amat. Amat aja ga pernah hidup susah.]
[Rain, ini penting.]
[Penting banget apa penting aja Mi?]
[Sangat penting, jauh lebih penting dari perkembangan kasus Lesti, Ferdi Sambo, ato Baim Wong deh.]
[Benarkah Mi?]
[Iya.]
[Memangnya Mami mau ngomong apa sih?]
[Perjodohan.]
[Perjodohan siapa?]
[Ya, kamu lah, masa Mami.]
[Ga ah, Mi. Mami tahu sendiri aku udah punya Liora.]
[Tapi ini hukumnya wajib Rain.]
[Ebuset kaya sholat lima waktu aja. Emangnya aku mau dijodohin sama siapa, Mi?]
[Sama Romlah.]
[Romlah? Kok malah nyebut nama pembantu, sih. Aku tanya siapa yang mau dijodohin sama aku, Mi?]
[Ya itu Romlah.]
[Romlah siapa?]
[Yang mau dijodohin sama kamu, Rain. Yang mau dijodohin sama kamu namanya Romlah.]
[ASTAGA! OH TIDAK!]
POV Romlah.
Namaku Romlah, Romlah Guvizar Ercel. Namaku memang terbilang unik karena aku blasteran Jawa-Turki. Ya, ayahku berasal dari Indonesia sedangkan ibuku asli Turki. Mereka bertemu saat keduanya menimba ilmu di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Abi, bernama Abdullah, sedangkan umi bernama Ayfer.
Mereka menjalani taaruf saat mereka masih menimba ilmu di Al-azhar. Umi lah yang jatuh cinta pada Abi terlebih dulu saat mereka bertemu di bangku kuliah. Abi yang merupakan anak salah seorang kiai yang cukup terpandang di desa, dikenal dengan sikap rendah hati yang dimilikinya, sehingga membuat Umi jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama.
Setelah lulus dari Universitas Al-Azhar, orang tuaku memutuskan untuk hidup di Indonesia. Abi mendirikan pondok pesantren, dan mulai mengajar di salah satu universitas. Di usia Abi yang tak lagi muda, kepengurusan pondok pesantren mulai dibantu oleh kakakku, Arash karena pondok pesantren kami cukup besar mulai dari tingkatan ula, wustha, sampai ulya.
Beberapa hari yang lalu, aku yang juga baru saja selesai menyelesaikan program Bachelorku di Universitas Al Azhar, sangat terkejut saat orang tuaku mengatakan kalau aku sudah dijodohkan dengan seorang laki-laki yang merupakan anak dari teman masa kecil Abi dulu saat di kampung.
Bagiku, merupakan hal yang wajar saat orang tua menjodohkan anak-anak mereka. Awalnya, kupikir aku akan dijodohkan dengan anak salah seorang pemilik pondok pesantren, sama seperti Abi. Atau, dengan salah seorang anak pemuka agama. Namun, betapa terkejutnya diriku saat mengetahui ternyata aku dijodohkan dengan salah seorang artis terkenal. Apa abi tidak salah memilih?
Dalam ajaran agamaku, jodoh merupakan sebuah misteri. Pasalnya, hanya Allah yang mengetahui sekaligus menentukan siapa jodoh kita kelak, semua sudah tercantum dalam Lauhul Mahfuz.
Mendapat jodoh yang baik tentu menjadi keinginan semua orang, termasuk diriku. Jodoh merupakan cerminan dari diri, itulah yang kutahu. Tapi benarkah laki-laki itu cerminan diriku?
Sejenak kupandang wajahnya sekilas di ponselku, aku tidak mau memandangnya terlalu lama, karena aku sadar, saat ini dia bukan muhrimku. Setelah aku melihatnya, aku semakin bertanya-tanya. Apakah dia jodoh yang tepat untukku? Kehidupan kami saja berbeda. Sejak kecil, aku sudah hidup di lingkungan yang mengajarkan didikan agama yang kuat. Sedangkan dia? Dia hidup dengan keglamoran dan popularitas. Apakah kami bisa hidup sejalan?
Pagi ini di sepertiga malamku, rintik hujan terdengar begitu merdu, seolah ikut menemaniku melantunkan ayat suci Al-Qur'an, setelah aku melaksanakan sholat sunah di sepertiga malam.
تَحْمِلُ مِنْ أُنْثَى وَلَا تَضَعُ إِلَّا بِعِلْمِهِ وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلَا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّا فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasang-pasangan (laki-laki dan perempuan). Tidak ada seorang perempuan pun yang mengandung dan melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan tidak dipanjangkan umur seseorang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.
Bibir ini, rasanya terkatup saat membaca Surat Al Fathir ayat 11. Entah kenapa membaca ayat ini hatiku terasa begitu sesak.
Ayat ini terasa begitu menohok merasuk ke dalam hatiku. Sebuah ayat yang juga membahas tentang pernikahan, yang berisi tentang semua takdir manusia sudah tertulis pada Lauhul Mahfuz.
Oh Tuhan, benarkah dia takdirku yang sudah tertulis pada Lauhul Mahfuz? batinku seraya meneteskan air mataku.
Rintik hujan, akhirnya terhenti seiring kumandang adzan shubuh yang mulai bersahutan. Aku merapikan sajadahku, lalu bersiap menuju ke masjid yang ada di sekitar pondok untuk sholat shubuh berjamaah.
Saat aku baru saja keluar dari kamarku, aku bertemu dengan beberapa santri putri yang hendak menuju masjid, sama sepertiku. Namum, secara tak sengaja aku mendengar percakapan di antara mereka yang membuat hati ini semakin bimbang.
"Dinda, kamu tau ga? Si ganteng Rain, kemarin malem baru aja dinner romantis sama pacarnya di atas kapal pesiar loh!"
"Beneran? Kok kamu tau? Di sini kan kita ga boleh bawa ponsel?"
"Tau dong, kemarin waktu aku lagi tugas piket bersihin kantor, ga sengaja tuh aku liat di tivi berita Rain sama pacarnya. Widih gile, mesra abis loh. Bikin ngiri."
"Hustttt jangan keras-keras, nanti ada yang denger loh!"
Sayup-sayup suara perbincangan itu pun tak lagi terdengar. Langkah Romlah terhenti, sambil menahan perasaan yang begitu berkecamuk.
Jadi, Rain sudah memiliki seorang pacar? Lalu bagaimana denganku? Apakah dia mau mengangapku sebagai jodohnya?
"Rommmm..." panggil sebuah suara yang membuyarkan lamunanku.
"Kok malah diem di sini, udah mau iqamat loh."
"Oh iya, Umi," jawabku pada seseorang yang sudah berdiri di sampingku, yang ternyata adalah suara dari Umi. Kami lalu berjalan ke arah masjid bersama.
"Rom--" panggil Umi membuka percakapan di antara kita.
"Iya, Umi."
"Sudah siap kan?"
"Maksud Umi?"
"Besok kau akan bertemu dengan Rain, laki-laki yang sudah dijodohkan denganmu."
DEG
Ohh, tidak.
NOTE: Di sini othor bukan sedang mendiskreditkan sebuan nama yes, pokok cerita ini adalah dua kehidupan yang berbeda. Rain yang gila hampir mirip Devano, apa bisa bersanding dengan Romlah yang merupakan anak dari seorang pemilik pondok pesantren? Wkkwkwk cuz jangan sampe ketinggalan 😅😅
POV Author
[Dijodohkan dengan Romlah? Yang benar aja Mi! Aku nggak mau, bukannya Mami tahu aku udah punya pacar?]
[Rain, baru pacaran doang kan? Pacar masih bisa putus. Tapi sebuah janji tidak boleh diingkari begitu saja. Mami sama Papi juga nggak mau hubungan kita sama keluarga Abdullah memburuk.]
[Memburuk? Mamiiii, mamiiii, kaya kondisi kesehatan aja.]
[Memang, apa kau belum sadar beberapa bulan terakhir ini kesehatan Mami memburuk? Kesehatan Mami memburuk karena melihat tingkahmu itu, Rain! Kenapa kau harus berpacaran dengan Liora si gadis uler keket itu yang kalo ngomong pake mendessah-dessah. Harus banget apa setiap kata di tambah ah.]
[Mami, itu namanya suara seksi yang hakiki, Mi. Mami ga gaul banget sih. Cuma nama doang yang gaul kaya telenovela. Tapi kamseupay!]
[Rain, lancang banget kamu ngomong gitu ke mami sendiri. Mau mami kutuk jadi batu kamu nemenin malin kundang, hah?]
[Ga mau Mi, cape kalo suruh tengkurep mulu. Nanti encok lagi. Mubazir punya wajah tampan nan rupawan gini ga bisa dapet duit, Mi.]
[Astaga, kau benar juga. Mubazir punya wajah tampan tapi ga bisa dimanfaatkan.]
[Benar, Mi. Karena aku adalah aset terindah dalam hidup papi dan mami.]
[Kau benar, karena kau aset terindah. Makanya kau harus menurut pada Mami ya, Nak.]
[Astaga, Mami. Kalo mau jodohin itu sama Dilraba ato Lissa Blackberry kek, masa ama Rom...., ah nyebut namanya aja udah bikin tenggorokan gatel. Apalagi nyebut namanya pas ijab qabul. Ajegileeee Mi.]
[Rainnnn, bukan Lissa Blackberry, tapi Lissa Blackphanter, dari negeri Wakanda.]
[Oh iya, Maaf lupa.]
[Kembali ke laptop, Rain!]
[Ga ada laptop, Mi. Orang kita lagi telepon-teleponan!]
[Oh iya, lupa. Kembali ke topik Rain. Tapi bukan Topik Hidayat ya, dia udah punya bini.]
[Idih Mami, buruan ngomong yang jelas deh!]
[Rain, pokoknya kamu harus tunangan sama Romlah. Karena sampai kapanpun, Mami ga setuju kamu pacaran sama Liora.]
[Memangnya kenapa? Mami ga suka sama cara ngomongnya yang selalu mendessah? Bukannya itu bagus Mi? Buat menguji kekuatan iman Anthony?]
[Anthony? Siapa itu? Apa Anthony temanmu?]
[Bukan Mi, Anthony itu adikku.]
[Adikmu? Mama tidak pernah merasa melahirkan Anthony.]
[Tentu saja, karena Anthony lahir bareng bersamaku, Mi.]
[Tapi kamu ga punya kembaran, Rain.]
[Mami, Anthony memang bukan kembaranku, tapi adikku yang menggantung di bawah.]
[Astaga, pagi-pagi kau sudah membuatku jadi gila, Rain.]
[Mami duluan yang mulai.]
[Sudah, sudah, mami nggak mau lagi berdebat sama kamu. Pokoknya kau harus menikah dengan Romlah, dan putuskan Liora! Apa kau tidak pernah melihat sepak terjang Liora di dunia hiburan? Dia bukan wanita baik-baik, Rain. Dan dia tidak pantas untukmu.]
[Kenapa Mami berkata seperti itu? Liora gadis yang baik, Mi. Dia sangat cocok untukku, bukan dengan Rom.., ahhh susah bener ngomongnya!]
[Ga usah lebai, ngomong Romlah aja pake di susah-susahin. Pokoknya Liora bukan gadis yang baik untukmu! Dengarkan kata-kata mami, tolong putuskan Liora!]
[Nggak, Mi.]
[Putuskan!]
[Nggak Mi!]
[Putuskan!]
[Nggak, Mi!]
GUBRAK
Tiba-tiba sebuah suara keras pun terdengar dari ujung sambungan telepon. Rain yang terkejut mendengar suara keras yang berasal dari ujung sambungan telepon, spontan berteriak.
"Halo mami..., mami..., mami!"
Namun tak ada sahutan dari ujung sambungan telepon. Rain pun hanya terpaku, beberapa saat kemudian terdengar sebuah suara berat yang terdengar.
[Rain! Apa yang kau lakukan?] teriak sebuah suara.
[Halo ini Papi?]
[Ya Papi lah, memangnya siapa lagi? Kau pikir mamimu punya simpanan?]
[Eh buset, simpanan? Kok papi ngomong gitu? Tapi lumayan juga kan kalau mami ternyata punya brondong. Berarti papi harus bangga karena mami masih laku dikalangan muda.]
[Rain! Kau mau kukutuk jadi biji kecambah lagi?]
[Ampun Pi, aku juga sudah bisa menghasilkan kecambah. Ga usah pake dikutuk jadi biji kecambah lagi. Tanggung Pi.]
[Makanya jadi anak yang nurut, jangan bikin susah gini. Lihat kasihan mami sakit gara-gara mikirin kamu!]
[Ampun pi, memangnya mami kenapa?]
[Kau tanya kenapa? Lihat mami sekarang pingsan gara-gara kamu!]
[Apa pingsan?]
[Iya mami pingsan.]
[Astaga beneran mami pingsan?]
[Kau pikir papi bohong? Bohong itu dosa Rain! Sekarang, tanggung jawab! Cepat datang ke rumah lalu minta maaf ke mami.]
[Astagaaaa, baik Pi. Tapi tolong bilang ke mami suruh jangan siuman dulu, Pi. Nanti adegan minta maafnya kurang dramatis kalo aku dateng tapi mami udah sadar.]
[Bentar, papi ngomong dulu ke mami.]
"Mi, jangan siuman dulu sebelum Rain dateng ya."
"Siap Piiii...,"
[Rain, udah papi bilangin ke mami suruh jangan siuman dulu sebelum kamu dateng.]
[Terus apa katanya?]
[Katanya siap pi.]
[Kerja bagus, papi. Aku otewe sekarang.]
[Kami tunggu.]
Rain kemudian menutup teleponnya, lalu berjalan ke arah kamar mandi. Setelah selesai menyikat giginya, Rain tampak menatap wajahnya.
"Masih sangat tampan, dan keren. Sebaiknya gue emang ga usah mandi, mandi cuma bikin gue semakin tampan dan membuat dunia juga semakin insecure sama gue. Sebaiknya gue telepon Liora dulu deh, gue mau ajak Liora ke rumah biar mami sama papi ga selalu berfikiran buruk sama Liora." Namun, beberapa kali Rain menghubungi Liora, panggilan itu tak mendapat jawaban.
"Ga dijawab, mungkin masih tidur. Mending gue ke apartemen Liora aja deh," ucap Rain.
Dia kemudian berganti pakaian, lalu keluar dari apartemennya menuju ke apartemen milik Liora. Tak Berapa lama, Rain pun sudah sampai di apartemen Liora yang letaknya tak jauh dari apartemennya. Dia kemudian bergegas menuju ke unit apartemen milik kekasihnya itu.
Setelah membuka pintu apartemen Liora, perlahan Rain pun masuk ke dalam apartemen itu. Namun, saat baru saja menginjakkan kakinya di ruang tengah apartemen itu, sebuah suara aneh pun terasa begitu mengganggu pendengaran Rain.
"Suara aneh apa itu? Kenapa terdengar seperti dessahan?"
NOTE:
Widih kok banyak yang minta Rain ditemuin sama si somplak Devano ya 😅😅. Yodah kapan-kapan othor temuin mereka ya. Tapi tanggung sendiri kalau kalian jadi gila beneran karena kegilaan mereka 😭😭😭😅😅😅
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!