NovelToon NovelToon

Istri Kontrak CEO Dingin

Awal Dari Semua Masalah

"Mama ingin kamu menikah!" ucap Vina tegas. Ia melihat ke arah Alvin yang masih berwajah datar, entah ngidam apa dia dulu, sampai-sampai, ia punya anak berwajah datar dan dingin. Jarang menampakkan ekspresi bahagia, ceria, sedih, bingung atau apapun. Dia seakan begitu pandai mengelola emosi sehingga lawan bicaranya tidak tau apa yang ia rasakan.

"Aku belum siap menikah," jawabnya dingin. Mendengar hal itu, Vina menatap Alvin, dengan tatapan tajam.

"Umur kamu sudah dua puluh delapan tahun dan kamu masih belum siap menikah?" tanyanya kesal. Padahal dulu dia menikah saat umur dua puluh satu tahun dan melahirkan Alvin saat umurnya dua puluh dua tahun dan kini umurnya sudah lima puluh tahun. Aldi-Papanya Alvin juga menikahi Vina saat umurnya dua puluh enam tahun dan kini umur Aldi sudah lima puluh lima tahun. Selisih lima tahun dengan Vina.

"Ya, kalau emang belum siap, masak di paksa?" tanya balik Alvin sambil memainkan hpnya.

"Terus kamu siapnya kapan? Umur kamu sudah dua puluh delapan tahun, sudah seharusnya kamu itu punya istri dan anak, bukan malah sibuk bekerja siang malam. Mama dan Papa juga ingin menggendong cucu. Bahkan temen-temen Mama, sudah ada yang punya cucu dua dan tiga, mereka juga sudah ada yang sekolah TK dan SD. Sedangkan Mama, jangankan cucu, calon mantu juga belum ada. Jangan bikin Mama kesal dan emosi, Al," keluh Vina, ia frustasi karena dari kecil sampai sekarang, ia tak pernah lihat Alvin dekat sama wanita lain. Ia takut jika Alvin gak ada niatan mau nikah, atau lebih parahnya, Alvin menyukai sesama jenis. Jangan sampai itu terjadi, karena jika ketakutannya itu benar-benar terjadi, maka dia pasti akan mati muda karena terlalu shock.

"Jika Mama ingin cucu, Mama bisa mengadopsinya di panti asuhan, atau jika Mama ingin anak kecil di rumah Mama, Mama bisa buat adik untukku," ucapnya santai membuat Vina geram.

"Umur Mama sudah lima puluh tahun, Mama gak mungkin memberikan kamu adik, terlebih rahim Mama sudah di angkat sejak Mama melahirkan kamu. Jika Mama masih punya rahim, sudah pasti Mama memilih punya banyak anak agar Mama bisa memaksa mereka untuk segera menikah dan memberikan Mama cucu. Tapi masalahnya sekarang, anak Mama itu cuma kamu. Kamu harapan Mama dan Papa. Tolong mengerti, Al. Mama juga gak bisa mengadopsi anak atau cucu dari panti asuhan, karena Mama ingin merawat keturunan Sanjaya, bukan keturunan dari orang-orang di luar sana. Dan lagi, mengadopsi anak dari panti itu gak mudah, akan ada banyak orang yang menentangnya. Kamu seperti gak tau aja, bagaimana keluarga Papa kamu itu," balasnya

"JIka dalam tiga hari, kamu belum juga mendapatkan calon mantu buat Mama. Biarkan Mama yang akan menjodohkan kamu dengan anak temen Mama. Dan Mama harap, kamu gak akan menolak. Atau kamu tidak akan Mama akui lagi sebagai anak," ancamnya membuat Alvin tetap diam seakan-akan gak denger apa-apa, bahkan Alvin juga tak merespon ucapan Mamanya itu membuat Vina benar-benar emosi.

"Kamu denger gak sih, ucapan Mama?" tanyanya dengan intonasi tinggi.

"Aku denger, Ma," sahutnya.

"Kalau denger, kenapa diem?" tanya Vina lagi sambil menatap tajam ke arah Alvin, ingin rasanya Vina mengambil Hp Alvin dan membantingnya agar Alvin tidak fokus ke Hpnya lagi. Namun Vina juga gak punya keberanian melakukan hal itu.

"Terus aku harus  ngomong apa, Ma?" tanyanya membuat Vina memegang kepalanya yang mendadak pusing.

"Oh, Tuhan ... kenapa aku punya anak seperti ini?" tanyanya membuat Alvin yang melihat hal itu, hanya geleng-geleng kepala. Mamanya terlalu berdrama, membuat Alvin ingin segera menyelesaikan percakapan ini.

"Sekarang Mama tanya kamu sekali lagi, kamu sendiri yang akan memperkenalkan calon kamu kepada Mama. Atau Mama yang akan mencarikan jodoh buat kamu dan kamu tidak boleh menolak? Ayo jawab," berangnya.

"Aku akan cari sendiri," jawabnya santai.

"Kapan?" tanya Vina mulai senang.

"Tahun depan," sahutnya membuat Vina lagi-lagi merasa emosi.

"Mama cuma memberikan kamu waktu tiga hari, bukan setahun," balasnya.

"Iya sudah tiga hari lagi, aku akan bawa dia ke kediaman Mama," ucap Alvin sesantai mungkin, padahal dalam kepalanya ia masih mikir, siapa wanita yang akan ia bawa, karena dirinya gak punya temen perempuan yang dekat dengannya.

"Beneran, kan? Gak bohong, kan?" tanya Vina mulai ceria.

"Apa aku pernah ingkar janji?" tanya balik Alvin.

"Enggak sih, baiklah. Mama akan tunggu tiga hari lagi. Awas kalau kamu sampai nipu Mama, Mama potong burung kamu itu," ancamnya membuat Alvin hanya diam saja. Karena ia yakin, mana mungkin Mamanya berani memotong burungnya, melihatnya saja, mungkin sudah menjerit apalagi sampai memotongnya. Dan lagi, jika sampai di potong beneran, lalu bagaimana dia akan memberikan cucu buat Mamanya itu.

"ALVIN," teriaknya karena tak ada respon dari putranya itu.

"Ya," jawab Alvin pendek dan singkat sekali.

"Ya Tuhan ... ngomong sama kamu itu bikin menguras tenaga aja," keluh Vina namun Alvin hanya diam. Melihat itu, Vina pun ingin segera pergi dari sana, atau kepalanya akan keluar asap gara-gara emosi terus menerus.

"Mama akan pulang tapi ingat, TIGA HARI LAGI. Mama tunggu kamu di rumah." Dan setelah itu, ia memasang kaca mata hitamnya dan segera pergi dari sana, rasanya hawa di ruangan itu sangatlah panas, akibat ia yang sedari tadi emosi terus menerus.

Di depan rumah Alvin sudah ada sopir yang menunggu Vina untuk  mengantarkan Vina pulang ke kediamannya sendiri. Tak jauh hanya sekitar tiga puluh menit saja.

Setelah Vina pulang, Alvin menutup hpnya dan menaruhnya di saku celana. Lalu ia berjalan ke kamarnya untuk mandi dan beristirahat. Hari ini ia merasa lelah sekali karena pekerjaan di kantor sangat banyak, terlebih saat pulang, ia masih harus menghadapi sang Mama yang membuat dirinya merasa jengah, namun ia juga tak bisa untuk mengabaikan begitu saja karena bagaimanapun Vina, adalah Mamanya yang paling ia sayangi. Wanita yang sudah mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan dirinya ke dunia.

Alvin dan Nara

Pagi harinya, Alvin bangun jam setengah lima pagi, lalu ia segera mandi dan sholat subuh.

Habis sholat, Alvin mengganti pakaiannya dengan pakaian olah raga, ia ingin olah raga agar bentuk tubuhnya itu tetap terjaga, tetap fit, gak mudah sakit dan kuat tentunya.

Setiap pagi, Alvin selalu berusaha untuk tidak absen olah raga, karena baginya, olah raga itu sangatlah penting sekali.

Ia juga punya tempat gym sendiri di rumahnya, dan tempat gym itu ada di belakang rumah dekat dengan taman dan kolam. Ia, dia sengaja buat di sana agar bisa sekalian melihat tanaman di luar rumah, kalau pagi hari, udaranya juga segar dan bikin tambah semangat.

Saat Alvin sibuk olah raga, seperti biasa, Nara-wanita muda umur sembilan belas tahun segera memasuki kamar Alvin untuk membersihkannya.

Nara, dia wanita yang sangat cantik dan manis. Walaupun dia dari desa, tapi kulitnya kuning langsat, seperti terawat. Rambutnya juga sebahu di potong lurus, sangat hitam dan lebat. Alisnya juga tebal, begitupun dengan bulu matanya, yang tebal dan melengkung ke atas. Hidungnya sedikit mancung dan bibirnya tipis berwarna pink. Pipinya sangat chubby walaupun tubuhnya kurus.

Kenapa Rambut, Alis dan Bulu Matanya lebat, karena Nara dari kecil suka memakai lidah buaya, ia sering menggunakan itu setiap kali mau tidur, hingga setelah bertahun-tahun hasilnya pun sangat memuaskan. Untuk kulitnya, ia juga seringkali memakai bengkoang yang ia ambil dari belakang rumahnya, lalu ia parut dan di jadikan lulur saat mandi. Dan biasanya Nara akan melakukannya seminggu tiga kali.

Namun sejak merantau ke Jakarta tahun lalu, Nara tak lagi melakukannya karena ia sibuk bekerja dari pagi sampai sore, bahkan kadang sampai malam. Namun tak masalah, karena Nara masih terlihat cantik walaupun tidak memakai make up sekalipun. Yang penting mandi tiga hari sekali, ambil wudhu minimal lima kali sehari dan menjaga kebersihan. Itulah yang Nara lakukan.

Nara emang jarang bertemu Alvin bahkan sebulan mungkin cuma sekali dua kali itu pun sekilas karena Nara selalu membersihkan kamar Alvin saat Alvin tengah sibuk olah raga, Nara membersihkannya dengan secepat kilat sehingga saat Alvin kembali ke kamar, Nara sudah selesai dan sudah ada di ruang cuci, di mana ia akan mencuci baju lalu menjemurnya, menyetrikanya saat sore hari.

Nara emang sengaja tak menampakkan wajahnya karena ia tak mau mencari masalah. Bagaimanapun Nara ke Jakarta untuk cari uang dan membantu orang tuanya di kampung untuk memperbaiki ekonomi keluarganya.

Setiap bulannya, Nara mengirim semua gajinya, karena memang di Jakarta, ia gak perlu pegangan uang. Karena uang makan dan kebutuhannya sudah di tanggung oleh majikannya itu. Lagian ia berfikir, jika orang tuanya itu pasti jauh lebih butuh uang itu dari pada dirinya.

Entah karena apes atau gimana, saat ini Alvin menyudahi olah raganya lima belas menit lebih awal, mungkin karena ia lagi suntuk, jadi semangat olah raganya sedikit mengendur. Setelah istirahat lima menit setelah olah raga, ia berjalan memasuki kamarnya dan saat itu, Nara sudah menyelesaikan bersih-bersih kamar Alvin dan hendak keluar. Namun betapa kagetnya dia saat Alvin membuka pintu itu lebih dulu.

"Kamu siapa? Kenapa ada di kamar aku?" tanyanya, yang memang selama ini tak terlalu memperhatikan wajah cantik Nara. Dan lagi yang mengurus semua pelayan di rumahnya itu ada Pak Han, laki-laki paruh baya yang sudah bekerja di kediaman Nyonya Besar saat Alvin masih umur tiga tahun. Lalu setelah itu, ia bekerja di bawah naungan Alvin saat Alvin memintanya untuk menjadi kepala pelayan lima tahun tahun. Saat itu, Alvin masih umur dua puluh tiga tahun namun ia sudah bisa membeli rumah yang ia tempati saat ini, dengan hasil jerih payahnya.

"Saya Nara, Tuan. Pembantu di rumah ini," jawabnya sambil menundukkan kepala.

"Pembantu, sejak kapan Pak Han memperkerjakan kamu di rumah ini?" tanyanya dingin. Namun sorot matanya menatap tajam ke arah Nara yang sedari tadi menundukkank kepalanya.

"Sejak tahun lalu, Tuan," jawabnya membuat Alvin kaget.

"Satu tahun?" ulangnya takut salah denger, walaupun ia yakin, ia gak mungkin salah denger. Tapi kenapa ia tidak tau, padahal mereka tinggal satu atap.

"Iya," sahut Nara pendek, membuat Alvin menganga karena Nara selain tak mau melihat wajahnya, juga menjawab pertanyaannya singkat sekali.

"Kenapa kamu dari tadi lihat lantai terus? Emang lantainya akan berubah jadi emas, jika kamu pandangi terus seperti itu?" sindir Alvin, akhirnya Nara pun memberanikan diri menatap Alvin. Dan entah kenapa dada Alvin langsung bergetar melihat kecantikan Nara.

"Kenapa aku baru tau ada wanita secantik ini di rumah aku?" gumamnya dalam hati.

"Jadi kamu yang satu tahun terakhir ini selalu membersihkan kamarku?" tanya Alvin lagi, berusaha untuk bersikap tenang walaupun jantungya sudah seperti mau melompat saja.

"Iya, Tuan," jawab Nara sambil sedikit menganggukkan kepalanya.

"Oh." Alvin melihat Nara dari bawah sampai atas

"Sempurna," ucapnya dengan suara kecil namun masih bisa di dengar oleh Nara.

"Apanya yang sempurna, Tuan?" tanya Nara pelan, takut menyinggung perasaan Alvin.

"Pekerjaan kamu sangat sempurna," kilahnya. Entah kenapa Alvin memilih berbohong dari pada jujur terhadap perasaannya saat ini yang tengah kacau.

"Nama kamu siapa?" tanya Alvin penasaran. Astaga, entah majikan macam apa dirinya, bahkan nama asisten rumah tangganya aja dia gak tau.

"Nara," jawabnya.

"Nara saja?"

"Nara Putri Cahyani."

"Oh, baiklah. Kamu boleh keluar. Tapi nanti sehabis sarapan, kamu pergi ke ruang kerja saya," tuturnya membuat Nara mengernyitkan dahi.

"Apakah Tuan akan memecat saya?" tanya Nara cemas.

"Kenapa kamu berfikir seperti itu? Emang kamu melakukan kesalahan apa, sampai saya harus memecat kamu?" tanya Alvin membuat Nara menghembuskan nafas lega.

"Baiklah, kalau begitu, sampai ketemu nanti." Dan setelah itu, Nara pergi begitu saja dari sana. Bahkan ia berjalan cepat seakan tak ingin berlama-lama bertatapan dengan Alvin.

"Apakah wajahku kurang tampan, sampai dia gak mau lihat aku lebih lama?" tanya Alvin pada dirinya sendiri. Ia segera masuk kamar dan mengunci pintu itu dari dalam.

Ia mengambil handuk dan membawanya ke kamar mandi, Alvin sudah tak lagi merasa gerah, hanya saja kulitnya terasa lengket sekali, jadi ia ingin segera mandi dan sarapan pagi.

Istri Kontrak?

Alvin keluar dari kamarnya dan langsung pergi ke ruang makan. Di sana, di atas meja makan sudah tersedia berbagai macam makanan. Chef Arnold, setiap harinya memang membuat banyak makanan agar Alvin bisa memilih apa yang ingin ia makan. Dan sisanya, akan di makan oleh para ART di sana, termasuk Nara.

Alvin makan seorang diri, sesekali matanya mengarah ke seluruh ruangan, namun ia tak melihat keberadaan Nara sama sekali. Mau nanya ke Pak Han pun, ia merasa malu. Akhirnya ia hanya bisa diam menikmati makanannya.

Selesai makan, barulah Alvin angkat bicara. "Suruh, Nara ke ruangan kerja saya sekarang!" ucapnya tanpa melihat ke arah Pak Han yang berdiri tak jauh darinya.

Pak Han pun menganggukkan kepalanya, "Baik, Tuan," jawabnya menunduk patuh.

Alvin segera pergi dari sana menuju ruang kerjanya. Di sana, Alvin duduk santai di kursi kebesarannya sambil menunggu kedatangan Nara. Cukup lama ia menunggu, hampir sepuluh menit. Baru setelah itu, ia mendengar ada yang mengetuk pintunya.

"Masuk," ucap Alvin dingin.

Dan setelah itu pintu pun terbuka lebar, Nara masuk dengan wajah gugupnya, bahkan ia merasa tubuhnya panas dingin.

"Tutup pintunya." ujar Alvin masih dengan wajah datarnya.

Nara pun menutup pintu itu rapat-rapat. Dan setelah itu ia menghampiri Alvin dan berdiri di sampingnya.

"Duduk di sana." Alvin menunjuk kursi yang ada di hadapan mejanya.

Nara pun hanya bisa menurut, ia duduk di kursi yang ditunjuk oleh Alvin. Ia duduk dengan tubuh yang tegak, karena sangking tegangnya.

Alvin menatap wajah Nara yang pucat, ia tau, mungkin saat ini Nara tengah takut berhadapan dengannya. Padahal Alvin juga tak mungkin membunuh Nara. Tapi kenapa wanita di hadapannya ini sampai setakut ini.

Alvin hanya diam, ia terus memperhatikan wajah Nara yang begitu cantik, bahkan kulitnya pun terlihat halus dan terawat.

"Nara," panggil Alvin lagi.

"Iya, Tuan," sahut Nara sambil menatap wajah Alvin.

Mereka pun saling bertatap-tatapan. Jika kini jantung Alvin berdetak kencang seperti orang jatuh cinta, berbeda dengan Nara. Ia berdetak kencang karena terlalu takut dan gugup.

"Aku akan memberikan kamu uang lima milliar," ujarnya tanpa basa basi membuat Nara terkejut.

"Li ... lima milliar?" tanyanya dengan terbata-bata.

"Hm ... tapi dengan satu syarat," papar Alvin.

"Syarat?" ulang Nara yang sudah berfikir yang negatif.

"Ya, kamu harus jadi istriku." pungkas Alvin.

"I ... istri?" entah kenapa, Nara menjadi gagap seperti ini.

"Iya, tapi bukan istri sungguhan. Melainkan istri kontrak. Kamu harus jadi istri aku selama tiga tahun. Gimana?" tanyanya.

"Setelah tiga tahun, apakah kita akan bercerai?" tanya Nara.

"Iya, tapi bisa lanjut jika kamu mau," sahut Alvin.

"Lima milliar, menjadi istri kontrak selama tiga tahun lamanya. Apakah saya harus hamil juga?" tanyanya.

"Tidak, tapi jika kamu mau hamil dan melahirkan anak buat aku, maka aku akan kasih kamu uang sebesar dua  milliar untuk satu anak. Jika kamu melahirkan tiga anak, maka enam milliar yang bisa kamu dapatkan."

Mendengar hal itu, Nara merasa tergiur. Jika ia melahirkan tiga anak dalam tiga tahun, maka ia akan mendapatkan uang sebesar sebelas milliar. Dan ia akan menjadi seorang miliarder muda. Ia bisa membuatkan rumah yang bagus untuk orang tuanya, menyekolahkan semua adik-adiknya hingga mereka pada sukses. Ia juga bisa membuka usaha sehingga tak perlu lagi pergi merantau dan bekerja sebagai pembantu. Dan ia juga bisa membawa saudara dan orang tuanya untuk umroh bahkan naik haji. Nara juga bisa mengajak mereka semua untuk keliling dunia, pergi ke negara satu ke negara lainnya. Mencicipi semua makanan di seluruh dunia dan melihat pemandangan yang lagi trend di sosial media.

Saat Nara memikirkan itu semua, membuat ia semangat untuk menjadi istri dari majikannya itu.

"Gimana?" tanya Alvin yang melihat wajah Nara yang tengah berbinar.

"Saya mau. Tapi uang lima milliar itu, kapan akan saya dapatkan?" tanyanya.

"Saat kamu resmi jadi istriku. Uang lima milliar itu akan jadi mahar kamu dan langsung kamu dapatkan saat ijab qobul selesai di ucapkan."

"Apakah saat pernikahan, saya harus mengundang orang tua saya?" tanyanya lagi memastikan.

"Tentu, bukankah untuk seorang perempuan nikah butuh seorang wali?" tutur Alvin.

"Jadi ini nikah sungguhan?" tanya Nara lagi.

"Ya, nikah sungguhan hanya saja ada batasannya. Cuma tiga tahun."

"Apakah setelah saya menikah, saya masih harus bekerja?"

"Tidak. Kamu cukup diam di rumah dan setiap bulannya aku akan memberikan kamu uang seratus juta."

"Se ... seratus juta?"

"Iya, itu untuk biaya hidup kamu dan biaya rumah tangga kita. Tapi untuk bayar asisten rumah tangga, tetap aku yang akan menanggungnya."

"Astaga, aku mimpi apa semalam. Aku akan mendapatkan uang lima milliar dan aku juga masih mendapatkan uang setiap bulannya sebesar seratus juta," gumam Nara dalam hati.

"Gimana?" tanya Alvin.

"Saya mau, Tuan," jawab Nara dengan penuh semangat. Alvin sudah menyangkanya, jika Nara gak akan menolak, mengingat jumlah yang ia tawarkan cukup besar.

"Baik, besok aku akan memberikan surat kontraknya yang  harus kamu tanda tangani. Dan selama kamu jadi istri aku, kamu gak boleh dekat dengan laki-laki manapun. Karena saat kamu nikah sama aku, maka kamu akan menyandang sebagai Nyonya Muda Sanjaya. Jadi kamu harus menjaga sikap dan tingkah laku kamu saat di dalam rumah ataupun di luar rumah. Jangan sampai kamu bertingkah yang membuat keluarga Sanjaya menanggung malu atas ulah kamu. Faham?" tanyanya dan Nara pun menganggukkan kepala.

"Faham, Tuan."

"Okay, bagus. Dan satu lagi, tidak ada yang boleh tau tentang surat kontrak itu. Cukup aku, kamu dan pengacara aku yang tau."

"Iya, Tuan."

"Lusa aku akan mempertemukan kamu dengan Mama aku. Apa kamu siap?"

"Siap, Tuan."

"By the way, umur kamu berapa?"

"Sembilan belas tahun, Tuan?"

"Sembilan belas, kamu yakin?" tanyanya. Tadinya ia fikir, umur Nara itu sudah dua pulu lima tahun dan karena awet muda, makanya terlihat seperti anak-anak remaja. Namun siapa sangka, ternyata Nara emang masih muda bahkan umurnya pun belum genap dua puluh tahun. Itu artinya ia dan Nara selisih sembilan tahun.

"Yakin, Tuan. Karena saya lulus SMA saat umur delapan belas tahun dan setelah itu saya langsung merantau ke Jakarta dan bekerja di sini. Di rumah ini pun saya sudah bekerja selama satu tahun, itu artinya umur saya sembilan belas, kan?" tanyanya dan Alvin pun menganggukkan kepalanya.

"Apa kamu mau kuliah?"

"Mau. Tapi saya tidak ada biaya," jawabnya.

"Aku yang akan membiayai semua kuliah kamu. Lagian aku kan sudah memberikan kamu  uang lima milliar dan uang perbulan seratus juta, emang masih kurang? Kok kamu masih bilang tidak ada biaya?" tanya Alvin heran.

"Oh ya, saya lupa Tuan," jawab Nara tersenyum malu. Melihat hal itu, Alvin pun hanya geleng-geleng kepala.

"Tapi tenang aja, untuk uang kuliah, akan di tanggung olehku. Tapi jika kamu hamil, kamu harus mengajukan cuti saat sudah hamil besar. Gimana?" tanyanya.

"Baik, Tuan."

"Dan satu lagi, jangan panggil aku Tuan. Nanti apa kata orang, masak kita mau nikah tapi manggil Tuan, seperti pembantu dan majikan saja," sungguh Alvin kesal, karena dari tadi di panggil Tuan terus menerus.

"Tapi kan saat ini, saya masih menjadi pembantu, Tuan." balas Nara yang membuat Alvin melotot padanya. Nara yang takut pun, langsung menundukkan kepalanya.

"Hhhh ... bener juga. Tapi saat kamu menyetujui untuk menjadi istri kontrak aku, maka saat itu juga kamu sudah resmi menjadi calon istri aku atau calon Nyonya Muda Sanjaya. Jadi, jangan panggil aku Tuan lagi."

"Lalu saya harus panggil apa?"

"Terserah kamu?"

"Abang?"

"No."

"Kakak?"

"No."

"Mas?"

"No."

"Lalu apa? Kenapa semuanya, NO?" tanyanya kesal.

"Sayang."

"What!" Nara kaget sampai tanpa sadar dia mengucap kata bahasa inggris.

"Kenapa? Bukannya bentar lagi kamu akan  jadi istri aku. Wajar kan jika suami istri manggil Sayang?" tanyanya membuat Nara bungkam.

"Tapi apa gak terlalu cepat manggil Sayang?" tanya Nara yang kembali gugup. Lagian apa kata-temannya sesama pembantu di sini, jika dirinya tiba-tiba memanggil Alvin dengan sebutan Sayang.

"Anggap saja latihan, biar saat nikah nanti, sudah gak gugup dan gak kaku lagi," sahut Alvin santai. Membuat Nara hanya bisa menghela nafas kasar.

"Ba ... baiklah." Nara pun tak berani membantahnya demi uang lima milliar dan uang seratus juta tiap bulannya.

"Coba kamu panggil aku 'Sayang' sekarang," pintanya.

"Sa ... sayang." Nara merasa gugup bahkan lidahnya pun mendadak kelu.

"Hhhh ... masih kaku tapi gak papa deh, semoga nantinya semakin lancar, okay."

"I ... iya."

"Dan satu lagi, jangan gugup jika  ngomong sama aku, dan jangan ngomong terlalu formal. Anggap aja aku pacar kamu atau teman kamu, agar kita bisa ngobrol santai," tuturnya.

"Iya." Nara pun berusaha untuk tak terlihat gugup lagi. Saat ini pikirannya penuh dengan uang dan ia gak sabar untuk mendapatkan uang itu dan memberikannya kepada orang tuanya agar bisa memperbaiki rumah di kampung dan membeli beberapa aset di sana seperti sawah, pekarangan dan memperbaiki rumah sebagus mungkin, hingga tak ada lagi orang yang menghinanya dan yang penting, Nara ingin saudara-saudaranya itu punya sepeda motor masing-masing dan Ayahnya mempunya mobil biar saat jalan-jalan gak kepanasan.

"Oh ya, Lusa kan aku akan mengajak kamu ke rumah Mama aku. Nanti jika di tanya tentang hubungan kita, kamu mau jawab apa?" tanya Alvin penasaran.

"Saya, eh maksudnya, aku akan bilang kalau aku yang jatuh cinta lebih dulu karena melihat ketampanan kamu. Dan kamu pun membalas perasaan aku karena melihat kecantikan aku."

"Emang kamu merasa diri kamu cantik?" ledek Alvin walaupun kenyataannya emang iya, Nara cantik, bahkan sangat cantik sekali. Apalagi saat di poles, pasti akan semakin cantik bak seorang model.

"Bukannya semua wanita itu pasti cantik ya?" tanya Nara yang membuat Alvin diam. Nara ternyata pandai menjawab pertanyaan orang lain, ia tidak sepolos kelihatannya.

"Iya juga sih. Bagaimana jika hari ini kita keluar?" tanyanya.

"Keluar? Bareng?" tanya Nara memastikan.

"Iyalah, kan aku bilang 'KITA'."

"Emang mau kemana? Aku belum menyelesaikan pekerjaan aku."

"Pekerjaan kamu, biar di urus yang lain aja. Kamu bukan lagi pembantu di rumah ini, tapi calon Nyonya di rumah ini. Artinya kamu bentar lagi akan jadi majikan di rumah ini, dan kamu tidak perlu melakukan pekerjaan kasar."

"Hueft, aku jadi gak enak sama yang lain."

"Sudahlah, kamu ngapain mikir yang lain. Yang penting kan, kamu tidak merugikan mereka semua."

"Bener juga sih. Lalu kita mau keluar kemana?" Nara ternyata bisa menyesuaikan keadaan, ia sudah tak terlihat gugup sekali dan bisa ngobrol santai. Dan Alvin yang merasakan hal itu pun bernafas lega karena Nara, tidak sekaku di awal ataupun merasa takut lagi saat berhadapan dengannya.

"Ke salon, kamu harus pergi ke salon agar tampil lebih cantik. Membeli baju, dan semua perlengkapan kamu. Bagaimanapun, mulai hari ini kamu harus tampil elegant. Jadi harus pandai membawa diri dan menjaga tampilan," sahut Alvin.

Mendengar hal itu, Nara pun mengangguk setuju. Ia tau, jika sudah menjadi calon Nyonya Muda Sanjaya, itu artinya, sikap, tata cara bicara, tata cara berpakaian, dan semuanya harus mulai di ubah. Nara harus bisa menyesuaikan dengan yang lainnya agar tidak timpang saat duduk bersama mereka yang memang lahir dari sendok emas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!