Sora tengah memohon dan berlutut di kaki ibu dan ayah nya yang sedang duduk di atas sofa panjang ruang tamu.
"Ibu, ayah, tolong jangan paksa aku menikah dengan yang kalian maksud. Sungguh, aku tidak ingin pernikahan ini sampai terjadi," ucapnya dengan isak tangis yang menyertai.
"Jangan membatah, Sora. Ini sudah menjadi kesepakatan di antara kami untuk menikahkan kau dengan Dimas," seru Wiranto, ayah Sora.
"Tapi aku sama sekali tidak mencintainya, ayah. Lagipula dia pun belum tentu menginginkan aku," sahut Sora.
"Sudahlah, terima saja keputusan kami. Kau harus ikuti permintaan kami."
"Ini tidak adil, ayah. Ini sungguh tidak adil."
"Cukup, Sora. Berhenti memprotes dan membantah! Kembali saja ke kamarmu."
Tangis Sora mengalir kina menderas, ia menatap wajah ibunya yang sedari tadi diam. Ibunya sama sekali tidak memberi pembelaan terhadapnya.
Sora bangkit berdiri, menyeka air matanya. Kemudian berlalu dari sana.
"Apa kita akan tetap melanjutkan rencana ini?" tanya bu Arum, setelah tadi memilih untuk diam.
"Tentu saja. Keluarga Asberto pasti akan sangat kecewa jika kita membatalkannya."
"Tapi aku kasihan dengan Sora, bagaimana jika dia tidak bahagia dengan pernikannya?"
"Jangan pikirkan hal itu. Jangan sampai kita mengubah keputusan dan menanggung malu atas dasar kasihan pada Sora. Kita akan tetap paksa Sora untuk menikah dengan Dimas. Dengan demikian, keluarga Asberto tidak akan menuntut lagi perihal hutang nyawa dengan keluarga kita."
Bu Arum diam. Beliau tidak bisa berbuat apapun untuk Sora. Semua ini sudah di rancang oleh suaminya dan juga pihak dari keluarga Asberto.
Sementara di kamar, Sora menumpahkan tangisnya di atas bantal dengan posisi tidur tengkurap. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Harapannya menikah dan hidup dengan seseorang yang ia cintai pupus dalam waktu singkat. Meski ia tidak memiliki kekasih ataupun gebetan, tetap saja ia tidak ingin jika harus menikah dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal.
Tiba-tiba saja Sora kepikiran sesuatu. Ia bangun dan duduk menyandar di sandaran ranjang tempat tidur. Ia seka air mata yang membasahi kedua pipinya.
"Pria itu pasti tidak ingin pernikahan ini sampai terjadi. Pasti dia sudah memiliki kekasih. Aku harus membuat kesepakatan juga dengannya, untuk saling menolak pernikahan ini. Aku yakin dia pasti setuju."
"Aku tidak bisa membayangkan rasanya hidup dengan orang yang tidak kucintai. Melihat wajahnya setiap hari, bahkan harus tidur di satu ranjang yang sama."
"Aku bisa menemukan sosok pria yang ku cintai dan tentunya menjamin kebahagiaanku tanpa adanya pemaksaan. Aku tidak akan membiarkan rencana ayah berjalan dengan lancar. Aku harus menggagalkan pernikahan ini."
Sora berpikir keras untuk menemukan cara supaya pernikahannya dengan pria itu tidak terjadi. Zaman sudah modern, perjodohan sudah tidak lagi berlaku.
Setelah cukup lama berpikir, akhirnya Sora mendapat cara agar ia bisa terbebas dari perjodohan paksa ini. Ia berharap caranya akan berhasil.
Sementara di tempat lain, seorang pria pun tampak marah pada kedua orang tuanya. Dia tidak terima jika kedua orang tuanya mau menjodohkan dirinya dengan wanita yang sama sekali tidak ia kenal.
"Apa alasan mama dan papa menjodohkan aku dengan wanita yang bahkan sama sekali tidak ku ketahui wajahnya seperti apa? Dan apa keuntungannya untuk mama dan papa?" seru Dimas.
"Tutup mulutmu, Dimas! Jika kau tidak mau mengikuti permintaan kami, maka angkat kaki dari rumah ini tanpa membawa fasilitas! Bukan hanya itu, semua kartu ATM yang kau pegang akan papa blokir!" ancam Asberto.
"Memangnya apa istimewanya wanita itu? Sampai-sampai papa berani memberikan ancaman padaku?"
"Tidak perlu banyak bertanya, ikuti saja permintaan kami!" jawab Asberto kemudian pergi dari sana.
Sementara Dimas masih kesal mengenai keputusan papa nya yang mendadak dan memaksa.
Merry yang merupakan mama Dimas berjalan mendekati putranya.
"Sudah, turuti saja permintaan papamu jika tidak ingin melihat papamu marah. Mama tidak ingin kau sampai angkat kaki dari rumah ini."
"Tapi, ma-"
"Shhttt ... Jangan membantah, ya."
Merry mengusap bahu Dimas sebelum akhirnya dia menyusul langkah suaminya ke kamar. Sementara Dimas meluapkan kekesalan nya dengan menendang sofa dan apapun yang terjangkau oleh kakinya.
"Aarrgghhh ..."
_Bersambung_
Sora berjalan mengendap-endap, lewat pintu belakang ia berencana untuk kabur dari rumah. Perlahan ia tarik kopernya, berharap ibu dan ayahnya tidak sampai mengetahui rencana untuk kabur.
Klek.
Sora memutar knop pintu sampai pintu, ia mengelus dada lantaran selangkah lagi rencananya akan berhasil dan ia akan terbebas dari perjodohan paksa ayahnya.
"Huhh ... Setelah ini aku akan bebas," ucapnya di sertai dengan helaan napas lega.
Sora buka pintu tersebut lebar-lebar. Dan sedetik kemudian semburat kebahagiaan nya berubah menjadi raut wajah tegang. Kedua bola mata nya membulat sempurna dan napas nya tertahan.
"Mau kemana? Mau coba-coba kabur dari ayah? TIDAK BISA!" ucap pria paruh baya yang saat ini berdiri di hadapan Sora.
Sora tampak gugup dan gelagapan. Bagaimana bisa ayahnya mengetahui rencananya. Bahkan ayahnya sudah stay di sana.
"A a-ayah ... Ayah k-kenapa bisa ada di sini?" tanya Sora terbata.
Wiranto mengulas senyum lebar.
"Ayah sudah tahu apa yang ada di kepalamu, Sora. Maka jangan coba-coba kabur dari ayah. Ayo kembali ke kamar!" seru pria itu.
Sora menggeleng. "Aku tidak mau, ayah. Biarkan aku pergi saja. Aku tidak keberatan jika harus angkat kaki dari rumah ini. Aku tidak apa-apa. Yang terpenting aku terlepas dari rencana ayah. Aku mohon, ayah. Biarkan aku angkat kaki saja, ya."
"Tidak bisa! Kau harus tetap melakukan pernikahan dengan Dimas. Ayo masuk!"
Wiranto menarik pergelangan tangan Sora dan membawanya pergi dari sana.
"Ayah, lepaskan! Ini sakit, ayah. Aku mohon lepaskan! Aku bisa jalan sendiri!" seru Sora.
Pak Wiranto tidak memperdulikan Sora, dia tetap menyeret Sora ke kamar.
"Tetap di sini dan jangan coba-coba untuk kabur lagi!" ancam nya.
"Tapi, ayah. Aku tidak apa-apa jika tidak di akui sebagai anak lagi lantaran membantah permintaan ayah. Asal aku tidak di jodohkan secara paksa, ayah."
"DIAAAMMM...!!! Jadilah anak yang penurut, kau pun akan mendapat keuntungan dari rencana ayah. Kau tahu? Dimas memiliki paras rupawan. Kau tidak akan menyesal menikah dengannya!"
Wiranto meninggalkan Sora dan menguncinya pintu kamar gadis itu dari luar.
"Ayah, tolong buka pintunya! Biarkan aku kabur saja, ayah. Ayah ... Ayaaahhh ..."
Sora menggedor-gedor pintu berharap ayahnya akan kasihan padanya. Tapi yang ada ia kehilangan banyak tenaga lantaran terlalu keras menggedor pintunya.
"Aku tetap berharap pernikahan ini tidak akan terjadi. Aku hanya ingin menikah dengan pria yang kucintai agar pernikahan berlangsung dengan penuh kebahagiaan, bukan penuh tekanan batin."
Lagi-lagi Sora menghembuskan napas lelah. Kenapa nasibnya bisa seperti ini? Bahkan ia sulit mempercayai jika sosok ayahnya yang berhati malaikat seketika berubah menjadi monster yang mengerikan.
"Tolong jangan paksa aku menikah, ayah," ucapnya lirih nyaris tak terdengar.
Di luar kamar, bu Arum tengah menanyakan apa yang terjadi sepagi ini di rumahnya.
"Sora sulit sekali untuk di atur, dia coba-coba untuk kabur dari rumah ini. Bahkan dia rela angkat kaki dan tidak diakui anak supaya bisa terlepas dari rencanaku," jelas Wiranto pada istrinya.
"Aku ikut kasihan juga dengan Sora. Dia kehilangan kesempatan untuk hidup dengan pria pilihannya atas keegoisanmu, ayah. Yang kau lakukan ini sama halnya dengan menjual putri kita dengan mengatasnamakan bebas dari hutan nyawa."
"Cukup, Arum! Jangan coba-coba membela Sora di hadapanku! Masih bagus Sora di korbankan untuk menikah dengan putra Asberto, daripada di antara kita harus ada yang berkorban nyawa lantaran kita berhutang nyawa pada Asberto."
Wiranto tidak sedang ingin berdebat dengan istrinya, ia melipir pergi dari sana guna menghindari perdebatan tersebut.
Bu Arum menghela napas berat. Sebenarnya memang ini satu-satunya cara agar keluarganya bisa terselamatkan. Dan apa yang di lakukan suaminya sudah paling baik. Ia berharap kelak Sora akan mengerti dengan apa permasalahannya.
_Bersambung_
Jangan lupa tambahkan ke favorit, dan klik ikuti profil Wind Rahma ya🤗
Sora menoleh ke arah pintu begitu pintu kamarnya terbuka. Ia langsung bangkit berdiri dari tempat tidurnya. Sosok pria paruh baya masuk ke dalam kamar, yang lain merupakan ayahnya.
"Ayah pasti sudah berubah pikiran kan? Ayah tidak jadi menikahkan aku dengan pria itu kan?" cecar Sora dengan kedua mata yang memancarkan harapan.
"Cepat ganti pakaianmu, Dimas dan kedua orang tuanya sudah menunggu di depan!"
Kedua mata Sora terbelalak. Wajahnya seketika menegang.
"Apa berkata apa? Jadi pernikahan ini akan tetap di lakukan?"
"Ya."
"Aku tidak mau, ayah."
"Kau harus mau!"
"Aku tidak akan pernah mau, ayah."
Wiranto sudah kehilangan batas kesabaran dalam menghadapi putrinya. Ia menghela napas berat agar emosinya tidak sampai meledak dan melukai Sora. Ia melangkah lebih maju agar lebih dekat dengan Sora.
"Perjodohan ini bukan tentang pernikahan, Sora. Tapi tentang nyawa!" ucap Wiranto lirih namun penuh syarat akan makna.
Kedua mata Sora kembali membulat dengan sempurna, ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada keluarganya.
Wiranto kembali mundur selangkah.
"Jadi cepat ganti pakaianmu. Poles wajahmu secantik mungkin agar Dimas tertarik denganmu. Sekarang!"
"Tapi, ayah."
"Waktumu hanya lima menit. Ayah akan tunggu di depan pintu kamarmu."
Wiranto melipir pergi, ia tidak mengindahkan protes Sora.
Sora menghentakan kakinya ke lantai merasa kesal. Kenapa hal-hal mengerikan seperti ini harus terjadi pada kehidupannya.
Sudah hampir sepuluh menit Wiranto menunggu di depan pintu kamar Sora. Tapi putrinya itu belum kunjung keluar.
"Lama sekali dia," ujarnya sedikit geram.
Wiranto hendak memutar knop pintu kamar tersebut, namun urung begitu pintu sudah terbuka duluan. Muncul Sora dari balik pintu dengan pakaian yang sudah berbeda dari sebelumnya. Wajahnya juga sudah di beri polesan tipis.
Wiranto mengembangkan senyumnya.
"Bagus. Dimas pasti akan tertarik jika penampilanmu seperti ini. Sekarang, ayo ikut menemui mereka."
Sora masih mematung, ia memainkan jemarinya. Ragu untuk bertemu dengan keluarga yang ayahnya maksud.
"Ayo cepat!"
Seruan ayahnya membuyarkan lamunan Sora, ia segera bergerak dan menyusul langkah ayahnya.
Di ruang depan, tamu sudah tidak sabar menunggu kedatangan wanita yang akan mereka nikahkan dengan putranya.
"Kita pulang saja ya pa, ma, batalkan saja pernikahan ini," bisik Dimas.
Asberto segera memelototinya. "Jangan mempermalukan keluarga kita, Dimas. Jika kau melakukannya, kami tidak segan-segan membuatmu menyesal!"
Dimas membelakan kedua matanya malas. Lagi-lagi ancaman yang membuatnya terpaksa mengikuti permintaan konyol sang orangtua.
Tidak berapa lama, perhatian mereka teralih pada dua orang yang datang ke arah mereka. Awalnya Dimas tidak terlalu perduli dengan orang itu. Tapi begitu pandangannya jatuh pada wajah wanita yang berdiri di belakang pria paruh baya yang akan menjadi mertuanya, ia langsung menegakan badan.
Sora pun tampak terkejut melihat siapa pria yang akan di nikahkan dengannya.
Ya Tuhan, apa ini pria yang ayah jodohkan untukku? Batin Sora.
Oh, jadi ini wanita yang harus aku nikahi. Batin Dimas.
Wiranto memberi kode pada Sora untuk hormat pada keluarga Asberto. Sora pun mengangguk.
"Halo om, tante," sapa Sora dengan senyum ramah namun penuh paksaan.
"Halo Sora. Kau cantik sekali," jawab dan puji Merry.
"Terima kasih, tante," ucap Sora.
Sora kemudian duduk di samping ibunya.
"Hai .. Senang bertemu denganmu," ucap Dimas dengan menyunggingkan sebelah sudut bibirnya.
Asberto dan Merry senang mendengar sapaan putranya pada Sora. Rupanya Dimas menyukai Sora. Bagus jika begitu.
Sora menoleh sekilas sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke arah lain.
Hhhh ... Kenapa harus dia sih yang akan akan menikah denganku? Kalau begitu lebih baik aku menikah dengan pria yang aku tidak kenal sekalian saja. Gerutu Sora dalam hati.
_Bersambung_
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!