Mawar Seruni.......
Adalah nama yang orang tuanya sematkan padanya semenjak ia terlahir. Gadis itu berusia dua puluh tahun.
Terlahir dari kasta sederhana keluarga bapak Herman Abdullah. Dan ibunya si cantik yang luar biasa ketus, Ratna Puspa.
Seruni adalah anak bungsu dari dua bersaudara.
Kakaknya juga seorang perempuan sepertinya, Amelia Kenanga namanya, biasa dipanggil Amel.
Entah mengapa, namanya dan kakaknya tergolong nama bunga-bunga. Namun yang mengganjal di sini adalah, nama seruni sedikit lebih ndeso di banding Amel
Kakaknya adalah wanita yang cukup pintar dan pandai membawa diri. Tubuhnya yang tinggi semampai, wajah yang cantik bisa dengan mudah untuknya mendapat pujian dari lingkungan sekitar.
Tak sedikit dari para tetangga yang menawarkan bapak Abdullah berbesan karna ingin mempersunting Amel.
Berbeda dengan Seruni, Amel seringkali juara kelas. Otak pintarnya serta tindak tanduknya yang feminim, membuat seruni nyaris tak berwujud di hadapan para keluarga besar.
Bahkan tak jarang, bapak dan ibu selalu memamerkan Amel pada teman-temannya. Di sinilah konflik yang sebenarnya, bahwa Seruni merasa seperti tak terlihat dan Amel adalah anak satu-satunya.
Miris?
Itulah rasa yang pantas untuk dilempar pada Seruni.
"Pagi, Seruni..... Tumben kamu nggak terlambat pagi ini?".
Tanya ibu yang masih sibuk menyiapkan makanan di meja, di bantu Amel.
Sikap Seruni Yang seringkali slenge'an dan bersikap sesuka hati, membuat Seruni seringkali terlambat ke kampus.
"Terlambat salah, nggak terlambat pun salah.
Repot kan jadi aku?".
Bapak Abdullah memelototkan matanya ke arah Seruni. Menatap Seruni horor adalah ciri khas bapak setiap hari.
Seruni mana peduli? Toh ia sudah terbiasa menghadapi semua orang di rumah ini.
"Ibukmu kan cuma nanya, to. Mbok Yo di jawab yang bener!! Bapak ini nggak pernah ya ngajari kamu hal-hal yang buruk." Ucap pak Abdullah kemudian.
"Ya. Bapak memang yang paling bener".
Sahut Seruni seketika. Bila bapak marah, Seruni membiarkan saja. Toh ia juga sudah sering kali di tampar bapak.
Berbeda dengan Amel yang tak pernah di perlakukan kasar karna terkesan penurut.
Seruni memang seringkali seperti tidak di anggap di rumahnya sendiri.
"Ini masih pagi, Runi. Jangan memancing kemarahan bapak."Tambah bapak lagi.
Bapak menggemeletukkan giginya.
Persetan dengan semuanya. Seruni lelah. Seruni hanya ingin hatinya damai sekarang.
Seruni hendak berangkat kuliah ketika tiba-tiba kalimat bapak menghentikan langkahnya. Selera makan Seruni hilang seketika.
"Malam nanti akan ada tamu, teman bapak. Bapak harap, kamu bisa pulang lebih sore untuk membantu ibumu di dapur." Pinta pak Abdullah.
"Apa penting bila Runi harus hadir, pak?" Tanya Seruni.
"Bila yang akan datang itu calon mertua kamu, apa itu kedengarannya nggak penting?" Jawab pak Abdul kemudian.
Seperti biasa, bapak selalu bertanya dengan nada sinis.
Seruni hanya bisa membeku mendengar ungkapan bapak.
Apa itu tadi?
Calon mertua?
Apa itu artinya, Seruni akan di jodohkan?
Oh tidak.....
Penindasan macam apa ini?
Dengan emosi yang meledak-ledak Seruni terpaku dan menghampiri bapak.
"Apa bapak berniat menjodohkan Runi?"
Tanyanya memastikan apa yang ia dengar itu salah atau tidak.
"Ya. Kelakuan kamu itu sudah nggak seperti perempuan kebanyakan. Bapak kuwalahan menghadapi kamu. Sepertinya, harus ada pria yang tegas yang bersedia membimbing kamu agar lebih baik lagi"
Bapak menjawab dengan ringan tanpa beban.
Hati Seruni seperti di hantam Godam dengan bobot ribuan ton.
Syok luar biasa.
"Jadi, Bapak udah nggak sayang lagi sama Runi, sampai Runi harus di lempar pada pria yang nggak Runi kenal sama sekali?" Tanya Seruni lagi.
Hatinya terasa hancur saat mendengar bapak seperti tidak mau lagi mengurusnya.
Tak ada jawaban apapun yang ia dapat.
Dengan langkah kaki yang terasa berat, ia tinggalkan rumah tanpa menyentuh makanan yang ibunya buat untuk sarapan.
Entahlah.....
Gundah gulana tetiba ia rasakan.
Seruni melangkah tergesa tanpa peduli teriakan ibu yang melengking di telinga, seperti tawa kuntilanak di malam Jum'at Kliwon yang menyeramkan.
Sudahlah.....
Seruni tak peduli lagi sekarang.
Dihidupkan mesin motor dan segera melajukannya, tanpa ia panaskan lebih dulu mesinnya. Seruni perlu mencari udara segar sebagai ganti sarapannya yang ia lewatkan.
Setibanya di kampus, Kedua sahabat Seruni, si Andri dan Mia menyambutku dengan muka-muka menyebalkan seperti biasa.
Dengan wajah datar, Seruni menghampiri dan mengikuti langkah mereka yang hendak menuju kantin.
"Runi..... tumben Lo nggak telat. Habis ngimpi apa sih? Apa jangan-jangan Lo ngompolnya kepagian, jadi bangun lebih awal?"
Sumpah serapah demi apapun juga, Seruni lemparkan pada Andri yang bermulut tajam, ceplas ceplos tanpa saringan bila bicara.
Ya tuhan........
Setelah di rumah dibuat menyebalkan, kini di kampus pun Seruni harus menghadapi dua makhluk sejenis alien.
"Sekali lagi Lo ngomong, gue tampol mulut lo pakai sepatu".
Jawab Seruni ketus. Entahlah ....
Meski ia seringkali berbicara kasar bernada ketus, Andri dan Mia bahkan tertawa melihat kejengkelan Seruni.
"Ih, Ndri..... Kayaknya mbak Kunti kita ini lagi baru dapet tamu bulanan deh. Uuuu seremmmm" Sahut Mia yang tak ia hiraukan.
"Run..... gimana sama tugas Lo yang kemarin? Apa udah kelar?" Tanya Andri dengan wajah yang di buat seserius mungkin.
"Udah." Jawab Seruni dengan singkat.
"Ya.... bagus dong, kalau gitu bantuin gue, ya? Cuma tinggal dikit doang kok, yuk...."
Kini, Mia yang menimpali.
Tanpa memberi Seruni kesempatan untuk menolak, Andri segera menarik tangannya, semakin mempercepat langkah menuju kantin.
~~
Usai dari kantin, Seruni segera melangkahkan kakinya menuju kelas. Moodnya yang tak baik pagi ini, membuatnya malas dan lebih banyak melamun di dalam kelas.
Ucapan bapak yang hendak menjodohkannya itu lah, yang membuat lamunannya semakin dalam tanpa mendengar penjelasan dosen killer yang bernama Wiraka. Cukup di panggil Raka, dosen muda yang cukup tampan dan cerdas ini, menjadi idola seantero jagad raya kampus.
Padahal, menurut Seruni biasa saja.
Bila Seruni di jodohkan, ia harus bagaimana?
Sejujurnya dirinya tak siap. Dia masih muda, selisih umurnya dengan Amel adalah tiga tahun. Mengapa tidak Amel saja yang di jodohkan?
Toh dia juga sudah bekerja. Sedang Seruni?
Masih mahasiswi.
"Mawar Seruni. Keluar kamu dari kelas saya." Suara bariton itu demikian lantang menggema di seluruh penjuru ruangan.
Seruni yang sedang malas ini pun segera beranjak dan mengemasi buku-buku miliknya dan ia masukkan dalam tas segera.
Sejujurnya, Seruni cukup malas untuk mengikuti mata kuliah apapun hari ini.
Seruni melangkah pelan menuju pintu, ia lirik sekilas pak Raka yang mengernyitkan kening ke arahnya. Persetan dengan apapun penilaiannya terhadap Seruni. Seruni perlu menyegarkan pikiran dari kemelut perjodohan sialan yang dirancang bapak.
Ia langkahkan kakinya menuju perpustakaan.
Memilih buku secara random untuk mengalihkan pikirannya yang sungguh morat-marit.
Entah berapa lama Seruni terjebak di dalam ruangan ini, beberapa anak yang belum ada mata kuliah, terlihat juga sedang banyak yang membaca buku dengan serius.
Hingga sebuah suara mengejutkan Seruni dan mengalihkan pandangannya.
"Mawar Seruni. Ikut ke ruangan saya." Suara Wiraka kembali terdengar.
Seruni menghembuskan nafas perlahan. Pastilah hukumannya tak akan ringan. Mengingat, julukannya si killer itu melekat kuat dalam dirinya.
Dengan langkah malas, Seruni mengikuti langkah makhluk menyebalkan ini. Setibanya di dalam ruangan, Wiraka menatap Seruni penuh aneh. Entah apa arti tatapan itu.
"Tutup pintunya." Perintahnya. Menurut saja, Seruni menutup pintu perlahan.
"Jadi katakan Seruni, Hukuman apa yang pantas untuk saya berikan untuk kamu?" Tanya Si dosen killer itu.
"Apapun, asal bapak puas melihat penderitaan saya." jawab Seruni seperti sedang putus asa.
Terlihat raut terkejut di wajah Raka.
"Baru kali ini saya mendapati mahasiswi yang tidak takut di hukum." Kata si Wiraka.
"Bapak bukan Tuhan yang patut saya takuti." Jawab Seruni datar.
Sengaja Seruni menatap sengit ke arahnya.
Biarlah.....
Akan semakin rumit atau semakin parah hukumannya. Seruni tak peduli.
"Baiklah.... Nanti malam, bantu saya untuk menggagalkan rencana perjodohan yang di susun oleh orang tua saya. Kamu bisa datang sebagai pacar pura-pura saya. Hukuman ini lebih ringan, kan, kalau di bandingkan kamu harus pingsan karna harus membersihkan seluruh toilet di kampus ini?" Ucap Raka enteng tanpa beban.
"APA?" Seruni terkejut.
"Saya tidak menerima penolakan ataupun toleransi. Titik." Wiraka mengucap dengan tegas.
Uughh sial. Seruni benar-benar semakin terjebak dengan masalah besar.
**
Hai buat teman-teman readers semua. Cerita MAWAR SERUNI ini, akan menggantikan cerita SEKAR SERUNI. Dari cerita POV Tokoh, sekarang akan diganti menjadi POV author, dengan beberapa revisi plot. Terima kasih.
Entah sudah yang ke berapa ratus kalinya.
Ponsel milik Wiraka terus bergetar tiada henti.
Rasa bosan dan enggan menanggapi, sedang bertahta indah dalam diri saya.
Pasalnya, bosan senantiasa melanda ketika orang tua Wiraka kerap kali menyuruhnya pulang lebih cepat.
"Jangan lupa malam ini, Raka. Kalau kamu nggak mau datang, ibu terpaksa mencoret nama kamu dari daftar KK dan melepas gelar anak dalam dirimu." Suara ibu yang melengking dapat Wiraka dengar. Sekali lagi, Wiraka menghembuskan nafasnya dengan kasar.
"Injeh, Bu. Nanti Raka usahakan datang". Jawab Wiraka, tak ingin mendengar ibunya lagi.
"Ya sudah. Ibu tunggu. Jangan sengaja untuk datang terlambat." Tukas ibunya di seberang sana.
"Nggih." Jawab Wiraka.
Sambungan telepon terputus seketika.
Kembali merenungi, harus kah Wiraka menghadiri acara nanti malam? Lelaki itu dalam kegamangan.
~~
Hari sudah mulai nampak sore. Seruni tidak tahu lagi bagaimana caranya membuat bapak dan ibunya merubah cara pandang mereka terhadapnya.
Di hadapan mereka, Seruni tak lebih dari sekedar benalu yang cukup merepotkan.
Kalau boleh tanya, mengapa mereka memelihara benalu seperti seruni, hingga usia ku menginjak angka dua puluh tahun.
Seruni masuki rumah tanpa menyapa siapapun.
Ingin rasanya ia mengguyur tubuh dan otaknya yang terasa panas ketika ingat perjodohan yang bapak rancang 'Katanya' untuk masa depan Seruni.
Masa depan macam apa? Masa depan untuk menghancurkan perasaan anak sendiri?
Seruni tidak tahu lagi harus memakai kata apa yang pantas untuk ia sematkan pada kedua orang tuanya itu.
Usai mandi, Seruni menggelar sajadahku untuk menunaikan panggilan Tuhan, agar menunaikan kewajiban sebagai kaum muslim. Seruni bersujud dan menyampaikan keluh kesah pada Tuhan, berharap dengan begini, ia bisa mendapat petunjuk dan kedamaian.
Pintu di ketuk pelan empat kali ketika Seruni baru saja selesai membaca dzikir usai sholat. Perasaan Damai dan tenang tentu saja menyusupi hatinya.
Belum sempat ia membuka mukena dan melipatnya, sosok ibu muncul dari pintu dengan wajah sendu. Entah Seruni buta atau bagaimana, yang jelas, bagi seruni ibu sama seperti bapak yang suka memasang topeng kepalsuan.
Oh tidak, bukan hanya ibu. Rupanya, Amel juga sedang mengekori ibu.
"Seruni. Ibu mau ngomong sama kamu". Ucap ibu.
"Ngomong aja sih Bu. Runi juga masih denger kok." jawab Seruni sambil melipat mukenanya.
Seruni mendengar ibu sedang menghembuskan nafasnya dengan kasar. Sejujurnya, Seruni sangat menyayangi keluarga ini. Terkadang, ia sendiri iri melihat teman-teman yang sedang bermesra hangat dengan keluarganya, sedang Seruni, ia selalu menjadi prioritas terakhir bagi keluarganya.
"Kamu beneran bisa kan menerima nak Subagio sebagai suamimu?" Tanya ibu.
"Subagio?" Bibir Seruni membeo saat nama yang sangat ndeso itu meluncur dari bibir renta ibu yang nampak keriput samar.
"Ya. Nama calon suamimu Subagio." Jawab ibu.
Sudah macam petir yang menyambar hati seruni. Ibu dengan ringannya berkata bahwa Seruni adalah calon istri dari pria bernama Subagio.
Penasaran, seperti apa sih rupa dan tampangnya? Berapa juga umurnya?
Apa Subagio itu pria berkepala botak dan perutnya buncit?
Apakah tubuhnya tambun nan bulat seperti tahu bulat?
Astaga.
Rasanya Seruni ingin tenggelam saja.
"Aku nggak tau pasti bisa apa enggak buk. Yang jelas, aku nggak bisa memberi tanggapan apapun sekarang."
Seruni mendengar Amel terkikik geli saat melihatnya.
"Udah sih ah, terima aja. Orangnya masih muda kok. Nggak kayak yang kamu bayangin sekarang. Intinya, kamu bakal hidup enak dengan pria yang kaya raya seperti Subagio."
Senyum Amel menyiratkan paksaan. Seruni tak tahu kenapa dia berpikiran bahwa Seruni harus menikah lebih dulu. Sedang dia, masih enggan untuk menjalani komitmen bersama pria.
"Kita lihat aja entar. Nanti, setelah keluarga Subagio datang, aku ada janji dengan temen, Bu, jam 8." Ungkap Seruni.
"Terserah kamu mau kemana, asal kamu menerima aja lamaran nak Subagio." Titah ibu yang membuat Seruni jengkel.
Aku lelah sebenarnya.
Tapi, tak mungkin kan bila Seruni lari keluar rumah untuk kabur hanya karna menghindari acara perjodohan tak masuk akal ini?
"Ya. Seruni menerimanya, apapun bentuk jodoh Runi. Apa ibu dan kak Amel puas? Andai bapak di sini pun, pasti bapak akan merasa puas." Jawab Seruni pasrah.
Seruni menatap lekat saudari dan ibunya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Sekali saja ia mengedipkan matanya, mungkin sudah jatuh air mata itu.
Ibu Seruni dan Amel saling pandang. Sepertinya, mereka juga merasa tak enak hati atas hal ini. Tapi ya sudah lah. Seruni tetap tak peduli.
Toh ibu yang memaksanya.
"Ya sudah, ibu turun dulu. Sebentar lagi, ibu mau masak untuk makan malam." Ungkap ibu.
Ibu beranjak pergi, di susul oleh Amel di belakangnya hingga pintu kamarnya di tutup pelan.
Seketika Seruni menangis sepeninggal mereka dari kamarnya.
~~
Terdengar suara gaduh saat Seruni baru selesai menunaikan sholat isya. Ia bisa menebak, pasti keluarga Subagio telah datang. Apa lagi seruni mendengar, suara tawa bapak yang membahana terdengar hingga ke kamar.
Pintu di ketuk pelan, namun segera terbuka tanpa Seruni suruh masuk.
Sosok Amel yang sangat cantik berdiri di ambang pintu.
"Kamu di suruh turun sama bapak dan ibu, Runi. Dandan yang cantik. Jangan malu-maluin bapak sama ibu." Ucapnya.
"Ya." Jawab runj datar.
Amel menutup kembali pintu kamar dengan pelan. Seruni segera beranjak dan segera melipat mukena yang baru saja ia pakai. Menuju cermin, Seruni memoles wajahnya sedikit agar sembap di matanya segera tersamarkan.
Meski bapak dan ibu kerap kali tidak peduli dengan perasaannya, tapi Seruni cukup peduli dengan nama keluarga agar tak nampak buruk karna punya anak yang lumayan jelek sepertinya.
Usai merias diri, Amel kembali membuka pintu kamar.
"Runi, kamu udah selesai, belum?
Bapak sama ibu sama Subagio sekeluarga udah nungguin, udah ayo cepet. Kamu udah cantik kok." Ucapnya sambil tersenyum.
Seruni hanya diam saja. Hingga tangan Amel mencekal pergelangan tangannya, Seruni hanya bisa pasrah dan menurut saja.
Suasana nampak berbeda saat pintu kamar terbuka. Ketika langkah Seruni tiba di ruang tamu, ia menunduk karna tak berani menampakkan wajahnya di hadapan keluarga Subagio.
"Runi, kenalkan. Ini nak Subagio, calon suamimu." Ungkap bapak.
Sontak Seruni mengangkat wajahnya. Ia tatap Mereka semua satu persatu. Sepasang wanita dan pria paruh baya menatap ke arahnya dengan pandangan melotot, kemudian seorang pria muda yang cukup familier di matanya.
Pak Wiraka.
Iya, pak Raka.
Tidak ada sosok lain lagi di sana.
Lalu? Dimana sosok yang katanya bernama Subagio, si calon suami Seruni? Seruni edarkan pandangannya pada seluruh isi ruangan.
Tapi nihil. Tak ada siapapun lagi.
"Ayo kenalan dulu." Amel tiba-tiba menyenggol lengan Seruni.
"Pak Raka kenapa ada di sini?" Seruni tidak bisa menahan diri lebih lama lagi dari rasa ingin tahunya.
"Kamu sendiri? Kamu anak bungsu pak Herman?" Tanya Wiraka pada Seruni.
"Iya, aku anak bungsu bapak".
Ucapku cengoh.
Raka tampak menegang. Salivanya tertelan dengan susah payah.
"Bapak, ibu. Yang mau di jodohkan sama Runi mana? Katanya mas Subagio udah datang? Mana orangnya?"
"Lho yang di depan kamu ini namanya Subagio. Namanya Wiraka Subagio, Mawar Seruni".
Seruni menganga sekian detik. Tak menyangka bahwa calon suami yang namanya cukup ndeso ini, adalah dosenku.
Wiraka Subagio. Si dosen killer.
~~
Seruni tak pernah menyangka akan seperti ini jadinya. Orang yang akan di jodohkan dengannya adalah dosen di kampusnya. Lalu, bagaimana ini?
Seruni menganga sekian detik untuk mengekspresikan kebodohannya ini.
Sungguh, ini di luar dari persepsinya. Wiraka nyatanya bukanlah lelaki yang Seruni sangka akan menjadi jodohnya.
Seruni linglung. Gadis itu benar-benar nampak seperti gadis bodoh di hadapan keluarga Wiraka.
"Ja ... jadi, pak Raka ... ?" Seruni membeo
"Ya, dia ini juga dosen di kampus, Runi.
Apakah nak Wiraka ini..... dosen Runi?" Tanya bapak tanpa rasa bersalah.
Seruni tidak mengerti dengan jalan pikiran kedua orang tuanya ini.
Seruni melihat Wiraka luar biasa terkejut. Begitu juga dengan Seruni yang masih syok.
Ingin Rasanya Seruni berteriak histeris dan meraung sekuat tenaga, tapi itu tidak mungkin, kan, kalau Seruni harus begitu?
Bisa digantung Seruni, sama bapak nanti.
"Iya.... pak. Saya dosen di kampus tempat Runi kuliah". Wiraka nampak tersenyum kaku.
"Wah, bagus dong ... Kalau kalian saling kenal, jadi bisa menjalin pendekatan lebih dulu" Sambung bapak. Seruni hanya bisa menatap dengan pongahnya pada mereka semua secara bergantian.
Putri bungsu Herman Abdullah itu melihat raut wajah datar dari kedua orang tua Wiraka. Saat baru keluar tadi, Seruni menjabat tangan mereka secara bergantian.
Apa mereka tak suka pada Seruni? Kalau iya, kenapa mereka jadi datang menjodohkan Seruni dengan putra mereka?
Ah sudahlah. Biar itu jadi urusan mereka.
Seruni juga tidak begitu suka pada Wiraka.
"Oh iya. Boleh saya ngobrol berdua dengan seruni?" Ucap Wiraka tiba-tiba. Seruni hanya bisa diam dengan wajah datar.
"Oh boleh nak, boleh. Silahkan." Ucap bapak, kemudian ibu menimpali.
"Runi..... Ajak nak Wiraka ke taman belakang, nggih." Sahut ibu.
Seruni hanya mengangguk dan berjalan ke belakang. Ia melirik Wiraka yang mengekori langkahnya.
Membayangkan akan menikah dengan dosen yang reputasi killer nya luar biasa terkenal se-antero kampus, membuat Seruni jadi ingin cepat-cepat menenggelamkan diri ke laut.
Setibanya di belakang, Seruni segera menuju sebuah pondok kecil dengan ayunan dengan dua kursi memanjang berhadapan.
Tanpa kata, ia segera duduk di sana. Wiraka tanpa banyak omong pun segera mengikuti.
"Seruni. Bagaimana menurut kamu tentang perjodohan ini?" Ucapnya tiba-tiba dengan suara berat.
"Nggak ada yang menarik lah, pak. Bapak sendiri gimana?" Seruni balik bertanya.
Seruni dengar, Wiraka menghembuskan nafas kasar. "Saya ... saya nggak tau harus ngomong apa. Kalau menolak pun, ibu saya pasti akan histeris dan saya takut penyakit asma nya kambuh. Saya, perjodohan ini benar-benar di luar kehendak saya." Tukas Wiraka kemudian.
"Sama. Aku juga gitu kali pak. Tapi....
Kalau nolak tentu aku di gorok sama bapak.
Lagian, kenapa sih bukan kak Amel aja yang di jodohkan sama bapak? Kak Amel juga udah kerja, sedang aku masih kuliah." Ujar Seruni yang terdengar masuk akal.
Seruni katakan saja apa yang menjadi resah gelisahnya. Di kira curhat yaa, udah biarin aja.
"Gimana kalau kita buat kesepakatan sebelum menikah. Kita jalani aja dulu pernikahan ini. Setelahnya, mungkin kalau kamu mau bebas, kita bisa cerai."
Seruni melotot matanya dengan horor ke arah Wiraka. Menawarkan perjanjian dalam pernikahan? Apa dosennya yang terkenal cerdas ini, sudah mulai gila?
"Enggak, titik!! Aku nggak mau ya bikin kayak gitu. Pernikahan itu bukan ajang main-main, pak Raka. Bapak mau mengingkari perjanjian di depan tuhan. Orang nikah itu terikat janji yang melibatkan tuhan loh di dalamnya." Jawab Seruni dengan berani.
"Ya udah begini saja. Kalau kamu memang keberatan dengan perjodohan ini, kamu boleh kok menolak lamaran ayah sama ibu saya." Sekali lagi, Seruni melotot ke arahnya dengan raut wajah yang ia buat segarang mungkin.
"Bapak mau buat saya mati, ya?" Dengusan nafas Seruni, terdengar dari bibirnya.
"Terus bagaimana, seruni? Saya nggak mungkin menolak perjodohan ini. Kalau kamu tidak bisa menolak apalagi menentang perjodohan ini, saya juga nggak bisa." Sergah Wiraka dengan suara berat. Agaknya, pria itu benar-benar frustasi.
Seruni diam sejenak.
"Kalau gitu, gimana kalau kita ikutin aja dulu pak alurnya. Gimana kalau kita menerima aja pernikahan ini? Setelah kita nikah, perlahan, saya akan belajar mencintai bapak, bapak juga harus sama. Belajar mencintai saya. Nggak ada salahnya di coba, kan?"
Entah kenapa, Seruni jadi sedikit linglung dengan ucapannya sendiri. Antara sadar dan tidak. Kemudian, ia menyumpahi mulutnya yang asal nyablak itu. Sungguh, Seruni tak tau kenapa bapak sama ibu punya anak seperti dirinya. Apa Mereka salah cetak saat proses pembuatannya? Seruni bergidik sendiri saat membayangkannya.
"Ya sudah. Kita terima saja perjodohan ini.
Kita lakukan saja dulu yang terbaik dan menjalani semuanya sesuai keadaan." Jawab Wiraka yang tak memiliki solusi lain.
Rasanya Seruni ingin pingsan saat Wiraka ternyata menanggapi serius ucapannya. Tetapi, untuk membantah pun tak mungkin. Toh tadi ia sendiri yang memberi ide gila.
Sekali lagi, hidup Seruni harus ditimpa kesialan selama seharian penuh ini.
~~
Raut wajah terkejut tak bisa lagi Wiraka sembunyikan. Pasalnya, gadis yang hendak di jodohkan dengannya adalah mahasiswi Wiraka sendiri.
Mawar Seruni ....
Adalah gadis yang jauh dari kriteria yang Wiraka tetapkan selama ini. Tubuhnya mungil, sangat berbeda jauh dengan Amel, kakaknya.
Kakaknya sungguh sangat cantik dengan tubuhnya yang tinggi semampai, body yang cukup membuyarkan fokusnya, dan wajahnya juga terasa menyejukkan.
Sedangkan Seruni ....
Dia gadis mungil yang penampilannya sedikit berjarak dari kata feminim. Wajahnya selalu mengenakan sedikit bedak dan lipstik tipis, nyaris seperti tak memakai make up sama sekali.
Beruntung, walau tidak terlihat cantik-cantik amat, tapi bodynya cukup seksi meski terbilang mungil.
Wiraka memutuskan untuk bicara berdua secara pribadi dengannya. Beruntung tak ada penolakan sama sekali darinya.
"Enggak, titik!!
Aku nggak mau ya bikin kayak gitu.
Pernikahan itu bukan ajang main-main, pak Raka..... Bapak mau mengingkari perjanjian di depan tuhan? Orang nikah itu terikat janji yang melibatkan tuhan loh di dalamnya." Ucapnya saat itu.
Sedikit merubah pandangan Wiraka padanya. Meski usianya terbilang muda, tapi si Seruni ini cukup pintar dan sepertinya bisa berpikir dewasa. Justru di sini Wiraka yang nampak terlihat kekanakan.
Bagaimana bisa Wiraka ditentang habis-habisan oleh mahasiswinya sendiri?
"Kalau gitu, gimana kalau kita ikutin aja dulu pak alurnya. Gimana kalau kita menerima aja pernikahan ini?
Setelah kita nikah, perlahan, saya akan belajar mencintai bapak, bapak juga harus sama. Belajar mencintai saya.
Nggak ada salahnya di coba, kan?"
Ini lagi.
Seruni memberi Wiraka usulan yang masuk akal dan bisa di pertimbangkan. Ia tidak mungkin menolaknya sedang usulannya ini terdengar lebih bijak.
Andai Wiraka tak kepikiran masa lalunya, mungkin ia bisa berpikir bijak seperti Seruni. Ah, Wiraka pun tak berkutik.
"Ya sudah. Kita terima saja perjodohan ini.
Kita lakukan saja dulu yang terbaik dan menjalani semuanya sesuai keadaan."
Dengan sangat terpaksa, Wiraka menerima perjodohan gila ini. Entah bagaimana ke depannya, bukankah segala sesuatunya, patut di coba?
Bismillah.....
Semoga ini keputusan yang tepat dan terbaik untuk Wiraka.
~~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!