NovelToon NovelToon

My Brother is Everything To Me

Sinopsis

"Kak, kok lo cium gue?"

"Kenapa? Waktu kecil, kita sering ciuman begini. Lo adik gue"

"Lo bohong kak. Ciuman lo barusan, bukan karena lo nganggap gue adik. Gue bukan adik kecil lo lagi. Gue udah gede, udah kuliah, gue juga udah punya pacar"

Radit mengecup bibir Jelita lagi. Membiarkan sepasang bibir itu menempel beberapa saat. Radit ingin melihat reaksi gadis yang sedang ditindihnya.

"Kenapa lo gak nolak?"

Jelita seketika mematung. Ia tidak bicara lagi dan hanya memutar bola matanya, bingung. Ia tidak mengerti dan hampir depresi memikirkan gemuruh rasa di sanubarinya. Radit kakaknya. Dan kenapa ia membiarkan bibirnya yang belum disentuh pria manapun, dimainkan liar oleh pria yang sejak kecil ia panggil kakak itu?

***

Radit segalanya bagi Jelita. Sejak kecil mereka dibesarkan di dalam keluarga yang serba berkecukupan. Setelah tamat SMA selang satu tahun, Radit pergi ke New York untuk melanjutkan pendidikannya di sana. 5 tahun lamanya mereka tidak bertemu. Komunikasi keduanya juga tidak terlalu intens dan selama di New York, Jelita tidak pernah sekalipun mengirimkan fotonya yang sekarang kepada sang kakak.

Hingga 5 tahun kemudian setelah Radit menyelesaikan pendidikannya di New York, pria yang kini berubah drastis secara penampilan dan fisik itu kembali ke Indonesia. Perubahan yang mencolok itu membuat Jelita terkagum-kagum. Ia bahkan sampai lupa jika Radit adalah kakaknya.

Layaknya kakak adik pada umumnya dan mungkin di luar umum, kebersamaan mereka selalu diwarnai pertengkaran setiap harinya. Ada saja tingkah jahil Radit yang membuat Jelita kesal. Namun meskipun selalu aduh mulut dan fisik, keduanya tidak terpisahkan satu sama lain. Jika salah satu diantara mereka dalam kesusahan maka yang satunya lagi akan merasakan hal yang sama. Seperti anak kembar, mereka saling terikat.

Radit memperlakukan adikny itu layaknya ratu. Ia selalu menaruh urusan Jelita di atas segalanya. Sampai suatu ketika ada satu sikap Radit yang membuat Jelita sangat marah. Gadis muda itu terus mengomel sepanjang jalan hingga membuat konsentrasi Radit yang sedang memegang stir mobil terpecah. Meskipun Radit sudah memperingati, Jelita tetap tidak mau diam. Radit sampai di jalan buntu, ia menghentikan omelan gadis di sampingnya dengan melesatkan ciuman dalam di bibir Jelita.

Sejak kejadian itu, muncul sebuah perasaan aneh di hati Jelita. Ia bahkan sampai nekad mencium Zain selaku pacarnya, sekedar ingin mengetes. Dan ternyata dugaannya benar. Rasa itu berbeda. Ia tidak merasakan apa-apa saat bibirnya menempel di bibir Zain.

Lalu apa yang akan terjadi pada Radit dan Jelita selanjutnya? Bisakah mereka mengendalikan perasaan terlarang itu? Akankah semesta merestui mereka? Hubungan yang melanggar tata susila, akankah berakhir bahagia atau hanya menyisakan airmata?

Gimana guys setelah membaca sinopsisnya? Apakah kalian tertarik untuk membaca cerita selengkapnya? Kalau iya silakan koment ya👇

Perasaan Apa Ini?

Hari itu langit begitu cerah. Tidak mendung, juga tidak terik. Hari yang cocok digunakan untuk liburan outdoor. Menikmati pemandangan alam dengan cemilan ringan serta bercengkrama dengan orang terkasih di bawah langit secerah ini. Ah itu suatu kenikmatan yang tiada tandingannya.

Namun sayangnya tidak semudah itu bagi seorang gadis berparas menawan yang sedang tiduran manja di atas kasur empuk.

"Jelita buruan turun. Kita harus ke bendara sekarang" hari ini adalah hari yang sangat special untuk Surya dan Laura karna dihari ini putra kesayangan mereka akan kembali ke Indonesia.

Rasa rindu yang teramat dalam sudah menggunung di sanubari keduanya terutama Laura, ia sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan sang putra, ingin memeluk putranya itu dengan erat. Namun berbeda dengan kedua orangtuanya yang begitu antusias, Jelita terlihat biasa saja. Baginya hari ini sama seperti hari biasanya, nothing special. Jelita menganggap sikap heboh kedua orangtuanya terutama sang mama sedikit berlebihan.

"Jelita ayo cepat turun" pekik Laura sekali lagi.

Jelita memutar bola matanya cepat. Ia jengkel sekali karna mamanya terus berteriak meminta agar dirinya turun. Padahal ia masih ingin berlama-lama di kamar pribadinya.

"Uhhhh menyebalkan" gerutunya sambil bangun dari kasur. "Hari ini kan gue libur kuliah. Seharusnya sekarang itu gue masih di atas kasur, tidur dengan nyenyak" lanjut Jelita tidak ikhlas hari liburnya diganggu. "Ya ya Jelita turun. Kenapa sih mesti dijemput? Kan dia bisa balik sendiri" sambungnya dongkol sudah di tahap akut.

"Lama banget sih. Kamu gak lihat ini jam berapa? Ntar kakak kamu keburu sampai duluan" ujar Laura gerem dengan gerak lambat sang putri.

Jelita membuang nafas jengah. Ia lalu berjalan duluan keluar rumah.

Hampir 45 menit lamanya mobil melaju, Surya family akhirnya tiba di bandara Soekarno-Hatta. Dengan sabar mereka menunggu pesawat yang ditumpagi Radit tiba. Rasa rindu yang membumbung semakin membuat jantung Laura berdebar kencang, ia ingin secepatnya bertemu dengan putra kesayangannya itu.

"Ma, masih lama gak sih?" Jelita mulai merasa bosan menunggu.

"Udah jangan banyak tanya. Tunggu saja disini" sahut Laura tanpa menoleh Jelita yang berdiri di sampingnya.

Jelita semakin bosan. Sejak dulu ia memang tidak suka menunggu. Baginya jika harus memilih antara menunggu dengan ditunggu, dia tidak akan memilih kedua-duanya karna kedua hal itu sama memuakkan. Tapi jika dipaksa, ia memilih ditunggu saja. Setidaknya ia bisa berbangga hati karena ada seseorang yang menunggunya.

"Ma Jelita pergi bentar ya. Mau cari makan, lapar belum sarapan" kata Jelita seraya mengelus perut ratanya.

"Tu kan apa papa bilang. Tadi disuruh sarapan dulu gak mau" sambar Surya.

Jelita hanya tersenyum terpaksa menanggapi celotehan papanya.

"Udah sana buruan cari makan ntar kamu sakit" lanjutnya.

Tidak lama setelah Jelita pergi, akhirnya pesawat yang ditumpangi Radit pun mendarat. Dengan senyum merekah di wajah keibuannya, Laura menjadi sangat tidak sabar menunggu Radit keluar dari pesawat.

"Radit" panggil Laura nyaring saat melihat putranya dari kejauhan.

Radit mengedarkan mata mencari sumber suara yang memanggilnya. Secercah senyum menghiasi wajah Radit sebelum ia membalas panggilan padanya.

"Ma" sahutnya meninggikan intonasi suaranya agar tidak kalah dengan suara operator bandara.

Keduanya langsung berpelukan erat, melepas semua kerinduan.

"Pa" Radit menarik Surya, sosok yang juga sangat dirindunya selama berada di New York.

"Waw surprise sekali. Kamu berubah sekali, Dit. Darimana kamu mendapatkan tubuh atletis seperti ini?" Laura kagum dengan perubahan fisik Radit yang kini tampak gagah dengan lengan berotot serta dada bidang.

Radit hanya tersipu atas pujian yang dilontarkan sang mama. Wajar saja jika mamanya kaget dengan penampilannya saat ini karna jika dibandingkan dengan lima tahun yang lalu, Radit memang sangat berubah. Jika dulu Radit adalah pria yang bertubuh tambun dengan perut yang sedikit buncit serta rambut yang urakan maka sekarang Radit adalah pria yang sangat maskulin dengan rambut yang tersisir rapi serta perutnya kotak-kotak atau sebutan kerennya six pack. Sepanjang percakapan Radit dengan kedua orangtuanya, ada banyak pasang mata terutama gadis remaja yang mencuri pandang padanya. Gadis-gadis itu seakan terhipnotis dengan proporsi tubuh Radit yang nampak sempurna ditambah lagi nilai plus ketampanan wajah Radit membuat para gadis itu enggan berkedip menikmati keindahan yang Tuhan ciptakan itu.

"Oh ya, Jelita mana ma?" Radit menoleh ke kiri dan ke kanan mencari keberadaan adik kecilnya.

"Cari makanan. Mama juga gak tau dia cari makanan dimana sampai sekarang belum balik"

"Kalau gitu papa sama mama tunggu di mobil saja. Biar aku yang cari Jelita" meskipun lelah namun radit bersikukuh ingin mencari gadis kecilnya itu. Ia ingin segera bertemu dengan sang Jelita hatinya. Selain sangat rindu, Radit juga penasaran seperti apa rupa adik kecilnya sekarang. Selama berada di New York, Jelita tak sekali pun mengirim fotonya yang sekarang kepada Radit. Jelita juga melarang kedua orangtuanya agar tidak mengirimkan foto dirinya di masa kini.

Seraya menjilat ice cream favoritnya, Jelita melangkah santai kembali ke tempat mama papanya berada. Namun begitu sampai, ia tidak melihat kedua orangtuanya itu.

"Loh papa sama mama kemana?" Jelita memutar badan, ia sama sekali tidak melihat keberadaan mereka.

"Cari siapa?" sontak Jelita berbalik, melihat pemilik suara di belakangnya.

Dan betapa terkejutnya Jelita saat melihat sosok dihadapannya.

"Radit. Lo Radit kan?" Jelita sedikit ragu karna Radit yang ada di depannya sekarang sangat berbeda dengan Radit yang ia lihat lima tahun yang lalu.

"Menurut lo?" tanya Radit balik seraya melipat kedua lengannya di dada.

Mulut jelita menganga. Ia masih tidak percaya jika pria dihadapannya beneran Radit, kakaknya.

Radit mendekatkan wajahnya pada bibir Jelita. Detik itu juga tubuh Jelita membeku kaku.

"Tutup mulut lo, malu dilihat orang" ucap Radit samar seperti orang berbisik.

Radit menyemaikan secercah senyum manisnya.

"Hmm wah lo benar-benar beda. Gue hampir saja gak ngenalin lo" ucap Jelita berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.

Radit pun meraih tubuh ramping Jelita ke dalam dekapan hangatnya. Sudah lama ia tidak memeluk gadis kecilnya yang kini sudah menjadi wanita cantik, tinggi, serta rambut hitam panjang yang tergerai indah.

Deg! Deg! Deg!

Entah kenapa tiba-tiba saja jantung Jelita berdetak lebih cepat dari biasanya. Saking kencangnya, jantungnya seperti akan mencuat dari tempatnya.

Perasaan apa ini?

***

Pukul 07.00 malam, di meja makan.

"Jelita ayo turun ntar makanannya keburu dingin" pekik Laura dari lantai satu. Seperti biasa ia harus berteriak seperti orang gila setiap kali meminta Jelita turun untuk makan malam.

"Ada apa ma, kok teriak-teriak?"tanya radit yang baru saja tiba di ruang makan.

"Biasa adik kamu. Kalau diajak makan susah banget. Kamu bisa lihat sendiri kan badannya kecil gitu" jelas Laura sembari menuangkan air putih ke dalam gelas.

"Ya udah kalau gitu biar aku saja yang panggil" Radit menaiki anak tangga menuju kamar Jelita.

Tok! Tok! Tok!

"Jelita ayo keluar. Kita makan bareng. Mama sama papa sedang menunggu kamu" Radit mengetuk pintu lagi namun Jelita tak juga membukakan pintu.

"Gue masuk ya"

Krekkkkk

"Gila ya, jadi lo dari tadi tidur. Pantas saja lo gak nyahut" sebenarnya Jelita sudah bangun namun matanya masih terasa berat sekali. Kantuk benar-benar membuat Jelita malas melakukan apapun termasuk makan malam sekalipun. Padahal makan bukanlah pekerjaan yang berat.

"Ayo bangun. Cuci muka terus makan" Radit menepuk keras pundak Jelita.

"Aww, sakit. Kasar banget sih sama cewek" rengut Jelita cemberut. "Kalian makan saja duluan ntar gue nyusul" lanjutnya parau.

"Tidak bisa, lo harus makan sekarang. Lo gak kangen apa makan bareng sama gue? Cepat bangun atau gue sendiri yang akan maksa lo turun" ucap Radit mengancam.

"Caranya?" Jelita berpegang erat di dinding ranjangnya. Ia menyiapkan diri jika saja nanti Radit menarik paksa tubuhnya.

Radit menggertakkan kesepuluh jarinya. Kemudian membungkukkan badan dan mulai menarik tubuh malas sang adik. Semakin kuat Radit menarik maka semakin erat pula Jelita berpegang.

"Oh lo mau aduh kekuatan sama gue. Ok" Radit mengumpulkan segenap tenaganya lalu meletakkan tangan kirinya di bawah kepala Jelita sedangkan tangan kanannya melingkar di pinggang ramping sang adik. Radit bermaksud membopong adiknya itu namun tiba-tiba ia hilang keseimbangan dan menindih gadis di bawahnya.

Jelita terkejut, pegangannya lepas. Radit langsung memanfaat situasi itu dengan membopong bridal tubuh sang adik.

"Lo mau ngapain. Turunin gue" Jelita memukul-mukul dada Radit.

Karena Jelita terus melawan, Radit pun berpura-pura ingin menjatuhkan Jelita. Sontak Jelita refleks mengalungkan kedua lengannya di leher Radit. Hal itu membuat wajah keduanya hampir tak bersekat.

"Lo gak akan bisa membawah gue keluar" remeh Jelita sambil tersenyum miring.

Radit terdiam sesaat. Ia terpana dengan kecantikan gadis di hadapannya. Hidung mancung serta bibir tipis Jelita membuat hasrat Radit tiba-tiba bergejolak. Perlahan Radit menurunkan wajahnya.

Jelita mengedip-ngedipkan cepat matanya. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya akan dilakukan sang kakak. Namun yang pasti saat ini wajah Radit semakin dekat padanya. Jarak yang semakin dekat membuat Jelita bisa merasakan hembusan nafas Radit dengan sangat jelas. Perasaan anehnya di bandara siang tadi kembali muncul.

"Kak, lo mau ngapain? Mau cium gue?"

Mata Radit terbelalak. Kemudian menurunkan Jelita ke atas kasur.

Ini gila!

Benar-benar gila!

Radit mengacak-acak rambutnya. "Sorry Ta, gue gak maksud gitu"

Radit menghilang di balik pintu, meninggalkan Jelita yang masih bengong di kamar.

Angin Malam

Di ruang keluarga ditemani kedua orangtua dan Jelita pastinya, Radit mulai mengeluarkan barang-barang dari koper. Macam-macam, ada sepatu, baju, jam tangan, dan lain-lain. Barang-barang itu Radit bagikan secara bergantian kepada orang yang mengelilinginya saat ini.

"Wah bagus sekali bajunya sayang. Kamu tahu aja kesukaan mama" puji Laura sambil mencium hangat kening sang putra.

"Ini untuk papa" Radit memberikan jam tangan dan sepatu kepada Surya.

Surya menyambut dengan senyum sumringah barang pemberian Radit.

Jelita memggosok-gosok telapak tangannya. Ia bersiap menyambut oleh-oleh yang akan diberikan Radit padanya. Ia yakin, sang kakak akan memberinya barang yang paling mahal bahkan lebih mahal dari yang diberikan Radit pada kedua orangtuanya. Tapi tak lama, Radit menutup kopernya. Jelita menatap aneh.

"Loh kak, oleh-oleh buat gue mana? Kok cuma mama sama papa aja yang dikasih?" Jelita menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Barangkali Radit menyembunyikan oleh-oleh untuknya di belakang. Tapi kemudian Radit berdiri.

Jelita menurunkan pandangannya. Jadi Radit sama sekali tidak membelikannya sesuatu. Padahal seminggu sebelum Radit pulang, ia sempat memesan untuk dibelikan satu buku favoritnya yang belum rilis di Indonesia. Jangankan barang mahal seperti harapannya. Bahkan pesanannyapun tidak ada. Jelita kecewa. Ia berlalu ke kamarnya dengan wajah ditekuk lesu.

"Nyebelin banget sih. Pasti dia lupa. Udah dibilangi jangan sampai lupa beli buku itu. Dasar pikun" Jelita menghentakkan kakinya ke lantai. Bibirnya menjulur ke depan menampilkan ekspresi manyun menggemaskan.

Kemudian ia berjalan menuju balkon dan menatap langit dari sana. Sebelumnya kamarnya tidak dilengkapi balkon tapi akhirnya Jelita meminta dibuatkan balkon agar ia tidak perlu repot-repot keluar kamar untuk memandang langit di malam hari. Kebetulan Jelita sangat suka melihat bintang-bintang di langit. Ia juga suka dengan udara dingin di malam hari. Apalagi setelah hujan. Wah itu udaranya sejuk banget.

"Ya sudahlah, ntar kalau bukunya sudah rilis disini, aku langsung cabut beli dah" Jelita berusaha menyemangati diri sendiri.

Sebuah buku dengan sampul berwarna putih bergambarkan setangkai mawar merah, ada di depan wajahnya.

"Kak Radit" Jelita berbalik dengan senyum merekah.

"Gue masih muda. Belum pikun" Radit menggoyangkan buku agar Jelita segera mengambil buku dari tangannya.

Ternyata Radit sama sekali tidak lupa dengan pesanan Jelita. Bagaimana mungkin ia lupa? Sedangkan orang yang paling ia rindukan selama mengecam pendidikan di New York ialah Jelita, adik kesayangannya.

"Thank you so much, kak. Ternyata lo gak senyebelin itu" seru Jelita meraih buku favoritnya.

Jelita masuk kembali ke kamarnya, duduk di kasur. Ia membuka plastik yang membungkus buku dengan tak sabar. Setelah itu Jelita larut ke dalam isi cerita dari buku yang sedang dibacanya. Ia mengabaikan Radit dan tidak tahu jika sang kakak masih ada di kamarnya.

"Suka banget ya ceritanya" Radit duduk di sebelah Jelita. Ia coba mengintip namun Jelita memiringkan badannya ke kanan.

"Apaan sih kak. Jangan ganggu deh. Kalau lo mau tahu ceritanya, ntar kalau gue udah kelar baca. Lo bisa baca sendiri. Lo mending pergi deh dari kamar gue. Gak usah ganggu gue"

Jelita membenarkan posisi duduknya lebih tegap lalu mundur ke belakang dan bersandar. Posisi seperti ini semakin membuatnya tidak ingin berhenti membaca. Radit pun mengikuti apa yang Jelita lakukan.

Hah!

Jelita membuang nafas jengah. Ia risih dengan kedua bola mata sang kakak yang terus saja memperhatikannya.

"Kak lo gak mau keluar apa dari kamar gue?"

"Gak. Gue mau tidur disini. Gue kangen banget sama lo, Ta" Radit menempelkan kepalanya di bahu Jelita. Ia memejamkan mata.

Jelita mengankat pundaknya dan menurunkannya lagi. Lalu melepas nafas berat.

"Jangan keras-keras, bau" ledek Radit tersenyum tipis.

Jelita meniupkan tangan kirinya berulang. Ia membuang nafas beruntun. Gak bau kok! Dasar si Radit resek.

"Sudah malam, waktunya tidur" tiba-tiba Radit menarik paksa buku dari tangan Jelita kemudian membuang sembarang.

Yeahhh

Teriak Jelita melengking. Matanya melotot marah.

"Kak, lo benar-benar nyebelin ya. Itu gue belum kasih tanda halamannya. Gue gak tahu sampai dimana gue bacanya. Sialan banget sih lo" Jelita menarik bantal lalu memukul secara brutal tubuh Radit.

Radit menggunakan lengan untuk melindungi wajahnya. Ia tahu Jelita pernah ikut taekwondo. Pasti tenaganya cukup kuat walaupun adiknya itu tetap saja seorang wanita. Radit bisa saja melawan namun ia kangen moment seperti ini. Dan membiarkan Jelita memukulnya tanpa henti.

"Kenapa lo gak melawan? Oh lo ngangap gue lemah gitu. Terus lo mau ngalah gitu. Gak lo harus lawan gue" kata Jelita dengan nafas tersengal.

Jelita naik ke atas tubuh Radit. Ia meraih guling lalu menekankan benda empuk itu ke wajah Radit. Tangan Radit melambai ke atas, mengisyaratkan jika ia menyerah karena mulai kehabisan nafas.

Ha...hah...haaa

Nafas kakak adik yang jarang sekali akur itu bergemuruh memenuhi ruangan. Guling yang menutupi dua lubang pernafasan Radit tadi jatuh ke lantai. Kini Jelita dibuat lelah oleh perbuatannya sendiri. Ia berbaring tak berdaya di sebelah pria yang selalu saja menganggu dan membuatnya kesal.

"Kak, gue capek banget" keluh Jelita ngos-ngosan.

"Lo cuman capek. Gue hampir mati tadi. Lo sekarang sadis banget mainnya"

"Lo sih nyebelin" timpal Jelita tak mau disalahkan.

Setelah nafas keduanya teratur kembali. Kamar menjadi senyap. Mata Radit fokus memandangi langit kamar. Begitupun Jelita.

"Kak, gue mau tidur"

"Gue juga mau tidur"

"Ya lo balik ke kamar lo, kak"

"Gue sudah bilang mau tidur disini. Memangnya gak boleh?"

"Lo serius mau tidur disini?"Jelita setengah bangun untuk melihat wajah kakaknya lebih jelas. Radit juga melakukan hal yang sama.

Keduanya saling bertatapan sejenak dalam kebisuan dan keheningan malam. Angin malam yang dingin menyeruak masuk dari arah balkon dan menerpa kulit keduanya. Radit meraih selimut yang tergeletak di ujung kasur. Kini kakak adik itu berada dalam selimut yang sama.

"Sekarang lebih hangat kan?" tanya Radit dengan tatapan dalam.

"Kak"

Seperti semilir angin yang bertiup kencang, Radit menarik punggung Jelita begitu cepat dan menenggelamkan gadis itu ke dalam relungannya.

"Lo tahu kan berapa perjalanan dari New York ke Indonesia. Bokong gue sampe sakit, duduk terus. Hah...gue ngantuk banget....

"Kalau ngantuk, tidur. Bukannya ngomong terus" ujar Jelita memotong ucapan sang kakak.

Radit tersenyum tipis lalu memejamkan matanya perlahan.

"Gue kangen banget sama lo, Ta" ucap Radit samar sebelum ia benar-benar tertidur.

"Gue juga, kak" balas Jelita dalam hati sambil mengalungkan lengannya di pinggang Radit.

Seakan menemukan tempat ternyamannya, Radit dan Jelita tidur nyenyak dalam pelukan yang menghangatkan tubuh. Udara yang dingin tak lagi menjadi penganggu. Dan justru dinginnya malam menambah moment intim kebersamaan mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!