NovelToon NovelToon

Kaulah Matahariku

Jung Yun dan Melva

Korea, musim dingin, pertengahan tahun 800an -

Jung Yun tidur melingkar di dipan gubuknya. Bocah berumur sepuluh tahun itu menggigil kedinginan sambil memeluk perutnya. Ia kelaparan.

Di musim dingin ini, seharusnya orang tuanya menghidangkan daging hasil buruan mereka. Daging sangat berguna untuk menghangatkan tubuh mereka. Namun jangankan membawa daging; beras, gandum, roti maupun sayur saja jarang dibawa pulang oleh orang tuanya. Mungkin karena semua kepala keluarga di kampung mereka semakin rajin berburu sehingga jumlah hewan pendaging di hutan mereka banyak berkurang. Dan keluarga Jung terlalu miskin untuk membeli daging. Paling ayahnya bisa membawa pulang sedikit beras atau gandum hasil membarternya dengan kayu bakar.

Sehari-hari ayah Jung Yun masih dapat menanam sayur-sayuran di halaman kecil rumah mereka, namun tanaman-tanaman itu mati dimusim dingin seperti ini. Alhasil, keluarga ini sering kekurangan bahan makanan di musim dingin.

Tok.. Tok.. Jung Yun mendengar suara pintu rumahnya diketuk. Siapa yang datang ke gubuk sederhana mereka?

Jung Yun berjalan perlahan menuju pintu rumahnya dan membukanya. Tampaklah seorang wanita yang sangat cantik, menggunakan gaun sutera berwarna putih panjang hingga kemata kakinya. Dikepalanya teranyam sebuah mahkota dari dedaunan yang diselingi bunga berwarna ungu. Wanita itu tersenyum menatap Jung Yun.

“Noona, mencari siapa?” Tanya Jung Yun sopan.

“Apa orang tuamu ada?” Tanya wanita itu.

Jung Yun menggelengkan kepalanya. “Mereka sedang mencari makanan dan belum pulang.” Ujarnya perlahan sambil mengelus perutnya yang sakit karena lapar.

“Kamu lapar?” Tanya wanita itu.

Belum sempat Jung Yun menjawab, wanita itu menunduk dan mengambil segenggam salju, lalu masuk ke gubuk sederhana keluarga Jung.

Wanita tersebut langsung melangkah menuju dapur. Dengan segenggam salju yang ia bawa, ia mempersiapkan panci dan kayu bakar. Lalu meraih tas yang ia bawa, mengeluarkan dedaunan dari tasnya. Mata Jung Yun melebar, ia baru menyadari wanita itu membawa sebuah tas berisi banyak daun sejenis sayuran.

Wanita itu langsung mengolah daun-daunan itu dengan peralatan dan bumbu sederhana yang ada di dalam dapur tersebut, menjadi sebuah menu yang aromanya menggugah selera. Mata Jung Yun tidak lepas dari wanita itu selama ia mengolah makanan.

“Makanlah.” Wanita itu meletakkan sayur hasil masakannya di piring di hadapan Jung Yun. Tanpa ragu, Jung Yun segera meraihnya dan melahapnya. Wanita itu duduk di hadapan Jung Yun selama Jung Yun makan, menatapnya sambil tersenyum.

Rasa hangat sayur itu segera menjalar dari mulut hingga perut Jung Yun. Lama kelamaan badannya pun mulai hangat, ia tidak menggigil kedinginan lagi. Pipinya juga mulai bersemu merah.

Jung Yun menatap wanita itu dengan penuh terima kasih.

“Terima kasih, Noona.” Ucap Jung Yun sambil menundukkan kepalanya, kemudian ia tersenyum.

“Kamu sudah kenyang? Sayurnya belum habis.” Wanita itu menunjuk panci yang masih berisi sayuran.

Jung Yun menggelengkan kepalanya.

“Ayah dan Ibu belum pulang, mereka masih mencari makanan. Aku tidak tahu mereka berhasil mendapatkan bahan makanan atau tidak. Jadi, sayur itu biar untuk Ayah dan Ibuku, Noona. Untukku sudah cukup.” Ujar Jung Yun perlahan.

Wanita itu tersenyum sambil mengelus kepala Jung Yun.

“Kamu anak yang sangat baik. Tidak pernah memikirkan kepentinganmu sendiri. Terimalah ini,” wanita itu menyodorkan sekantung kecil biji-bijian. “Tanamlah ini bila menjelang musim dingin, ia akan tumbuh selama musim dingin dan dapat mencukupi kebutuhan makan keluargamu. Bila nanti tanamanmu tumbuh, ambillah bijinya untuk kau tanam bila menjelang musim dingin berikutnya.” Tambah wanita itu lagi.

“Noona harus pergi.” Wanita itu beranjak dari duduknya. “Teruslah jadi anak baik, berbaktilah pada orang tuamu.” Ia mengelus kepala Jung Yun lagi.

“Tinggallah dulu, Noona, sampai orang tuaku kembali. Mereka pasti mau berterima kasih atas kebaikan Noona.” Ujar Jung Yun, menahan wanita itu agar tidak cepat meninggalkan gubuknya.

Wanita itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Waktu Noona sudah habis, jangan lupa pesan Noona ya?” Ujarnya lagi.

Jung Yun terpaksa mengangguk. “Baiklah Noona, terima kasih karena Noona sudah sangat baik padaku. Boleh aku tahu nama Noona?”

“Panggil saja aku Melva.” Jawab wanita itu sambil keluar dari gubuk keluarga Jung, lalu ia melambaikan tangannya. “Selamat tinggal Jung Yun, jadilah anak baik!” Serunya.

Jung Yun terjengat kaget. Noona tahu namaku? Aku bahkan belum memberitahukan namaku!

Namun belum sempat Jung Yun berteriak ke arah Melva, angin salju yang cukup besar bertiup hingga Jung Yun terpaksa memalingkan wajahnya. Pada saat ia melihat ke arah Melva lagi, Melva sudah lenyap.

 

...🌻🌻🌻...

... ...

Jung Yun menggenggam kantong kecil pemberian Melva. Ia masih terduduk di kursi meja makannya yang sangat sederhana. Rasanya tidak percaya, Melva muncul begitu saja dan menyelamatkannya dari kelaparan. Jung Yun terus berpikir, siapakan Melva itu? Seingatnya tidak ada kerabat ayah atau ibunya yang bernama Melva. Selain itu, gaun indah Melva menandakan kelas ekonomi Melva yang pasti jauh diatas keluarganya. Bila diperhatikan, penampilan Melva seperti putri raja yang bila sedang berjalan di jalan-jalan desanya selalu ditemani para dayangnya.

Tiba-tiba pintu rumah Jung Yun terbuka. Jung Yun menoleh, ia melihat ayah dan ibunya yang sudah pulang dengan wajah tersenyum.

“Appa! Eomma!” Jung Yun berjalan dan memeluk orang tuanya. Orang tuanya balas memeluknya dan mengelus punggungnya.

“Maaf, kami pergi lama. Kamu lapar?” Ibu menunjuk  ayahnya. “Kami menemukan bahan makanan.”

Mata Jung Yun kembali melebar. Ia melihat ayahnya menggenggam tumbuhan yang sama dengan yang tadi Melva bawa.

“Tanaman ini… Dari mana Appa dapat?” Tanyanya pada ayahnya.

“Tanaman ini tumbuh sendiri di depan pintu pagar kita. Eomma-mu sudah mengujinya, ini tidak beracun, jadi bisa kita makan.” Jawab ayahnya.

“Jung Yun.. Siapa yang baru memasak?” Tanya ibunya yang sudah berdiri disamping meja makan dan menunjuk ke panci yang masih berisi sayur.

Jung Yun segera menceritakan mengenai Melva kepada kedua orang tuanya. Ia bahkan memperlihatkan kantong kecil yang diberikan oleh Melva  dan juga menceritakan pesan Melva padanya untuk menanam biji-bijian itu menjelang musim dingin.

Kedua orang tua itu termenung bingung, siapa wanita yang datang untuk menyelamatkan anak mereka? Sudah dipastikan wanita itu bukan kerabat mereka, namun mereka sangat bersyukur akan kehadiran Melva menyelamatkan Jung Yun.

Mereka menganggap Melva sebagai titisan dewi tumbuhan. Mereka langsung berdoa untuk mengucapkan syukur dan berterima kasih untuk pertolongan Melva.

Karena daun-daunan yang dibawa oleh ayahnya cukup banyak, jadilah ibunya memasak kembali daun-daunan itu. Akhirnya hari itu, keluarga kecil ini dapat makan sampai kenyang sekaligus menghangatkan tubuh mereka.

 

🌻🌻🌻

 

Demikianlah terjadi apa yang dipesankan oleh Melva. Sejak saat itu, setiap menjelang musim dingin, Jung Yun akan menanam biji-bijian itu. Seberapa banyak pun biji yang ia tanam, tumbuhan yang dihasilkan hanya akan mencukupi kebutuhan makan keluarga itu selama musim dingin. Setelah musim dingin berakhir, tanaman itu menghilang seakan-akan mati.

Bila tumbuhan itu diberikan kepada orang lain, tumbuhan itu akan langsung layu dan tidak dapat diolah lagi. Begitupun bijinya, tidak dapat tumbuh bila bukan Jung Yun yang menanamnya dan juga tidak dapat tumbuh bila ditanam di luar pekarangan gubuk mereka. Jadilah biji-bijian tersebut akhirnya hanya dapat digunakan oleh keluarga Jung saja.

Karena itu, dari tahun ke tahun, setiap musim dingin Jung Yun selalu mengingat pertemuannya dengan Melva. Namun Melva tidak pernah muncul lagi. Jung Yun tidak dapat melupakannya, dia selalu ingat wajah Melva yang cantik, senyumannya, pakaiannya, mahkota daunnya dan masakannya. Jung Yun selalu berdoa dan berterima kasih atas kebaikan Melva yang setiap tahun selalu melindungi keluarganya dari kelaparan melalui tumbuhan itu. Seringkali Jung Yun juga menyelipkan doa, sekiranya Melva dapat datang lagi ke rumahnya. Namun hingga akhirnya Jung Yun menua dan menutup usia, Melva tidak pernah muncul lagi. Dan dengan berpulangnya Jung Yun, tanaman itu juga tidak pernah lagi muncul di pekarangan rumah keluarga Jung.

 

🌻🌻🌻

Elaine dan Ellio

Masa kini.

 

Elaine.

Seorang gadis manis yang ramah dan ceria. Ia hidup bersama papa dan mamanya di sebuah lingkungan perumahan yang tenang dan asri. Dia gadis yang ramah, orang-orang disekitarnya mencintainya.

Bencana itu datang ketika dia berusia enam tahun, ketika sebuah kejadian tidak terduga merenggut kebebasannya. Elaine mengalami kecelakaan saat karyawisata bersama teman-teman sekolahnya. Kecelakaan itu membuat sebagian sel otaknya rusak karena guncangan, dan tubuhnya menjadi ketergantungan dengan oksigen murni dan serbuk bunga matahari. Oksigen murni dan serbuk bunga matahari yang mengandung essential oil dan mineral tertentu dalam jumlah besar sangat membantu tubuhnya membentuk sel-sel otak yang baru. Tanpa sel-sel otak baru ini, Elaine sering kali tiba-tiba jatuh pingsan, tidak dapat bernafas, dan sakit kepala yang sangat membuatnya menderita kesakitan.

Musibah itu membuat selama setahun penuh Elaine tidak dapat bepergian kemanapun, ia menjalani pengobatan dan istirahat total di rumah. Kalaupun terpaksa, Elaine hanya ke rumah sakit bila kondisi tubuhnya memburuk. Selama berada di rumah, Elaine dapat bersekolah secara online atau menggunakan guru private, namun kondisi tubuhnya yang lemah membuat Elaine tidak dapat lama beraktifitas. Sebagian besar waktunya digunakan untuk beristirahat.

Keadaan Elaine membuat kedua orang tuanya bersedih. Mereka selalu berusaha mendapatkan obat-obatan yang Elaine perlukan untuk kesembuhannya, namun itu tidak mudah. Terlebih serbuk bunga matahari, jumlah yang mereka dapatkan selalu terlalu sedikit. Karena itu Elaine tidak selalu dapat menerima pengobatannya tepat waktu. Hal ini berpengaruh ke lamanya waktu yang Eline perlukan untuk pulih.

Keadaan fisiknya tidak membuat Elaine berubah menjadi anak pemurung dan penyendiri. Ia tetap menjadi anak yang manis dan ceria. Ia selalu menghibur orang tuanya dan orang-orang lain yang mencintainya namun merasa kasihan kepadanya. Elaine tidak pernah menampakkan kesedihannya, matanya yang bening dan bergerak penuh semangat serta senyumnya yang selalu menghiasi bibirnya selalu melengkapi hari-harinya, memberikan sedikit kebahagiaan dan harapan terutama pada orang tuanya. Namun dimalam hari saat orang tuanya tidak mengetahuinya, sering kali Elaine menangis karena sakit yang dideritanya, terutama saat sakit kepalanya datang.

Dua tahun kemudian, keadaan Eline mulai stabil namun ia belum sepenuhnya pulih. Secara berkala ia harus ke rumah sakit untuk mendapatkan treatment penyakitnya. Disalah satu kunjungannya ke rumah sakit itulah, ia berkenalan dengan seorang anak laki-laki yang hampir sebaya dengannya. Anak laki-laki itu bernama Ellio.

 

Ellio

Seorang anak laki-laki misterius. Kemunculannya pertama kali sebagai seorang anak kecil berusia delapan tahun di sebuah rumah sakit, tidak terlalu menarik perhatian lingkungan sekitarnya. Ia sering tampak bermain diantara tanaman yang dipelihara di kebun rumah sakit. Ia menyukai berbagai bunga-bungaan yang ditanam di taman tersebut. Terkadang ia dapat muncul juga di sekitar kolam ikan yang juga ada di rumah sakit tersebut. Didalam rumah sakit ini, memang disediakan taman dan kolam ikan yang cukup luas, sebagai tempat berjalan-jalan untuk para pasien maupun keluarga mereka.

Tidak ada yang memperhatikan Ellio di area rumah sakit ini. Para tenaga medis maupun pasien dan keluarganya sering menyangka Ellio sekedar bermain di taman sambil menunggu keluarganya yang juga dirawat di rumah sakit ini. Sebagian lagi menyangka Ellio hanya menemani orang tuanya yang sedang membesuk pasien, dan Ellio tidak dapat masuk ke area rawat pasien karena usianya yang masih kecil. Hal ini membuat Ellio semakin bebas berada diarea taman dan kolam ikan.

Ellio sedang melihat ke sebuah sudut taman, tampak seorang gadis kecil duduk diatas kursi roda. Matanya menatap segerombolan bunga mawar merah, namun jelas terlihat anak ini sebenarnya sedang melamun. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai, kulitnya putih pucat, di punggung tangannya tertancap sebuah jarum infus dan pergelangan tangannya dihiasi sebuah label pasien.

Ellio sudah sering melihat gadis itu didalam taman ini atau terkadang di pinggir kolam.  Tidak setiap hari, namun sudah beberapa kali dalam beberapa bulan terakhir.  Ellio juga hanya melihatnya secara sekilas, ia tidak menyapanya. Gadis itu juga diam saja, dia tidak menoleh ataupun menggerakkan matanya walaupun Ellio lewat disampingnya.

Ellio ingin menyapa gadis itu, namun wajah gadis itu yang sering tampak sedih membuatnya ragu. Bagaimana bila ia nantinya ditolak? Apakah gadis itu akan acuh padanya atau malah akan menjerit mengusirnya? Ellio khawatir akankemungkinan ini, karena itu ia menahan dirinya untuk mendatangi gadis itu.

Tiba-tiba seorang laki-laki dewasa datang menghampiri gadis itu, menyentuh bahunya, lalu duduk di kursi taman yang ada disamping kursi roda. Gadis itu sontak menoleh, lalu tersenyum kepada laki-laki itu.

Senyum yang manis, gumam Ellio.

“Elaine.” Ucap laki-laki itu. Ellio dapat mendengar ucapannya.

Namamu Elaine? Gumam Ellio lagi.

“Papa.” Gadis itu menggenggam tangan lelaki itu sambil tersenyum. Papa juga tersenyum setelah melihat senyum Elaine.

“Dokter sudah membuatkan ekstrak serumnya. Besok sudah siap dan sudah bisa disuntikkan ke tubuh kamu.” Papa Elaine menjawab.

“Wah, serbuknya sudah mencukupi ya, Pa? Senang sekali! Akhirnya serumnya sudah siap setelah enam bulan ya, Pa.” Senyum Elaine tidak memudar.

Papanya mengangguk. “Maafkan Papa ya, Sayang, Papa tidak dapat menyediakan obat kamu tepat waktu. Kamu sebenarnya perlu serum itu setiap bulan, Sayang, tapi sulit sekali Papa mendapatkan bahan bakunya.” Papa berbicara sambil menundukkan wajahnya, ia merasa sedih dan sedikit putus asa.

Elaine memutar kursi nodanya menghadap papanya, lalu mengulurkan kedua tangannya dan memegang pipi papanya.

“Papa sudah berusaha keras.” Ujar Elaine. “Jangan sedih, Pa. Sekali enam bulan juga cukup. Elaine ga apa kok. Elaine sudah jauh lebih baik, berkat Papa.” Tambahnya sambil tetap tersenyum.

 

Ellio mengamati interaksi ayah dan anak itu dari tempatnya duduk. Ia bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka.

Jadi dia butuh serum khusus yang langka, gumam Ellio.

Gadis itu terus bercakap-cakap dengan papanya. Senyum manisnya tidak pernah hilang saat bersama papanya, sangat berbeda dengan saat gadis itu sendirian. Apakah dia hanya berpura-pura gembira, tanya Ellio lagi dalam batinnya.

Akhirnya lelaki dewasa, yang diketahui Ellio sebagai papa Elaine, berdiri. Ia mendorong kursi roda Elaine keluar dari taman menuju dereta kamar rawat inap. Saat kursi roda itu melewati Ellio yang sedang duduk di pinggir kolam, Elaine sedikit melirikkan matanya. Saat mata Elaine bertemu dengan mata Ellio, Elaine mengangkat sedikit sudut bibirnya dan berlalu.

Ellio termenung melihat mata Elaine. Mata bulat yang begitu bersih dan polos. Ellio sangat menyukai tatapan Elaine, apalagi dikombinasikan dengan senyumnya.

Ellio berjanji akan menyapa Elaine pada pertemuan mereka berikutnya. Semoga saja kekhawatirannya tidak terbukti dan Elaine dapat menanggapi sapaannya dengan ramah.

Aku Sakit

“Halo.”

 

Eline yang sedang duduk di kolam ikan besar menoleh, ketika sebuah suara terdengar menyapanya. Ia melihat seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya, sedang menatapnya sambil tersenyum. Matanya yang menatap Elaine bersinar ramah, senyumnya menampakkan lesung di pipi kanannya. Rambutnya yang terpotong rapi, sedikit melambai-lambai dibelai angin.

 

Anak itu mengulurkan tangannya. “Aku Ellio.” Ucapnya.

 

Eline terdiam menatap tangan Ellio yang terulur, namun kemudian ia tersenyum lalu menyambut uluran tangan itu setelah ia sejenak berpikir.

 

“Aku Elaine. Kita sudah pernah bertemu, di taman dalam ya?” Tanya Elaine. Ellio menganggukkan kepalanya.

 

“Iya, kita bertemu bulan lalu, di taman dalam.” Jawab Ellio. “Kamu masih ada dirumah sakit ini, belum selesai opname?”

 

Elaine tersenyum tipis.

 

“Aku drop kemarin. Jadi semalam masuk ke sini lagi.” Ucapnya dengan nada datar, seakan-akan ini adalah hal yang biasa.

 

“O… Memangnya kamu sakit apa?” Tanya Ellio.

 

“Aku kekurangan sel otak.” Jawab Elaine tenang sambil mengamati wajah Ellio. Ia ingin tahu, apakah ada pancaran rasa kasihan seperti yang biasa ia dapatkan dari orang-orang yang baru mengetahui penyakitnya. Namun, rasa kasihan itu tidak ada diwajah Ellio. Ia hanya menganggukkan kepalanya.

 

“O… Begitu. Bawaan dari lahir?” Tanyanya lagi.

 

Elaine menggelengkan kepalanya. “Aku mengalami kecelakaan.” Katanya lagi, sambil memperhatikan penampilan Ellio. Kaus tshirt yang agak kotor terkena tanah, celana pendek jeans yang juga sedikit terkena tanah, sepatu kets. Penampilan yang sederhana, namun melihat pancaran mata Ellio yang tulus, Elaine merasa Ellio tidak berbahaya. Ellio sepertinya dapat dijadikan teman.

 

“Mau kuceritakan?” Sambung Elaine lagi, lalu menatap mata Ellio sambil tersenyum. Ellio ikut tersenyum dan menganggukkan kepalanya, lalu duduk di conblock yang dipergunakan sebagai pembatas taman.

 

Elaine menceritakan kejadian yang menimpanya pada saat karyawisata dua tahun yang lalu. Ellio mendengarkannya tanpa menyelanya sama sekali. Sesekali ia hanya menganggukkan kepalanya.

 

“Serbuk bunga matahari?” Ujarnya ketika Elaine menceritakan mengenai pengobatan yang ia butuhkan. Elaine menganggukkan kepalanya.

 

“Begitulah, Papa selalu berusaha mencarinya tapi sangat sulit. Kamu bayangkan saja, dalam satu kuntum bunga matahari, berapa banyak serbuk yang bisa dihasilkan? Itu terlalu sedikit. Bahkan sampai Papa menghubungi perkebunan bunga mataharipun, serbuk yang dikumpulkan tidak bisa cukup untuk kebutuhanku sebulan. Kadang baru tiga sampai empat bulan, aku mendapatkan serumnya. Yang terakhir kemarin, malah enam bulan.” Ujar Elaine lagi sambil matanya menatap riakan awan dilangit.

 

“Tapi aku ga apa.” Sambungnya sambil menoleh kearah Ellio, lalu tersenyum. “Aku hanya perlu bersabar menunggu. Papa selalu berusaha, aku hanya perlu bertahan sedikit lagi. Dengan seperti ini saja, perkembanganku sudah sangat baik.”

 

Ellio menatap wajah Elaine yang tersenyum, ia kembali ikut tersenyum.

 

“Kamu hebat, kamu kuat. Kamu pasti bisa sembuh. Mulai saat ini, kita berteman, ya? Aku akan selalu menunggu kamu di sini. Kapan saja kamu berobat, kita bisa bertemu. Terserah kamu mau cerita atau bermain apapun, aku akan temani kamu.” Ujar Ellio sambil mengulurkan jari kelingkingnya.

 

Elaine tersenyum lagi, matanya yang menyipit membuat wajahnya yang putih semakin manis saat tersenyum. Ellio terpaku saat Elaine juga mengulurkan kelingkingnya dan mengaitkannya ke kelingking Ellio.

 

“Aku pegang janjimu. Mulai sekarang, kita berteman ya? Jangan lupa temani aku setiap kali aku disini.” Senyum Elaine lagi.

 

Mereka lalu duduk berdampingan sambil menatap ke kolam ikan dihadapan mereka. Ellio tetap duduk di conblock, Elaine duduk di kursi rodanya. Mereka bercerita macam-macam, mulai dari kegiatan sehari-hari Elaine, mata pelajaran yang Elaine pelajari saat ini, bahkan karakter guru private-nya juga Elaine ceritakan. Sesekali Ellio menimpali cerita Elaine dengan leluconnya, membuat Elaine tertawa tergelak-gelak. Ternyata Ellio sangat pendai memutarbalikkan cerita Elaine hingga akhirnya Elaine tertawa kegelian.

 

“Elaine?” Suara seorang pria terdengar dari belakang mereka. Mereka menoleh serentak, melihat kearah papa Elaine yang sedang menatap aneh ke mereka. Baru kali ini papa Elaine mendengar putrinya tertawa begitu gembira tanpa dibuat-buat. Selama ini, papa sebenarnya tahu bahwa Elaine selalu menyembunyikan kesedihannya dan menutupinya dengan senyuman.

 

Papa Elaine sontak menatap Ellio yang baru kali ini dilihatnya. Siapa anak ini? Kenapa Elaine bisa begitu gembira bersamanya?

 

“Papa!” Senyum Elaine, menyambut kedatangan papanya. Ia lalu menunjuk pada Ellio, “Kenalkan, Pa, ini teman Elaine, namanya Ellio. Ellio, ini papaku.” Elaine juga mengenalkan Ellio pada papanya.

 

“Selamat sore, Om.” Ellio menyodorkan tangannya, mengajak papa Elaine bersalaman. “Saya Ellio. Apa kabar, Om?” Sambungnya lagi.

 

“Oh, halo, Ellio. Saya papanya Elaine, panggil saja Om Dylan.” Ujar Om Dylan sambil menjabat tangan Ellio. “Dengan siapa kamu disini?” Tanya Om Dylan lagi kepada Ellio.

 

“Dengan mama, Om. Mama sedang diatas, membesuk oma.” Jawab Ellio.

 

Om Dylan menganggukkan kepalanya, lalu mengalihkan pandangannya kepada Elaine. “El, kita kembali kekamar ya? Sebentar lagi dokter akan datang.” Lalu beliau menolehkan wajahnya ke Ellio. “Ellio, kami pamit dulu ya, besok baru main-main lagi.” Sambungnya.

Ellio mengangguk, lalu menatap Elaine. “Aku akan datang lagi besok.” Katanya sambil tersenyum, memandang dalam ke mata Elaine. Elaine tertegun sejenak, lalu tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

 

“Aku tunggu.” Jawab Elaine.

 

Kening Om Dylan berkerut.  Apakah anak ini akan menjenguk omanya lagi besok? Kenapa ia berjanji pada Elaine, kalau dia tidak datang besok bukankan Elaine akan sedih?

 

Namun Om Dylan tidak mengucapkan apa-apa lagi, dia langsung memutar kursi roda Elaine dan mengarahkannya ke kamar rawat inap Elaine. Elaine dan Ellio saling melambaikan tangan, mereka berharap bisa berjumpa lagi besok.

 

Ellio memandang punggung Om Dylan dan Elaine yang mulai meninggalkan taman itu. Mata Ellio berkaca-kaca.

 

Demi aku, kamu berkorban sampai seperti ini.

Sudah lama aku nantikan perjumpaan ini,

ribuan tahun aku menanti.

Tapi sekalinya kita bertemu, kamu berada dalam kondisi tersakiti.

Pengorbananmu, akan kugantikan berpuluh-puluh kali lipat.

 

🌻🌻🌻

“Siapa anak itu?” tanya Papa Dylan kepada Elaine.

 

Elaine menggelengkan kepalanya. “Baru bertemu tadi, Pa.” Jawabnya pelan.

 

“Hati-hati ya, Nak,” mama Angel, yang adalah mama Elaine, memperingati putrinya, “Kita  harus tetap waspada, jaga diri kita sendiri baik-baik. Jangan gampang percaya pada orang lain.”

 

Elaine menekur, mempermainkan jarinya. Ya, kenapa aku cepat percaya pada Ellio? Siapa dia sebenarnya?

 

Elaine mengingat-ingat lagi, tadi selama ngobrol dengan Ellio, mereka lebih banyak membicarakan tentang Elaine. Elaine tidak mengetahui apapun tentang Ellio, yang diketahuinya hanya Ellio bersama mamanya sedang menjenguk omanya di rumah sakit ini. Aku harus bertanya lebih banyak tentangnya, batin Elaine. Namun demikian, kesan yang ditinggalkan Ellio masih bisa membuat Elaine tersenyum. Elaine juga merasa aman bila dekat dengan Ellio, walaupun mama telah memberikan peringatannya.

 

“Ya, Ma.” Akhirnya hanya itu yang keluar dari bibir Elaine. Ia mengingatkan dirinya sendiri untuk bertanya dengan Ellio mengenai dirinya sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!