Suara gemuruh dari derasnya hujan yang didampingi oleh pergolakan petir di langit, membuat kegelapan semakin mencekam. Terdengar suara langkah tergesa disertai napas yang terengah seperti terburu-buru. Tampak bayangan yang bergerak dari dinding kontainer yang disusun menumpuk sebuah dermaga kota Jakarta Utara, Tanjung Priok.
"Hah, hah, J. Kita tak mungkin bisa pergi lebih jauh lagi. Kita menjauh dari jalan besar," ucap salah seorang gadis dengan tubuh basah kuyup.
"Kita memang harus menjauh dari jalan besar. Mereka mengepung kita. Harus bersembunyi, kita harus sembunyi. Ayo!" ajak seorang pria mengenakan topi hitam untuk menghalau tetesan hujan yang mengaburkan pandangannya.
Dua orang itu saling bergandengan tangan dan terus berlari menyusuri koridor komplek kontainer menuju ke tepi laut. Mereka terpaksa memasuki wilayah tersebut karena dikejar oleh tiga orang yang menginginkan nyawa keduanya. Gadis cantik berambut hitam panjang itu tampak tegar di tengah kepanikan yang sedang mengancam nyawa mereka.
Hingga tiba-tiba, "Jono!" teriak si gadis cantik saat matanya mendapati seseorang muncul dari balik kontainer.
Jono yang tak sigap, terlambat untuk bergerak. Namun, gadis berambut panjang itu dengan cepat memutar tubuhnya dan memeluk sang kekasih.
DOR!
"Hah!" kejut pria yang dipanggil Jono saat melihat wajah gadis di depannya berkerut seolah terjadi hal buruk padanya.
DOR! DOR! DOR!
"Tidak! Riska! Riska!" panggilnya panik dan langsung memegangi tubuh gadis cantik itu saat akan roboh di pelukannya.
Mata Jono membulat penuh. Ketakutan, kehilangan, kesedihan, dan panik menerjang hatinya saat itu juga.
"Hah, Riska! Riska!" panggil Jono untuk kesekian kali saat ia mulai sadar jika nyawa sang kekasih sudah diujung tanduk.
Pria bertopi itu dengan sigap menarik tubuh Riska yang terkulai lemah dan mata semakin meredup karena luka tembak di punggung.
"Riska ...," panggil Jono dengan wajah berkerut saat melihat wajah sang kekasih pucat ketika ia menyenderkan di dinding sebuah kontainer.
"Selesaikan ... atau kau akan terjebak di sistem ini untuk selamanya. Maaf ... aku tak bisa menemanimu la ...."
Praktis, mata Jono melebar usai mendengar ucapan sang kekasih yang tiba-tiba saja terhenti tak dilanjutkan lagi.
"Tidak, tidak! Riska, Riska! Arghh!" teriaknya meluapkan seluruh kesedihan ditengah hujan lebat mengguyur wilayah itu.
Jono memeluk gadis yang sangat dicintainya penuh dengan deru penyesalan. Mata si gadis cantik terpejam dengan tubuh lunglai yang pasrah ketika ajal sudah menjemput akhir hidupnya. Di tengah duka yang sedang menyelimuti hati Jono, tiba-tiba mata pria itu melebar saat ia merasakan sebuah benda keras menempel di kain topinya. Jono mematung seketika.
"Tak usah sedih. Kau akan menyusulnya. Berterima kasihlah padaku kemudian, Jono," ucap pria itu seraya menodongkan moncong pistol di kepala belakang pria bertopi tersebut.
Jono memejamkan mata dan menatap wajah Riska yang basah tersiram air hujan dengan pandangan sendu. Saat ia memilih pasrah, tiba-tiba saja jam tangan di pergelangan tangannya berkedip. Jono melirik dan melihat lampu pada layar jam tangan menunjukkan angka tiga. Wajah Jono serius seketika.
"Jadi ... terima kasih ya? Baiklah," jawab Jono dengan wajah tertunduk seraya meletakkan tubuh Riska perlahan dan meluruskan kakinya.
Pria itu masih mengarahkan moncong pistol ke kepala Jono. Namun, tiba-tiba ....
DUAKK!! SRAKK!!
"Argh!" erang lelaki berpakaian hitam itu saat Jono tiba-tiba membalik tubuh dan memukul tangannya yang menggenggam pistol menggunakan sebuah sepatu.
Jono ternyata melepaskan sepatu yang dikenakan Riska dan menjadikannya senjata. Sepatu Riska memiliki hak tebal dan cukup kuat untuk menghajar wajah seseorang hingga lebam. Pistol tersebut jatuh dan Jono dengan sigap menendangnya jauh karena pria itu hampir mengambilnya lagi.
"Sistem level 3! Aktifkan!" ucapnya seraya menekan layar jam tangan di mana terlihat angka 3 digital di sana.
Pria berpakaian hitam itu terkejut saat tiba-tiba saja penampilan Jono berubah karena dua tangannya berlapis besi layaknya sarung yang terlihat sangat kuat.
"Hargh!"
BUAK!!
"Ugh!" erang pria itu saat Jono meluncurkan kepalan tangan kanan besi ke wajahnya.
Pria itu langsung jatuh tersungkur dan meringkuk di atas tanah mengerang kesakitan karena hidungnya patah.
"Argh! Argh! Dia di sini! Dia di sini!" teriak pria itu seraya memegangi hidungnya yang berdarah hebat.
Jono panik saat melihat dua orang muncul lalu berlari kencang ke arahnya menggunakan kemampuan yang sama sepertinya. Tangan besi.
"Sial!" teriak Jono panik dan kembali berlari.
Jono dikejar oleh dua orang yang menginginkan kematiannya. Jono terpaksa meninggalkan mayat Riska karena tak ada gunanya lagi ia menangisi kematian kekasihnya itu. Jono melihat ada beberapa benda terbuat dari besi di depannya seperti tumpukkan rongsokan. Ia bergegas mendatangi benda-benda itu lalu mengambilnya.
BRANGG!!
"Argh!" erang salah satu pria saat Jono melemparkan sebuah drum bekas ke arah pria tersebut.
Lawannya yang tak siap, tak bisa menghindari serangan. Ia terhantam drum tersebut dan jatuh terjungkal. Jono terus melakukan aksi perlawanan dengan gencar, tapi kali ini pria terakhir itu cukup tangguh saat menghindari dan menangkis benda-benda yang dilemparkan ke arahnya.
"Argh! Sialan kau, Adit!" teriak Jono marah dengan sosok pria bernama Adit yang sedang dilawannya.
Namun, Adit terlihat masa bodoh dan terus bergerak maju untuk melawan Jono. Saat Jono melemparkan sebuah pot tanah liat bekas, Adit dengan sigap menangkapnya dengan dua tangan. Praktis, mata Jono melebar.
"Senjata makan tuan!" teriak Adit seraya melemparkan pot itu ke arah Jono.
PRANGG!!
"Argh!" rintih Jono saat wajah dan kepalanya terkena pot tersebut hingga pecah.
Jono linglung dan terhuyung ke belakang, tapi hal itu dimanfaatkan oleh Adit untuk menghajarnya.
BUAKK!!
"Ergh!" erang Jono saat sebuah pukulan dari tangan besi menyerang perutnya.
Pukulan demi pukulan menyakitkan terus menghujani tubuh Jono hingga darah tersembur dari mulutnya.
"Ohok! Hah, hah ...."
BRUKK!
Jono jatuh dengan mata terbuka dan tubuh tengkurap. Adit berdiri gagah menatap Jono yang masih bergerak meski terlihat tak mampu bangkit lagi karena babak belur. Tak lama, dua pria yang terluka karena ulah Jono merapat. Mereka tampak membenci pria berambut hitam itu. Saat pria dengan hidung patah mengarahkan moncong pistol ke tubuh Jono, tiba-tiba ....
"Hanya aku yang boleh membunuhnya. Dia targetku," ucap Adit seraya menangkap pistol yang siap dilontarkan pelurunya.
"Aku yang lebih dulu menemukannya," ujar pria dengan hidung patah menatap Adit bengis.
Jono melihat kesempatan untuk meloloskan diri. Ia merangkak perlahan saat tiga orang yang bernafsu membunuhnya sedang berdebat untuk melakukan eksekusi kematian itu. Jono menguatkan fisik dan mentalnya lagi untuk bangkit. Ia berhasil dan jalan tergopoh menahan sakit di tubuhnya di mana dirinya merasa mengalami retak di tulang dada dan kaki karena rasa nyeri luar biasa yang membuatnya kesulitan berjalan. Saat Jono berhasil sampai ke persimpangan ....
"Dia kabur!" teriak salah satu pria menunjuk ke arah Jono.
Praktis, mata Jono melebar saat membalik tubuhnya.
DOR! DOR! DOR! BYURR!!
Jono mendapatkan luka tembak di tubuh bagian depannya. Jono yang shock karena serangan tak terduga itu membuatnya jatuh begitu saja ke lautan dengan mata terbuka melihat tiga orang di depannya mengarahkan pistol ke tubuh.
Ini ... sudah berakhir ... aku tamat, ucapnya dalam hati saat melihat luapan air dan merasakan dinginnya air laut menyeruak di sekeliling.
***
Welcome again my beloved LAP. Kwkwkw ngmg apa sih gue. Dan lagi, karya entah keberapa lele sajikan untuk kalian. Semoga suka dan jangan lupa serahkan semua harta kalian ya. Oia, novel ini gak berkaitan dg novel manapun dan jadwal update mulai rutin setelah King D tamat ya. Harusnya ini novel ikut lomba cuma waktunya gak keburu jadi lele publish mandiri aja. Tengkiyuw lele padamu.
Jono memejamkan mata, pasrah dengan hidupnya yang sudah bagaikan di neraka karena hampir tak pernah merasakan bahagia sejak memasuki sistem. Hanya Riska, gadis cantik yang baik hati alasannya tetap bertahan. Riska memotivasinya agar bisa menyelesaikan misi dan keluar dari sistem yang bernama Top of The World. Riska yang awalnya menganggap permainan dalam sistem adalah tipuan dan akal-akalan Jono untuk merayunya, mulai mendukung usai Jono membuktikan jika semua perkataannya adalah fakta.
Namun, sang kekasih telah pergi untuk selamanya. Jono terpuruk dan merasa sendiri. Tak ada lagi yang ia kasihi usai kematian sang ayah beberapa tahun silam.
Aku akan bertemu denganmu Riska ... ibu ... ayah ..., ucapnya dalam hati dengan mata terpejam rapat.
Pria itu merasakan tubuhnya yang dingin dan basah mulai hangat. Malah, terasa gerah seperti berkeringat. Jono yang merasa tak nyaman karena seperti dijemur di bawah terik matahari mulai membuka mata.
Eh, inikan ...?
Jono bingung. Ia sangat yakin jika sebelumnya tercebur ke dalam lautan, tapi kenapa sekarang berada di pinggir jalan dengan matahari menyilaukan mata? Jono semakin kebingungan saat merasa tubuhnya lebih pendek dari biasanya. Hingga sebuah bus pariwisata warna merah melintas di depannya perlahan karena ada polisi tidur. Seketika, matanya terbelalak lebar.
SD? Kenapa gue pakai seragam merah putih? Dan ... agh! Kenapa gue gak bisa gerakin tubuh? erangnya dalam hati di mana ia merasa jiwanya terperangkap dalam tubuh saat ia duduk di bangku sekolah dasar.
Saat Jono berusaha keluar dari raganya, tiba-tiba saja dirinya yang masih kecil berjalan menjauh dari sekolah menuju ke sebuah wilayah sepi komplek perumahan. Jono yang bingung dengan dirinya, akhirnya pasrah dan memilih untuk menuruti naluri masa kecilnya.
Ngapain bengong di sini? Pulang woi! Bego banget sih gue. Dasar bocah, gerutu Jono pada dirinya sendiri di mana raga anak lelaki berdasi dan bertopi merah itu tampak seperti menunggu seseorang karena kepalanya menoleh ke kanan ke kiri.
Jono yang kesal dan tersekap di dalam tubuh kecilnya itu, akhirnya mulai menyadari jika kejadian pada hari ini, seperti kisah masa lalunya saat masih duduk di bangku kelas 5 SD.
Tunggu, tunggu. Gue kayaknya pernah ngalamin hal ini. Dejavu? batinnya dengan kening berkerut.
Jono yang sudah dewasa dan kini menginjak umur 25 tahun diam sejenak. Ia mencoba mengingat masa-masa mengenakan seragam merah putih. Lama ia berpikir hingga seketika, matanya melebar.
Oh! Inikan saat bapak ....
Benar saja. Tiba-tiba, muncul sosok lelaki dengan pakaian kumal dan berkeringat hebat sedang berlari kencang mendatangi Jono kecil. Wajah Jono kecil berbinar saat ia melihat kedatangan orang yang dari tadi ia tunggu. Ya, sang ayah yang bernama Slamet Rahardjo.
Saat Jono memeluk sang ayah sebagai salam penyambutan, pak Slamet langsung melepaskan pelukannya. Jono kecil menatap wajah sang ayah lekat karena terlihat letih dan panik akan sesuatu. Sedang Jono yang telah dewasa dan rohnya terperangkap dalam tubuh kecilnya, menatap sang ayah dengan mata berlinang karena sangat merindukannya.
"Jon, bapak minta maaf gak bisa tepatin janji sama ibumu untuk mensejahterakan hidupmu setelah dia meninggal. Yang bapak lakukan ini terpaksa untuk melanjutkan hidupmu kelak. Bapak lihat kamu anak yang cerdas, punya inisiatif dan mandiri. Bapak percaya kalau kamu akan baik-baik saja tanpa bapak," ucap pak Slamet seraya memberikan sebuah tas baru untuk anaknya karena dibungkus dengan plastik bening bermotif dan terdapat pita sebagai pengikat.
"Maksud Bapak apa?" tanya Jono bingung ketika sang ayah membuka plastik itu lalu memakaikannya tas ransel warna biru bergambar Ultraman—tokoh favoritnya.
"Selamat ulang tahun, Jon. Bapak sayang banget sama kamu. Maaf, bapak cuma bisa kasih kamu tas ini. Namun, isi tasnya akan cukup sampai kamu besar nanti. Jadilah anak yang kuat dan berbudi. Bapak sayang kamu, Nak. Akan bapak sampaikan pada Ibu kalau kamu tumbuh jadi anak yang hebat," ucap ayah Jono dengan wajah berlinang saat memegang dua pipinya.
"Pak ...?" panggil Jono bingung.
"Sudah! Cepat pulang! Gak usah tunggu bapak. Lari! Cepat!" pinta sang ayah memaksa.
Tubuh Jono didorong oleh pak Slamet agar menjauh dari jalan utama. Jono kecil bingung karena permintaan sang ayah tak biasa dan ia seperti terburu-buru akan sesuatu. Pak Slamet terus melihat ke tiap sudut wilayah yang sedang sepi itu seperti ingin memastikan sesuatu. Akhirnya, Jono menurut dan mulai berjalan seraya memegang tali tasnya erat meski kebingungan masih melanda hatinya.
Tidak! Jono stop! Jangan pergi! pekik Jono dewasa berusaha menahan langkah kecilnya yang terus melaju di trotoar jalanan komplek meski kepalanya berulang kali menoleh ke belakang di mana sang ayah masih berdiri menatapnya dengan wajah sedih, tapi tersenyum.
Tiba-tiba saja ....
"Mana pengkhianat itu?" pekik seorang pria di kejauhan seperti mencari seseorang.
"Lari, Jono! Lari! Jangan pernah menoleh ke belakang! Terus lari sampai rumah!" seru pak Slamet dengan mata melotot.
Jono panik, tapi mengikuti perintah ayahnya. Jono berlari kencang seraya menggendong tas ransel barunya.
"Itu dia! Tangkap pengkhianat itu!" seru seorang lelaki memberikan titah, tapi hal itu membuat Jono menghentikan langkah dan menoleh.
Seketika, matanya melebar saat melihat sang Ayah dikejar oleh belasan orang seperti akan dihajar. Saat Jono akan mengejar sang ayah, tiba-tiba ....
TIN! TIN!
"AAAA!" teriak Jono terkejut dan spontan berjongkok seraya memegangi kepalanya karena takut.
Jono memejamkan mata saat sebuah mobil SUV hitam melaju kencang di jalanan aspal yang sepi ketika akan memasuki sebuah komplek perumahan baru.
"Apa anak itu tertabrak?" tanya seorang lelaki langsung keluar dari pintu kemudi dan berjalan tergesa menuju ke bagian depan mobil.
Spontan, mata orang itu melebar, tapi lega karena anak lelaki berpakaian seragam SD merah putih lengkap dengan topi dan juga dasi selamat. Lelaki itu lalu berjongkok di sampingnya dan tersenyum.
"Hei, kamu ngapain di situ? Om gak bisa lewat nih mobilnya," ucap seorang pria yang membuat Jono langsung membuka mata meski tubuhnya gemetaran.
Jono kecil terkejut saat mendapati seorang pria berparas rupawan dengan pakaian elit layaknya orang kantoran sedang menatapnya dengan senyuman. Jono malah terpaku dan memandangi pria itu lekat.
"Hampir saja om tabrak. Kamu hati-hati kalau mau nyebrang, meskipun tempat ini sepi. Cepat pulang ke rumah. Nanti dicari orang tuamu lho," ucap pria itu seraya berdiri lalu mengusap kepala Jono.
Jono kecil mengangguk dengan gugup. Ia segera pergi untuk kembali ke rumah. Langkahnya semakin cepat setelah teringat akan ayahnya yang sedang dikejar oleh sekumpulan orang tak dikenal, tapi bergaya preman.
***
ILUSTRASI
SOURCE : GOOGLE
uhuy makasih tips koin pertama dari diriku😆 kwkwkw. up ini dulu baru ke King D. berkas menumpuk soalnya. jangan lupa rate bintang 5 dan komen dukungannya ya. tengkiyuw💋
Di masa lalu. Dunia Jono kecil saat duduk di bangku kelas 5 SD.
CEKLEK!
"Assalamualaikum! Pak, Bapak?" panggil Jono kecil seraya membuka sepatu dan meletakkannya dengan rapi pada rak plastik teras rumah kontrakan.
Jono dewasa terdiam. Kenangan masa lalu membuatnya kembali merasakan pilu dan haru. Ia memilih mengikuti ke mana alur membawanya kali ini, meski tak dapat dipungkiri dirinya bingung kenapa bisa terjebak di kehidupan masa lalu dan terperangkap di tubuh kecilnya.
Apa maksud dari semua ini? tanya Jono dalam hati penuh pertanyaan.
Jono kecil melepaskan tas ransel dan masuk ke rumah sederhana itu mencari keberadaan ayahnya. Namun, ayah Jono tak ada. Jono makin khawatir, tapi ia selalu ingat dengan pesan sang ayah saat sudah tiba di rumah. Jono dengan sigap melepaskan seragamnya lalu memasukkan ke dalam ember untuk dicuci.
Ada beberapa pakaian kotor milik sang ayah yang sudah ditumpuk pada sebuah ember kecil. Jono hanya memakai celana dalaam saat mencuci pakaian-pakaian itu di kamar mandi secara manual dengan tangan karena tak memiliki mesin cuci. Jono mampu bekerja dengan dua jenis pekerjaan sekaligus seraya memasak nasi menggunakan panci. Beras murah seharga 7000 rupiah per liter sudah membuat Jono kenyang hanya berlauk telur dadar sebagai menu makan malamnya.
Ia sudah bisa memasak meski hanya beberapa dari ajaran sang ayah. Jono sudah bisa hidup mandiri selama 5 tahun usai kepergian sang ibu untuk selamanya akibat sakit. Sampai Jono telah selesai makan malam bahkan menjemur pakaian, sang ayah tetap belum kembali. Jono mulai cemas karena waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam.
Jono ingin keluar rumah untuk mencari keberadaan sang ayah, tapi ia ingat jika tak usah menunggu kepulangannya. Jono tak ingin membebani pikiran dengan berburuk sangka kepada nasib ayahnya. Jono kembali ke kamar untuk menyiapkan buku pelajaran esok hari. Namun, ia teringat akan tas baru pemberian sang ayah.
"Ultraman ... kamu jagoanku," ucapnya dengan wajah berbinar.
Senyum anak lelaki itu terkembang karena mendapatkan tas baru seperti yang diinginkannya kala itu. Diraba dan dielusnya gambar Ultraman karena dianggap pahlawan olehnya. Jono yang penasaran dengan isi tas karena terasa berat bergegas membukanya. Hingga seketika, matanya melebar saat melihat setumpuk uang dalam tas itu dan ada selembar kertas di sana. Jono segera mengambil kertas itu dan membacanya.
Jono, bapak minta maaf. Bapak sangat menyesal, tapi ... uang ini bisa menyelamatkan hidupmu. Bapak tahu kau anak yang tak bisa dibohongi. Kamu selalu tanya kenapa bapak sering pergi dan baru kembali ketika akhir pekan. Maaf jika saat itu bapak bohong dengan mengatakan kerja sambilan mencari rongsokan keluar kota. Yang sebenarnya adalah, bapak kerja untuk seseorang yang memiliki banyak sekali uang. Tas kamu yang berisi uang-uang itu adalah hasil kerja keras bapak untuk hidupmu sampai kau temukan pekerjaan yang cocok ketika dewasa nanti. Hanya saja ternyata, bapak bekerja pada orang yang salah. Dia itu penjahat dan kini bapak dalam masalah. Jadi, jika bapak tak pulang, bapak minta maaf. Jaga uang itu baik-baik dan selesaikan sekolahmu apa pun caranya. Ingatlah untuk selalu menjadi pria yang berbudi, sopan, santun dan menghargai perempuan. Hanya itu saja harapan bapak. Maafkan bapak kalau tidak bisa pulang dan mendampingimu hingga dewasa nanti. Bapak dan Ibu sayang padamu. Slamet Rahardjo.
Praktis, mata Jono melebar. Ia membaca surat itu berulang kali untuk memastikan pesan yang terkandung dalam tiap kalimat. Seketika, mata Jono berair. Ia sesenggukan dengan air mata menetes. Ia memegang surat itu erat dengan tangisan dan tubuh gemetaran.
"Bapak ... bapak ...," panggilnya yang tak bisa beranjak dari dudukkannya di lantai.
Jono hanya bisa menangis seolah tahu jika sang ayah tak mungkin pulang ke rumah. Jono menangis sendirian di kamar seraya memeluk guling yang biasa dipakai oleh sang ayah ketika tidur bersamanya di atas kasur kapuk tipis bagaikan matras. Jono terus memandangi pintu dan berharap, sebuah keajaiban muncul dengan sang ayah kembali pulang. Jono yang lelah menunggu hingga air matanya kering, mulai memejamkan mata dan tertidur lelap.
Dia tak akan pulang. Tak usah berharap, Jono ..., ucap Jono dewasa pada dirinya sendiri dengan pandangan tertunduk dan rasa sesak di dada.
Lelaki itu berusaha melupakan kejadian pilu tersebut seumur hidupnya. Namun, kenangan kelam itu kembali padanya seperti mengisyaratkan sesuatu. Hingga pagi menjelang dengan suara ayam berkokok, Jono masih tak mendapati kehadiran sang ayah. Malas rasanya bagi bocah itu untuk pergi sekolah.
Biasanya, Jono selalu semangat karena ingin membuat bangga sang ayah karena sudah lelah bekerja dengan nilai hasil ujian yang memuaskan. Namun baginya, hal itu sudah tak penting lagi. Ayahnya tak pulang. Tak ada gunanya ia memamerkan nilai ujiannya meski memperoleh nilai 100.
Jono melangkah dengan lesu ke kamar mandi saat teringat pesan sang ayah agar terus sekolah apa pun caranya. Jono yang sedih, akhirnya tetap bersiap untuk ke sekolah. Ia berjalan gontai dan hanya minum teh manis hangat seraya menghabiskan sisa telur dadar yang sudah ia goreng untuk makan malam ayahnya. Namun, Slamet yang tidak pulang, membuat Jono menghabiskan jatah sang ayah dengan nasi dingin karena tak memiliki magicom di rumah.
"Assalamualaikum," ucap Jono saat melangkah keluar dari rumah lalu mengunci pintu.
Ia tahu jika sia-sia saja meninggalkan salam karena tak ada orang di rumah kontrakannya tersebut. Jono berjalan dengan gontai tanpa semangat hingga ia melewati warung kopi dekat sekolah. Langkah Jono terhenti ketika menonton berita di televisi berlayar cembung mengenai kasus kriminal.
"Pasti dibunuh itu. Yakin gue," ujar salah satu pengunjung warung dengan wajah serius.
"Mayatnya kaya gelandangan gitu ya? Liat aja dari cara berpakaiannya. Cuma tetep aneh loh, Kang. Kalo gembel, apa untungnya mampusin orang gak guna kaya gitu?" sahut seorang pria berkumis menanggapi berita yang mereka tonton dengan antusias.
"Hah, hah, Ba-bapak? Bapak!" teriak Jono histeris di depan warung yang mengejutkan semua pelanggan.
Praktis, kepala para pelanggan warung menoleh saat mendapati seorang anak lelaki berpakaian seragam menangis dengan mata terpejam.
"Kenapa tu bocah?" tanya seorang lelaki yang memakai seragam layaknya sopir ojek online.
"Harghh! Hargg! Bapak! Bapak!" teriak Jono dengan mata terpejam dan air mata mengalir deras. Tubuhnya tegang dan berkeringat hebat.
Orang-orang segera mengerubungi bocah lelaki yang tampak shock akan sesuatu. Jono coba disadarkan, tapi tubuhnya kaku bahkan ototnya sampai menegang yang terlihat jelas dari balik kulitnya.
"Ademin, ademin! Bawa ke dalem dulu cepet!" pinta salah satu pria memakai seragam satpam yang menjadi salah satu pelanggan warung.
Jono dibopong beramai-ramai dan didudukkan. Namun, Jono yang larut dalam kesedihan seperti terjerumus dalam suasana gelap yang mencekam. Hal itu juga dirasakan oleh Jono dewasa yang kembali teringat akan kejadian naas meninggalnya sang ayah hingga membuat napasnya seperti tercekik.
Hingga tiba-tiba, BRUK!!
Jono yang sudah beranjak dewasa ikut pingsan, seperti yang dialami Jono ketika masih kecil dulu. Entah apa yang terjadi, waktu terasa terhenti. Suasana sunyi dan udara terasa dingin membuat Jono dewasa mulai tersadar. Ia membuka matanya yang terasa lengket dan berat sekedar untuk melirik sekitar. Hanya saja, ada yang lain.
Cahaya samar ia dapati saat mulai membuka matanya lebih lebar lagi. Jono melihat sebuah sepatu fantovel mengkilat warna hitam yang pernah ia jumpai bertahun-tahun silam. Perlahan, pandangannya naik hingga matanya semakin melebar saat mengenali sosok yang pernah ditemuinya.
"Jadi ... namamu Jono?" tanya pria berpakaian ekslusif layaknya karyawan kantoran. Jono mengangguk masih dalam posisi tengkurap di lantai semen.
Tiba-tiba, orang itu memakaikan jam tangan di pergelangan kanannya. Ia juga menyerahkan tas Ultraman miliknya di depan wajah. Jono mengambil tas itu dengan tubuh lunglai dan perlahan terlentang untuk mencari tahu apa yang terjadi. Matanya mendapati atap ruangan dengan cahaya lampu redup sebagai penerang satu-satunya ruangan itu.
Saat Jono bangun, ia terkejut ketika melihat pria yang pernah dijumpai menghilang. Jono melihat sekitar di mana ruangan seperti gudang tersebut tak memiliki pintu atau jendela. Lantas, bagaimana pria tampan itu pergi? Jono mengedipkan mata mencoba untuk mengembalikan ingatan terakhirnya, tapi semua terasa samar. Hingga lagi-lagi, hal aneh terjadi.
PIP!
"Hem?"
***
uhuy makasih tips koinnya untuk diriku😆 kwkwkw yg lain ditunggu sedekahnya ya. jangan lupa idupin bintang di novel ini dg rate 5 dan komen ajaib.. tengkiyuw lele padamu💋
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!