Disebuah tempat yang berada di atas langit, terdapat sebuah dunia yang serba suci dan putih. Kedamaian dan ketenangan yang tiada tara itu, juga terciptanya keseimbangan dan toleransi yang tinggi dari para entitas supranatural yang mendiami tempat yang dinamakan kahyangan tersebut.
Entitas supranatural itu adalah para dewa beserta malaikat yang saling bekerja sama dalam mengatur seluruh aspek kehidupan dunia manusia yang mereka naungi.
Namun, kedamaian itu mulai terkikis ketika Raja iblis dan masyarakatnya menyatakan perang terhadap mereka. Peperangan demi peperangan pun tak dapat dihindari.
Hingga pada akhirnya, Raja yang memiliki dua tanduk besar di kepalanya itu pun berhasil melancarkan strategi jitunya untuk menghancurkan tempat bersemayamnya para Dewa tersebut. Mereka pun dengan segera melakukan invasi besar - besaran.
Dunia kahyangan hampir mendekati kehancurannya setelah Raja iblis mampu melancarkan siasat liciknya. Serangan mendadak oleh pasukan iblis tersebut tak sempat di antisipasi oleh para malaikat.
Para Dewa dan Dewi berjibaku dalam mempertahankan wilayah mereka setelah invasi besar - besaran yang dilancarkan oleh pasukan iblis. "Jangan gentar! Kita harus mempertahankan wilayah yang telah dijaga oleh leluhur kita!" seru sang Dewa Kehancuran seraya menghalau serangan dari pasukan iblis.
Kobaran api pun bertebaran dimana - mana, dan elemen yang dilesatkan oleh para iblis itu telah melahap seluruh material yang ada disekitar.
Tak sedikit korban berjatuhan dari pihak kahyangan.
"Hahaha! Inilah saatnya kita menunjukan kekuatan ras Iblis" cetus Raja Iblis yang terbang sambil membelakangi ratusan ribu pasukan iblis terbaiknya.
"Sudahi usaha mu itu, raja iblis! Kau hanya akan membuat leluhur kami murka!" tegas sang Dewa kehancuran yang berdiri di atas langit kahyangan seraya membelakangi ratusan prajurit malaikat terbaiknya.
Raja iblis tak segan - segan mengeluarkan sihir mematikannya. Gelombang sinar hitam dengan paduan petir yang menyambar tersebut dihalangi oleh sihir perisai dewa kehancuran yang melindungi para malaikat.
Sang dewa pun berhasil menyerap energi tersebut. Namun ia merasakan dampak negatifnya, dan hampir seperempat kekuatannya diserap oleh gelombang sihir itu.
"Menyerahlah! Serahkan kepala mu itu padaku! wahai dewa kehancuran!" gertak sang Raja Iblis dengan kesombongan dan keangkuhannya.
"Tidak! Demi nyawa yang telah ku persembahan untuk para leluhurku! Aku tidak akan membiarkan iblis jahat sepertimu menguasai kahyangan!" tampik sang Dewa Kehancuran seraya mengacungkan tongkat saktinya ke langit.
"Demi jiwa para leluhur yang ku hormati ... aku akan mempertahankan tempat yang penuh dengan kedamaian dan kasih sayang ini serta, mengabulkan harapan para malaikat yang berada dalam naunganku!"
Segerombolan dewa yang tak jauh keberadaannya dari sang dewa kehancuran pun berunding setelah melihat apa yang akan dilakukannya.
"Tidak! Sepertinya beliau akan mengeluarkan sihir yang amat besar!" kata Dewa Kemakmuran yang menyaksikan Dewa Kehancuran tengah melayang diatas mereka.
"Kita harus mencegahnya!" sahut Dewa Keadilan dengan raut wajah cemas sambil mendongakkan wajahnya keara Sang Dewa Kehancuran.
"Jangan!" timpal Dewi kesucian yang sangat kontra dengan usaha kedua Dewa tersebut.
"Apa maksudmu?! Apa kau ingin menghancurkan keseimbangan alam kahyangan ini? Dewa Kehancuran adalah leluhur kita! Kita harus mencegahnya!" tegur Dewa Keadilan yang sontak melayangkan tubuhnya keatas langit guna menghampiri dan menghentikan tindakan Sang Dewa Kehancuran.
Namun, usahanya gagal setelah dihalau oleh upaya sihir Dewi Kebijaksanaan. Sihir yang berwarna emas kemerahan itu, menyerang bagian bawah tubuh Dewa Keadilan yang membuat kakinya berubah menjadi batu, hingga sulit digerakkan.
"Jika itu memang kemauan dari sang dewa kehancuran, maka kita tak bisa berbuat banyak lagi! Aku tak akan membiarkanmu bertindak semena-mena!" tegas Dewi Kebijaksanaan dengan pandangan yang menatap tajam ke arah Dewa Keadilan.
Langit pun seketika berubah menjadi gelap diiringi dengan hembusan angin yang membentuk sebuah badai. Sinergi sihir Dewa Kehancuran membuat angin disekitanya terhempas dan berputar-putar dengan sangat kuat hingga mengguncang seluruh sudut alam kahyangan.
"Inilah saatnya bagiku untuk mengakhiri segala upaya keji Raja Iblis yang terkutuk! Kepada para dewa yang ku hormati!" -Ia merentangkan tangannya- "Aku akan berwasiat kepada kalian! Jagalah kedamaian dan ketentraman di lingkungan alam kahyangan ini! Sebelum tiba saatnya bagiku untuk bereinkarnasi kembali suatu saat nanti" titah Dewa Kehancuran.
Raja iblis tak bisa membiarkan apa yang akan diupayakan oleh Dewa Kehancuran. Ia pun mencoba menggagalkan upaya sang Dewa Kehancuran. "Tidak akan aku biarkan! Kau akan lenyap tanpa reinkarnasi apapun!" tolak Raja iblis seraya mengeluarkan sihir mematikannya.
Namun, Upaya itu lalu gagal setelah Dewi Kebijaksanaan melesatkan tubuhnya secepat kilat dan menghalau sihir Raja Iblis dengan sihir perisainya.
"Kepada seluruh dewa yang ada disini! Mari kita bersatu untuk membentuk sihir pelindung kahyangan ini! Karena siapapun tidak akan bisa lari dari serangan sihir sang dewa kehancuran yang mematikan itu" tegas Dewa Kesembuhan seraya mengeluarkan sihir perisai yang diikuti oleh dewa lainnya.
Dewa kehancuran sontak menutup kedua matanya seraya merapalkan sihir paling mematikan yang belum pernah disaksikan oleh makhluk manapun. "Eternal Destruction." pungkasnya.
(Boom!!! ... Duarrr!!!)
Seketika muncul cahaya besar yang menyinari seluruh alam kahyangan, diiringi sebuah ledakan besar yang meluluhlantakkan seluruh permukaan tempat itu, dengan radius yang bahkan mencapai alam makhluk Iblis.
Semua yang ada disana pun lenyap seketika setelah menerima sihir yang maha dahsyat tersebut. Tak terkecuali Raja iblis dan seluruh ratusan ribu prajuritnya.
Sementara para dewa telah berhasil menahan serangan sihir yang amat luar biasa itu dengan menyatukan energi mereka untuk membentuk sihir perisai yang melindungi seluruh pasukan malaikat kahyangan.
Setelah menyaksikan peristiwa yang amat dahsyat itu, ratusan malaikat pun sontak bersorak penuh kegembiraan atas kemenangan pihak Dewa, dalam melindungi alam Kahyangan dari serangan invasi ras Iblis. Mereka dengan penuh rasa girang merayakan kemenangan tersebut.
Namun, Para Dewa merasa sedih atas kehilangan Dewa leluhur mereka. "Aku tidak menyangka Dewa Kehancuran akan mengorbankan jiwa dan raganya demi kahyangan," ucap Dewa Keadilan dengan penuh kesedihan yang amat mendalam dihatinya.
"Sudahlah! Jangan diratapi! Apa kau tidak mendengar wasiat Dewa Kehancuran?" sambung Dewa Kemakmuran sambil bersedekap tangan meski jiwanyalah yang paling bersedih atas pengorbanan Sang Dewa.
"Betul! Aku yakin, Dewa Kehancuran akan bereinkarnasi kembali! Walau harus menunggu seribu tahun lamanya!" tegas Dewi Kesucian yang tetap tegar menerima kenyataan, saat Dewa Kehancuran mengorbankan dirinya melindungi alam Kahyangan.
"Lalu bagaimana dengan Dewi Kebijaksanaan yang turut menghilang karena tak sempat melindungi dirinya dari sihir Sang Dewa?" tanya Dewa Kesembuhan yang turut menampakkan raut wajah sedihnya.
"Kita harus percaya! Bila Dewa Kehancuran dan Dewi Kebijaksanaan akan kembali bereinkarnasi, meski harus menunggu seribu tahun lamanya." pungkas Dewi Kesuburan seraya mendongakkan wajahnya ke arah bawah karena tak ingin wajah cantiknya menjadi bersedih dan tersingkap jelas oleh para malaikat.
~To be Continued~
...*** Seribu Tahun Kemudian ***...
Dua anak kecil terlihat berjalan memasuki sebuah kuil. Sang kakak yang sedikit tinggi dari adik perempuannya itu, berjalan menuju patung Dewa Kehancuran seraya bersimpuh dan memanjatkan doanya.
Rei Sebastian dan Zuzu Sebastian. Mereka berdua hidup sebatang kara setelah ditinggal mati kedua orangtua. Semoga Dewa selalu melindungi kami, batinnya dengan mata yang terpejam sambil memanjatkan doa dihadapan patung Sang Dewa Kehancuran, menurut kepercayaan penduduk sekitar.
Setelah membuka kedua matanya, Rei seketika melihat kehadiran seorang pendeta kuil yang tengah berjalan dibelakang patung besar berwarna emas tersebut. "Tuaan!!" soraknya sambil berdiri lalu menghampiri sang pendeta.
"Ada apa?" tanya sang pendeta berjubah putih dengan dagu yang dipenuhi janggut berwarna keabu-abuan.
Pendeta itu menatap penuh jijik pada Rei yang tengah mengenakan pakaian lusuh dan dekil serta kumuh. Zuzu pun turut ditatapnya dengan penuh rasa muak.
"Tuan! Hamba meminta kerendahan hati Tuan untuk menampung hamba dan adik hamba yang tengah sakit. Hamba hanya meminta makanan serta beberapa obat herbal saja," pinta Rei seraya mendongakkan wajahnya ke arah wajah pendeta angkuh itu.
Sang pendeta pun mendecih. "Apa kau tidak tahu malu?! Mana adabmu dalam memohon kepada orang suci! Setidaknya, gantilah pakaianmu yang lusuh itu!" caci sang pendeta dengan raut wajah kesalnya seraya berlalu meninggalkan Rei.
Rei pun tak ingin putus asa. Ia lalu mengejar sang pendeta sambil memeluk paha belakang kakek tua itu dengan erat. "Tuaan!! Hamba mohon! Hamba akan melakukan apapun yang Tuan perintahkan! Menyapu, mencuci, dan segalanya akan Hamba lakukan tanpa mengeluh!" mohon Rei, sekali lagi.
Matanya berkaca-kaca. Raut wajah kesedihan anak itu, sangat mengharapkan belas kasih sang pendeta. Rei pun sontak meneteskan air matanya karena sangat-sangat menaruh harapan pada kakek tua itu.
Namun, yang didapatkannya hanyalah keheningan. Pendeta itu menggertakan giginya dengan darah yang sudah memuncak di otak. "Brengsek! Apa kau tidak menyimak perkataanku?! Haaah?!!" bentak sang pendeta dengan sedikit menoleh ke arah belakang.
Rasa muak dan murka pun telah bercampur dalam pendeta durjana itu. Ia sontak menggengam tangan Rei lalu menarik tubuh kecil tak berdosa itu ke arah depan, yang membuat Rei terpental hingga jatuh tersungkur ke atas lantai kuil yang sangat keras.
(Brukkk!!!)
"Aaaarrggghhh!!" erang Rei setelah tubuhnya membentur lantai.
"Kakakkkk!!!" Terdengar sorakan dari suara gadis kecil yang terkejut saat melihat sang kakak dianiaya oleh pendeta jahanam tersebut.
Zuzu pun sontak berlari menuju Rei yang tengah meringkuk kesakitan. Ia lalu menimpa seraya memeluk tubuh sang kakak dengan maksud meringankan sakit yang dirasakannya. "Kakak, aku tidak ingin kau terlukaaa!" ucapnya sambil meneteskan air mata yang jatuh membasahi wajah Rei.
Belum puas memperlakukan Rei dengan keji, sang pendeta pun menghampiri mereka sambil meraih kerah belakang baju Zuzu serta merenggut kerah depan baju Rei. "Cih! Selain rutin membuang sampah, aku pun harus rutin membuang makhluk tak berguna seperti kalian!" caci sang pendeta seraya mengangkat kedua tubuh anak kecil itu dan membawa mereka menuju gerbang kuil.
Tanpa belas kasihan atau mungkin hatinya telah tertutup, pendeta durjana itu sontak melempar tubuh Rei dan Zuzu ke arah luar gerbang.
(bruk!!!)
"Aaaaaaaa!!" Rei pun mengerang kesakitan untuk yang kesekian kalinya. Tubuhnya membentur permukaan tanah yang sangat kasar hingga membuatnya meronta-ronta kesakitan.
Sungguh malang nasib kedua anak itu.
Kondisi kerajaan benar-benar sudah kacau dan membuat semua penduduk saling tidak percaya satu sama lain. Rei dan Zuzu pun kena imbasnya hingga menjadi pelampiasan kekesalan sang pendeta yang berang terhadap pihak kerajaan.
Kemiskinan, kemelaratan, bahkan saling bunuh satu sama lain, itu semua ulah Raja keparat itu! pikir sang pendeta sambil menatap penuh murka pada kedua anak kecil tersebut.
Setelah berjuang melawan rasa sakit ditubuhnya, Rei seketika menoleh ke arah Zuzu yang terus mengerang tanpa suara. "Zuzuu?! Bertahanlah!" ucapnya sambil membopong tubuh sang adik dan membawanya berteduh dibawah pohon yang sangat tinggi.
"Zuzu?!! Zuzuu?!! Zuzuuu!!!" Rei pun menangis setelah mendapati adiknya hilang kesadaran.
Rasa sakit dan perih yang dirasakan gadis kecil itu benar-benar dahsyat, hingga membuatnya tak sanggup lagi menahan kesadaran otaknya.
"Pergilah ke tempat penampungan anak! Jangan pernah tampakkan hidung kalian lagi disini!!!" pungkas pendeta biadab yang tersebut sambil menutup pintu gerbang kuil.
***
Rei membiarkan paha kanannya menjadi sandaran empuk kepala Zuzu. Ia tetap setia menemani seraya berharap sang adik bisa berjuang melawan rasa sakitnya dan segera kembali sadar. Zuzu, maafkan aku. Gara-gara aku kau jadi kena imbasnya, batin Rei seraya meneteskan air mata yang jatuh membasahi pipi sang adik.
Setelah menunggu beberapa saat, Zuzu pun akhirnya tersadar. "Ka—kaaak," ucapnya dengan terbata-bata dan mendapati Rei tengah menangis diatas wajahnya.
"Zuzu?! Syukurlah!!!" Rei pun sontak menempelkan keningnya pada kening sang adik seraya menangis bahagia.
"Kakak, Zuzu lapar," keluh Zuzu sambil memeluk perutnya.
"Baiklah kalau begitu. Ayo kita cari makanan di kota." pungkas Rei seraya berdiri lalu menggendong tubuh sang adik dibelakang punggungnya.
Mereka yang telah pernah putus asa dalam mencari belas kasih seseorang, melangkahkan kakinya menuju pasar yang sangat ramai.
Perhatian Rei seketika tertuju pada sebuah kedai makanan yang berada disebelah kanan jalannya. Aku harus mencari makanan bagaimanapun caranya! batinnya sanbil menatap ke arah tempat pembuangan sampah yang berada didepan tembok kedai tersebut.
Bocah itu kemudian berjalan menuju tempat pembuangan sampah lalu mengais sisa-sisa sampah yang berada didalamnya.
Namun, tak ada sedikitpun makanan bekas yang tersisa untuknya. Hingga akhirnya ia mencoba untuk memasuki kedai tersebut. "Hei kau! Keluar dari sini!" tegas pemilik kedai setelah melihat Rei yang lusuh dan kumuh itu berada dalam kedainya.
"Tuaaan! Tolonglah hamba ... berikan hamba makanan walau hanya sedikit!" pinta Rei seraya bersimpuh dihadapan pria pemilik kedai itu.
"Brengsek! Jika ingin mendapatkan sesuatu, maka kau harus bekerja! Jangan hanya meminta-minta seenaknya!" omel pria tua itu seraya mencekik lalu mengangkat leher Rei.
Rei pun sesak karenanya. Ia harus menahan sakit seraya menyentuh batang leher yang tak berdosa itu. Sang adik yang tak kuat melihat penderitaan kakaknya pun ikut menangis.
"Kakaaak... ayo pergi! Zuzu sudah tidak lapar," ujar gadis kecil berambut ikal tersebut.
"Maafkan aku, Zuzu," ucap Rei seraya menundukkan wajahnya.
Saat akan bergegas meninggalkan tempat tersebut, mereka dikejutkan oleh kedatangan pasukan ksatria kerajaan. Setelah beranjak dari kuda, pemimpin pasukan itu menghampiri Rei dan adiknya. "Atas perintah Raja, kami akan membawa gadis kecil ini!" tegas pria bertubuh besar itu seraya mengulurkan tangannya menuju Zuzu.
Gadis itu pun bersembunyi dibalik tubuh sang kakak. Ia lalu menangis ketakutan sambil memeluk tubuh Rei. "Tidak! jangan pisahkan kami!!!" ujar Rei yang menyeringai kepada pemimpin pasukan itu.
"Hei anak kecil! jangan melawan perintah Raja! apa kau ingin Raja mu mati?! gadis itu akan kami persembahkan untuk menjadi tumbal demi kesembuhan Raja!" kata sang pemimpin pasukan seraya menghalau tubuh Rei.
"Jauhkan tanganmu dari adikku!" Rei kemudian meraih tangan ksatria tersebut.
"Aarghh!!!" erang sang ksatria dan mendapati pergelangan tangannya mengucurkan darah.
Rei dengan spontan menggigit jari ksatria itu demi melindungi Zuzu dari sentuhan mereka. Salah seorang ksatria lainnya pun sontak meraih tubuh mungil Rei lalu membantingnya kearah depan.
(Bruk!)
"kakaak!!!" ucap Zuzu seraya menjerit saat melihat tubuh sang kakak terpental dan membentur tiang penyangga kedai.
Gadis itu pun mencoba berlari menghampiri Rei, namun ksatria biadab itu berupaya menghalanginya.
"Hei kau! Jangan pergi!" katanya sang ksatria sambil menahan tangan mungil Zuzu dan menggenggamnya dengan erat.
"Tidaak!!! Jangan siksa Rei! Jangan pisahkan aku darinya!!!" bentak Zuzu seraya mengelak dan memukul tangan sang ksatria biadab itu berulang kali.
Ksatria tersebut sontak menggendong tubuh Zuzu dan berusaha membawanya pergi, namun gadis kecil itu tetap memberontak sambil memukul-mukul zirah baju sang ksatria Biadab.
Rei yang hampir tak sadarkan diri pun berusaha untuk bangkit menolong Zuzu dari sergapan para ksatria itu. "Zu—zu ...." lirih Rei seraya menjulurkan tangannya.
"Diam kau! Atau ku bunuh kau sekarang juga!" gertak ksatria biadab dengan raut wajah murkanya.
Zuzu pun sontak terdiam dan membelalakkan matanya ke arah langit - langit. Seketika tubuhnya lemas tak berdaya dengan darah yang mengalir dari mulutnya yang menandakan bahwa tubuhnya sudah, tidak sanggup lagi menahan penyakit kronis yang dideritanya.
Berakhirlah riwayat hidup sang gadis kecil. Penderitaannya pun telah menghilang seiring dengan melayangnya ruh mulianya ke atas langit.
Rei terkejut dengan mata yang membelalak kearah tubuh sang adik tercinta. "Zuzu?! ... Zuzu?!! ... Zuzuuuu!!!" Ia pun sontak menjerit seakan tak menyangka bila adiknya telah meregang nyawa dalam genggaman tangan ksatria biadab.
"Kebetulan sekali! Kami tak perlu repot - repot untuk membunuhnya!" ucap Ksatria yang bengis dan durjana itu seraya menyeringai pada wajah Zuzu yang tak berdosa.
Rei pun menangis sejadi - jadinya setelah melihat adik kesayangannya meregang nyawa setelah tak sanggup lagi menahan penyakit kronis yang diidapnya.
Sang ksatria biadab beserta para pasukannya tetap membawa pergi jasad Zuzu menuju istana. "Semoga Raja senang dengan persembahan ku ini. Hahaha!" pungkasnya dengan tertawa penuh kedurhakaan.
Meski tubuhnya sudah tak sanggup lagi berdiri, Rei berusaha merangkak menuju luar pintu demi mengejar sang ksatria biadab yang telah keluar lebih dulu dari pintu kedai. "T-t-tidak mungkin! Zuzuuuuu!!!" soraknya dengan penuh air mata yang bercucuran ke atas tanah sambil menjulurkan tangannya ke arah tubuh Zuzu dari kejauhan.
Itulah hari terakhir dari dua kakak beradik yang saling menyayangi satu sama lain. Mereka selalu bersama melewati suka dan duka. Setelah kepergian orangtuanya, Rei bertekad untuk merawat adiknya seorang diri.
Dua tahun silam, terjadi sebuah pemberontakan terhadap pihak kerajaan. Setelah para pemberontak itu berhasil dipadamkan, Raja mengirim beberapa pasukan untuk menyisir seluruh desa guna membasmi sisa - sisa dari para pemberontak.
Namun nahas, ayah dan ibu Rei menjadi korban salah sasaran. Mereka lalu dinyatakan bersalah tanpa adanya bukti. Orangtuanya pun hanya bisa pasrah saat akan dibawa menuju aula desa untuk di eksekusi.
"Setelah kehilangan orang tuaku, kini kehilangan Zuzu! Aku sudah tak memiliki siapapun lagi di dunia ini ...." ucap Rei seraya menatap ke arah langit - langit.
Rei tak berdaya setelah melihat adik kesayangannya dibawa menuju istana kerajaan. Hatinya menjadi sedih tak karuan. Ia lalu berdoa dengan bercucuran air mata.
"Wahai dewa!!! Jika engkau memang ada, cabutlah nyawaku sekarang juga!!! Pertemukan aku dengan ayah, ibu, dan Zuzu yang sangat kusayangi!!!" ungkap Rei sambil duduk bersimpuh seraya bersorak ke arah langit dengan penuh raut wajah murka.
Air mata yang sudah membekas itu pun menjadi saksi atas kesedihannya. Rei sudah tidak memiliki semangat dan alasan lagi untuk hidup. Pandangannya menjadi buram. Detak jantungnya pun melemah. Ia kemudian menjatuhkan diri lalu meregang nyawa.
~to be continued~
Seribu tahun pun berselang, seluruh entitas yang mendiami alam kahyangan, telah memenuhi amanat dan wasiat sepeninggal dewa Kehancuran.
Menjaga kenyamanan dan ketentraman, sebelum tiba waktunya bagi ruh leluhur Sang Dewa, mencari wadah yang tepat untuk kembali bangkit dan memimpin alam kahyangan.
Namun, itu hanyalah dikahyangan, tidak di negeri-negeri yang mereka naungi. Para Dewa lalu berkumpul untuk memperbincangkan segala kekacauan yang terjadi di negeri naungan mereka masing-masing.
"Wahai Dewa Kemakmuran, bagaimana dengan kekacauan yang timbul di negeri naunganmu?" tanya Dewa Keadilan.
"Aku pun sungguh tidak mengerti. Tugasku hanyalah memberikan kemakmuran bagi negeri-negeri naunganku, yang penduduknya sangat taat dengan ajaran leluhur kita," jawab Dewa Kemakmuran.
Sang Dewi Kesucian kemudian muncul dan ikut bergabung dalam perbincangan kedua Dewa itu. "Lalu bagaimana dengan dirimu, Wahai Dewa Keadilan ? Apakah keadilan di negeri naunganmu, telah sesuai dengan prinsip ajaranmu?" tanya Sang Dewi.
Dewa Keadilan pun menghela nafasnya dengan perlahan, seraya berjalan melewati Dewi Kesucian. "Keadilan di negeri manapun, sudah pasti sesuai dengan ajaran-ajaranku! Ini pasti ulah dari pihak iblis!" tampik Dewa Keadilan sambil bersedekap tangan.
Dewi Kesuburan yang tengah terduduk diatas sebuah batu suci sambil menyisir rambut hitam panjangnya yang indah, ikut mendengar pembicaraan itu.
Dewi Kesucian sontak menoleh ke arah Dewi Kesuburan. "Wahai Dewi Kesuburan. Bagaimana pendapatmu perihal banyaknya janin yang menghilang dan juga banyaknya kematian bayi-bayi manusia yang tak berdosa itu?" tanya Dewi Kesucian sambil berjalan menghampiri Dewi Kesuburan lalu meraih sisir emas miliknya dan membantunya menyisirkan rambut indahnya.
Dewi Kesuburan akhirnya memberikan pendapatnya. "Semua itu terjadi, karena tidak adanya keseimbangan unsur kebaikan yang kita anugerahkan di negeri naungan kita," ucap Sang Dewi Kesuburan.
"Maksudmu, perihal menghilangnya Dewi Kebijaksanaan kah?" tanya Dewa Keadilan yang telah mengambil posisi duduk bersila sambil menghadap pada kedua Dewi tersebut.
"Tidak!" jawab dua Dewi cantik itu secara serempak sambil menatap tajam kearah Dewa Keadilan.
Dewi Kesucian pun melanjutkan. "Memang benar semua itu karena faktor menghilangnya Dewi Kebijaksanaan. Tidak, justru lebih dari itu," tutur Sang Dewi yang kembali fokus menatap rambut Dewi Kesuburan lalu menyisir rambut yang indah itu.
"Kita semua harus bersiap!" sambung Dewi Kesuburan.
"Ya! Mungkin inilah saatnya bagi kita untuk, menyambut kebangkitan Dewa leluhur!" sambung Dewa Kemakmuran.
"Dewa leluhur? Siapa?!" tanya Dewa Keadilan dengan raut wajah penasaran.
"Sang Dewa Kehancuran!" tambah Dewi Kesucian dan Dewi Kesuburan secara serempak dengan masing-masing pandangan yang menatap tajam.
Dewa Kedamaian pun sontak memunculkan wujudnya dengan raut wajah yang sangat cemas. "Gawat! Seluruh dunia akan berperang satu sama lain! Anak dan ayah akan saling bunuh membunuh, sesama saudara akan saling bertikai hanya karena memperebutkan sepetak lahan! Para pengikut akan berkhianat dari ajaran pendetanya! Bahkan, Kuil-kuil pun akan dibakar!" keluh Sang Dewa Kedamaian.
"Tenangkanlah dirimu wahai Dewa Kedamaian! Kami pun turut merasakan apa yang engkau rasakan," sahut Dewa Keadilan sambil berjalan menuju Dewa Kedamaian yang tengah merasakan kegundahan dalam hatinya.
Dan, Dewa Keberuntungan pun muncul. "Wahai Para Dewa! Lihatlah!" seru Dewa keberuntungan sambil memunculkan sebuah cermin besar dan menampakkan sosok tubuh anak kecil yang terkapar tak berdaya diatas tanah dalam cermin tersebut.
"Anak itu?! Apa yang telah terjadi padanya Wahai Dewa Keberuntungan?!" tanya Dewi Kesucian yang menatap penuh rasa iba pada sosok anak kecil tersebut.
"Ia tewas karena berusaha melindungi adiknya dari sergapan para pasukan ksatria kerjaaan!" ungkap Dewa Keberuntungan.
Sang Dewi pun murka. Ia lalu menghampiri Dewa Keberuntungan sambil melampiaskan kekecewaannya. "Apa yang telah kau lakukan selama ini?! Mana anugerah keberuntunganmu?! Mengapa harus anak kecil seperti dirinya lah yang menerima nasib sial seperti itu?!" protes Sang Dewi.
"Tenangkanlah dirimu, Wahai Dewi Kesucian kami! Seperti dugaanku! Semua ini ada sangkut-pautnya dengan sisa-sisa keturunan makhluk iblis yang telah menghasut para manusia itu!" tegur Dewa Keadilan yang berusaha menenangkan emosi Dewi Kesucian.
"Ya! Kau memang betul, Dewa Keadilan! Tapi, jika dibiarkan terus, maka iblis-iblis itu akan menguasai dunia manusia dan menghasut mereka untuk menentang ajaran leluhur kita!" sambung Dewa Kemakmuran.
Para Dewa itu kemudian saling menatap satu sama lain. Mereka seperti memutuskan suatu hal yang akan mengubah nasib alam kahyangan kedepannya.
Seluruh Dewa dan Dewi pun membentuk posisi melingkar sambil duduk bersila diatas sebuah hamparan tanah yang luas. Tidak ada mata yang tidak tertutup. semua Dewa saling merenung untuk menentukan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Setelah merenung beberapa saat, Dewa Keadilan pun membuka matanya terlebih dahulu. "Wahai para Dewa! Aku punya usul!" ucap sang Dewa.
"Apa itu, Wahai Dewa Keadilan?" tanya Dewi Kesucian.
"Kita semua akan turun ke bumi!" seru Dewa Keadilan yang membuat para Dewa saling menatap satu sama lain.
"Lalu?" tanya Dewa Kemakmuran.
"Dalam renunganku, aku bertemu dengan sosok Dewa Kehancuran. Dan, aku pun melihat sosok anak kecil itu, tengah berdiri seraya berlindung dibalik betis Sang Dewa. Itu seperti mengisyaratkan diriku, bila anak itu adalah titisan pilihan sang Dewa Kehancuran!" tutur Dewa Keadilan dengan raut wajah yang sangat serius.
Dewa Keadilan sontak berdiri dihadapan mereka. "Wahai Para Dewa! Mari kita turun ke bumi dan membawa jasad anak itu! Lalu, untuk tugas selanjutnya, Dewi Kesucianlah yang akan membimbing anak itu agar layak menjadi wadah kebangkitan Dewa leluhur kita!" seru Sang Dewa dengan berapi-api.
"Ya!!!" Seluruh Dewa pun bersorak sambil mengangkat sebelah tangan mereka masing-masing.
Para Dewa kemudian memunculkan sayap-sayap yang besar dari kedua sisi tubuh mereka, lalu terbang melawan menuju permukaan bumi. "Dewi Kesucian, apa kau sudah siap?" tanya Dewi Kesuburan sambil mencondongkan tubuhnya ke arah bawah.
"Ya! Aku akan mengangkat anak itu sebagai anakku sendiri!" jawab Dewi Kesucian yang turut mencondongkan tubuhnya ke arah bawah, menuju bumi.
Mereka menembus langit bumi dan terbang secara perlahan menuju lokasi dimana tubuh Rei terkapar.
Dewa Keadilan menjadi pemimpin para Dewa dan terlebih dahulu menapakkan kakinya tepat didepan jasad tubuh mungil yang hanya mengenakan pakaian lusuh itu. "Wahai, anak manusia! Kematianmu, adalah kedukaan yang amat mendalam bagi kami!" ungkap Dewa Keadilan sambil membopong dan menatap wajah Rei yang sudah tak bernyawa itu.
Ia lalu mengibaskan kedua sayapnya seraya membawa tubuh Rei terbang menuju alam kahyangan.
Dewi Kesucian sempat menyusul laju kecepatan terbang Dewa Keadilan sambil menatap penuh kagum pada wajah anak kecil itu. Wahai Dewa Kehancuran, Wahai Dewa leluhur kami! Aku akan menjaga dan membimbing anak ini sesuai amanat darimu! Bila tiba saatnya, bangkitlah kembali, Wahai Dewa yang Ku agungi! batinnya.
~To Be Continued~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!