NovelToon NovelToon

Archiles Heels

BAB I THE FOOL

Deru mobil dan klakson yang memekak telinga terus terdengar bersaut-sautan saat sosok bersetelan hitam dengan wajah yang begitu sulit untuk bisa dilupakan berjalan tanpa takut ada mobil ataupun kendaraan lain menabraknya. Ada alasan mengapa wajahnya sulit dilupakan, dagu lancip dengan leher panjang, rahang tegas membentuk sempurna, hidung mancung bak perosotan, dan kulit yang bersih serta bercahaya di bawah sinar rembulan. Dan, memang dia tak perlu takut karena bahkan jika kendaraan itu mau menabraknya dapat dipastikan kendaraan dan orang yang ada di dalamnya akan hancur, seperti …

Brakk …

Sebuah mobil terangkat bagian belakangnya hasil dari rem yang menghentikannya secara misterius tepat di tengah-tengah jalan, membuat perjalanan lalu lintas terhambat dengan seketika. Seolah-olah dilakukan dengan sengaja oleh sang pengendara meskipun dia sendiri memasang wajah yang tak kalah kaget dengan pengguna jalan lain. Jika ditanya siapa yang melakukannya, maka lelaki yang bola matanya kini memerah sempurna layaknya iblis adalah pelakunya.

"Hei! Berhenti berkeliaran di jalan! Jika saja aku tak menghentikan mobilku kau akan celaka." Kepala sang pengendara menyembul dari kaca kemudi mobil. Mengayunkan sumpah serapah pada seseorang yang jelas-jelas telah membuat kemacetan di sepanjang ruas jalan.

Elliot mengeluarkan udara dari mulutnya dengan kasar dan jelas itu tanda tingkat kekesalannya sedang dalam kondisi berada di atas angka aman. "Apa kau tahu? Kami para iblis tak pernah diajarkan kesabaran, dan sekarang kau sedang mengujinya?"

"Berhenti bicara omong kosong dan menyingkirlah!" Dalam sekejap mobil yang menempel pada aspal itu terbang bak kertas yang ditiup angin.

“Mobilku! Kau yang melakukan itu?”

Decakan menjadi pembuka sebelum bibir Elliot menyanyikan ucapan-ucapan kekesalan. “Manusia bodoh. Harusnya kau bersyukur kau tak ikut terbang Bersama kaleng berjalanmu itu. Tapi, sepertinya kau memang perlu dibuang.” Tak perlu menunggu berkedip lelaki yang memarahi Elliot itu kini ikut terbang terbawa angin tornado yang membawanya pergi menjauh dari Elliot.

“Manusia sial! Karena dia aku terus membuang waktuku secara percuma.” Benar, satu detik saja yang terbuang makhluk-makhluk yang perlu iblis itu temukan bisa berpindah tempat.

Deg … Sebuah getara aneh tiba-tiba dirasakan oleh Elliot. Sebuah getaran tak asing yang biasanya dia rasakan ketika dalam jiwanya berdekatan dengan jiwa makhluk-makhluknya.

“Found you!” ujarnya kemudian menghilang dari jalanan.

“Siapa kau?” Pertanyaan itulah yang menyambut Elliot ketika dia berhasil mendarat di sebuah kamar hotel.

...****************...

Berani dan gila adalah deskripsi yang biasanya Aileen berikan kepada sang sahabat, Nadine. Tak terhitung berapa kali gadis itu hampir kembali ke pangkuan Tuhan kerena tingkahnya yang suka mempertaruhkan nyawa seolah dia memiliki 9 nyawa layaknya kucing. Seperti yang dilakukan oleh gadis itu hari ini, bukannya bersyukur karena baru saja lolos dari ancaman pembunuhan akibat berita tentang Walikota Finn yang diliputnya tempo hari, Nadine malah semakin bersemangat untuk mengungkap kebusukan Walikota Finn yang dianggap sebagai walikota paling bersih.

"Jangan telpon aku sekarang Leen, aku sedang dalam misi," kata Nadine sambil bersiap mengganti bajunya dengan baju pelayan hotel yang dia curi beberapa detik yang lalu.

"Ditabrak sekali tak membuat otakmu normal ternyata. Aku bisa memberitahumu skandal lain, lupakan Walikota sialan itu." Aileen terdengar persis seperti almarhum ibunya dan seperti yang terdahulu Nadine tak akan peduli.

"Justru karena dia menabrakku aku akan menabraknya dengan berita spektakuler. Siapa suruh dia menantang scorpio," ucapnya bangga hanya karena dia terlahir sebagai scorpio yang pendendam.

"Nadine, kalo kau berniat mati hari ini paling tidak kau harus membayar sewa kamar lebih dulu! Sekarang pulang dan berikan uang sewa rumah bulan ini." Nadine terkekeh mendengar omelan Aileen. "Dan kau akan mengunciku di kamar seperti waktu itu? No, thanks. Aku akan menutup telpon. Jika aku tak menberi kabar sampai jam 9 malam ini kau boleh membuat acara penghormatan terakhir bahkan tanpa mayatku ... since i don't know i still have corpse or not."

"Nadine!" Panggilan secara sepihak diputus oleh Nadine, dia akan mendengarkan omelan Aileen nanti di rumah itu pun jika dia masih hidup.

"Sorry Aileen."

Gadis scorpio itu kini menuju area depan kitchen untuk mengambil service stand trolley yang berisi makanan untuk tamu kamar 435. "Sorry, semoga kamu nggak dipecat," bisiknya sambil menbawa pesanan itu untuk kamar 514 tempat sang walikota sedang melakukan transaksi gelap menurut informannya.

Sebelum Nadine mengetuk pintu kamar orang yang paling dia benci, dia memasangakan sebuah spy bug di salah satu piring yang dia bawa. "Let's the show begin." Kalimat yang menjadi pembuka misi kali ini.

Tangan kurusnya mulai menekan bel dan dengan lantang mengatakan, "Room service." Tak berapa lama orang dari dalam kamar itu keluar, Nadine tahu orang itu dan gadis itu kini berharap kacamata, tahi lalat palsu serta kawat gigi membuat lelaki itu tak mengenalinya.

"Berikan padaku!" suruhnya dengan nada layaknya seorang preman.

"Baik, Pak." Nadine memberikan dua buah piring berisi pasta, datu botol wine dari tahun 1996 dan juga dua buah gelas wine.

"Selamat menik—" Nadine tak melanjutkan karena pintu sudah ditutup begitu saja.

"Kau beruntung aku tak mencampurkan sianida," gumamnya kemudian melanjutkan langkahnya menuju kamar sebelah walikota.

"Harusnya aku memasang kamera pengintai juga," gumam Nadine sambil merapikan segala penyamarannya dan mulai mengikat rambut panjangnya. Dia sudah siap untuk mendengarkan segala rahasia si tikus besar.

Tangannya mulai mempersiapkan alat untuk menyadap dan kini tinggal menekan satu tombol dia bisa mendengarkannya. "Oke, kita dengarkan apa yang sedang mereka diskusikan." Tombol merah di pojok kanan atas alat penyadap kini di tekan dan voila suara sang walikota terdengar jelas melalui headphonenya.

"Bagaimana wanita gila itu? Apa dia masih mengejarku?"

"Tidak, saya pikir setelah hampir mati wartawan dari Blue Jail itu tak akan mengungkit kasus ini lagi." Mata Nadine membulat mendengar hal itu. "Dia memanggilku wanita gila? Dasar tikus gendut sialan!"

Di sisi ruangan lain, terdengar suara trolley di dorong mendekat ke arah orang-orang yang berkumpul di tengah ruangan.

"Dari mana kau mendapat makanan itu?" Laki-laki yang merupakan Walikota incaran Nadine terdengar menggerutu dan menunjuk trolley yang di bawa oleh anak buahnya.

"Pelayan yang memberikannya," katanya sembari mencomot satu buah kue kering yang tersaji di piring.

Fin memukul kepala anak buahnya keras. "Bodoh! Aku tak pernah pesan makanan."

Fin menumpahkan semua piring yang ada di trolley hingga satu piring tersisa yang benar dari dugaannya, terdapat sebuah benda kecil yang terpasang di bawah salah satu piring-piring itu. "Kau lihat piringmu dipasang alat penyadap!"

Walikota membanting piring tersebut, menginjak alat penyadap itu hingga hancur. Menatap seluruh pasukannya.

"Sekarang cari pelakunya! Geledah seluruh hotel!" Jantung Nadine terpacu, dia tak tahu bahwa dia akan secepat ini ketahuan.

"Sial, apa yang harus aku lakukan?" Nadine bingung, dia belum mau mati sebelum mengungkap kejahatan Finn pada seluruh manusia di bumi ini.

Belum sempat Nadine menemukan solusi, ada sosok lelaki tinggi berbadan kokoh dan paras layaknya aktor yang tiba-tiba berada di dalam kamarnya yang demi Tuhan sudah dia kunci.

"Siapa kau?" tanyanya.

"Itu yang harus ku tanyakan padamu. Kau siapa sampai aku tertarik untuk datang padamu. Apa kau adalah salah satu makhlukku? Aku yakin aku tak pernah memeliharamu." Laki-laki itu mendekat ke arah Nadine, menatap tepat di matanya yang terhalang oleh kacamata penyamaran.

Nadine tak mengerti apa yang dikatakan oleh lelaki asing itu, yang dia tahu dia harus memanfaatkan seluruh keadaan ini untuk tetap hidup.

Alih-alih terfokus untuk mengetahui identitas sang lelaki, Nadine terpikirkan ide gila yang melintas begitu saja di kepalanya. Soal konsekuensi, sepertinya Nadine cukup handal dalam menghapal titik vital laki-laki berkat Aileen yang selalu mencekokinya hal-hal semacam itu. Katanya untuk perlindungan. "Aku akan menjawab siapa aku, tapi kau harus mengikuti perintahku selama 10 menit."

"Elliot tidak mengikut perintah siapa pun," ujarnya.

"Kalau begitu kau tak akan tau siapa aku." Sebenarnya Nadine hanya sangsi jika laki-laki kokoh itu akan menurutinya dan cukup memanfaatkan dengan iming-iming sedangkal itu.

Elliot mendesah kemudian mengalah setelah menimbang apa yang akan dilakukannya, gadis di depannya tidak bisa dia bunuh sebelum tahu identitasnya. "Baiklah, 7 menit atau tidak sama sekali."

Nadine mengangguk, ini adalah pertaruhannya.

"Oke, duduk diam di sana." Elliot duduk di pinggir bed menunggu instruksi dari si gadis kecil yang kini melepas kemejanya meninggalkan tanktop putih, kemudian melepas roknya hingga safety pant-nya terlihat jelas.

"Kau ingin tidur denganku? Apa itu permohonan terakhirmu?" tanya Elliot ketika dengan buru-buru Nadine melepas kemeja hitam milik sang iblis. Sedangkan sang iblis menatapnya dengan senyuman licik terpatri di wajahnya yang tampan.

Nadine memutar bola matanya. "Kalau ini permohonan terakhirku aku berharap si tikus besar itu ditembak mati karena kejahatannya."

"Aku bisa mengabulkannya asal kau menjadi hambaku."

Nadine tersenyum mengacuhkan ucapan Elliot sembari membuang sembarangan kemeja Elliot. "Aku adalah bosmu selama 7 menit, tidak ada negosiasi," katanya kemudian duduk di pangkuan menghadap Elliot.

"Sekarang kau terlihat seperti seorang jal*ng yang sedang menggodaku." Senyum licik semakin terpatri di wajahnya, hal itu membuat Nadine semakin tidak menyukai laki-laki ini. Memang di dunia ini tidak ada kucing yang tahan jika di hadapannya ada ikan. Tampak dari bola matanya yang menyala.

"Memang itu yang sedang kuperankan saat ini." Tidak ingin ketinggalan permainan, Nadine mulai membelai anak rambut Elliot dengan perlahan. Dadanya bergemuruh seperti hendak meledak di tempat. Dia takut, di sisi lain penyamarannya akan terbongkar.

"Wow aku suka peran itu, sekarang bolehkan aku mencium jal*ngku?"

"Kau diam!" Nadine benar-benar memerintahkan Elliot untuk menutup mulutnya agar tidak menumpahkan ocehan tidak berguna. Sembari dalam hati terus menghitung detik demi detik yang berharap akan cepat berlalu.

"Buka pintunya!" Suara gedoran pintu terdengar membuat jantung Nadine berpacu keras. Tangannya yang lain mencengkeram erat bahu Elliot secara tidak dia sadari.

Elliot menatap air muka Nadine yang menjadi sangat tegang, bulir keringat menetes begitu saja dari pelipis gadis itu. Telinganya yang awas tentu saja mendengar semua suara yang ada, apalagi yang ada di dekatnya saat ini. "Aku bisa mendengar suara jantungmu, apa kau berdebar karena sedang duduk di atasku? Aku bisa membuatnya berdebar lebih keras jika kau ada di bawahku. Ingin berganti posisi?"

Seolah tersadar dari lamunannya, Nadine kembali menatap Elliot.

"Diamlah!" Tangan Nadine membawa tangan Elliot ke pinggangnya sementara tangannya memegang tengkuk Elliot.

"Dalam posisi ini aku bisa memakanmu dengan mudah."

"Diam! Kau harus mengikuti perintahku!" Nadine benar-benar tak sabar dengan godaan Elliot dan ingin segera mengakhirinya.

Pintu kamar Nadine berhasil didobrak dan kini orang-orang yang membuka pintu dihadapkan pada pertunjukan sensual di mana Elliot tanpa meminta izin mulai menciumi bahu dan tengkuk Nadine kemudian dengan sorot tajamnya dia mengusir orang-orang itu.

Nadine terdiam sejenak, bulu romanya meremang merasakan ciuman dari bibir Elliot. Seketika perutnya tersentak, mendorong bahu Elliot agar berhenti menciuminya dan segera menjauh darinya. "Bukankah aku menyuruhmu diam?"

Nadine hendak turun dari pangkuan Elliot, akan tetapi laki-laki itu jelas tidak mengizinkannya setelah dipermainkan kewarasannya jangan berharap bisa lepas begitu saja. Nadine berharap bisa berhenti untuk merasakan dadanya yang bergemuruh. Amarahnya kembali memuncak kala itu juga.

"Aku hanya mengikuti perintahmu selama 7 menit, aku menciummu di menit ke 8. Jelas aku tak melanggarnya. Sekarang katakan siapa kau?" Elliot mengunci Nadine dengan tangannya.

Sesuai dengan janjinya, Nadine harus membongkar identitasnya. Mungkin laki-laki ini hanya wartawan dari majalah lain yang mengincar berita yang sama, pikirnya sederhana. "Nadine, wartawan Blue Jail, aku bukan makhluk ciptaanmu! Aku manusia ciptaan Tuhan."

"Bagaimana bisa ada manusia sepertimu?" gumam Elliot.

"Tentu saja ada, silahkan Anda boleh pergi."

"Bagaimana aku bisa pergi jika posisi kita masih seperti ini? Apa kau yakin tak ingin aku di atasmu?" Elliot tersenyum menggoda dan harus Nadine akui Elliot lebih dari sekedar tampan, tapi tentu tidak adalah jawaban yang tepat pda tawaran di iblis.

"No." Katanya sambil melompat turun dari pangkuan Elliot. Memungut kembali baju-bajunya yang tadi dia lempar asal.

Elliot menatap ke arah langit yang tampak dari jendela kamar yang terbuka, tempatnya datang tadi. Menatap tak suka ke arah sang angkasa yang tak punya dosa, lalu beralih pada Nadine.

"Oke, oke. Aku pergi." Elliot menyambar kemejanya kemudian dengan penuh kesadaran menghampiri Nadine untuk mencuri ciuman terakhir dari gadis itu. Setidaknya untuk hari ini.

"Just for a little souvenir." Elliot kembali menyeringai.

"You a pervert Devil!" erang Nadine terdengar frustasi.

"No baby, I am Elliot the devil, not a pervert. But, if you want me to be pervert I can be the one." Nadine melempar bantal pada Elliot, tapi hal itu terlalu mudah untuk dibaca hingga kini bantal itu harus melayang dan jatuh  mengenaskan di lantai.

"Aku mau menemanimu bermain, tapi ada panggilan penting. See you again sweetheart," katanya kemudian menghilang begitu saja lewat pintu yang Nadine kunci.

"Damn! It's my first kiss!" 

...^^^...****************...^^^...

BAB II THE FALLEN KINGDOM

“Aku yakin aku sudah gila.” Nadine menjatuhkan pantatnya di kursi sebelah ranjangnya.

Setelah hari yang berlalu begitu panjang hari ini badannya terasa sangat remuk, kadang Nadine berpikir jika dia memang terlahir sebagai jompo. Setelah seharian beraktivitas biasanya Nadine bisa tepar karena terlalu lelah seharian, entah rasanya kondisi badannya tidak selalu bagus. Nadine melepas blazernya dan secara spontan mengingat kejadian malam tadi.

Nadine mengerang frustasi karena imajinasinya sendiri, sedangkan si pendengar yang duduk di meja belajar seberang tempat tidurnya hanya terkekeh kecil dan masih sangat sibuk dengan kegiatan membacanya. Entah kali ini apa yang dia baca, karena setiap hari selalu saja ganti bacaan.

Kamar yang mereka tempati memiliki dua ranjang queen size dengan masing-masing sisi mereka bagaimana menghias kamar. Satu kamar dua ranjang untuk dua orang dan untungnya kamar mereka cukup luas untuk berbagi.

“Aku hanya tidak menyangka kalau kau bisa berpikiran ke sana, kau tidak apa-apa kan? Since, kau bersikeras untuk tetap di sana,” komentar room mate-nya yang selalu menganggap pikiran Nadine tidak jelas dan tiba-tiba. “Jadi, bagaimana dengan lelaki itu?”

Setelah pertengkaran karena Nadine selalu mengabaikan kata-katanya akhirnya dia bisa menenangkan Aileen dengan menceritakan semuanya, untung saja Aileen langsung duduk di meja kerjanya dan tidak lagi mendamprat dengan berbagai pertanyaan lagi.

Nadine mengernyit. “Bagaimana apanya?”

Aileen—room mate-nya mengerling genit ke arah Nadine. “Kau tau lah, Apa dia tampan? Hot? Atau cowok cupu biasa-biasa?”

Mencoba mengingat-ingat kejadian memalukan dengan  mencoba untuk tidak blushing sendiri, Nadine bahkan menutup kedua wajahnya dengan kedua tangan. Dadanya berdegub kencang karena dia pikir itu adalah esensi yang ditinggalkan sebelumnya. Mengingat bagaimana dua matanya yang tajam menatap ke arahnya, rahangnya yang tegas dia belai secara perlahan, dan bibirnya yang penuh saat bersetuhan dengan miliknya.

Dang it!

“Fix, dia hot,” kata Aileen menyaksikan bagaimana Nadine tenggelam bersama pikirannya.

Tidak mengelak, apa yang dikatakan oleh Aileen, dia bukan hanya sekedar panas, tapi juga tampan dalam porsi yang pas. Nadine mungkin akan memimpikannya lagi malam ini.

Namun sayangnya Nadine memikirkan hal lain. “Dia seperti cerita fairytale,”

Aileen menutup bukunya dan menatap lawan bicaranya. “Maksudnya?”

“Entahlah, Aileen, aku nggak mau memikirkannya, dengan membawanya ke pikiranku seperti membawa ingatan tadi kembali.” Nadine mengerang frustasi jelas ingin melupakan kejadian tadi.

Aileen tertawa membuat Nadine tidak mengerti karena tidak memahami apa yang lucu dari ucapannya. Mungkin saja dia benar, kapan lagi Nadine akan bertemu laki-laki yang hampir sempurna membuat jantungnya copot.

Ada sih, tapi rata-rata mereka bodoh dan laki-laki yang dia temui tadi tidak tampak demikian dan meninggalkan bekas cukup mendalam bagi Nadine sendiri.

“Mau ku ceritakan cerita fairytale? Bukan soal peri, tapi sebuah dongeng yang lebih terasa tidak nyata.” Senyum kecil mengembang di wajah Aileen.

“Dongeng apa? Kau menemukan dongeng baru?” Sudah bukan rahasia umum jika keduanya acap kali berbagi cerita yang mereka temukan mengingat keduanya suka membaca buku. Hanya saja, Aileen lebih rajin daripada dirinya.

Aileen yang dia tahu memiliki gangguan tidur, dia bisa saja tidak tidur selama beberapa hari dan itu kadang membuat Nadine khawatir dengan kesehatannya. Meskipun Aileen saat ini terlihat baik-baik saja, tidak seperti dirinya yang mudah sekali lemah hanya karena beraktivitas kecil. Nadine mengkonsumsi banyak vitamin setiap hari baik sebelum maupun setelah beraktivitas untuk mempertahankan daya tahan tubuhnya yang lemah.

Dulu Nadine sering melakukan medical check-up untuk memantau kesehatannya, tapi dokter mengatakan tidak ada yang salah dengan kondisi tubuhnya yang mudah lelah. Dokter mengatakan bahwa Nadine hanya stress dan lelah karena melakukan banyak kegiatan saja. Dia hanya memerlukan waktu untuk istirahat dan mengkonsumsi vitamin agar tidak mudah sakit.

Sekarang Nadine mengikuti saran dokter untuk mendoping dirinya dengan menggunakan vitamin untuk bertahan hidup, mengingat pekerjaannya yang banyak di esok hari.

Nadine mengambil vitaminnya dari meja, tertata rapi di sana berdasarkan kegunaan dan waktu penggunaan yang tepat. Mengambil satu tablet untuk dia konsumsi dan menandaskan satu gelas air putih. Seraya membaringkan tubuhnya di ranjang sembari membiarkan Aileen yang mulai membuka mulutnya.

“Dahulu kala hiduplah seorang anak dari kerjaan mimpi, dia adalah Nightmare. Benar, dia tercipta sebagai pembuat sejati mimpi buruk di setiap tidur manusia. Suatu hari, ayahnya—Dream—membawanya berkelana untuk melihat kehidupan manusia dan menunjukkan efek dari mimpi yang selama ini mereka berikan. Hanya saja, mengetahui bagaimana mimpi buruk bereaksi sangat buruk bagi kehidupan manusia, sang Nightmare mengalami kekecewaan dan menganggap apa yang dia lakukan tidak di sukai kebanyakan manusia.

“Sejak saat itu sang Nightmare berubah, dia mencari cara untuk lepas dari fungsinya dan berhenti membuat mimpi buruk. Dream, tentu menegur Nightmare dan menjelaskan mengenai keseimbangan yang mereka jaga. Nightmare merasa perannya jauh dari kebaikan merasa jika dia tidah bisa memberikan kebahagiaan untuk orang lain maka sebaiknya tidak melakukannya sama sekali. Dengan tekad sebesar itu Nightmare mulai membaca buku dari segala buku, sumber dari segala sumber, dan mulai melakukan petualangan seorang diri.

“Akhirnya dia menemukan jawabannya, tapi semua jawaban pasti datang dengan konsekuensinya, dia harus mendatangi raja dari segala raja iblis dan melakukan pertukaran, tetapi sebelum itu terjadi niat Nightmare diketahui oleh Dream dan itu membuatnya murka. Dream bilang, Nightmare tidak tahu seberapa berbahanya hal itu jika benar-benar dilakukan karena menggangggu keseimbangan. Lalu Nightmare pun di kurung selama puluhan tahun.”

Jangan berharap Nadine akan tertidur karena mendengarkan sebuah dongeng, apalagi dongeng yang menyimpan makna kegelapan. Sejatinya Nadine lebih percaya jika semua dongeng pengantar tidur adalah cerita tragis yang dikemas sedemikian rupa agar dapat di baca dengan mudah oleh Sebagian besar anak-anak. Meskipun demikian mereka hanya mengetahui siapa yang baik dan yang jahat, tetapi untuk orang dewasa cerita mengerikan seperti itu memiliki banyak sekali makna.

“Kau mendapat cerita seperti itu dari mana? Aku yakin tidak ada dongeng anak-anak seperti itu.” Merapatkan selimutnya hingga batas dada, mengganti posisi dari kanan ke kiri tepat kea rah tirai jendela yang malam itu belum dia tutup.

“Memangnya kenapa? Ada yang salah dari cerita itu?” tanya Aileen.

Nadine mengangkat kedua bahunya. “Aku bahkan tidak tau apa pesan yang tersiratnya, aku hanya merasakan ego dari Nightmare ingin menjadi seseorang yang bukan dirinya?”

Tidak memberikan jawaban, Aileen mengangguk-anggukan kepalanya saja. Membiarkan komentar Nadine melayang di udara.

Nadine mematikan lampu tidurnya. “Lagi pula itu hanya dongeng, siapapun yang menulisnya dia harus menambahkan bumbu-bumbu kejahatan. Selamat malam, Aileen.”

“Selamat malam, Nadine.”

......****************......

Nadine merasakan pipinya disentuh oleh benda-benda lembut yang berhamburan. Angin yang membawa benda-benda kecil itu melewati keberadaan Nadine semakin terasa nyata ketika dia membuka matanya perlahan. Menyesuaikan dengan intensitas cahaya saja, Nadine mencoba untuk menghalau benda-benda kecil yang terbang bersama udara masuk ke matanya yang ternyata adalah pasir-pasir.

Membuat payung kecil di dahi menggunakan kedua tangannya entah dari panas atau pasir yang berterbangan. Kakinya terasa dibelai lembut oleh pasir yang perlahan menenggelamkan mereka. Nadine tidak melihat apa-apa selain hamparan bukit pasir sejauh mata memandang yang berterbangan karena angin yang berembus.

Ke kanan ke kiri Nadine sama sekali tidak menemukan sesuatu, dimanakah dia berada? Menerka-nerka dalam kebingungan. Nadine tidak pernah mendapatkan pekerjaan ke gurun pasir, ini pertama baginya menginjakkan kaki di sini.

Kakinya telanjang, memutar badan dan akhirnya Nadine menemukan sesuatu yang bisa di tangkap selain padangan pasir yang berterbangan.

Sebuah bangunan yang dapat Nadine asumsikan jika keberadaannya tidak seburuk sekarang ini, maka mereka adalah sebuah kerajaan.

Sayangnya kubah dari kerajaan itu hancur, reruntuhan yang menanggalkan tempatnya dari sebagian besar bangunan menyisakan reruntuhan yang hampir menyatu dengan tanah. Bangunan itu terbuat dari batu yang mungkin saja tidak ditempa oleh semen, mungkin sesuatu yang besar yang bisa membangun ini kembali.

Nadine juga melihat beberapa patung yang telah meninggalkan gerbang karena menyatu dengan alas tempatnya bertumpu. Tidak hanya itu, tapi juga kegelapan perlahan-lahan melahap mereka.

......****************......

BAB III THE KINGDOM

Lidah Elliot menari di area bibirnya memaksa sang lidah ikut merasakan rasa manis yang ditinggalkan oleh bibir Nadine pada bibirnya. Dari sentuhan yang dia lakukan pada Nadine dia sama sekali tak merasakan adanya kehadiran makhluk yang pergi pada diri Nadine. Namun, jika Nadine murni manusia mengapa rasanya begitu memabukkan? Bahkan jika Snake tak menghubunginya dan mengatakan ada masalah di kerajaannya mungkin Elliot tak akan meninggalkan Nadine yang tampak menggemaskan dengan wajah memerah akibat kesal.

"Lebih baik ini benar-benar penting karena kalau tidak aku akan menghukummu." Elliot sudah memberi peringatan pada Snake ketika orang kepercayaannya itu menyambutnya.

"Chaos." Hanya dengan nama itu saja Elliot sudah tahu bahwa Snake tak salah menghubunginya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan saudaranya itu akan selalu serius. Serius yang menyebalkan.

"Kali ini apa yang dia inginkan?" tanya Elliot memimpin jalan menuju tempat yang sudah dia tebak ada Chaos berada.

"Sama seperti biasanya." Senyum meremehkan keluar dari bibirnya yang bisa Snake terjemahkan bahwa sebentar lagi akan ada pertengkaran karena Elliot mungkin tak akan menahan dirinya seperti ribuan tahun selama ini.

“Kau sudah kembali saudaraku? Apa karena ular itu memberitahumu ada tamu penting?” Snake hanya diam, kaki tangan Elliot ini memiliki banyak latihan kesabaran dan apa yang dilakukan Chaos masih belum menembus lapisan terluar kesabarannya.

“Iya aku sudah kembali dan itu bukan karena ada tamu penting karena seingatku Snake mengatakan bahwa ada domba yang ingin duduk di kursi singa,” sarkas Elliot yang dengan angkuh menduduki singasana yang dibiarkan dingin selama puluhan tahun.

“Berkelana di kehidupan para mortal membuatmu bertindak seperti mereka. Bar-bar dan lemah.” Elliot kembali memamerkan senyum mengejek dan kali ini Snake harus mempersiapkan diri untuk keluar dari ruangan sebelum dilibatkan secara paksa, cukuplah dia menjadi pembersih lantai jika ada darah yang tercecer.

“Ya, kau benar mereka punya batas waktu menjadi lemah sementara kau … immortal … selamat, kau bisa menjadi lemah tanpa takut mati.” Elliot lebih aktif mengeluarkan sarkasnya seakan dia tak ingin bertingkah sebagai saudara bijaksana yang merengkuh seluruh keluarganya.

“Elliot!” Di sini Chaos harusnya memancing Rlliot, tapi sepertinya peran ini sedang terbalik.

“Apa kau marah? Bahkan sebelum kau mengatakan apa maksud menganggu kerajaanku?”

“Aku tidak mengganggu! Aku hanya datang untuk memperingatkanmu.” Chaos menatap tajam mata Elliot yang memerah secara perlahan, si raja iblis ini mulai menunjukkan ketidaknyamanannya pada Chaos.

"Memperingatkan dengan cara menghancurkan properti kerajaan? Apa itu salah satu ajaran bar-bar yang kau terima selama ini?" Matanya nyalang perlahan berubah menjadi lautan semerah darah. Maniknya yang berubah memiliki arti tersendiri.

Laki-laki berjubah hitam dengan beludru merah di bagian dalamnya itu menunjuk Elliot tepat di hidungnya. Nyalang, tak terbaca mencoba kembali peruntungan membuat saudaranya ini terpancing. "Berhenti mengubah topik! Aku datang kemari untuk memperingatkanmu Elliot."

"Tentang?" tanya Elliot tenang, dia sudah menduga ini semua.

“Kau sudah lama meninggalkan kerajaan dalam posisi yang sulit!” Chaos berjalan memutari Elliot dan sang kacung. Menatap kembali reruntuhan yang belum sepenuhnya pulih dengan gaya elegan sembari menerawang jauh.

“Aku tidak menyulitkan siapa pun.” Elliot nenyangkal ucapan Chaos.

“Tidak?" Chaos tertawa sarkas. "Kau membuat dunia sedang kacau karena makhlukmu yang kau lepas di luar sana?" Chaos membeberkan fakta, dimana justru itulah yang sedang Elliot usahakan.

Selama perjalanan, sepertinya dalam kehidupan fana yang ternodai, ada banyak manusia semakin jahat tanpa harus adanya iblis yang dia ciptakan. Seperti Chaos adalah jelamaan iblis itu sendiri.

"Aku tidak melepaskan mereka, mereka yang melepaskan diri atau--" Elliot menjeda ucapannya kemudian melanjutkan, "Ada yang melepaskan mereka dariku untuk membuat kekacauan." Elliot menatap Chaos tajam, berapa kalipun mereka berdebat dengan inu Chaos tidak pernah mau mengakui.

Tawa Chaos menggema di ruangan Elliot yang tertutup seakan Elliot baru saja mengumumkan sebuah candaan yang wajib untuk ditertawakan.

"Berkeliaran di dunia mortal membuatmu berhalusinasi."

Elliot mulai serius, wajahnya pun menegang seolah siap untuk kemungkinan terburuknya. "Aku tidak berhalusinasi dan semua ucapanku benar. Aku tidak pernah melepaskan makhlukku keluar dari kerajaanku. Saudaraku, jika aku yang melepaskan mereka untuk apa aku mencoba menangkap mereka? Bukankah kau sangat paham bahwa aku tak suka membuang-buang waktuku hanya untuk mengembalikan mereka yang menghilang. Apalagi mengunjungi dunia mortal yang sangat kau benci itu."

"Lalu, menurutmu ada orang yang membuat mereka pergi?" Pertanyaan Chaos menjadi pertanyaan yang tiada ujungnya adalah yang Elliot tunggu sejak lama.

Elliot menjentikkan jarinya di depan wajah Chaos, hingga laki-laki itu mengernyitkan dahi.

"Betul sekali, akhirnya kau cukup punya otak untuk paham maksudku." Elliot seperti sedang memeras kesabaran Chaos yang setipis lapisan es.

"Jika benar ucapanmu, apa tujuan dia melakukan ini? Menguasai dunia? Yang di atas akan menghukumnya." Seringai kecil mulai muncul di wajah tampannya.

Kini Elliot melangkah satu kali agar mensejajarkan pandangan keduanya. Dari sekian banyak entitas di sini, Elliot selalu curiga pada satu ornag. "Entahlah, mungkin tujuannya sangat kecil ... Seperti ingin duduk di tempatku. Sepertimu, saudaraku."

"Kau menuduhku?" Tanya Chaos nyalang.

Elliot menggeleng tapi kemudian menyeringai. "Aku tidak menuduhmu, tapi jika kau merasa mungkin itu benar untukmu."

"Kau-kau ... Aku tidak terima dengan penghinaan ini. Aku akan memastikan kau tak bisa membuka mulut vulgarmu itu selain untuk meminta maaf." Chaos berdiri hendak pergi, tapi ucapan Elliot menghentikannya.

"Lakukan sesukamu, saudaraku. Tapi kau lebih baik belajar dari domba." Chaos memicingkan matanya, apa yang perlu dia pelajari dari hewan bodoh seperti domba?

"Apa maksudmu?"

"Apa domba pernah meminta Singa untuk meminta maaf karena menjadi puncak rantai makana? Tidak. They just accept their role karena apa pun yang mereka lakukan tak akan membuat mereka menjadi puncak rantai makanan. Sekarang, apa kau mengerti? Apa pun yang kau lakukan kau tak akan mendapatkan permintaan maaf dariku karena itu tak akan mengubah posisimu." Kali ini Chaos benar-benar pergi membawa lebih banyak kebencian kepada Elliot.

"Menghadapi Chaos selalu melelahkan. Sekarang saatnya kembali ke dunia mortal aku perlu memastikan si manis itu benar manusia atau bukan." Elliot memijar keningnya, menatap Snake yang tidak pernah jauh dari kakinya.

......****************......

Ada lima tab yang terbuka dalam browser Nadine dan kali ini bukan berisi tentang risetnya dalam mencari literasi menulis berita. Semuanya tentang hal yang tak adda hubungannya dengan pekerjaan.

Apa yang membuat lelaki mencium seorang wanita?

Apa yang harus dilakukan seorang wanita setelah dicium oleh lelaki super duper tampan?

Mengapa wanita sulit melupakan lelaki yang menciumnya?

Apakah ciuman bisa menyebabkan gangguan mental hingga susah tidur?

Apakah orang bisa langsung jatuh cinta setelah berciuman?

Begitulah bunyi lima tab yang dibuka oleh Nadine dan semuanya merujuk pada kejadian tempo hari tepat dimana Elliot mencuri sebuah ciuman yang sampai sekarang belum bisa gadis itu lupakan. "Aku bisa gila!" Nadine mengeram kesal kemudian menutup laptopnya sebelum ada orang yang melihat isi dari pencariannya yang memalukan.

Gadis itu kini menjadikan laptop sebagai bantal sambil melihat ke arah kanan yang membuat matanya dengan jelas melihat bayangannya. Namun, ada yang salah dengan bayangannya.

Setiap bayangan akan ada di sebelah kiri karena letak sinar di sebelah kanan, tapi kenapa bayangannya berada di sebelah kanan. Belum habis rasa heran Nadine bayangan yang dia perhatikan kini bergerak sendiri dan menumpuk bayangan lainnya. Nadine ingin mengamati lebih lanjut, tapi tiba-tiba bayangannya itu menghilang.

"Aku pasti sudah gila. Laki-laki itu membuat otakku tak bekerja dengan benar."

"Apa lelaki yang kau maksud itu aku?" Nadine hampir saja terjatuh dari kursinya jika bukan karena Elliot yang menahan kursi itu hingga kini jarak antara mereka tak lebih dari satu jengkal.

"Wow, aku tak tahu bahwa apa yang kulihat di layar besar itu ternyata benar bisa terjadi," kata Elliot mengomentari salah satu acara drama yang tak sengaja dia lihat ketika membuntuti salah sau makhluknya dimana saat itu dalam drama seorang lelaki melakukan hal yang sama persis seperti yang dilakukan oleh Elliot.

Nadine mendelik. "Aku tak peduli dengan layar besar yang kau tonton, tapi bisa menjauh dariku? Wajahmu terlalu dekat."

Elliot menyeringai melihat wajah Nadine yang tak nyaman. "Terlalu dekat? Ku pikir jarak ini cukup nyaman untuk kau pandang ... Atau jarak ini semakin membuatmu tak bisa berpikir dengan benar."

"Elliot!" erang Nadine dengan nada frustasi. Keberadaan Elliot selalu bisa membawanya ke jurang emosi lebih dalam. Bukannya nyama, Nadine justru terganggu.

"Kau mengingat namaku dan aku juga suka bagaimana kau memanggil namaku, terdengar seksi." Smirk andalan Elliot tampak meggoda, sedangkan Nadine memutar bola matanya jengah. Lelaki di depannya memang luar biasa tampan dan seksi, tapi mulutnya sama seperti playboy yang biasa dia temukan di club malam.

"Berhenti basa-basi dan mundurlah. Aku ingin duduk dengan tenang."

"Baiklah." Elliot menarik kursi Nadine agar kembali dalam posisi yang nyaman kemudian dia juga ikut duduk di sebelah Nadine untuk mengawasinya.

"Terima kasih sudah membantuku tadi dan tempo hari. Jika kau butuh kompensasi aku bisa membayarnya." Nadine mengeluarkan dompet untuk memberikannya secarik kertas jika dan hanya jika Elliot sedang mengemis karena butuh, tapi Elliot menolaknya denga segera. Dia bukan manusia yang butuh uang untuk bertahan hidup.

"Aku tidak butuh uang. Kau cukup menjawab pertanyaanku."

Nadine mendengarkan dengan seksama, menyimpan kembali dompetnya. Dalam pikirannya saat ini adalah menyelesaikan sesegera mungkin urusan keduanya lalu tidak pernah berpapasan kembali. "Baiklah. Tapi, setelah itu kau pergi."

Elliot tampak menimbang untuk beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Baiklah."

"Katakan apa yang ingin kau tanyakan."

"Apa kau demigod?" Elliot selalu saja bisa membungkam Nadine dengan kalimat anehnya.

Nadine hampir menjatuhkan rahangnya ke tanah dengan pertanyaan Elliot—yang menurutnya sangat konyol dan di luar nalar itu. Orang dewasa mana yang mempercayai dongeng Yunani semacam itu? Nadine yakin sudah tidak ada. "Aku sangat yakin bukan."

"Kau yakin? Mungkin ibumu tak pernah memberitahumu sebelumnya." Elliot merapatkan keningnya, menyelidik dari setiap ekspresi Nadine untuk menemukan kebohongan—jika ada.

Nadine mencoba tersenyum sekalipun dia ingin memukul kepala Elliot siapa tau itu bisa membuat lelaki itu berpikir normal. "Tidak. Orang tuaku manusia."

"Kau mungkin anak pungut." Elliot menarik kesimpulan sekenanya. Baginya, aura yang Nadine pancarkan sangat aneh, tidak asing baginya.

"Elliot!" Nadine memberi peringatan kepada Elliot.

"Baiklah-baiklah ini pertanyaan terakhir. Apakah kau punya bekas luka di punggungmu?"

Pertanyaan terakhir dari Elliot membuat Nadine agak terkejut karenanya, bukan karena pertanyaan itu aneh seperti sebelumnya. Pertanyaan itu seperti menarik Nadine pada satu kerucut masa. "Dari mana kau tau?"

"I knew it!"

......****************......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!