"Makan sayur yang banyak loh, biar air susumu itu seger dan berlimpah. Kamu lihat itu badan anakmu kurus kering, pasti gak cocok ASI-nya."
DEG DEG DEG
Untuk kesekian kalinya ibu mertuaku mengatakan kalimat sarkas yang serupa. Berulang-ulang kali pula hatiku tersayat sembilu karena tak bisa berbuat apa-apa. Sungguh, tiba-tiba saja langit serasa menimpa kepala. Tengkorakku pun seolah pecah berkeping-keping dan berserakan ke sana kemari seketika itu juga.
Bagaimana bisa beliau mengatakan hal demikian?
Bukankah ia juga merupakan seorang ibu yang pastinya punya perasaan?
-----------
"Oweeek ... oweeek ...!" Suara bayi menangis.
"Sayang ... bisa minta tolong tengokin si adek?" pintaku setengah berteriak karena posisiku sedang memasak di dapur. Namun, tidak ada jawaban dari suamiku.
"Sayang ...?" teriakku lagi. Masih sama. Tak ada jawaban juga.
"Sayang ... kamu lagi ngapain?" tanyaku seraya membawa tubuh meninggalkan kompor dengan spatula yang masih setia dalam genggaman. Kedua tungkaiku bergerak perlahan ke ruang keluarga, dimana tadi anak dan suamiku sedang bermain bersama.
"Oweeek ... oweeek!" Suara bayiku terdengar semakin kencang.
"Anakku!" pekikku yang seketika panik, tatkala melihat putriku yang masih berumur lima bulan itu tergeletak di atas karpet berbulu dengan posisi tersungkur.
Tanpa berpikir panjang, spatula yang tadinya kugenggam kini sudah terpelanting entah kemana. Disusul oleh suara gebrakan daun pintu, menampakkan seseorang keluar dari kamar dengan wajah tak kalah paniknya.
"Kenapa, Yang?" tanya suamiku yang mungkin sedari tadi tak mendengar teriakan anaknya sama sekali.
Aku tak langsung menyahutinya. Lebih memilih menggendong bayiku dan menenangkannya terlebih dahulu.
"Say--"
Belum sempat aku mengutarakan kata pertama dalam dialog, ibu mertuaku tiba-tiba saja berjalan mendekat dengan langkah tergopoh-gopoh, lalu merebut paksa putriku. Ia mengambil alih peran seolah timanganku tak lagi mujarab untuk menenangkan anakku sendiri.
"Jaga bayi satu aja gak becus kalian ini!" sentak beliau tanpa tahu ceritanya.
Aku dan suami hanya saling pandang. Lalu, memilih untuk tetap bungkam. Yang namannya orang tua, tidak boleh dibantah apalagi jika mereka sedang berbalut emosi jiwa.
Orang tua selalu benar, itu katanya!
"Ada apa?" tanya ayah mertuaku dengan menggunakan bahasa Jawa. Beliau baru saja memasuki ruangan, sepertinya baru selesai menjenguk tanaman-tanaman kesayangannya di pekarangan belakang.
"Ini ... cucumu tersungkur di lantai. Orang tuanya gak becus jagain," sergah ibu mertua dengan wajah cemberut.
Aku masih menunduk. Sementara suamiku tak juga menyahut. Mungkin, ia pun merasa bersalah atas kelalaiannya dalam mengawasi putrinya.
Aku paham. Ia sama sekali tidak bermaksud membiarkan anaknya sendirian. Kemungkinan sebelum kejadian tadi, ia mengajak anaknya bermain di dalam kamar, lalu ketiduran. Sehingga ia tidak menyadari bahwa bayi itu merangkak sendiri ke ruang keluarga.
Bagaimana aku bisa membaca situasinya? Tampak jelas dari kedua bola matanya yang memerah dan muka bantalnya yang begitu kentara.
"Ya, udah, gak usah ribut. Masalah sepele jangan dibesar-besarkan."
Seperti biasa. Ayah mertuaku adalah sosok paling bijaksana yang di kala ibu mertua murka dipeluk erat oleh emosi negatifnya, beliau akan menjadi penenang suasana.
"Ya, gak gitu juga. Kalau terjadi sesuatu yang enggak-enggak, gimana?" Ibu mertuaku masih kukuh dengan ideologinya.
"Ya, buktinya cucu kita gak apa-apa, 'kan? Sini, adek gendong Kakung aja." Ayah mertua mengambil alih cucunya. Ia menggoyang-goyangkan tubuh putriku yang kini sudah berada di dalam gendongannya sambil menyanyikan lagu ciptaannya sendiri.
Tentu saja, bayiku yang super lucu itu langsung tertawa gemas setelah diperlakukan seperti itu. Barulah detik ini, hatiku sedikit menghangat, setelah beberapa saat diterjang ombak kesinisan ibu mertua.
Akankah setelah ini aku akan selamat begitu saja dari omelannya?
Atau mungkin, ia malah kembali mendiamkanku untuk ke sekian kalinya?
Entahlah!
Namaku Aprilia Tanjung Wangi. Kelahiran Ponorogo, 19 April 1987. Dari namaku saja, kalian pasti sudah bisa menebak jika aku ini pasti keturunan Jawa tulen. Ya, benar sekali. Aku lahir di pulau Jawa dan dari keturunan Jawa pula. Memiliki tinggi badan seratus enam puluh delapan centimeter. Bertubuh ramping, wajah bulat, hidung bangir, dan bibir imut.
Setelah menyelesaikan pendidikan strata satu, aku memutuskan untuk menikah. Bukannya menikah karena terpaksa, tetapi memang karena sama-sama suka.
-------
"Sayang, kopelku dimana?"
Mendengar pertanyaan itu, aku langsung bergegas menemui suamiku. Sudah menjadi kebiasaannya, tidak bisa menemukan atribut kerjanya sendiri tanpa bantuan dariku. Padahal, semuanya sudah tersimpan rapi di tempat yang seharusnya.
"Ini, Sayang. Kopelnya ada di tempat biasa," tuturku lembut sembari menyerahkan kopel berwarna hitam itu padanya.
Ia tersenyum padaku, lalu menyambut uluran tanganku. Melingkarkan benda itu pada pinggang, kemudian menguncinya.
"Hari ini aku piket, kamu baik-baik ya di rumah. Sampai jumpa besok!" Setelah mengatakan kalimat itu, ia langsung mencium keningku.
Aku pun tak mau kalah, kuraih telapak tangan sang suami, lalu mencium punggung tangan yang setiap harinya bekerja untuk menafkahiku itu sebanyak tiga kali. Kemudian berakhir pada telapak tangannya.
"Manis sekali," komentarnya seraya mengasak lembut pucuk kepalaku. Bisa kutangkap dalam pandangan bahwa ia sedang tersenyum simpul.
Aku pun balas tersenyum lembut, sebelum melepas kepergiannya untuk melaksanakan tugas.
Ya, suamiku adalah seorang abdi negara. Sebagai seorang istri, aku harus siap ditinggal kapan saja. Apalagi seperti hari ini. Ia berangkat pagi dan akan pulang esok paginya. Itu sudah menjadi konsekuensi. Dan aku harus tetap menerimanya dengan sepenuh hati.
"Pril, kamu yang masak ya, ibu mau ke sebelah dulu!" titah ibu mertuaku.
"Iya, Bu."
Aku yang baru saja selesai melambaikan tangan pada suami, langsung bergegas ke dapur untuk memulai pagi.
Seperti biasa, memasak, mencuci piring, mencuci pakaian dan membersihkan rumah, sekarang sudah menjadi bagian dari pekerjaan yang harus aku selesaikan. Sebagai menantu di rumah ini, aku harus bisa menempatkan diri. Tak ingin membuat mertuaku menyesal karena putranya sudah memilihku sebagai seorang istri.
Setelah menikah, suamiku langsung memboyongku untuk tinggal bersama kedua orang tuanya. Awalnya, aku ingin menolak, namun berhubung ia sudah memutuskan, maka aku juga tidak bisa untuk membantah.
Bukan apa, menurutku ... jika sudah menikah, pasangan suami-istri itu butuh privasi. Tinggal terpisah dengan kedua orang tua itu sepertinya lebih baik. Namun, suamiku adalah anak tunggal di keluarganya. Jadi, mertuaku tidak mengizinkan jika kami harus tinggal terpisah dengan mereka.
Akhirnya, di sinilah aku sekarang. Menyiapkan menu makan siang untuk bersama. Lagi pula, hal ini bukan lagi untuk yang pertama kalinya, karena usia pernikahanku sudah menginjak bulan ketiga.
"Asin banget, Pril. Sambalnya asin ya, Pak." Seperti biasa, ibu mertuaku selalu saja menggempurkan komentarnya. Diiringi dengan ekspresi wajah yang benar-benar tidak enak dipandang.
"Gak kok, Bu. Ini pas menurut bapak," sangkal ayah mertuaku.
Lelaki tengah baya itu kembali mengambil potongan timun, lalu memakannya dengan sambal tomat yang aku buat.
"Halah, asin begini kok dibilang pas to, Pak."
Kembali, kata-kata ibu mertuaku serasa menggores hati. Seolah apa yang aku masak tak pernah ada kata enak untuk dirinya. Sedari awal aku tinggal di rumah ini.
Itulah alasannya, kenapa aku selalu ragu untuk menyiapkan makanan untuk ibu mertua. Karena setiap apa pun yang aku masak, selalu saja tidak cocok di lidahnya.
"Maaf ya, Bu. Biar April bikinkan yang baru untuk ibu," ucapku tak enak hati sekaligus tak enak selera lagi untuk melanjutkan ritual pengurukan lambung.
Aku langsung beranjak dari kursi, menuju dapur dengan linangan air mata yang sudah menggenang di kedua pipi.
Ya Tuhan ... apa aku terlalu baper dalam hal ini?
"Hei, kamu itu harusnya bersyukur, Pril. Punya mertua sebaik Bu Harto, kurang apa lagi coba?" ucap Mbak Yuli--tetangga mertuaku. Kebetulan di sebelah wanita itu ada ibu mertuaku yang baru saja berbisik-bisik dengannya. Entah, apa saja yang mereka ghibahkan sedari tadi, aku juga tidak tahu.
Hari ini aku diminta untuk menemani Mbak Yuli mengantar anaknya ke salon langgananku. Bertepatan dengan peringatan hari Kartini--TK--di mana anak Mbak Yuli mengenyam pendidikan dininya, mengadakan lomba fashion show yang bertemakan budaya asli Indonesia. Kebetulan, di salon langgananku itu juga menyediakan penyewaan kostum karnaval dan lain-lain.
Aku hanya tersenyum menanggapi celotehannya. Apalagi, saat ini aku sedang berbincang kecil dengan anak Mbak Yuli--yang sedang menunggu giliran naik panggung.
Ibu mertuaku yang saat itu juga turut serta, hanya melirikku dengan tatapan penuh makna, kemudian kembali berceloteh ria.
Aku sendiri memilih untuk tetap fokus pada tontonan yang lebih menggemaskan di atas panggung, sambil sesekali menanggapi pertanyaan dari putri Mbak Yuli. Walaupun, sebenarnya di dalam hatiku sedang terjadi perperangan emosi yang cukup berkecamuk, tapi aku masih berusaha untuk tetap tenang agar tak merusak suasana siang ini.
------
"Ma, aku laper," rengek si kecil Kania, setelah acara selesai. Aku masih berdiri di dekatnya--menanti respon dari ibu gadis kecil itu.
"Kamu udah banyak makan jajan tadi, masa' iya masih laper aja?" respon Mbak Yuli seraya membuka pintu mobil.
Aku masuk melalui pintu tengah, bersamaan dengan Kania yang mulai memasang tampang cemberut. Sementara ibu mertuaku duduk di kursi depan bersebelahan dengan Mbak Yuli.
Sepanjang perjalanan aku terus menarik perhatian gadis kecil di sebelahku, yang sejak mobil ini bergerak, ia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Namun, sia-sia saja bocah itu tetap tidak mau berbicara.
Tak lama setelah itu, mobil pun berhenti tepat di pinggir jalan. Kania melengak ke luar jendela seolah sedang mengecek situasi--apakah sang ibu menghentikan mobilnya tepat di sebuah restoran atau tempat makan lainnya.
Dan ... ternyata memang benar. Mbak Yuli langsung memarkirkan mobilnya, di pekarangan sebuah cafe & resto, setelah memencet tombol parkir yang tersedia di samping gerbang.
"Yeeey!" sorak Kania. Dengan lincah tangannya membuka pintu mobil dan melanting keluar.
Di dalam resto
"Ma, aku mau spageti dan jus melon," ucap Kania dengan lantang. Mbak Yuli sedikit memelototi bocah itu, kemudian menginformasikannya pada sang pelayan yang sedang mencatat pesanan.
Aku tersenyum gemas. Gadis kecil ini sungguh menggemaskan di mataku. Calon anak cerdas. Tingkahnya yang terkesan sangat aktif itu menambah nilai plus yang sebenarnya tak diketahui sebagian orang tua. Mereka malah beranggapan bahwa keaktifan seorang anak merupakan sesuatu yang bisa mengganggu ketenangan. Bahkan sering juga aku mendengar bahwa orang tua mengecap seorang anak itu nakal, hanya karena keaktifannya.
"Kamu pesan apa, Pril?" tanya Mbak Yuli.
Aku mengerjap, sebab terlalu fokus memindai wajah Kania yang begitu imut di pelupuk mata. Di tambah lagi ia sedang mengenakan kostum unik ala pengantin Jawa yang dilengkapi dengan pais dan pernak-pernik lainnya.
"Eh, saya minum aja, Mbak." Aku tersenyum ke arah Mbak Yuli. Wanita itu balas tersenyum, lalu kembali berbicara dengan si pelayan.
"Gimana mau sehat kalau cuma minum doang. Makanya gak hamil hamil kamu itu," celetuk ibu mertuaku dengan nada rendah, namun terasa sangat menekan ulu hati.
Aku langsung menunduk, tak berani mengangkat wajah. Khawatir kalau-kalau Mbak Yuli akan menyadari bahwa kedua netraku mulai berkaca-kaca karena bertepatan dengan hal tersebut wanita itu pun selesai memesan makanan.
"Mbak Ras, saya dengar Pak Harto bangun rumah burung walet, ya?" tanya Mbak Yuli pada ibu mertua. Mereka kembali mengobrol asik seperti sebelumnya.
Aku cepat-cepat mengambil tissue dan menekan dalam kedua sudut mata. Seraya mengerjap beberapa kali, aku pun kembali tersenyum ke arah Kania, yang mungkin sudah menyadari bahwa ada hal aneh yang terjadi padaku.
"Tante April kenapa? Kok matanya merah?" bisik gadis kecil itu.
Sudah kukatakan tadi, bocah ini memang cerdas. Daripada bertanya dengan suara lantang, dia lebih memilih untuk mengecilkan volume suaranya, karena ia yakin aku sedang menyembunyikan sesuatu.
"Tidak apa-apa, Sayang. Tadi ... mata tante kemasukan hewan," kilahku yang memang terpaksa berbohong.
"Tante ... kata Bu Guru, bohong itu dosa loh," peringatnya sambil mengangkat sebelah jari telunjuk.
Kedua bola mataku kembali memanas. Sumpah, demi apa pun rasanya aku ingin sekali menumpahkan isi hatiku pada anak kecil ini. Tapi, itu semua tidak mungkin. Tidak mungkin aku meraung dan merengek pada anak seusia Kania. Dia belum mengerti masalah orang dewasa.
"Iya, maaf ya, Nak." Hanya itu yang bisa aku katakan.
Namun, bocah itu kembali berbisik, "Apa tante mau kutemani ke toilet? Biasanya, kalau berada di tempat umum, orang dewasa berlari ke toilet untuk menangis."
Oh, Tuhan!
Peka sekali hati anak ini.
"Ayo!" ajakku tanpa berpikir panjang lagi. Aku langsung berdiri dari posisi, diikuti oleh Kania.
"Eh, mau kemana?" tanya Mbak Yuli, pandangannya tertuju padaku.
"Ke toilet sebentar, Ma." Itu suara Kania. Tanpa menunggu respon lagi dari ibunya, bocah itu langsung menyeretku dari sana.
Dengan lincah ia menggenggam erat tanganku seraya mengayun-ayunkannya hingga kami tiba di depan toilet. Namun, baru saja aku akan masuk, tiba-tiba seseorang keluar dari sana dalam waktu yang bersamaan.
BRUUUGH
Tubuh kami bertubrukan.
"Awww!"
Aku langsung menarik diri. Memegangi pundakku yang memang terasa sakit. Menyadari hal tersebut, Kania pun sontak melepaskan genggaman tangannya dariku.
Dengan cepat orang itu meminta maaf karena memang berjalan sambil menunduk. "Maaf ya, Mbak. Saya buru-buru tadi."
Barulah ia mengangkat wajah setelah mengatakan dialognya. "Sayang?"
Ia langsung membulatkan kedua netranya setelah menatapku. Ternyata orang yang menabrakku adalah suamiku sendiri.
"Sayang!" Aku langsung berhambur dalam pelukannya sambil menangis sesegukan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!