NovelToon NovelToon

Wanita Arogan Terjebak Dalam Dunia Novel

Gadis Arogan

"Dindaaaaaa! Kemana aja sih lo, ke sini, buruan!" teriak Airin Senja yang biasa di sapa Senja dengan penuh emosi.

Ini kali kedua gadis cantik itu menjerit memanggil sang asistennya. Senja tidak akan mentolerir siapa saja yang ada di dekatnya bergerak lambat saat dipanggil atau pun melakukan perintahnya. Dengan tergopoh-gopoh, Dinda mendekat, membawakan jus apel yang baru saja selesai dibuatnya, meletakkan di atas meja tepat di dekat tumpukan naskah yang saat ini dikerjakan oleh Senja.

"Lelet banget sih Lo! Sumpah ya, gue gak bisa lagi mentolerir keleletan lo ini! Ngapain aja sih buat jus aja lama banget?" hardik Senja dengan bola mata membulat.

Lima tahun bekerja untuk Senja sudah membuat Dinda paham watak bosnya itu, jadi saat gadis itu mulai marah bahkan tak jarang memakai Dinda hanya bisa menahan diri, bersabar dan tidak menjawab. Mulut culas Senja sudah terlalu sering menyakiti hatinya, tapi karena gaji yang diberikan wanita arogan itu setimpal, Dinda menerima semua perlakuan wanita itu dengan hati dongkol.

"Maaf, Ja. Tadi harus bersihkan juicernya. Ada apa?" tanya Dinda lembut.

"Nih, gue minta bubur ayamnya kan gak pake kacang, kenapa lo kasih kacang? baru kali ini lo siapin sarapan gue? mau lo apa sih buat gue naik darah terus? lo lihat sekarang, mood gue udah turun buat nulis, sementara naskah ini harus kelar akhir bulan ini. Bisa lo gantiin gue? Lo gak paham kan berapa ratus juta kerugian gue kalau naskah ini sampai telat? Dasar bego lo, asisten gak ada otak!" umpatnya bangkit dari duduk dan ngeloyor pergi ke kamarnya.

Juminten, pelayan Senja di rumah itu hanya bisa menatap kasihan pada Dinda yang baru saja diomelin Senja. Bukan hanya Dinda yang jadi bulan-bulanan Senja, tapi juga Juminten, tapi karena wanita tua itu sudah bekerja pada orang tua Senja sejak dulu, mengasuh Senja dari kecil hingga Juminten tetap bertahan. Dia juga sudah janji pada kedua orang tua Senja, terlebih pada ibunya untuk menjaga Senja.

"Sabar ya, Non," ucap Juminten mendekati Dinda. "Non harus maklum, non Senja mungkin sedang pusing karena pekerjaannya."

Dinda hanya mengangguk sembari tersenyum lembut pada Juminten.

"Pagi, ada apa nih kok wajahnya pada tegang semua?" suara pria yang datang dari belakang mereka, membuat keduanya serentak menoleh.

"Untung den Satria datang. Itu Non Dinda lagi gak mood, seperti biasa mohon dibujuk," ucap Juminten.

Satria yang hanya melirik Dinda sekilas mendapati wajah wanita itu terlihat sendu. Tanpa menunggu lagi, Satria setengah berlari menaiki anak tangga menuju kamar Senja.

Tok...Tok...

Belum mendapat persetujuan masuk, Satria sudah mendorong daun pintu dan masuk ke dalam kamar gadis itu. Ketukan di pintu memang hanya formalitas, selama ini juga Satria bebas keluar masuk ke dalam kamar kekasihnya itu.

"Tuan putri kenapa? kok rebahan di sini? katanya tadi lagi sibuk nulis naskah novel yang mau difilmkan? udah deadline loh, apa gak takut nanti gak keburu lagi?" tanya Satria duduk di tepi tempat tidur, membelai rambut panjang nan indah milik Senja.

Hanya Satria yang bisa memahami dan kembali memperbaiki mood Senja kala gadis itu sedang marah.

Senja mendongak menatap pria itu lalu memindahkan kepalanya ke paha Satria.

"Gue kesal banget sama Dinda. Dia itu asisten yang bego, pengen banget gue ganti, tau gak," umpatnya mendengus kasar.

"Gak boleh gitu. Kan kamu sendiri yang bilang, kalau Dinda asisten yang paling mengerti kemauan kamu, paling sabar dan tahan menghadapi kamu, jadi kalau kamu ganti, nanti yang susah kamu lagi," nasehat Satria yang sudah hafal dengan setiap perseteruan kekasih dan asistennya itu. Senja diam, dia memikirkan apa yang dikatakan Satria ada benarnya.

Sebelum ada Dinda, Senja gonta-ganti asisten karena mereka pada gak tahan semua menghadapi sika egois, pemarah, arogan dari seorang Airin Senja, penulis novel terkenal yang lagi naik daun saat ini.

"Kamu kok malah belain dia ketimbang aku? yang jadi pacar kamu itu aku, bukannya dia!" umpat Senja penuh kesal dia duduk dan menatap marah ke arah Satria.

"Aku hanya ingin kamu mengerti tidak gampang mencari asisten yang sesuai dengan keinginan hati kamu. Udah dong, Sayang. Aku mohon jangan marah lagi, aku gak mau kamu jadi sakit karena marah-marah terus. Gimana pun Dinda adalah sosok yang paling setia kepadamu. Dia melakukan apapun yang kau inginkan dan hampir semua yang ada dalam hatimu dia bisa meraba dan melakukannya dengan baik," ujar Satria.

Senja diam. Dia merenung atas apa yang diucapkan oleh Satria. Dia mengakui bahwa Dinda memang sosok yang sangat loyal kepadanya.

"Sudah yuk, hari ini kalian ada janji bertemu dengan produser yang ingin mengangkat novelmu untuk menjadi film itu?" tanya Satria mengingatkan schedule-nya.

Senja hampir lupa kalau siang ini dia ada janji bertemu dengan seorang pengusaha yang mau mendanai film yang diadaptasi dari novelnya.

"Sebenarnya aku malas ketemu dengan dia. Beberapa artikel yang aku baca tentangnya, menuliskan bahwa pria itu sombong. Kembali pintu kamarnya diketuk dan wajah Dinda menyembul.

"Ja, barusan bang Eko tanya, kamu udah di mana, karena pengusaha itu mengubah jam pertemuan, mempercepat satu jam dari perjanjian," terang Dinda takut-takut.

"Katakan padanya kita sudah ada di jalan," bentak Senja kepada Dinda, dan segera berlari ke arah kamar mandi untuk segera bersiap.

***

"Sorry gue telat," ucap Senja begitu tiba di restoran tempat mereka akan bertemu dengan pengusaha itu. "Bang Eko kenapa sih pertemuannya dadakan begini? harusnya orang itu ditegur! Profesional dong, janji ketemu 'kan jam dua, ini masih jam satu udah harus ketemuan." Senja mengerutkan kening, menyimpan amarah yang ingin meledak.

Hampir saja mobil mereka menabrak mobil yang ada di depan karena harus ngebut di jalan raya, beruntung Dinda bisa mengembalikan keadaan dan melaju dengan aman di jalan raya. Kepanikan itu membuat Senja sempat memakai Dinda karena dianggap lalai saat menyetir.

"Lo bisa nyetir nggak? pake dong mata lo! Lihat tuh hampir nabrak, kan?" bentuk Senja memukul dasbor dengan kesel.

"Gue juga baru dapat kabar tiba-tiba, Ja. Dia minta kita ketemuan lebih awal karena dia harus pergi ke luar negeri, ada urusan bisnis katanya," terang bang Eko.

Tapi kenyataannya walaupun mereka sudah buru-buru datang, pengusaha itu belum juga hadir. Mereka terpaksa harus menunggu dengan wajah kesal dan uring-uringan.

Setengah jam menunggu akhirnya pria itu muncul bersama seorang pria lainnya yang berada di belakangnya, tanpa senyum tanpa mengatakan maaf pria itu hanya mengangguk kepada Eko lalu menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Senja dan Eko.

"Selamat datang tuan Stanfield, kami sangat merasa terhormat bisa bertemu dengan Anda hari ini," sapa Eko basa-basi.

Tanpa mengulur waktu, asisten pria itu mengeluarkan berkas dari tasnya. Itu adalah draft perjanjian kerja di antara mereka. Senja menarik kertas itu dan membaca setiap detailnya, tidak ada masalah yang menyulitkannya sehingga dia memutuskan untuk menyetujui isi draft itu.

"Bagaimana? apakah kalian menyetujui isi dari perjanjian ini?" tanya pria yang juga terlihat kaku seperti bosnya itu.

"Bagaimana Senja? abang rasa semua sudah oke," ujar Eko menghadap ke arah Senja.

Senja melirik sekilas ke depan melihat reaksi pria itu lalu berbalik arah pada Eko dan mengangguk setuju.

"Dana 10 M itu akan saya kucurkan dengan catatan saya ingin meminta Anda membuat novel yang baru," ucapnya dingin.

Tentu saja Senja mengerutkan kening.

Permintaan pria itu tidak biasa, pasalnya saat ini novel Senja yang paling booming dan terbaru adalah kisah Renjana, lantas kenapa bukan itu yang diangkat menjadi layar lebar? Bukankah pada awalnya Eko memberitahunya bahwa novel Renjana lah yang akan di filmkan?

"Novel baru? bukannya kesepakatan kita adalah novel saya yang berjudul Renjana? Kenapa Anda meminta Noval baru? padahal novel itu sangat booming," ucap Senja meletakkan dengan kasar pena yang sejak tadi digenggamnya, menyandarkan punggungnya ke kursi dan melipat tangan di dada, menatap lurus ke arah pria yang tidak mau melepaskan kacamata hitamnya sejak awal pertemuan tadi.

"Hanya itu syarat dari saya. Saya ingin novel baru yang berkisah tentang seorang gadis yang dianiaya oleh gadis lain, katakan saja bisa kakaknya sepupunya, majikannya atau sahabatnya. Intinya Gadis itu harus teraniaya dan dikhianati. Oh ya, jangan lupa gadis itu harus tersiksa," lanjut pria itu.

"Tapi tuan Edward, maksud saya tuan Stanfield, bukankah sebaiknya kita mengangkat novel yang sedang booming saja saat ini? Novel Renjana begitu banyak peminatnya, bahkan menjadi best seller di toko buku di berapa tempat di kota ini," terang Eko memberikan sudut pandangnya.

"Justru itu, saya ingin membuktikan apakah Anda sutradara bertangan dingin, bisa menjadikan satu novel picisan, yang tidak terkenal, menjadi film yang bagus dan diminati oleh masyarakat," tantang Edward.

Eko dan senja saling beradu pandang. Kalau mengikuti keinginannya, Senja ingin sekali melempar bolpoin yang ada di atas meja ke wajah pria sombong itu, seenaknya saja memberi perintah. Apa dia pikir membuat satu novel itu gampang? terlebih pada perjanjian tertulis itu, dia menginginkan produksi novel itu harus dimulai awal bulan depan artinya dia hanya punya waktu sampai akhir bulan untuk menulis sebuah novel baru!

"Kalau kalian tidak siap, kita bisa membatalkan perjanjian ini. Saya bisa cari penulis lain yang bisa menerima tantangan saya," ucap Edward mencemooh.

Senjaya yang merasa harga dirinya diinjak-injak dan merasa dianggap sebelah mata, akhirnya menerima tantangan Edward.

"Baiklah saya terima tantangan Anda dalam waktu satu bulan ini, saya akan menyiapkan satu novel baru sesuai dengan yang Anda inginkan, namun saya juga ingin mengajukan satu permintaan, honor saya harus ditambah, dua kali lipat dari perjanjian awal, kalau tidak Anda boleh membawa perjanjian ini," jawab senja menaikkan satu alisnya.

"Baiklah satu minggu dari sekarang saya ingin naskah 30 bab pertama dari novel Anda. Setidaknya dari 30 bab itu saya sudah bisa melihat isi cerita yang Anda coba kembangkan, jika menurut saya novel itu tidak bagus maka dengan sangat menyesal saya akan melemparnya ke tempat sampah," cibir Edward.

Senja ingin sekali menarik kacamata pria itu, ingin melihat keseluruhan wajah pria sombong yang sudah membuat harinya menjadi berantakan dan mood-nya sangat buruk, tapi dia hanya bisa melakukannya dalam pikirannya saja.

Sejujurnya dia sangat menyesal karena terpancing oleh omongan pria itu. Bagaimana mungkin dia bisa menyelesaikan satu buah novel dalam satu bulan?

Tapi Senja tidak bisa mundur lagi. Nama baiknya dipertaruhkan sekaligus dia ingin membalas pria itu dengan membuktikan kalau dirinya bukan penulis sembarangan.

"Ja, kenapa lo terima tawaran dari tuan itu? bukan apa ya, Ja, dia hanya ngasih waktu satu bulan. Gue takutnya lo..."

Kalimat Dinda menggantung di udara karena dibentak oleh Senja. "Bisa diam gak lo? kepala gua mumet! Itu bukan urusan lo, biar gue yang mikir! Lo 'kan tinggal enak, ngerjain hal kecil yang gue suruh. Gue yang mikir, gue yang banting tulang, begadang nulis. Jadi, lo tutup mulut, diam aja tunggu perintah dari gue!" bentak Senja kasar.

Deadline or Deadme

Hari-hari Senja kini dihabiskan di ruang kerjanya, berkutat dengan laptop dan juga ide-ide yang tidak cukup memuaskan bagi Senja, memenuhi kepalanya.

Besarnya tekanan yang dialami Senja membuat moodnya pun jadi tidak baik, berkali-kali dia melampiaskan amarahnya kepada siapa saja yang ada di sekitarnya dan yang terparah kepada Dinda.

"Ja, dari siang lo belum makan, ini gue bawakan makan siang. Lo makan dulu ya, nanti lo sakit," ucap Dinda meletakkan nampan berisi menu makanan yang biasanya sangat digemari gadis itu.

"Lo nyuruh gue makan? lo mikir dong waktu gue udah mau habis! Lo enak-enakan makan tidur dengan tenang tanpa ada beban pikiran sedikitpun, nah gue? Gue harus memikirkan semuanya, mengkonsep semuanya! Gue udah buat bab satu, gue rasa nggak pas, gue ulang lagi! Lo pikir gue nggak capek? enteng banget lo minta gue break makan dulu!" salak Senja.

Dinda hanya mematung diam, dia salah lagi di mata Senja. Padahal niatnya baik agar gadis itu tidak sakit. Mereka memang harus berjuang dalam satu bulan ini menyelesaikan naskah yang sudah dipesan oleh Edward tapi mau bagaimana lagi apapun yang dikatakan Dinda tetap saja salah di mata Senja.

"Gue hanya bermaksud mengingatkan agar lo nggak sakit, Ja. Lo bisa juga balik kerja lagi nanti. Berapa menit sih makan? please lo makan dulu ya," pinta Dinda memohon.

"Kenapa kalau gue nggak makan? Lo takut gue sakit? Lo takut nggak ada lagi yang ngasih gaji buat lo? Iya, kan? lo baik sama gue juga karena gue adalah sumber mata pencaharian lo! Gue akan gaji lo, jadi lo takut kalau gua mati lo jadi kelaparan? jadi gembel kayak dulu? Iya, kan? nggak usah pura-pura baik deh lo, gue jijik tahu nggak sama lo yang bisanya cuman minta ini dan itu!" umpat s

Senja.

Semua yang dikatakan Senja hanya alasan untuk bisa menyakiti perasaan Dinda, dia hanya membutuhkan alibi untuk memuaskan amarahnya yang sebenarnya ditujukan kepada Edward.

"Kalau gitu gue permisi, Ja. Nanti kalau lo mau makan lo ambil di meja ini," ucap Dinda menahan getir di dalam hatinya.

Senja tidak menggubris, dia kembali fokus ke layar laptopnya.

Satria yang baru tiba di rumah itu melihat wajah Dinda yang memerah dan ada bekas jejak air mata. Dia tidak perlu bertanya kenapa gadis itu menangis, tentulah kekasihnya yang menjadi penyebab gadis itu bersedih.

"Kalian bertengkar lagi?" tanya Satria lembut.

"Padahal aku berniat baik, mengingatkannya makan supaya dia nggak sakit tapi lagi-lagi aku dimarahin. Lama-lama begini, jujur aku nggak sanggup lagi," ujar Dinda menghapus air matanya.

"Kamu jangan menyerah dong, Din. Kamu tahu 'kan bagaimana sifat Senja? Kamu harus lebih banyak bersabar ya, percayalah akan ada hari di mana semua ini berakhir dengan indah," ujar Satria mengelus lengan Dinda dan segera beranjak ke tempat ruang kerja Senja.

"Bagaimana perkembangan naskahnya, apa ada kemajuan?" tanya Satria duduk di samping Senja. Hanya Satria yang mampu menaklukkan Senja, membuat gadis itu bisa menurunkan egonya serta amarahnya, walau kadang kala Satria juga menjadi bulan-bulanannya.

Senja terlalu mencintai Satria hingga takut kehilangan pria itu. Satria baginya adalah sosok pria yang sempurna yang selalu ada dikala dirinya sedih ataupun senang. Satria mampu memahaminya, mengerti dengan perasaannya dan mau mengikuti kemauannya, serta kadang kala Satria juga menjadi penasehat yang baik untuk Senja.

"Gue udah buat lima bab, tapi akhirnya aku hapus lagi. Aku nggak tahu harus gimana lagi, kenapa di detik-detik menegangkan seperti ini justru ide nggak muncul pikiranku? Aku bingung harus nulis apa," terang Senja.

"Ikutin aja apa maunya tuan Stanfield itu, kalau dia menginginkan cerita remeh-temeh gadis teraniaya, maka buat saja."

"Tapi aku nggak bisa, itu bukan tipe gue banget buat cerita kayak gitu, iyuhh, murahan!"umpatnya.

"Justru kalau kamu nggak mau membuat apa yang dia minta, dia akan menyuruh merevisi berkali-kali, lebih bagus lakukan aja seperti yang dia minta, walaupun mungkin itu akan anggap novel picisan yang mungkin tidak akan booming. Ikuti kemauan dia. Lakukan yang dia minta, yang penting duitnya gede, itu yang perlu menjadi bahan pertimbangan untukmu agar kamu semangat untuk mengerjakan novelmu," saran Satria.

"Nggak bisa, Sat. Aku nggak pernah teraniaya, jadi nggak tahu gimana rasanya dianiaya. Aku perlu satu sosok yang aku lihat merasa teraniaya dan tertekan agar ide-ide itu muncul," ujarnya.

"Ciptakan saja satu tokoh yang pernah kamu lihat dalam film yang pernah kamu tonton, lalu masukkan dia dalam imajinasi mu, kembangkan kehidupannya, bagaimana kalau dia berada dalam kisah novel," lanjut Satria.

Senja mencoba untuk memahami tujuan omongan Satria. Mungkin benar dia harus menurunkan sedikit egonya agar bisa menyelesaikan misi ini. Pandangannya dilayangkan ke sekeliling ruangan, dan seketika dalam diamnya satu ide muncul ketika matanya tidak sengaja menatap nampan yang tadi dibawa oleh Dinda.

Dinda adalah sosok yang cocok menjadi tokoh utama dalam novelnya. Bukankah selama ini Dinda teraniaya? pemikiran itu menjadi lebih menarik karena Senja akhirnya mendapatkan Ilham untuk menulis novelnya.

"Sepertinya aku mendapat ide," ucap Senja mengulum senyum di bibirnya, seolah ide-ide itu bermunculan hingga dia begitu semangat untuk memulai menulis naskah novelnya. Dia percaya kalau novel itu bisa diselesaikan sebelum akhir bulan ini.

"Mau ke mana?" tanya Satria saat melihat gadis itu beranjak dari duduknya. Dia takut kalau kekasihnya itu melakukan hal-hal gila karena begitu frustrasi dengan pekerjaan yang menuntutnya.

"Makan. Kata Dinda aku harus menjaga kesehatan dan harus punya tenaga untuk bisa menyelesaikan pekerjaan ini. Kau tahu kan banyak orang yang harus kuberi makan, banyak karyawan di rumah ini yang membutuhkan supply dana dariku," ucapnya sembari tertawa sarkas.

Satria yang punya predikat sebagai kekasih tapi diperlakukan tidak ayalnya seperti seorang pelayan dan kacung yang kapan pun Senja inginkan dia harus segera hadir. Dihina, dicaci, bahkan kadang diusir dari rumahnya.

***

Waktu berlalu, Senja seolah menemukan dunianya. Dia begitu antusias menulis cerita itu, merangkai setiap kata sehingga membentuk sebuah cerita jemarinya yang lentik dengan lincah menari-nari di atas keyboard laptopnya

Kepalanya penuh dengan ide, ketika buntu dia akan memanggil Dinda, menyuruh gadis itu untuk duduk di hadapannya dan membayangkan bagaimana kalau Dinda berada di dunia novel.

Dua minggu berlalu perjanjian untuk menyerahkan 30 bab pertama bahkan kini sudah rampung 45 bab. Dia sendiri merasa kaget bahwa dia mempunyai kemampuan luar biasa seperti itu.

"Dindaaaaa, lama banget sih lo! Buruan, kita terlambat nanti," pekik Senja yang berdiri dengan tidak sabar di depan pintu. Sudah lima menit dia menunggu Dinda, gadis itu belum juga keluar dari dapur.

Mereka akan berangkat menemui Edward untuk memberikan naskah 30 bab pertama, tapi ketika hendak berangkat, Senja malah meminta Dinda untuk membuatkannya lemon tea yang ingin dia minum di mobil.

Dinda berjalan buru-buru tanpa sengaja cake yang dia bawa untuk menemani lemon tea Senja nantinya, jatuh dan mendarat mulus di sepatu Senja.

Dinda menatap potongan kue itu dengan raut wajah ketakutan. Habislah dia saat ini!

"Dasar brengsek! nggak berguna banget sih, lo?!" maki Senja dengan penuh emosi. Sepatu itu adalah sepatu kesayangannya, sepatu yang paling disukai di antara semua koleksi sepatu mahal miliknya.

"Sorry, Ja, gue nggak sengaja, sumpah. Gue buru-buru, pas nutup wadahnya, cake nya malah jatuh. Gue minta maaf banget ya," jawab Dinda memohon. Dia segera berlalu ke meja mengambil beberapa helai tisu di tempatnya dan berniat untuk membersihkan sepatu Senja, tapi gadis itu mendorong kakinya ke belakang.

"Lo ambil pakai mulut lo, bersihkan pakai mulut lo!" ucapnya dengan nada tinggi.

Dinda yang mendengar menatap kaget ke arah Senja. Gadis itu memang sering melakukan hal-hal gila tapi dengan menyuruhnya membersihkan sepatu memakai mulutnya, tentu saja itu di luar nalar.

Dia terlalu tidak punya hati memerintahkan hal seperti itu kepada asistennya. Dinda bukan pelayan, dia asisten sekaligus manager Senja, seharusnya dia diperlakukan dengan baik.

"Ja...." ratap Dinda berharap gadis itu mau mengubah keputusannya. Juminten yang berdiri di tempatnya ikut merasa marah atas perlakuan Senja yang semena-mena kepada Dinda.

"Non Senja sungguh keterlaluan! kasihan non Dinda diperlakukan seperti itu, tidak punya hati!" umpatnya dibalik gorden.

"Lo lakukan sekarang juga atau lo gue pecat!" ancam Senja mengepal tinju. Kali ini dia benar-benar marah, dia menatap sepatu kesayangannya yang dianggap lebih berharga daripada harga diri Dinda.

Dinda tidak punya pilihan lain, dia putus asa. Tidak mungkin dia memilih untuk berhenti saat ini, dia memerlukan uang untuk keluarganya.

Dinda menunduk dan dengan mulutnya mengangkat kue itu lalu membuangnya ke tempat sampah. Dengan tisu di tangannya Dinda membersihkan sepatu Senja, air mata yang menetes tepat mengenai sepatu itu.

Senja melihat hal itu semua, tapi moralnya tidak bergeming. Dia tidak merasa kasihan ataupun menyesal, justru puas telah menghukum Dinda.

Setelah sepatu itu bersih, dia beranjak dari sana dan masuk ke dalam mobil. Dinda tergopoh-gopoh mengikutinya dan duduk di samping Senja.

"Lo duduk di samping pak Naryo, gue ogah duduk di samping lo! gue lagi kesel sama lo tau, nggak?" makinya.

Dinda menurut, dia turun dari mobil, segera membuka pintu depan dan duduk di samping sopir. Hanya butuh 20 menit mereka tiba di lobi hotel tempat mereka janjian.

Tidak lama Eko muncul. Dia juga di-calling oleh Edward untuk membicarakan masalah naskahnya.

Senja yang sejak tadi mengamati hanya bisa mengurutkan kening, setidaknya naskah itu terdiri dari 100 lembar tapi Edward hanya memilih membaca lima lembar saja. Apa gunanya dia meminta 30 bab, kalau dia hanya membutuhkan lima lembar untuk membaca ceritanya?

"Cerita ini lumayan, walaupun tidak luar biasa, tapi bolehlah. Saya setuju dengan cerita ini," ucapnya melempar naskah itu ke depan Senja. "Tom segera kirim dana setengah dari perjanjian ke rekening gadis ini, begitupun kepada Eko agar dia bisa menyiapkan bahan produksi dan merekrut pemain," perintahnya kepada asistennya yang juga memiliki wajah dingin sepertinya.

Tanpa basa-basi Edward berdiri dari duduknya. Tidak mengucapkan salam perpisahan, pergi meninggalkan mereka bertiga yang di susul Tomi, asistennya.

"Gue bener-bener nggak ngerti lagi sama itu orang, pengen gue cekik tahu nggak!" umpatnya kesel. Amarahnya kali ini disalurkannya kepada Eko, dengan memaki pria itu tidak becus memilih sponsor.

"Jangan marah sama gue dong, Ja. Lo tahu kan, masa pandemi kayak sekarang ini susah untuk mencari donatur, ini aja syukur-syukur kita dapat, malah lebih dari ekspektasi kita. Lo sabar aja yang penting lo kerjakan apa yang dia mau," ujar Eko mencoba mendinginkan kepala Senja.

Malam Terakhir

Tiga hari sebelum deadline, Senja sudah menyelesaikan naskah hingga akhir cerita, tapi dia ingin memberikan lima bab untuk bonus pada novelnya, dan justru lima bab terakhir yang menjadi bonus chapter itu justru menjadi poin penting dalam novelnya.

Dia tersenyum menatap layar komputernya, begitu gembira dan ingin merayakan keberhasilannya menyelesaikan naskah itu tepat waktu.

Senja yang sudah bersemedi selama lima hari tidak keluar kamar itu, akhirnya bisa merenggangkan otot-ototnya. Dia pun keluar dari kamar dan bermaksud untuk mencari Dinda yang sejak pagi tadi tidak tampak.

"Pasti gadis bodoh itu tidur-tiduran di kamarnya. Enak banget ya jadi dia! Awas aja, kalau gue lihat dia santai-santai, gue jambak juga itu orang," cicitnya berjalan menuju kamar Dinda.

Tapi saat Senja sudah berada di depan pintu kamar Dinda, sayup-sayup dia mendengar suara dua orang yang berbicara dari dalam.

Dia mengenali suara keduanya, milik Dinda dan Satria. Dengan rasa was-was dan juga penasaran, Senja akhirnya mendobrak pintu kamar Dinda yang memang tidak terkunci. Kedua orang yang berada dalam kamar itu kaget, mendapati Senja yang sudah berdiri di ambang pintu menatap marah kepada mereka.

"Sayang, kau mencariku?" tanya Satria mencoba tenang. Sebenarnya dia sudah sangat gugup dan takut melihat wajah marah Senja.

"Ada apa ini? ngapain kalian berdua di kamar ini? Apa yang sudah kalian lakukan di belakangku?" salak Senja berkacak pinggang.

"Ja, kita nggak ada apa-apa, kita cuman ngobrol," ucap Dinda meremas jemarinya sekuat tenaga. Dia begitu takut kalau Senja sampai menjambaknya atau memukulnya karena kedapatan berduaan bersama Satria di dalam kamarnya.

"Bagus lo, ya! Seharian gue kerja di kamar lo berdua di sini asyik-asyik 'kan! Dasar asisten kurang ajar!" maki Senja ingin menjambak rambut Dinda tapi Satria berdiri di antara mereka sehingga Senja tidak bisa menggapai rambut gadis itu.

"Lo mau belain dia? dasar laki-laki nggak tahu diri, kalian berdua brengsek!" maki Senja dengan suara menggelegar.

"Kamu tenang dulu, dengarkan penjelasanku. Kita berdua memang ngobrol di kamar ini, supaya gak ketahuan sama kamu. Din, tampaknya kita harus menceritakan semuanya kepada Senja," ucap Satria mencoba untuk bersikap tenang.

"Apa maksudmu lo? mau ngatain kalau kalian itu sudah selingkuh di belakang gue?" bentak Senja yang sudah habis kesabarannya.

"Dengarkan dulu, Ja. Sebenarnya kita nggak mau ngasih tahu tapi karena kamu berpikiran yang buruk tentang kita, terpaksa rencana ini harus aku buka. Sebenarnya kita berdua lagi mengatur party buat merayakan keberhasilanmu membuat naskah novel itu. Jadi rencananya malam ini, kita akan pergi ke klub dan party di sana. Kamu mau 'kan, Sayang? ujar Satria berimprovisasi.

Pria itu sudah mendekat, memeluk pinggang Senja dan mencium pipinya, mencoba merayu gadis itu agar tidak marah lagi.

Senja yang mendengar itu tentu saja terdiam. Dia berada diambang keraguan antara percaya dan tidak dengan ucapan kekasihnya, tapi ketika dia menatap wajah Satria kembali kepercayaan itu muncul.

"Jadi kalian berdua bukan selingkuh di belakangku?" tanya Senja memastikan lagi.

Dinda dan Satria saling berpandangan lalu Satria segera menjawab pertanyaan Senja. Aku sangat mencintaimu, Senja. Tidak mungkin aku mengkhianati mu, tidak akan ada wanita lain yang bisa menggantikan posisimu di hatiku," ucap Satria mengecup kening Senja. Dinda yang melihat adegan itu hanya buang muka, tidak ingin melihat kelanjutannya.

Hati Senja luluh, tentu saja dia percaya dengan ucapan Satria. Perasaannya yang besar terhadap pria itu membuatnya percaya apapun yang dikatakan Satria.

"Baiklah, gue percaya sama kalian berdua. Jadi, kita berangkat jam berapa? Aku juga sudah menyelesaikan novel itu, tinggal lima bab terakhir. Gampang lah itu, masih ada tiga hari lagi, besok juga sudah kelar," ucap Senja yang kini wajahnya berubah cerah.

***

Suasana di klub itu begitu ramai, tumpah ruah bak lautan manusia yang ingin lari dari kenyataan hidup yang pahit.

Di antara lautan manusia, Senja menari dengan begitu gembira. Dia ingin mengapresiasi prestasinya yang luar biasa. Dia begitu bangga akan kemampuannya, hingga sikap congkaknya kembali muncul.

"Hanya gue yang bisa buat naskah kurang dalam sebulan," ucapnya pongah.

Senja meminta Satria untuk membelikannya minum agar mereka bertiga bisa menghabiskan malam ini dengan begitu indah ditemani minuman yang membuat kepala dan tubuh ringan.

Satria ingin menyenangkan hati Senja, melakukan apapun yang diperintahkan gadis itu.

Beberapa botol minuman beralkohol mereka pesan dan minum sepuasnya. Dinda yang tidak kuat minum hanya meminum beberapa gelas saja, itupun sudah membuat kepala yang terasa pusing. Beda hal dengan Senja yang sudah biasa menikmati minuman seperti itu, begitupun dengan Satria. Pria itu bahkan terus mengisi gelas Senja yang sudah kosong, keduanya benar-benar peminum yang tangguh.

Rasa pusing sudah menguasai kepalanya sehingga tidak tahan lagi dan meminta Satria untuk memapahnya ke sofa. Wanita itu benar-benar mabuk hingga tidak sadarkan diri.

"Hahaha..." Tawa Satria menggema tapi lenyap dibawa hentakan suara musik yang berisik.

Dinda mengerutkan kening melihat ke arah Satria. Pria itu tertawa dengan begitu gembira, lepas dan juga merasa merdeka.

"Sat, kamu kenapa ketawa? Ini senja udah pingsan," ucap Dinda menatap Senja yang sudah tergeletak tidak berdaya di sofa.

"Justru itu rencana kita, membuat dia mabuk agar apa yang kita rencanakan berhasil," terang Satria.

Dinda yang mengerti omongan Satria tiba-tiba merasa takut, jantungnya berdetak begitu kencang. Rencana yang dimaksudkan Satria sudah diterangkan pria itu siang tadi di dalam kamarnya, tapi Dinda belum memutuskan akan ikut rencana Satria atau tidak.

Satu sisi dia tidak tega tapi di sisi lain mengingat semua perbuatan Senja padanya yang begitu jahat, membuat Dinda ingin melakukannya.

"Udah kamu nggak usah pikir macam-macam, kamu tinggal terima beres, oke?" ujar Satria yang melihat kebimbangan di wajah Dinda.

Tidak lama, Satria memanggil dua orang yang memang sudah diatur untuk memapah Senja masuk dalam mobil, lalu Dinda dan Satria seolah sepasang kekasih bergandengan berkeliling sejenak di ruangan itu guna membuat alibi yang mereka perlukan suatu hari nanti.

Lalu setelah waktunya tiba, mereka masuk ke dalam mobil dan segera tancap gas dari sana. Dinda menoleh ke belakang melihat tubuh Senja yang masih pingsan, gadis itu benar-benar teler hingga tidak sadarkan diri.

Satria membawa mobilnya ke pinggiran kota Jakarta, jauh di tempat keramaian dan menuju perkampungan kecil yang kebanyakan masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan.

"Aku takut, aku tidak yakin apa yang kita lakukan ini akan berhasil," ucap Dinda meremas tangannya.

Satria yang sudah turun memapah Senja, lalu dudukkan gadis itu di belakang setir dan segera menutup pintu mobil.

"Kamu nggak boleh takut, aku ada bersamamu. Kamu tenang aja, ini pasti berhasil. Sudah, kamu berdiri di sini biar aku yang mengerjakan sisanya," ucap Satria yang mulai menghidupkan mobil meletakkan batu di atas gas hingga mobil itu melaju masuk ke dalam air.

Tanpa menunggu lebih lama lagi Satria dan Dinda pergi dari tempat itu sebelum ada orang yang melihat mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!