NovelToon NovelToon

CINTA KEDUA

BAB 1

"Kapan kamu balik ke tempat kerjamu nak?" Tanya sang ayah pada anak gadisnya yang sedang menyiapkan makan malam.

"Besok pagi yah, biar gak ketinggalan bus." Jawab anaknya.

Nilam Meira, gadis manis berusia 22 tahun, yang kini bekerja sebagai kasir di sebuah perusahaan agrobisnis yang membeli hasil bumi dari para petani.

"Minta Baskara aja yang antar kamu besok, biar bisa berangkat agak siangan." Ucap sang ayah lagi.

Nilam ingin menolak, namun ia tidak punya keberanian untuk itu. Dalam keluarganya, titah ayah adalah mutlak. Tidak ada satupun anak-anaknya yang berani membantah ucapan sang ayah.

Bukan karena beliau otoriter, pemarah, atau egois, ayah Nilam bahkan orang yang tidak pernah marah. Selalu berkata lembut, dan sangat penyayang.

Namun memiliki karisma yang membuat orang lain segan padanya.

"Baik Yah, nanti Nilam coba hubungi mas Bas." Ucapnya dengan berat hati.

Baskara adalah pria tampan berusia 25tahun. Saudara jauh Nilam dari pihak ayahnya.

Mereka tinggal dalam satu desa yang sama. Namun mereka jarang berjumpa, sebab selepas tamat SMA Nilam langsung bekerja di kota. Sementara baskara, Nilam tidak tahu pekerjaannya apa.

Setelah makan malam, dengan terpaksa Nilam menghubungi Baskara.

"Jangan lupa telepon Bas, biar dia bisa siap-siap besok." Kata ayahnya sesaat sebelum meninggalkan meja makan. Membuat Nilam tidak memiliki alasan lupa, untuk menghubungi orang yang dimaksud.

Tuut

Tuut

Tuut

"Halo." Suara laki-laki terdengar dari seberang.

"Mas Bas, ini Nilam. Mmm besok, mas Bas bisa antar Nilam ke kota?" Ucap gadis itu ragu.

"Nilam pulang? Kapan? Kok baru telepon mas?" Suara Baskara yang besar membuat Nilam terkejut.

"Mmm maaf mas, Nilam pulang diantar teman kemarin." Takut-takut gadis itu menjawab.

'Kenapa dia marah?' Pikirnya.

Suara Nilam yang gugup terdengar di telinga Baskara.

"Mmm maksudnya, kalau tau Nilam ada di rumah kan mas bisa main ke sana, gituu." Suara Baskara sedikit melembut, begitu sadar reaksinya tadi membuat Nilam terkejut.

"Jadi, besok bisa antar Nilam gak mas?"

"Bisa kok, jam berapa?"

"Siangan aja mas. Jam 10an biar gak terlalu panas juga di jalan."

"Ok, besok mas jemput kamu. Oya, paman sama bibi apa kabar?" Baskara bertanya kembali.

"Ibu sehat, ayah juga sudah baikan. Makanya aku bisa balik ke kota besok."

"Paman sakit?"

"Ya, biasalah sudah umur. Mas Bas, maaf Nilam tutup dulu ya. Nilam mau istirahat dulu."

"Ya ya Nilam, selamat istirahat." Ucap Baskara, sebelum sambungan diputus oleh Nilam.

***

Rumah Baskara

Suara ribut di dapur, terdengar hingga kamar Baskara yang dipisahkan dua kamar adiknya.

Laki-laki itu semakin menggulung tubuhnya dengan selimut, dan menindih kepalanya dengan bantal. Berharap suara itu tidak lagi ia dengar.

Pasalnya ia masih sangat mengantuk, sebab baru pulang pukul 02.30 dari rumah temannya yang punya acara pernikahan. Kepalanya terasa berat, sebab terlalu banyak minum minuman keras.

"Kenapa sih Bu, pagi-pagi udah ribut?" Samar terdengar suara Utari adik perempuan Baskara.

"Lihat Abang kamu itu, kerjaannya selalu mabuk setiap hari. Di sekolahin tinggi-tinggi, bukannya jadi orang bener malah jadi pemabuk begitu. Nyesel ibu punya anak kaya dia." Masih dengan suara perabot yang beradu, ibu tiga anak itu mengeluarkan kekesalannya.

Baskara yang mendengar ucapan sang ibu, merasa sangat terluka. Tapi ia bisa apa? Ia sudah berusaha mencari pekerjaan, tapi tidak satupun yang sesuai dengan dirinya.

Saat ini pun, dia tidak benar-benar menjadi pengangguran. Ia adalah seorang makelar tanah.

Dengan kemampuan berbicaranya, ia banyak mendapat klien. Hanya saja, pekerjaan itu tidak tetap. Sementara kebutuhan hidup setiap hari harus terpenuhi.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 saat Baskara bangun karena perutnya merasa lapar.

Setelah mencuci muka, ia menuju dapur.

"Masak apa Bu?" Tanya pria tampan itu.

"Liat aja itu di tudung saji." Jawaban sang ibu yang membuat ia semakin sakit hati.

Tidak sekalipun ia merasa dihargai di rumah ini. Ibunya hanya akan baik saat ia punya uang.

Saat seperti sekarang, ketika ia sedang tidak punya penghasilan, sikap ibunya akan berubah ketus.

Dibukanya tudung saji itu. Hanya ada sisa nasi goreng juga telur dadar yang masih setengah.

"Yang lain udah makan Bu?" Masih sempat ia memikirkan orang lain, meski perutnya terasa lapar.

"Udah, kamu makan aja." Ucap ibunya tanpa melihat sang anak.

Meski terasa kelat di tenggorokannya, Baskara tetap memakan makanan ibunya.

Setelah makan, ia lantas bersiap untuk ke rumah Nilam. Bersyukur kemarin ia isi penuh bensin motornya. Meski hari ini hanya tersisa lima puluh ribu di dompetnya, ia merasa tenang.

***

Rumah Nilam

"Mas Bas ... Sini makan dulu. Nilam udah beres masak." Ajak gadis itu saat Baskara tiba di rumahnya.

"Ya Bas, makan dulu di sini. Kamu gak ada acara lain kan setelah antar Nilam?" Ayah Nilam menimpali.

"Gak ada paman."

"Ya sudah, kalau begitu makan dulu. Kan gak buru-buru."

Meski merasa sungkan, Baskara akhirnya ikut makan di rumah Nilam. Suasana yang jauh berbeda dari keluarganya.

Ibu Nilam sangat ramah, sama seperti sang putri. Memperlakukan dia dengan baik.

Meski tahu kalau Baskara suka minum, bahkan suka judi, namun orang tua itu tidak pernah menghakiminya.

Membuat Baskara selalu senang saat bermain ke rumah orang tua Nilam.

Memang, siapapun kita pasti memerlukan tempat dimana orang lain bisa menerima kita apa adanya. Tanpa mencela atau memandang rendah.

Setelah selesai makan bersama, Nilam pun bersiap-siap untuk berangkat. Pakaian sudah ia masukkan ke dalam tas, tinggal membersihkan diri kemudian berpamitan pada kakak serta kakak iparnya yang sudah memiliki rumah masing-masing.

Keluar dari kamar, penampilan Nilam yang sederhana tetap membuat Baskara terpesona.

Gadis itu mengenakan celana panjang, dengan atasan yang dimasukkan ke dalam celana. Sementara di luar ia menggunakan jaket lembut yang hanya berfungsi untuk melindungi kulit dari sengatan sinar matahari. Rambut panjangnya dikuncir kuda, dengan poni menyamping, menutupi sebagian dahinya. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, membuat gadis itu terlihat seperti anak SMA. Apalagi kulit putih bersihnya, semakin membuat ia terlihat imut.

"Ayah, Ibu, Nilam balik dulu ya. Ingat jaga kesehatan kalian. Nilam gak bisa sering-sering pulang, jadi jangan buat Nilam khawatir di tempat orang." Pesannya pada kedua orang tua yang disayanginya.

"Ya nak, kamu jangan khawatir. Ayah sama ibu baik-baik saja kok, mas sama mba mu saja yang terlalu gawat." Ucap sang ayah.

"Kamu jaga diri di sana sayang. Ingat. Bersikap baik sama semua orang, tapi waspada juga pada kebaikan orang." Tutur sang ibu.

"Jangan lupa, pamit sama mas dan mba mu." Pesannya lagi, saat mengantar sang putri menuju sepeda motor baskara.

"Ya Bu, ini sudah sambil jalan. Oh ya, nanti bilang sama Damar ambil di laci meja rias ya Bu." Ucapnya sebelum menaiki sepeda motornya.

"Kamu. Selalu saja manjain anak itu. Uangnya ditabung, jangan selalu turuti maunya dia, nanti jadi manja. Kamu juga harus mikirin masa depan kamu."

Baskara yang tadi berniat menyalakan sepeda motornya, urung. Menunggu wanita paruh baya itu menyelesaikan omelannya.

Barulah setelah sang bibi menyuruhnya untuk hati-hati, ia menyalakan motornya dan berlalu meninggalkan halaman rumah tersebut.

"Keluarga kamu hangat ya." Ucap Baskara saat motor melaju melewati batas desa.

"Biasa aja mas, kan memang seperti itu." Ucap Nilam canggung. Pasalnya mereka tidak terlalu dekat. Dan Nilam tahu bagaimana sepak terjang Baskara selama ini.

"Gak semua begitu Lam, banyak keluarga yang hanya status di KK saja, selebihnya mereka hidup sendiri-sendiri tanpa saling perduli.

Nilam tidak menanggapi ucapan Baskara. Masih takut dan ragu untuk terlibat obrolan lebih dalam.

***

Waktu dua setengah jam merek lalui dengan diam. Hanya bicara saat hendak istirahat di pinggir pantai dan saat hendak membeli bensin saja. Selebihnya hanya deru suara motor yang menemani perjalanan mereka.

Baskara yang tahu bahwa gadis yang ia bonceng merasa kurang nyaman pun, memutuskan untuk diam. Ia sadar, selama ini tidak ada yang bisa ia banggakan dari dirinya. Wajar kalau orang enggan dekat dengannya. Itu pikirnya.

BAB 2

"Mas Bas, makasi udah antar Nilam ya. Maaf ngerepotin." Ucap gadis itu, saat Baskara berpamitan hendak kembali ke kampung.

"Gak usah kaku gitu Lam, mas senang kok bisa antar kamu." Baskara menatap Nilam yang tersenyum canggung padanya.

"Hati-hati mas," Ucap Nilam lagi, sambil memasukkan sesuatu ke kantung jaket Baskara.

"Tolong jangan ditolak, Nilam gak bayar mas Bas, Nilam hanya berbagi rejeki sama mas. Dan doakan Nilam agar selalu dikasih sehat serta kelancaran rejeki."

Siapa yang bisa menolak ucapan gadis dengan tatapan teduh itu?

"Baiklah. Terimakasih banyak ya Lam, semoga rejeki selalu mengalir untuk kamu. Ya sudah, mas jalan dulu ya. Ingat pesan orang tua kamu. Jaga diri baik-baik." Ucap Baskara

'Dan itu juga pesanku Lam,' Lanjutnya dalam hati.

***

Baskara membelah jalanan dengan laju lebih cepat dari sebelumnya. Selain karena ia berkendara sendiri, hari sudah beranjak sore. Ia tidak mau sampai di rumah saat hari sudah gelap.

Hari ini adalah hari yang panjang bagi pemuda itu. Menghela nafas berat, ditengah perjalanan panjang yang ia lalui seorang diri.

Sanggupkah ia meraih hati gadis itu?

Meski restu dari sang guru rupaka sudah ia kantongi. Namun sadar akan diri yang tidak memiliki kemampuan serta kekuatan, ingin rasanya Baskara mundur dan menyerah.

"Paman percaya, kamu bisa menjaga Nilam." Pesan dari seseorang yang selama ini sangat ia hormati.

"Tapi paman tahu kan, aku siapa dan seperti apa?"

"Paman tahu. Sangat tahu kamu. Itu sebabnya paman titipkan Nilam padamu."

"Tapi aku seorang pemabuk, aku penjudi. Aku juga tidak punya pekerjaan tetap."

"Kamu meragukan Nilam? Dia bahkan lebih dari sekadar sanggup untuk bertahan di tengah badai. Kamu hanya perlu memberinya dukungan. Menjaga hatinya dengan tetap setia. Paman tidak meminta kamu meninggalkan kebiasaanmu, karena paman tahu, bukan itu yang hatimu mau. Dan paman percaya, kamu akan kembali menjadi Baskara yang bersinar."

Laki-laki tua, dengan keriput, dan rambut putih itu, berkata dengan tatapan lembut namun mampu menembus jantung Baskara.

'Ah, semoga saja aku tidak mengecewakan beliau nanti.' Gumam Baskara pasrah.

Meski ia sudah melajukan motornya dengan kecepatan lebih, namun tetap saja hari sudah gelap ketika ia sampai di rumahnya.

Baru saja ia membuka pintu depan, matanya langsung tertuju pada sang ibu yang tadi pagi membuatnya sakit hati.

Dilihatnya wanita tua itu tengah duduk dengan kedua tangan menutup wajahnya.

"Ibu kenapa?"

Saking wanita itu terhanyut dalam kesedihan, hingga suara motor dan derit pintu tak mampu ia dengar.

"Kamu kenapa mengagetkan ibu! Mau ibu cepat mati?!" Ketus.

Itu yang selalu sang ibu tampilkan padanya.

"Kenapa menangis?" Kembali Baskara bertanya.

"Adik kamu Utari! Belum juga mendapat ijasah SMA, sudah datang laki-laki meminangnya. Ibu harus bagaimana?"

"Ya kalau ibu gak setuju, tinggal bilang saja. Apa susahnya?!"

"Ya. Ibu bilang tidak setuju! Dan tujuh bulan lagi seluruh kampung, bahkan seluruh dunia akan mencemooh kita. Karena di sini lahir anak haram!"

Mata baskara membelalak terkejut. Tidak percaya, sang adik bisa kelewat batas seperti itu. Rahangnya mengeras. Rasa lelah karena pulang pergi selama lebih dari 5 jam, musnah berganti amarah yang tidak dapat ia tahan.

"Di mana Utari?" Tanyanya dengan suara berat menahan emosi.

"Jangan melakukan apapun pada adikmu. Dia tidak sepenuhnya bersalah. Dia masih kecil, belum mengerti apa-apa."

"Bu! Ini yang membuat dia jadi seperti ini! Ibu selalu membelanya. Menganggap setiap kesalahannya adalah wajar sebab dia masih kecil. Sejak kapan anak kecil bisa membuat anak kecil Bu!" Suara Baskara menggelegar, memenuhi ruangan bahkan terdengar hingga luar rumah.

"Pelankan suaramu! Kamu mau membuat keluarga kita malu? Kalau tetangga dengar bagaimana?"

Baskara menarik nafas dalam. Mencoba menghirup sebanyak-banyaknya oksigen ke dalam paru-parunya.

"Terserah ibu sekarang. Aku gak tahu harus berbuat apa. Toh juga selama ini, ibu tidak pernah menganggap pendapatku penting kan?"

Kemudian ia berlalu menuju kamarnya.

Setibanya di kamar, ia melemparkan jaket yang sedari tadi melindunginya dari panas dan angin diperjalanan. Sebuah amplop terjatuh dari salah satu kantongnya. Ia baru ingat, itu amplop yang diselipkan Nilam sebelum ia kembali.

Segera diambil amplop yang tergeletak pasrah di lantai kamarnya. Dibuka dan diambil isinya.

'Astaga banyak sekali!' Gumamnya begitu melihat, ada lima lembar uang kertas berwarna merah di dalam amplop tersebut.

Segera ia mengambil ponsel dari saku celananya.

Tuut

Tuut

Tuut

Panggilan terhubung, namun belum diangkat oleh sang gadis.

Tak menyerah, ia tetap menghubungi Nilam.

Baru saat dering ke tiga, Nilam mengangkatnya.

"Halo mas Bas, maaf Nilam baru selesai mandi." Suara dari seberang.

"Nilam, kenapa banyak sekali kamu kasi mas uang?"

Suaranya terdengar gusar.

"Kan Nilam udah bilang, Nilam bagi rejeki sama mas. Kebetulan, bulan lalu Nilam dapat bonus yang lumayan. Bukan cuman mas Bas kok yang Nilam kasi. Nilam juga bagi sama Damar, juga sama ponakan yang lain."

"Tapi ini terlalu banyak Nilam ... Mas gak enak. Mas gak pernah kasih kamu apa-apa."

"Udah ... Itu rejeki untuk mas Bas. Diterima ya, kalau gak Nilam sedih nanti." Gadis itu merayu seperti ia merayu sang kakak, agar keinginannya dituruti.

"Kalau hari ini mas gak butuh, simpan saja. Siapa tahu besok ada kepentingan mendadak kan? Biar ada uang untuk jaga-jaga. Maaf mas, bukan Nilam menghina mas Bas, kata bapak mas lagi sepi kerjaannya ya?" Suara lembut gadis itu begitu menentramkan bagi Baskara.

Ingin rasanya ia berlama-lama mendengar suara itu. Bahkan bila disuruh setiap hari untuk mengantar dan menjemput Nilam, dia pasti akan menyanggupi.

"Mas, mas Bas!" Suara Nilam kembali terdengar.

Baskara yang tadi sempat melamun, hampir saja menjatuhkan ponselnya.

"Ah i ya Nilam."

"Mas ketiduran ya? Ya sudah Nilam tutup dulu ya. Mas istirahat dulu. Cape pasti kan habis PP antar Nilam."

"Ya, eh gak kok, mas gak cape." Baskara tergagap menjawab ucapan Nilam.

Terdengar tawa Nilam dari seberang, membuat Baskara menggaruk kepalanya karena malu.

"Ya sudah mas istirahat dulu ya. Kamu juga istirahat."

Tlup

Panggilan dimatikan oleh Baskara.

***

Nilam menajalani harinya seperti biasa. Setiap pagi, setelah ia selesai memasak dan mempersiapkan diri, ia akan berangkat ke tempat kerjanya dengan berjalan kaki. Jarak yang dekat antara kostan dan tempat kerja, membuat ia tidak harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk menyewa angkutan umum.

"Pagi ..." Sapanya pada teman-teman yang ditemuinya.

"Pagi nak Nilam," Sapa seorang bapak yang bekerja sebagai tukang panggul.

"Pagi pak, sudah gak sakit lagi punggungnya?" Sapanya ramah.

"Sudah nak, obat yang nak Nilam berikan sangat ampuh. Bapak sudah menyimpan kulitnya, biar nanti bapak gampang nyarinya di warung." Bapak tukang panggul itu dengan semangat bercerita.

Nilam tersenyum.

"Nanti kalau bapak butuh, bilang sama Nilam saja pak. Biar Nilam belikan. Itu gak ada di warung, harus beli di apotek." Ucapnya lagi.

"Ya sudah pak, Nilam masuk dulu ya. Udah ramai belum pak?" Tanyanya.

"Baru ada beberapa mobil pick up, sama satu truk muatan full." Jawab laki-laki paruh baya itu.

"Semangat kerja ya pak," Nilam yang ceria selalu membawa aura positif untuk orang di sekitarnya.

Awal Agustus, biasanya para petani mulai panen cengkeh. Biasanya bulan tersebut, barang yang keluar masuk akan sangat padat. Bahkan puncak panen, saat bulan September kadang-kadang mobil pengangkut cengkeh akan menginap di sana. Karena antrian yang panjang.

Waktu beranjak siang, saat mobil pembawa barang sudah mulai berkurang. Tepat jam makan siang, sudah tidak ada lagi antrian masuk ke gudang. Nilam sudah selesai mengecek nota, memisahkan nota sesuai dengan jenis dan kelas barang yang masuk. Agar nanti memudahkan menghitung uang yang keluar.

"Lam, kamu bawa bekal? Tanya temannya. Seorang gadis sebaya dirinya bernama Amanda yang menjadi partnernya di bagian kasir.

"Bawa. Kamu?"

"Aku lagi gak masak. Mau beli ajalah. Kamu ada mau nitip?"

"Beli Boba aja 1 ya, rasa matcha."

"Ok. Tunggu aku ya, jangan makan duluan." Perintah Amanda.

Kemudian gadis itu berlalu tanpa menunggu jawaban dari Nilam.

"Nih buat kamu." Seorang pria tampan menyodorkan pepper bag pada Nilam yang tengah duduk santai di pinggir sebuah kolam ikan.

"Mas," Gadis itu terperanjat kaget. Pasalnya, laki-laki itu adalah anak dari bosnya. Mereka menjalani hubungan diam-diam selama enam bulan terakhir.

"Lagi nunggu Amanda ya?" Laki-laki bernama Pandu Wijaya itu duduk di samping sang kekasih.

"Mas, jangan duduk di sini. Nanti dilihat orang." Nilam takut sendiri.

"Biarkan saja, sampai kapan kita menyembunyikan hubungan ini?"

Nilam sontak saja merasa panik. Ia belum siap.

Belum sanggup menghadapi kenyataan kalau ternyata dirinya ditolak.

BAB 3

"Jangan begini mas, Nilam belum siap." Wajah Nilam terlihat panik, menatap sang kekasih penuh permohonan.

"Apa yang membuat kamu ragu Nilam? Kedua orang tua aku, bukan orang kolot yang akan memutuskan segala sesuatu seperti keinginan mereka. aku yakin mereka akan merestui hubungan kita." Pandu berusaha meyakinkan Nilam, namun gadis itu tetap ragu.

Ada hal yang tidak bisa ia pahami, kenapa hati kecilnya selalu menolak bila Pandu berniat mengenalkan dirinya sebagai kekasih.

"Aku tahu mas, mereka adalah orang tua yang baik, dan bos yang bijaksana. Tapi aku mohon, mas mengerti. Aku belum siap mas, aku takut. Aku merasa gak pantas untuk mas." Ucapnya, dengan kepala menunduk.

Pandu memejamkan mata, menghela nafas dalam guna melepas emosi yang menghampirinya.

Ia paham kegelisahan yang dirasakan Nilam. Sangat mengerti dengan ketakutan gadis itu. Namun harus dengan cara apa ia meyakinkan? Orang tuanya pasti akan menyetujui hubungan mereka. Ia yakin itu.

"Ya sudah, gak usah dipikirkan. Maaf kalau mas buat kamu gak nyaman. Kamu makan dulu ya, mas balik dulu." Akhirnya Pandu mengalah.

Meninggalkan gadis itu sendiri, sementara dirinya kembali ke kediaman orang tuanya yang letaknya tidak jauh dari gudang tempat biasa Nilam bekerja.

Nilam menatap punggung Pandu yang melangkah menjauh, hatinya sakit entah karena apa.

Ia merasa, hubungannya dengan Pandu tidak akan berjalan seperti yang mereka harapkan.

"Maaf Lam, antrenya lama." Amanda datang dengan beberapa kantung kresek di tangannya.

"Loh itu apa? Katanya kamu bawa bekal, ini bekal kamu?" Mata Amanda menangkap paper bag yang ada di pangkuan nilam.

Nilam gelagapan, tidak tahu harus menjawab apa.

"Mmm anu, ini itu dikasih orang. Mmm seseorang baru aja datang kasih makanan ini. Katanya dia buru-buru gak sempat makan. Daripada nanti dingin, gak enak dimakan. Jadi aku yang dikasih." Wajah Nilam kembali panik, bola matanya ke sana ke mari mencari objek yang tepat untuk dilihat.

Tentu saja itu membuat Amanda curiga. Namun, tidak ada alasan untuknya saat ini mengintrogasi sang sahabat. Meski ragu, gadis itu mencoba untuk percaya.

"Ya udah yuk makan, nanti keburu jam makan siang habis." Nilam segera membuka paper bag yang dipangkunya, dan mengambil kotak makan di dalamnya.

"Nih, kita makan bareng." Ucapnya lagi, menyodorkan makanan tersebut ke arah Amanda.

Amanda hanya menganggukkan kepala.

Mereka akhirnya makan bersama. Sambil bercerita tentang hal-hal ringan yang terjadi di sekitar mereka.

***

Baskara masih di lokasi tanah yang rencananya akan dijual. Ia dan beberapa orang, yang berniat hendak membeli lahan tersebut tengah meninjau lokasi.

Ponselnya berbunyi, menghentikan langkahnya ditengah terik matahari.

"Ya paman," Sahutnya saat panggilan sudah terhubung.

"Bas, kamu sibuk nak? Nanti malam makan di sini ya." Suara laki-laki paruh baya yang selama ini memperlakukannya seperti anak sendiri.

"Ya paman, nanti Bas ke sana. Ini masih di desa sebelah, lihat lokasi."

"Ooh syukurlah sudah mulai ada kerjaan" Terdengar suara penuh kelegaan dari seberang.

"Doakan ya paman, agar ini jadi." Pintanya dengan tulus.

"Pasti. Paman selalu berdoa yang terbaik untuk anak-anak paman. Termasuk kamu. Ya sudah, lanjutkan. Paman tutup dulu."

"Ya paman." Kemudian panggilan berakhir.

Setiap kali pamannya itu mengajaknya bicara, ada rasa tenang yang menjalar di hatinya. Perasaan yang tidak ia rasakan saat dengan orang lain sekalipun itu ayahnya sendiri.

Meski hubungan mereka hanyalah paman dan keponakan jauh, namun kedekatan mereka seperti paman dan keponakan kandung rasanya.

Baskara tersenyum setelah mendapat panggilan. Membuat calon pembelinya usil menggoda.

"Bas dapat telepon langsung senyum-senyum aja, pasti dari calonnya ya?"

"Ah, gak kok. Ini dari paman saya, minta saya makan di rumahnya nanti." Terangnya

"Ooh, kirain dari pacarnya."

"Mana ada yang mau sama saya, orang gak punya apa-apa begini."

Ucapnya, sambil menatap tanah yang dipijaknya.

"Alah, siapa yang gak tahu kamu? Bapakmu terkenal sebagai tuan tanah di desa kamu kan?" Calon pembelinya itu rupanya cukup tahu latar belakang dia dan keluarganya.

Baskara hanya menanggapi dengan senyum.

Harta.

Sebanyak apapun yang kita punya, kalau kita tidak bisa menggunakannya dengan baik, pasti akan cepat habis. Begitulah yang terjadi di keluarganya.

Dulu, kakeknya memang terkenal adalah pemilik lahan terluas di desanya. Namun, karena ayah serta paman-pamannya tidak bisa mengelola pemberian orang tua mereka, semua itu perlahan habis.

Kini hanya tersisa beberapa hektar saja, dan semua harus dibagi-bagi. Bahkan warisan untuk sang ayah, kini hanya tersisa 50 are saja. Haruskah dia merasa bangga dengan hal itu? Atau malu?

Biarkan saja orang berpikir bagaimana, ucapnya dalam hati.

***

Akhirnya hari melelahkan Baskara berakhir. Kesepakatan sudah tercapai. Tinggal besok menyelesaikan semua di notaris.

Ia bisa bernafas lega, tersenyum gembira hari ini. Setidaknya, usahanya tidak sia-sia.

"Mau kemana kamu?" Sang ibu bertanya dengan wajah yang tidak pernah ramah.

"Mau keluar, ada acara." Jawaban singkat ia berikan

"Utari mau dilamar, kamu usahakan agar bisa membuatkan dia acara di rumah." Ucap ibunya tanpa ragu.

"Aku belum punya uang Bu. Gak janji bisa bantu berapa." Jawabnya, sambil mengikat tali sepatunya.

"Ya kamu usahakan donk. Kasihan Utari kalau gak kita buatkan acara di rumah! Kamu kan kakaknya! Tanggung jawab kamu itu."

"Bu! Kenapa sih? Kalau soal uang, aku yang harus tanggung jawab. Tapi untuk hal lain, rasanya aku tidak punya hak apa pun di rumah ini. Kalau ibu tidak mau aku ikut campur urusan Utari, ya sudah aku gak akan ikut campur dalam hal apapun. Jangan minta aku membiayai pernikahan dia. Aku juga punya urusan sendiri, keperluan sendiri, yang orang lain tidak perduli akan hal itu." Baskara berdiri kemudian bergegas meninggalkan sang ibu.

Rasanya pengap tinggal di rumah itu. Tapi ia bisa apa? Meski sering kali merasa sakit hati, Baskara berusaha bertahan karena dia adalah anak pertama yang harus bertanggung jawab atas keluarganya.

Sang ayah, kini tinggal dengan istri ke duanya, dan tidak terlalu perduli dengan istri pertama juga anak-anaknya.

Kakinya melangkah pasti, menuju sepeda motor bututnya terparkir. Rencananya, sebelum ke rumah sang paman, ia berniat membeli beberapa makanan sebagai buah tangan. Bersyukur uang yang diberi Nilam masih ada, hingga ia tidak harus malu karena bertamu dengan tangan kosong.

"Eh mas Bas," Sapa Damar yang baru saja memarkirkan motornya di samping motor baskara. Baskara yang terlebih dahulu tiba, sengaja menunggu saat tahu motor Damar di belakangnya.

"Dari mana Mar?" Tanyanya

"Habis buat tugas kelompok mas. Mas tumben main ke sini?"

"Hehe ya, kebetulan ada kesibukan." Ucapnya beralasan

Damar hanya menanggapinya dengan anggukan.

Mereka melangkah beriringan menuju pintu utama.

"Yah ... Bu... Ada mas Bas nih." Ucap Damar saat tubuhnya baru saja masuk ke dalam rumah.

"Ya ... Gak usah teriak, ibu belum budek. Kebiasaan kamu itu." Omel sang ibu, keluar dari dapur.

"Bik ..." Sapa Baskara sopan.

"Ini ada gorengan sama martabak," Ucapnya lagi sembari mengulurkan kantung kresek yang dibawanya.

"Waah makasih nak, jadi ngerepotin ini." Ucap wanita paruh baya itu.

"Ayo, paman kamu masih mandi, sebentar lagi keluar. Kamu tunggu di depan tv aja ya."

"Ke kamarku aja mas yuk," Ajak Damar sambil menarik tangan Baskara.

Mereka cukup akrab, sebab sifat damar yang santai dan suka bergaul membuat mereka cukup sering bertemu di tongkrongan.

"Bik, aku nunggu bareng Damar saja ya."

"Oh ya, boleh-boleh." Ucap wanita itu. Kemudian mereka melangkah menuju tujuan masing-masing. Damar dan Baskara menuju kamar, sementara wanita paruh baya itu melanjutkan pekerjaannya di dapur.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!