Rindu sedang berada di ruangan khusus, sebuah ruangan yang full musik Jazz, sebuah meja belajar dan beberapa pernak-pernik dari penyanyi idolanya.
Di ruangan itu, Rindu bisa menjadi apapun, entah sebagai seorang seniman, gadis punk rock, bahkan cukup religius.
Ruangan yang di beri nama ruang rindu dalam cinta oleh sang pemilik.
Dia terlalu lelah mengurus skripsi, sehingga harus ada me time.
"Aku sangat suka kebebasan, cinta hanyalah sebuah perasaan tak berujung, aku suka dengan bebas!"
Suara rindu menggema, di dalam sana ada sebuah peristiwa yang sangat ingin dia ceritakan, sebuah perasaan tentang luka dan cinta di masa lalu.
Ini pertama kalinya dia mau bercerita meski hanya dengan recorder.
"Aku sangat paham akan diriku sendiri, oleh karena itu, ibu memaksaku untuk segera menikah dan meninggalkan kehidupan ini. meninggalkan tempat yang sudah lima tahun aku tempati."
Hingga dia merasa bosan dengan suara bel yang sangat nyaring.
Dia segera beranjak dari tempat duduknya dan membuka pintu.
"Non, Tuan dan Nyonya, mereka berantem lagi."
"Oh, bukannya sudah biasa ya?"
"Tuan pergi, dia bersama wanita lain."
Rindu merasa lemas, ini adalah puncak dari segala kesalahpahaman antara dua orang yang mengatakan diri mereka sudah dewasa tetapi begitu kekanak-kanakan.
"Oke, biarkan saja."
"Nona, bagaimana dengan nyonya?"
"Ibuku? dia yang menginginkan semua ini, kau tahu jika dia bahkan tidak memikirkan aku, mereka selalu bertengkar, ibu selalu mabuk-mabukan dan marah. Ini salahnya, aku merasa sudah saatnya mereka berdua berakhir."
Sang gadis sudah menduga semua ini akan terjadi pada keluarganya.
Seorang ibu yang tempramen serta yang jarang pulang, keluarga Rindu memang sangat kacau.
...
Satu minggu berlalu ...
Proses perceraian ibu dan ayahnya berjalan sangat cepat, untung Rindu bisa menekan perasaan lukanya yang sangat tidak menentu.
Di luar gedung pengadilan, rindu dengan tegas ingin tinggal sendiri.
"Nak, tinggal bersama ibu ya? ayahmu sama sekali tidak ingin kau ada di sampingnya," ucap sang ibu yang sangat membenci ayah Rindu.
"Ayah mau bersamaku, hanya saja aku yang malas bersamanya. Ibu, aku butuh waktu untuk memperbaiki segalanya, hati dan otakku sedang tidak sinkron. Aku terpaku pada satu titik dimana cinta adalah hal yang sangat tidak pantas untuk aku dapatkan. Jika kau masih ingin aku bersamaku, temui aku di rumah Erin. Tapi tidak untuk hari ini," jawab Rindu sambil masuk ke dalam taksi yang sedari tadi sudah menunggunya.
Rindu menangis, dia merasa dunianya sangat hancur. Hingga pada akhirnya Rindu menjadi orang yang keras seperti batu.
Sang ibu yang tak ingin memaksa sang putri, membiarkan buah hatinya pergi.
...
Di rumah Erin ...
Perjalanan menuju rumah Erin cukup jauh hingga dia merasa kesedihannya terlalu banyak.
Ponsel miliknya terlihat bergetar, dia segera menjawab panggilan telepon itu.
"Ada apa Rin? aku sedang on the way rumahmu."
"Kau baik-baik saja kan?"
"Iya aku baik."
"Aku harap kau tidak menangis di sana."
"Cih, aku merasa hidupku hancur Rin. Tapi ...."
Terdengar suara isak tangis, ini membuat Erin iba.
"Kau ada dimana? apa perlu aku menyusul mu?"
"Tidak perlu, kau tunggu saja. Setelah ini, aku sampai di rumahmu."
"Benarkah?'
"Iya."
"Oke, hati-hati ya?"
Sang gadis menutup panggilan teleponnya dan terlihat sangat sedih.
Berulang kali dia mengusap air matanya.
Dia berusaha keras untuk melupakan segalanya, dia akan hidup dengan prinsipnya.
"Seharusnya aku berada di dalam tempat favoritku, lalu apa ini Rindu? kau berada dalam perasaan yang aneh, kau tidak boleh semudah ini merasa rapuh," ucap Rindu pada dirinya sendiri.
Dia berharap ada hal yang mampu membuatnya tetap bertahan hidup, ternyata orang itu adalah rindu, teman kuliahnya.
Satu jam kemudian ...
Taksi yang membawa Rindu berhenti di depan rumah Erin, sang gadis segera membayar ongkos taksi.
Setelah itu sang gadis berjalan menuju gerbang rumah Erin.
Tak di sangka sang sahabat sudah berada di sana, menunggu kedatangannya.
Rindu berlari dan memeluk Erin.
"Rin, aku hancur Rin!" ucap Rindu dengan tangis yang mengalir deras.
"Masuk dulu Rindu, kita bicara di dalam."
Erin yang senantiasa ada untuk Rindu, mencoba membantu semaksimal mungkin.
Dia sudah menyiapkan kamar untuk sang sahabat, kamar yang cukup luas.
Suasananya sangat sama dengan ruangan milik Rindu.
"Maaf Rin, aku tak mau tidur di sini, ruangan ini sangat menyebalkan, rasanya ingin menghilang dari dunia ini," jelas Rindu.
"Kau akan mendapatkan kebahagiaan, aku yakin. Kita jalan-jalan keliling dunia, kau mau?"
"Tidak, duniaku sudah sangat hancur."
Gadis itu tidak memiliki semangat hidup lagi.
Erin mengajak Rindu berpindah ruangan.
Kini dia dan sang sahabat berada di dalam kamar Erin.
Rindu merasa cukup nyaman di sini.
"Aku lelah."
"Ya kau tidur saja."
Erin membiarkan sang teman untuk beristirahat, lalu dia menelpon seorang teman lain, jenisnya adalah dari laki-laki baik-baik.
Namanya Rasta, seorang pria humoris, teman lama Erin.
Dia teringat akan Rasta karena hanya dia yang ada di pikiran Erin saat ini.
Erin segera menghubungi nomor Rasta.
Dia mengira Rasta sudah mengganti nomor, ternyata tidak begitu, nomornya masih tersambung.
"Apa?"
"Ya Tuhan, aku baru saja ingin minta tolong, tapi kau sudah mengajakku berkelahi."
"Haha, aku hanya bercanda. Ada apa nih? tumben."
"Aku butuh bantuanmu, hibur sahabatku, dia baru saja mengalami hal yang menyedihkan."
"Dia cowok? kalau cowok malas. Secara aku adalah cogan yang normal 100%, bukan kaleng-kaleng."
"Iya aku tahu, maka dari itu, aku ingin kau membantuku."
"Membantu apa?"
"Kau hibur temanku, ini nomor ponselnya xxxxx."
"Dia patah hati? ditinggal nikah?"
"Lebih dari itu."
"Apa?"
"Kedua orang tuanya bercerai, dia merasa hidupnya sudah berakhir."
"Oke, aku akan membantumu."
"Laporkan segalanya, aku ingin tahu perkembangannya. Aku ingatkan, kalian jangan saling jatuh cinta."
"Itu bonus."
"Astaga!"
"Haha."
Panggilan telepon usai.
Erin berjalan menuju dapur, dia ingin memasak untuk sahabatnya itu.
Sedangkan di kamar Erin, sang gadis sedang merasa pusing.
Dia terkejut saat ponselnya berdering tiada henti.
"Siapa yang membuat hariku makin suram?aku sedang ingin beristirahat tapi berisik sekali."
Rindu merasa kesal, dia mematikan panggilan itu.
Hingga nomor baru yang menyebalkan itu, mengirim sebuah pesan singkat.
Aku tahu, kau pasti sangat sedih hari ini. Makanya angkat teleponku. Aku akan membuat harimu menjadi lebih berwarna lagi.
Rindu merasa si pengirim pesan tida waras.
Sang gadis merasa kesal dan mematikan ponselnya.
"Dasar tidak ada kerjaan, dia tidak tahu apa jika aku sedang kesal dan muak!"
Sang gadis membuang ponselnya ke lantai dan menutup seluruh tubuh dengan selimut.
Dia mencoba melupakan segalanya dengan pergi ke alam mimpi.
*****
Pagi harinya ...
"Rindu, ayo kita jalan-jalan," pinta Erin yang sejak tadi sudah membangunkan sang gadis tetapi tidak kunjung membuka matanya.
Erin sampai lelah mengeluarkan suara untuk membangunkan sang teman yang sudah seperti kebo saja saat tidur.
Dia merasa jika sang teman sudah menyerupai kebo saja.
"Heh! Rindu! Ini sudah jam berapa? apakah kau lupa dengan segala ritual dalam kehidupan di pagi hari?" tanya sang teman yang mencoba mengingatkan bahwa Rindu masih hidup di alam dunia dan tidak bisa tidur seperti itu.
"Hem ... aku masih mengantuk kau tahu?" ucap Rindu lirih.
Dia merasa segala sesuatunya sangat masuk akal karena sang teman sedang dalam masa berkabung oleh karena ayah dan ibu Rindu dalam masa-masa sulit.
Perceraian antara dua orang yang semula saling mencintai membuat situasi menjadi tidak menentu.
Erin juga paham jika menjadi seorang korban broken home, sungguh menyiksa batin.
"Rin, aku tidak mau kuliah. Aku malas," ucap Rindu dengan isak tangisnya.
Gadis itu masih belum menerima jika dia akan menjadi seorang gadis dengan ayah dan ibu yang berpisah, lalu memiliki orang tua ganda yang entah siapa mereka.
Rindu terlalu kesal dengan apa yang ada sehingga, dia malas melakukan aktifitas hari ini.
Boro-boro mandi. Cuci muka saja malasnya minta ampun.
"Ya sudah, terserah kau saja."
Erin yang sudah kehilangan akal mencoba untuk mencari jalan lain yang bisa membuat sang sahabat bersemangat lagi.
Dia terlihat keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang tamu.
Erin segera menghubungi si tengil.
"Bro, telepon si Rindu," pinta Erin.
"Tadi malam aku sudah menelponnya, tetapi tidak ada balasannya. Aku juga sudah mengirim pesan padanya, tetapi tidak ada yang direspon."
Rasta sepertinya sudah putus asa, dia menyerah saja.
"Aku akan memberikanmu imbalan, kau harus setuju."
"Apa? apa kau mau memberikan aku uang segunung? atau uang dengan jumlah banyak lainnya? kau akan apa?"
"Kau boleh jadikan dia kekasihmu jika kau bisa."
"Haha, malas rasanya saat memperhatikan seorang gadis yang masa bodoh seperti itu," ucap Rasta agak kesal.
"Ya itu adalah tantangan bagimu, dia itu gadis cantik yang pernah aku kenalkan padamu, entah kau masih ingat atau tidak."
"Haha, aku tidak terlalu suka gadis cantik."
"Dih, sok banget. Sombongnya."
"Haha, aku setuju dengan kata-katamu tetapi saat dia jatuh cinta, kau harus memberikan aku satu hadiah lagi."
"Wee! kok nglunjak?"
"Ini adalah negosiasi."
"Kau mau apa dariku?"
"Aku ingin bertemu si Alpa."
"Ya Tuhan, keinginan macam apa ini?"
"Ini adalah keinginan seorang gadis dengan segala hal yang akan membuatmu akan luluh."
"Oh, adikmu?"
"Iya, dia sangat suka Alpa, siang ini dia akan datang ke rumahmu bersama asistenku. Entah kenapa si Mia lebih suka Alpa daripada kucing di rumah. Alpa terlalu istimewa kah?"
"Haha, tentu saja, Alpa sangat istimewa dan kucingku sangat bersih. Kau datang saja kemari kalau mau, bilang saja kau temanku."
"Tidak asik kalau bertemu langsung, dia bisa ingat wajahku dan malas bertemu. Padahal kan kita satu kampus, aku akan menjadi pria yang lebih misterius dan membuatnya menjadi gadis yang tergila-gila padaku."
"Ya terserah kau saja, sorry aku harus pergi ke kampus. Aku tutup teleponnya."
"Ya."
Satu jam kemudian ...
Setelah sang sahabat pergi ke kampus, satu jam selanjutnya si gadis baru saja bangun dari tidur lelapnya.
Namun, satu hal yang menyebalkan kembali hadir.
Panggilan telepon tiada henti membuatnya menjadi orang yang suka marah-marah.
"Siapa sih orang ini, ngeselin amat," ucap Rindu yang tidak tahan dengan seorang pria yang sejak tadi melakukan panggilan telepon terhadapnya.
Selain berisik, membuat Rindu mudah emosi.
Dia bertekad untuk menghadapi sang penelpon yang sudah membuat dirinya dalam kesulitan pagi ini.
"Halo? siapa kau! apa masalahmu terhadapku?" tanya sang gadis.
Geram rasanya melihat seorang pria yang tidak dikenal, tiba-tiba saja melakukan hal semacam ini.
"Cantik, aku tahu kau sangat cantik. Tidak perlu marah-marah," ucap pria yang sangat menyebalkan di ujung panggilan telepon.
"Kau tidak perlu basa-basi, maksudmu apa selalu mengangguku?" tanya Rindu dengan nada bicara yang penuh kekesalan.
"Aku sangat ingin mengenalmu. Aku tahu menjadi korban broken home itu sangat menyedihkan, tapi tidak harus membuat kita menjadi terpuruk," ungkap pria itu.
"Kau terlalu sok tahu mengenai kehidupanku!"
Rindu dalam mode kesal tingkat tinggi, dia sama sekali tidak bisa mentolerir seorang pria yang sudah menganggu dirinya.
"Aku hanya ingin kita bertemu dan mengobrol, apakah begitu sulit bagimu melakukan semua itu?" cetus sang penelpon.
"Haha, oke. Bye! kau sama sekali tidak paham jika aku kesal padamu!"
Rindu mengambil simcard dari ponselnya, kemudian menghancurkannya.
"Ini akan lebih baik, aku tidak akan berhubungan dengan orang tua yang egois serta orang asing yang sok tahu itu."
Rindu cukup tenang dengan apa yang ada di dalam hatinya
Dia tidak akan membiarkan rasa sakit hati itu berlarut, Rindu mencoba untuk segera melakukan ritual mandi agar badannya lebih segar.
Sang gadis beranjak dari ranjang lalu berjalan menuju kamar mandi.
Dia mulai melakukan ritualnya.
...
Sedangkan di rumah sang penelpon..
"Haha, astaga, aku baru tahu ada gadis aneh dengan seribu kemustahilan. Siapa yang berani menolak Rasta? aku ini tampan, sangat mudah bergaul. Gadis yang terpikat padaku banyak. Oh, mungkin ini karena dia belum melihat wajahku yang super tampan ini, jadi gadis itu sok jual mahal. Oke, kita akan lihat bagaimana cara Rasta membuat gadis keras kepala yang katanya cantik itu akan bertekuk lutut denganku."
Saat dia berada di dalam kamar, pintu kamarnya ada yang mengetuk.
Rasta segera membuka pintu.
"Kak, ayo ke rumah Kak Erin. Aku mau lihat Alpa," ucap si bocah yang merupakan adik dari Rasta.
"Anak kecil selalu membuat aku kerepotan. Bukannya Gery mau mengantarmu?" tanya Rasta.
"Paman Gery sedang ada pekerjaan. Mama bilang ada urusan dengan Paman Gery," jawab bocah kecil itu.
"Hadeh, mama ada-ada saja. Bukannya ada yang lain, kenapa harus Gery. Gery itu asistenku."
Rasta terlihat tidak senang dengan sikap sang mama, dia menelpon mamanya.
"Ma? mama ada dimana?"
"Mama sedang ada di luar kota. Papa bilang harus ada asisten ketika pekerjannya repot. Papa butuh mama dan Gery."
"Asisten kan banyak, kenapa harus Gery?"
"Gery yang paling siaga, asisten mama sedang cuti."
"Ya ya ya, sudahlah."
"Kau marah?"
"Tentu saja, aku ingin pergi ke rumah temanku dan harus menemani bocah usil ini pergi mengunjungi Alpa."
"Haha ... Alpa, kucingnya Erin?"
"Iya, diamlah ma. Ngeselin banget," ungkap Rasta sambil menutup panggilan telepon itu tiba-tiba.
Saat dia ingin menghindar, sang adik terus menarik bajunya.
"Berangkat sekarang?"
*****
"Iya bocil! kau sama saja dengan mama, huh!" ucap Rasta kesal.
Ini bukan hanya karena sang mama, tetapi adiknya yang masih kecil tetapi sangat hobi merepotkan nya.
Sang bocah berlari menuju depan rumah, di sana ada mobil milik sang kakak, dia sudah masuk ke dalam sana sendirian tanpa ada yang membantu membuka pintunya.
"Hore! aku sudah masuk ke dalam mobil, ayo kakak. Aku tidak sabar untuk bertemu dengan Alpa.
Sang kakak baru saja masuk ke dalam mobil dan berkata," Iya aku tahu, memangnya kau merasa masuk mobil atau masuk sumur? dasar!" ucap sang kakak yang terkadang suka bener.
Dia menjadi kakak dari bocah kecil yang baru saja berusia lima tahun, tetapi kepo nya minta ampun.
"Kakak, kenapa aku lebih kecil darimu?"
"Kan belum sampai mobil tancap gas menuju rumah Erin, sudah banyak bertanya. Kakak harus menjawab dengan jujur atau banyak bohongnya?"
"Memangnya kakak selama ini selalu jujur kepada mama?"
"Kau ini hanya anak kecil, memangnya tahu apa?"
"Dulu kakak pernah mengatakan kepadaku ingin pergi ke kampus, tetapi kakak hanya nongkrong di warung kopi."
"Tahu darimana?"
"Mama yang bilang, lalu aku juga melihat kakak berada di warung kopi yang dekat dengan tempat kakak bersekolah."
"Sekolah, memangnya kakak anak TK sepertimu? kau jangan terlalu banyak bicara karena kakakmu memang tidak suka kau terlalu banyak mengutarakan tentang semua hal yang membuatmu penasaran. Kau seharusnya tanya kepada mama atau papa. Aku belum berpengalaman."
Sang kakak memang bosan, dia malas membawa sang adik kemanapun karena adiknya lebih lucu daripada dirinya.
Jadi, dia pasti gagal mendapatkan gebetan setelahnya.
Rasta membiarkan adiknya terus saja berbicara, sedangkan dirinya masih fokus dengan jalan raya.
"Kakak?"
"Apa lagi?"
"Galak amat!"
"Amat aja gak galak!"
"Hih kakak!"
"Hih bocil!"
Adiknya langsung ngambek karena dia disepelekan hanya karena masih bocah.
“Aku punya seorang teman, dia cantik lho. Awas saja jika kakak ingin berkenalan dengannya!”
“Memangnya kau kenal dari mana?”
“Dari kak Erin, aku sering mengirim pesan kepada kakak itu.”
“Namanya siapa?”
“Rindu.”
“Astaga,” ucap Rasta ketar-ketir.
“Aku akan memberitahu mengenai kakak itu, tapi Kak Rasta harus berjanji kepadaku, hm … berikan aku mainan yang mahal!”
“Ck, kau anak kecil tetapi sangat mirip dengan mama.”
“Aku kan anak mama.”
Sang kakak sudah kehabisan akal, dia tidak bisa melakukan apapun lagi. Terlalu menyebalkan untuk mengurus bocah ini, si Restu.
Perjalanan menuju rumah Erin, cukup jauh hingga dia harus menempuh satu jam perjalanan.
.
.
.
Sesampainya di rumah Erin …
“Yey sampai juga!”
Bocah itu langsung berlari dan berjinjit meraih bel agar bisa memanggil orang yang ada di dalam rumah itu.
Rasta keluar dari mobilnya dan segera membantu sang adik.
“Heh bocah, sok banget pengen bisa pencet bel,” ucap sang kakak meledek.
“Namanya juga usaha.”
Restu memang anak TK, tetapi dia cukup dewasa dalam bersikap.
Berbeda dengan sang kakak, yang masih kekanak-kanakan.
Setelah Rasta pencet bel itu, ada sosok gadis cantik yang mengintip di balik gerbang.
“Siapa ya?”
Restu yang mengenal gadis itu, langsung memanggil namanya.
“Kak Rindu!”
“Astaga Restu? apa yang kau lakukan di sini?”
“Mau ketemu Alpa Kak.”
“Oke, masuk Restu.”
Rindu terkejut kala ada seorang pria yang datang bersama dengan si bocah.
“Siapa kau?”
“Aku kakaknya, namaku Bagas.”
“Oh, mau ikut masuk juga?”
“Iya, nanti adikku pulang dengan siapa?”
“Dengan Kak Rindu.”
Sang adik memang sangat gemar mengerjai dirinya.
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!