“Kamu mau mati, kan? Silakan, lompat aja!” ujar lelaki yang mengenakan jaket dan tudung di kepalanya. Tak ada ekspresi takut atau tegang di wajahnya kala melihat Ginger yang tengah memanjat titian dan berpegang pada pilar jembatan.
Ginger menoleh sekilas pada lelaki itu, warna kulitnya yang pucat tampak berkilau diterpa sinar rembulan yang dua per tiga penuh. Malam ini tidak mendung, juga tidak cerah. Namun, suasana hati Ginger tak bisa dikatakan baik-baik saja.
“Siapa kamu?” tanya gadis itu dengan suara parau yang nyaris serak karena sudah berjam-jam menangisi nasibnya beberapa waktu terakhir.
Bayangan komentar penggemar yang semula begitu menggilai naskahnya dan kini berubah menghujatnya, terus saja berputar di rongga kepalanya. Jangan lupakan bagaimana Ryan, kekasihnya mencampakkan dirinya.
Itu juga menyakitkan.
“Tahu apa kamu tentang aku? Kamu gak tahu apa-apa! Hanya orang asing yang kebetulan melintas, lalu sok tahu seakan sudah pernah masuk ke duniaku,” imbuh Ginger dengan nada terluka.
Lelaki itu tersenyum miring.
Tak tampak mengejek, juga tidak bersimpati atas kesulitan yang dialami oleh Ginger.
“Aku memang tidak tahu, tapi aku katakan, aku pernah mengalami yang sama buruk. Ditolak, dihujat, direndahkan ... juga ditinggalkan, itu bukan sekali dua kali terjadi. Namun, mati bukan solusi, Nona.”
Lelaki itu kemudian mengeluarkan rokok dari saku jaketnya. Menyulut benda itu dan menghisap asap bernikotin itu dengan nikmat, lalu mengembuskannya ke udara.
“Rokok?” tawarnya.
Ginger menggeleng.
“Aku gak mau mati dengan paru-paru rusak!”
Lelaki itu kali ini terkekeh.
“Bagus! Kamu baru saja mengatakan kalau kamu takut mati. Lalu, kenapa masih ada di sana? Ayo turun!” Ia memberi isyarat dengan kepalanya.
Ginger tak segera menurut apa yang diperintahkan lelaki itu. Memangnya siapa dia berani memerintah dirinya?
Lelaki itu kini bersandar pada pinggiran jembatan, masih menikmati rokoknya. Ia tak takut mati, karena ia pernah mati berkali-kali dan nyatanya di sinilah ia berada.
“Buku itu ... sangat bagus tetapi kamu tidak menambahkan jiwa di dalamnya. Itu sebabnya pembacamu tidak menemukan koneksi ketika membacanya,” ucap lelaki itu, seolah tahu tentang Ginger dan masalah yang ia hadapi.
“Cih! Buat apa aku mendengarkan omong kosong orang asing yang gak tahu apa-apa?” sinis Ginger.
Lelaki itu kembali tersenyum miring.
“Ayo turun! Aku akan tunjukkan bahwa di dunia ini ada banyak hal yang lebih berharga untuk kamu nikmati. Tenang saja, kamu pasti akan mati, tetapi selama kamu masih hidup, beri kesempatan bagi dirimu sendiri untuk sekali saja menggila.”
Lelaki itu mengulurkan tangan pada Ginger.
“Ayo ....”
Ginger menatap jemari pucat lelaki itu. Ia menggeleng.
Rasanya terlalu sakit untuk dilupakan. Lelaki itu, kan tidak tahu bagaimana jahatnya perkataan para netizen dan fans yang berbalik menyerangnya. Ia hanya lelaki biasa yang mungkin sudah memiliki banyak hal yang akan bertahan jadi miliknya tanpa perlu ia perjuangkan.
Sementara lelaki itu, susah payah membujuk gadis keras kepala yang masih juga berdiri berpegang pada pilar jembatan seperti orang kurang waras.
“Malam semakin dingin, kamu akan membeku di sana kalau tidak turun.”
Ginger menggeleng kuat-kuat. Air matanya tak bisa ia bendung lagi. Bayangan-bayangan perkataan jahat itu kembali bermunculan.
Ia terisak sebentar, membuat lelaki itu agak bingung.
“Hey, hey ... jangan menangis di situ, kamu nanti akan menarik perhatian banyak orang! Mereka akan mengira aku memperlakukanmu dengan buruk. Turunlah! Aku serius.”
Ginger menatap jauh ke depan, di mana air laut tampak menghitam. Ia bisa memperkirakan seberapa dalam dan dingin airnya.
Ia mungkin tak akan langsung mati jika melompat ke bawah, tetapi dengan ketinggian sekian, akan sangat menyakitkan kala tubuhnya menghantam permukaan air. Itu pasti.
Mungkin dia akan mati karena tenggelam. Tak masalah, yang penting mati, kan?
Nekat. Itu yang pantas disematkan padanya saat ini.
Ia benar-benar melompat dan lelaki itu tak sempat menangkap tubuh yang membawa jiwa ringkih itu terjun bersama.
“Hey, Nona!”
Terlambat.
Ginger sudah meluncur ke bawah tanpa hambatan. Angin tak terlalu kencang malam ini.
Gadis itu memejamkan mata, bersiap saat kepalanya terlebih dulu menghantam air. Pasti akan sakit. Ia pasti akan mati dengan kepala pecah atau ....
Tidak!
Ia tidak terjatuh, melainkan melayang. Sebentuk tubuh kokoh dan liat telah menangkapnya, mendekapnya erat dan tak lagi meluncur melainkan terbang melayang entah ke mana.
Ginger membuka mata yang langsung bertatapan dengan iris mata coklat sewarna kayu itu. Tampan, memesona, dan ....
Ginger bisa mengenali siapa lelaki itu saat dirinya menajamkan pandangan pada wajah yang tak lagi tertutup tudung itu. Dia ... Joseph Kim, artis idolanya!
Dan mereka ... apa yang terjadi padanya?
Ia mendarat dengan selamat dan tanpa lecet sedikit pun. Apa yang barusan dilakukan oleh Joseph membuat kepala Ginger pening. Ia berusaha tetap dalam kesadaran penuh, tetapi jemari Joseph menyentuh kepalanya dan seketika Ginger tak sadarkan diri.
Ginger tersadar dan terbangun sudah berada di kamar apartemennya yang kecil. Ia mengedar pandangan ke seluruh ruangan, seakan mengumpulkan nyawa untuk mengenali di mana dirinya berada.
Matahari telah tinggi, artinya ia sudah tertidur cukup lama. Dan kejadian semalam ... apakah itu nyata?
Joseph ... apakah benar itu Joseph Kim? Sepertinya ia tak salah lihat. Itu memang Joseph Kim, artis idolanya yang selalu ia jadikan visual cast untuk hampir semua cerita yang ia tulis.
Ia tak yakin, tetapi kepalanya seakan nyaris meledak kala melihat benda yang menyelimuti tubuhnya.
Jaket hoodie dengan aroma Joseph Kim yang ia kenali betul.
“Oh, Tuhan! Ini nyata!” Ginger menepuk pipinya dan mencubit lengannya. “Ini nyata! Joseph Kim telah menolongku saat hendak bunuh diri!”
Ginger membekap mulutnya karena terlalu keras mengucapkan kata bunuh diri tadi.
Ia mencari telepon genggamnya dan menggulir akun media sosial Joseph dan menemukan foto lelaki itu dengan jaket yang sekarang ada padanya.
Di foto lain, ia menemukan pengumuman bahwa Joseph Kim akan mengadakan jumpa fans untuk film terbarunya.
“Hari ini? Oh, tidak! Aku harus bersiap untuk datang ke sana.” Ginger mengambil handuknya dan bersiap untuk menghadiri acara yang diadakan oleh artis idolanya itu.
“Tunggu aku, Joseph Kim ...,” ucapnya ceria.
Hey, di mana gadis yang semalam hendak bunuh diri itu?! Sepertinya ia sudah tenggelam di lautan dan digantikan oleh Ginger versi terbaru, karena kali ini Ginger berubah menjadi gadis yang bersemangat.
Terlebih ketika ponselnya berdenting dan apa yang tertulis pada notifikasi membuatnya terlompat kegirangan.
‘Selamat! Anda beruntung mendapatkan satu tiket untuk mengikuti jumpa fans aktor kenamaan Korea, Joseph Kim, sekaligus privilege untuk sehari bersama Joseph! Jangan lewatkan kesempatan ini dimulai dari hari ini. Sampai jumpa di pesta!’
“Tidak mungkin! Aku pasti sedang mimpi ....”
Ginger tak lagi merasa sedih seperti beberapa hari kemarin. Tak ada lagi niatan untuk bunuh diri, meski ia belum tertarik untuk kembali menulis. Ia masih trauma dan belum bisa berdamai dengan masalah itu.
Semua akses yang menghubungkan dirinya dengan penggemar, ia tutup. Ia tak lagi membuka sosial media, atau bahkan aktif di dalamnya. Ia ingin berhenti melakukan apa yang selama ini ia lakukan. Kecuali satu hal baru yang mulai ia tekuni.
Datang ke acara jumpa fans yang diadakan oleh manajemen artis idolanya, Joseph Kim.
Seperti saat ini, Ginger duduk di bangku VIP, atas undangan dan privilege dari Joseph. Ginger tak tahu apakah lainnya juga mendapat hal yang sama istimewa, tetapi yang pasti, dirinya merasa cukup beruntung saat ini.
Ginger yang kemarin berpikir kalau tak akan ada keberuntungan untuknya, kini tak ada lagi.
Gadis itu maju ke depan saat semua berkumpul untuk meminta berfoto dan tanda tangan dengan sang idola. Tak hanya Joseph, melainkan beberapa artis ada bersamanya. Ginger terlalu kagum pada Joseph hingga tak sadar kalau antreannya selalu dipotong oleh beberapa penggemar lain.
Dengan penuh perjuangan, ia berhasil ada di barisan pertama dan kini berhadapan dengan Joseph Kim dan melihatnya dari jarak dekat.
Tidak, tidak!
Ia sudah pernah melihat Joseph Kim dari jarak dekat sebelumnya. Bahkan lebih dekat dibanding sekarang. Dekat hingga Ginger bisa rasakan betapa liat otot lelaki itu. Lalu aroma tubuhnya yang wangi ....
“Hey! Apa kamu akan mematung terus?” tanya lelaki yang duduk di hadapannya. “Kalau kamu ingin melamun seperti itu, minggirlah dan beri kesempatan yang lain untuk maju lebih dulu!”
Ginger membulatkan bola mata saat mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh lelaki itu. Benarkah itu Joseph Kim yang mengatakannya?
“Hey ... kita waktu itu pernah bertemu di jembatan. Apakah kamu ingat?” tanya Ginger, menanggalkan rasa malu dan memutuskan untuk menyapa lebih dulu. Ia tak peduli andai dianggap sok kenal.
Bukankah memang mereka sempat bertemu, meski tak saling mengenal?
“Apa kamu masih mengingatku?” tanya Ginger, lagi, saat Joseph tak merespon perkataannya, justru malah berbincang dengan artis lain seolah dirinya tak ada.
Ginger akhirnya hanya menyerahkan buku yang ia bawa, berharap sekadar tanda tangan, syukur-syukur kalau bisa berfoto dengannya. Namun, sekali lagi, Joseph justru seakan membangun dinding tinggi agar Ginger tidak mengungkit masalah di jembatan.
Bisa jadi demi reputasinya sebagai artis.
“Maafkan kata-kataku, tapi bisakah kamu memberiku tanda tangan?” tanya Ginger, yang masih dengan keteguhan hati meminta pada tokoh idolanya itu.
Satu kali, tak mendapat respon ....
Dua kali, tak dianggap ....
Ketiga kali, diabaikan ... Ginger akhirnya meletakkan buku dan pulpennya ke atas meja, tepat di hadapan Ginger, dengan kasar. Rahangnya mengatup ketat, tanda bahwa ia tak suka dengan sikap Joseph terhadapnya sebagai seorang idola terhadap penggemar.
Gadis itu sangat marah, sehingga memutuskan untuk angkat kaki dari ruangan itu.
“Privilege apanya? Aku bahkan gak digubris sama sekali. Apa artis selalu seperti itu, angkuh pada penggemarnya?” Ginger kemudian menghentikan langkahnya dan duduk di sebuah bangku tak jauh dari aula di mana diadakan jumpa fans.
“Aku gak bakal balik ke ruangan itu lagi,” gerutunya.
Namun, ia menoleh ke arah aula dan mendesah.
“Tapi sayang banget kalau gak berhasil dapatkan tanda tangan Joseph ....” Ia menundukkan kepala dan memegangi dengan kedua tangannya. “Sudahlah, aku pulang saja.”
Gadis itu kemudian bangkit, berjalan mengentak langkah yang sejak tadi ia ayunkan bersemangat menuju ke tempat ini, sekarang hanya langkah gontai karena apa yang terjadi tidak sesuai ekspektasi.
Ginger sudah berada di dalam lift, ketika kemudian lift kembali berhenti dan siapa yang masuk dan ada di ruangan besi itu, membuat Ginger tak mampu kendalikan perasaannya.
Kesal sekaligus senang yang tanpa ia sadari membuat jantungnya berdegup kencang dan darahnya berdesir.
Joseph yang mulanya berniat untuk meminta maaf atas sikapnya yang tak menghargai kehadiran Ginger, kini justru bersusah payah menahan hasrat yang harus ia kekang setengah mati sejak bertemu dengan gadis itu.
Ginger malam itu hanya tahu bahwa ia merasa nyaman berada dalam dekap dan perlindungan Joseph. Ia tak jadi berakhir dengan sebuah kebodohan.
Namun, tahukah Ginger apa yang dirasakan Joseph saat itu bahkan hingga kini?
Tidak ada yang tahu. Bahkan asistennya sekali pun.
“Ayo, Jo, kita turun sekarang!” ajak Alana, sang asisten. Namun, Joseph tampak ragu. Ekor matanya melirik Ginger yang membuang wajah ke arah lain.
Ia terlalu menyukai lelaki itu hingga melupakan kemarahannya. Dan andaikan Joseph turun sekarang, Ginger bisa pastikan dirinya akan melompat kegirangan seperti orang tidak waras.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya.
“Ehm, kamu turun saja duluan. Aku masih ada sedikit urusan,” ucapnya pada Alana. Gadis yang seusia Ginger itu kemudian mengangguk lalu keluar dari lift dan berbelok ke arah kanan.
Pasti ke kamar hotelnya.
Sementara itu, sepeninggal Alana, Joseph berbalik, kemudian mempertemukan maniknya dengan bola mata berwarna hazel milik gadis di hadapannya.
“Maaf,” ucap Joseph, singkat.
Joseph sungguh tak tahu bagaimana cara melakukan permohonan maaf yang baik terhadap seorang wanita. Ia sadar, apa yang dilakukannya pada Ginger beberapa menit lalu sangatlah keterlaluan.
“Maaf untuk apa?” tanya gadis itu, mengerjap, tak berani memandangi lekat-lekat wajah lelaki di hadapannya, tetapi tak bisa juga alihkan matanya dari wajah rupawan lelaki itu.
“Maaf untuk yang tadi.”
“Oh ... oke, gak masalah. Lagi pula aku juga gak tahu kenapa aku ada di sini. Karena sepertinya bukan kamu yang mengundang aku.”
Joseph membulatkan bola mata kala mendengar perkataan Ginger.
“Alana yang mengundang kamu.”
Ginger mendengkus, kemudian mengangguk. “Sudah kuduga.”
“Tapi atas perintahku.”
“Kenapa?”
“Karena ....” Joseph tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena ia tak lagi bisa menahan perasaan yang sejak tadi seperti bergejolak dalam dadanya.
Ginger yang mulanya tidak menyadari keanehan Joseph, tetap saja berada di sana, menunggu lelaki itu mengatakan apa yang ingin disampaikannya.
“Joseph, kamu gak apa-apa?” tanya Ginger saat lelaki itu berpegangan pada dinding lift. Wajahnya menghadap didinding, dan dari sana Ginger baru sadari kalau Joseph tidak memiliki bayangan. “Oh, tidak ....”
Joseph berbalik, kemudian tanpa kendali menyerang Ginger yang berusaha membuka pintu lift agar bisa bebas dari sang idola yang telah berubah jadi makhluk mengerikan dan haus akan darahnya.
“Tidak! Kamu gak akan suka darahku, Jo! Pergi!”
Ginger menjauh dari lelaki itu. Namun, gerakan Joseph yang cepat dan kekuatan yang besar membuat Ginger pada akhirnya terkungkung di sudut dan Joseph mengunci posisi gadis itu dengan kedua lengannya bersandar pada lift.
Ginger menggeleng dan memejamkan mata, seiring Joseph yang mendekatkan wajah dan menempelkan bibirnya yang dingin serta taring tajamnya di leher gadis itu.
Tenang saja ... Joseph tidak menggigit Ginger sama sekali, melainkan hanya mengendus aroma gadis itu.
Bukankah perbuatan gila kalau dia sendiri yang menghalangi tujuan Ginger bunuh diri, tetapi justru membuat gadis itu jadi mayat hidup sepertinya.
“J–Jo ... lepaskan aku, kumohon ...,” ucap Ginger dengan bibir bergetar.
Bohong jika ia bilang dirinya tak takut dengan bentuk dan rupa Joseph saat ini. Ia masih tampan dan menawan, hanya tidak dengan taring mengilat yang menyembul dari bibirnya.
Ginger tahu sekarang, mengapa lelaki itu begitu pucat seakan tak ada darah yang mengalir di dalam tubuhnya.
“Tidak, tidak ... Ginger. Diam di sini sebentar ... aku hanya ingin ....”
Lelaki itu hanya mengendus, menghidu aroma tubuh Ginger yang begitu harum dan membuat tenggorokannya terasa makin kering.
Namun, Ginger tak tahu siapa lelaki itu. Tak mungkin Joseph Kim idolanya adalah seorang vampir.
Ginger mengangkat satu kaki, lalu menendang perut Joseph hingga terjengkang. Berbarengan dengan terbukanya pintu lift yang seolah memberi kesempatan hidup kedua bagi Ginger.
Bukan kedua, melainkan ketiga. Kemarin Joseph yang menyelamatkannya dari kematian, kini dia yang justru ingin merenggut nyawa Ginger.
Dan lagi, dari mana lelaki, itu tahu namanya? Ia tidak menyadari itu sejak tadi. Meski saat mendapatkan pesan di ponselnya, ia tak berpikir bagaimana mungkin orang-orang itu bisa tahu namanya dengan lengkap dan jelas.
Fix, ia kini sedang berada di dunia lain. Dan apakah ini artinya ia sudah mati?
Ginger berlari sekencang yang ia mampu, kemudian bergegas mencari keberadaan mobilnya yang ia parkir tak jauh dari pintu lift.
Ketemu!
Ia bergegas masuk dan mengemudikannya tanpa menoleh lagi ke belakang. Dan tentu saja tujuannya tak lagi ke apartemen melainkan pulang ke rumah orang tuanya.
Ginger keluar dari mobil dengan perasaan waswas yang masih menyelimuti, tak pedulikan ayah dan ibunya yang keheranan melihat putri tertuanya yang biasanya jarang pulang, kali ini seolah ingat bahwa ia masih memiliki orang tua.
“Hey ... tumben sekali kamu pulang ke rumah. Kirain sudah lupa kalau punya orang tua,” seloroh sang ayah.
“Iya ... mama pikir juga kamu gak akan pulang karena biasanya selalu alasan ada deadline. Kalau hari ini pulang, berarti sudah gak ada deadline-kah, Gin?”
Ginger meneguk air minum di tangannya hingga tandas. Ia kemudian bergabung dengan kedua orang tuanya, duduk di antara ayah dan ibunya.
“Ma, Pa, kalau ada laki-laki yang datang dan tanya apa Gin tinggal di sini, bilang aja gak tahu, ya!” rayunya, yang membuat kedua orang tuanya mengerutkan kening.
“Eh, ada apa? Apa maksud kamu si Ryan?”
“Bukan! Aku sama Ryan sudah putus, jadi jangan ungkit dia lagi.”
Ibu dan ayah Ginger saling berpandangan saat mendengar penuturan anak gadisnya. Tumben sekali Ginger mengatakan itu tidak disertai air mata berderai-derai seperti biasanya. Apakah Ginger sudah mendapat ganti kekasih yang baru?
“Jadi, siapa yang kamu maksud ini, sayang?” desak sang ayah.
“Siapa aja, Pa. Pokoknya gitu. Aku masuk dulu.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Kamu nekat sekali, Jo. Bagaimana kalau gadis itu menyadari kalau kamu memang gak sama seperti dia, lalu menyebarkan ke semua orang? Bisa habis kita!” omel Alana, tak menyangka bosnya melakukan hal yang gegabah hanya karena tak tahan dengan bau darah.
Bukan sembarang darah. Joseph tak pernah menghisap manusia secara langsung karena hal itu tak diperbolehkan dalam klannya. Mereka hanya boleh menghisap dan merubah manusia menjadi vampir dalam kondisi tertentu.
“Ada apa denganmu, Jo?” lanjutnya.
“Ada yang aneh, pastinya. Kamu tahu sendiri aku gak pernah melakukan itu, kan? Dan ... mungkin aku harus menemui Gabriella untuk memeriksakan diri,” jawabnya.
“Ya, itu benar. Aku akan hubungi Gabriella supaya dia menyediakan waktu buat kamu. Kapan?”
“Hari ini, tapi nanti. Ada hal lain yang harus aku lakukan.”
Mendengar perkataan Joseph, Alana tahu ke mana arah pembicaraannya.
“Jo, jangan mengambil risiko, lah! Bagaimana kalau Ginger ketakutan? Kita gak boleh membuat manusia ketakutan. Kita bukan hantu. Jangan sampai Alucard tahu kalau kamu sudah membuat anak manusia sampai merasa dalam teror!” Alana memperingatkan.
“Tenang aja. Itu jadi urusanku. Aku pergi dulu.”
“Hey, Jo!”
“Ya?”
“Kalau kamu berhasil sama dia, jangan lupa pakai pengaman,” kekeh Alana yang dibalas cebikan oleh lelaki yang kemudian menghilang bagaikan asap yang tertiup angin.
Dan seperti dugaan Alana, Joseph mampir ke apartemen Ginger demi menemui gadis itu. Untuk apa? Ia sendiri tak tahu alasannya. Mungkin sekadar melepas rindu, karena itu yang ia lakukan beberapa hari terakhir.
Tepatnya sejak ia bertemu dengan gadis itu di jembatan.
“Ginger,” panggilnya, berusaha agar suaranya tetap pelan tetapi tidak terdengar menyeramkan. Ia ingat pesan Alana, tak mungkin dia akan begitu saja mengabaikan peringatan itu, karena risikonya sangat besar.
Ia memanggil lagi. Namun, tak ada jawaban.
Akhirnya seperti yang biasa ia lakukan, masuk ke kamar gadis itu. Sayangnya, tak menemukan siapa pun di sana.
“Sialan!” umpat lelaki itu, kemudian menghilang dari tempat itu menuju ke tempat Gabriella Avery, seorang dokter yang merupakan vampir seperti dirinya.
Gabriella memandangi Joseph cukup lama. Tak ada keanehan yang tampak pada diri lelaki itu, kecuali satu hal. Gabriella sendiri sedang memastikan apa yang menyebabkan Joseph begitu bernafsu pada gadis itu.
“Apa kamu pernah bertemu gadis itu sebelumnya?” tanya Gabriella yang hanya memastikan dugaannya.
“Ya, beberapa kali," jawabnya.
"Apakah itu kebetulan, atau memang kamu sengaja?”
Saat pertanyaan Gabriella berubah menjadi sebuah interogasi, Joseph bangkit.
“Aku kemari untuk diperiksa, bukan ditanyai seperti penjahat, Gabby. Bilang saja, aku ini kenapa.”
Gabriella kembali memeriksa sekujur tubuh lelaki itu, aneh tetapi tidak ada yang berbeda, semua tetap sama. Gabriella pun ragu harus memberikan diagnosa seperti apa, karena yang dirasakan dan dialami oleh Joseph bukanlah penyakit, melainkan sesuatu hal lain yang memang cukup mengganggu pada mulanya.
“Apa kamu akan diam seperti itu terus?” ketus Joseph, melirik ke arah Gabriella yang hanya memandangi lelaki itu beberapa lama.
“Enggak, aku cuma mau memastikan kalau dugaanku ini benar. Tapi ... masak iya? Aku sedikit ragu kalau mengingat bagaimana Joseph Kim yang aku kenal.”
“Memangnya bagaimana aku yang kamu kenal?”
“Laki-laki yang dingin—“
“Wajar saja, karena aku vampir.”
Gabriella memutar bola mata karena lelaki itu memotong kalimatnya.
“Gak tertarik dengan perempuan mana pun—“
“Bukan gak tertarik, hanya belum menemukan yang bisa membuat aku jatuh cinta.”
“Nah! Itu dia jawabannya.”
“Apa?”
“Itu ... kamu gak sakit. Kamu sehat bahkan sangat sehat hingga bisa menghabiskan berkantung-kantung darah.” Gabriella merebahkan pantat di atas meja, menghadap lelaki yang menyimak perkataannya dengan saksama.
“Kamu cuma ... jatuh cinta. Iya, kamu sedang jatuh cinta pada gadis itu, Jo.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!