NovelToon NovelToon

Harta Tahta dan Perjaka (Playboy Sejati Mencari Istri)

Mirza Daniar Alamsyah

Mirza Daniar Alamsyah, pemuda bertubuh tinggi tegap dan atletis, berjalan menyusuri area parkir kampus dengan penuh percaya diri. Sepertinya, Ia baru saja selesai mengikuti kelas dan hendak segera pulang.

Langkah pemuda bermata kebiruan itu terhenti, kala ada yang memanggil-manggil namanya. Ia menoleh kearah sumber suara dan benar saja, seorang gadis berambut pirang terlihat berlari kearah Mirza.

"Haduh, Za. Capek gue ngejar lu," ujar gadis tersebut dengan napas tersengal-sengal.

"Ada apa?" tanya Mirza dingin.

"Za, anterin gue ke butik, ya?" pinta gadis tersebut. "Gue mau beli gaun untuk ke acara ulang tahun lu, Za," rajuknya dengan manja.

"Lu bisa pergi sendiri, kan?" tolak Mirza, masih dengan ekspresi dingin.

"Za, kok lu sekarang gitu, sih," rengek sang gadis.

"Cellin, kita sekarang udah enggak ada hubungan apa-apa, ya! Jadi, please ... jauhi gue!" tegas Mirza.

"Gue enggak bisa, Za. Gue udah mencobanya, tapi gue benar-benar enggak bisa 𝘮𝘰𝘷𝘦-𝘰𝘯 dari lu." Cellin semakin merajuk.

Mirza menghela napas kasar. "Terserah! Bagi gue, diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi!" pungkas Mirza, yang segera memacu langkah meninggalkan Cellin.

Bukan Cellin namanya, jika gadis yang rambutnya di warnai blonde itu berhenti mengejar cowok paling tampan dan tenar di kampus. Gadis cantik itu berlari kecil, mengikuti langkah panjang Mirza.

"Za, gue tahu gue salah, Za. Gue janji akan memperbaiki diri, Za. Tapi, please ... kasih gue kesempatan." Cellin terus merajuk sambil mengekori langkah panjang Mirza.

Mirza terpaksa menghentikan langkah dan membalikkan badan menghadap Cellin. "Dengar Cellin! Gue memang urakan dan sering jalan dengan banyak cewek, tapi bagi gue kehormatan adalah segala-galanya!" ucap Mirza penuh penekanan.

"Lu seorang gadis, Cellin. Harusnya lu bisa menjaga diri, lu! Bukan malah dengan suka rela memberikan tubuh lu pada laki-laki, seperti yang lu lakukan waktu itu!" Mirza menatap tajam Cellin.

"Za, itu gue lakukan karena gue cinta sama lu, Za," balas Cellin membela diri.

"Lagipula, gue 'kan cuma menawarkan ciuman, Za. Enggak lebih dari itu, kan?" Gadis berambut pirang yang ternyata salah satu mantan pacar Mirza itu masih saja membenarkan perbuatannya.

"Ck ...." Mirza berdecak kesal dan tersenyum sinis. "Berawal dari sekadar berciuman, lantas meraba-raba yang lain dan setelah itu penasaran ingin merasakan. Apa itu, sebuah hal yang lu anggap sepele, Cellin?" Mirza memiringkan wajah, menatap Cellin dengan tatapan mengintimidasi.

Cellin terdiam, ia akui dirinya salah telah menganggap Mirza seperti laki-laki kebanyakan yang jika disodori bibir ranum, akan langsung tergiur dan melahap hingga habis.

Mirza berbeda dan Cellin baru menyadari, setelah hampir tiga bulan mereka berpacaran. Cellin teringat, selama tiga bulan itu Mirza memang sama sekali tidak pernah menggandeng tangannya kala berjalan.

"Oke, Cellin. Gue harus pergi, gue masih ada urusan," pamit Mirza yang membuat lamunan Cellin buyar seketika.

Gadis berkulit putih bersih itu hanya bisa menatap punggung kokoh Mirza yang menjauh pergi. 'Mirza tidak akan lagi mampu untuk aku gapai, pemuda itu benar-benar istimewa. Bodohnya aku, yang telah menyia-nyiakan kesempatan dan berbuat ceroboh dengan merendahkan harga diriku sendiri,' gumam Cellin dalam hati, yang kemudian segera berbalik dan kembali masuk ke area kampus.

Sementara Mirza, terus memacu langkah menuju mobil. Baru saja pemuda gagah tersebut hendak masuk kedalam mobil sport berwarna hitam metalik miliknya, kembali terdengar nama Mirza dipanggil. Putra pengusaha kaya raya, Rehan Alamsyah itu pun menoleh kearah sumber suara.

Nampak dua orang gadis cantik berhijab, berjalan mendekati Mirza.

"Za, kamu mau balik sekarang?" tanya salah satu gadis cantik, yang mengenakan hijab pasmina berwarna merah maroon.

"Iya, Lila. Daddy menyuruhku untuk ke kantornya. Kamu nanti pulang bareng sama Nezia dan bang Attar aja, ya?" balas Mirza pada Lila, sahabatnya.

Lila mengangguk. "Oke, hati-hati di jalan, Za," pesan Lila pada sahabat baiknya yang hendak kembali masuk kedalam mobil. "Salam buat daddy," imbuhnya seraya tersenyum.

Mirza mengangguk dan tersenyum manis tetapi hanya pada Lila. Sementara pada gadis yang satunya, Mirza terlihat cuek.

"Mirza, tunggu!" cegah gadis yang berhijab motif bunga-bunga kecil.

Mirza nampak enggan, tetapi masih bersedia menunggu. "Ada apa?" tanya Mirza datar.

"Za, maafkan aku, ya? A-aku khilaf," ucapnya lirih sambil menunduk malu.

Mirza hanya mengedikkan bahunya.

"Kamu mau 'kan, maafin aku, Za?" desak gadis manis itu.

"Gue udah melupakan semua, Ra. 𝘚𝘰, enggak ada lagi yang perlu lu risaukan tentang gue. Cukup sesali apa yang telah lu lakukan dan ke depan, perbaiki sikap lu!" Mirza langsung masuk kedalam mobil, tanpa menunggu reaksi Tiara.

Deru mobil sport mewah milik Mirza semakin menjauh, meninggalkan Lila dan Tiara yang masih berdiri mematung dengan saling pandang.

"Ra, apa maksud perkataan Mirza tadi?" tanya Lila penasaran.

Tiara menunduk malu. "Gue yang salah Lila, tapi itu gue lakukan karena gue sayang banget sama Mirza," balas Tiara.

Lila mengernyitkan kening.

"Gue mencium pipi Mirza, waktu dia mengantarkan gue pulang," lanjut Tiara yang semakin menunduk.

"Astaghfirullah, Ra ... kenapa kamu senekat itu?" sesal Lila yang terkejut mendengar pengakuan teman satu jurusannya itu. "Kalian 'kan, belum lama jalan bareng?" lanjut Lila bertanya keheranan.

"Kita ini perempuan, Ra? Kita harus pandai-pandai menjaga diri dan bukan malah menyodorkan diri?" Lila menasehati teman baiknya, yang nampak ingin menangis.

Tiara mengangguk. "Iya, La. Gue juga menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi hal itu lagi," janji Tiara pada dirinya sendiri dengan sungguh-sungguh. Gadis itu benar-benar sangat menyesali perbuatannya pada Mirza.

🌸🌸🌸

Di gedung perkantoran milik RPA Group, Mirza baru saja memarkirkan mobil di tempat parkir khusus. Pemuda jangkung itu bergegas memasuki lobi, yang disambut satpam dengan senyuman ramah.

"Selamat siang, Tuan Muda," sapa satpam tersebut dengan mengangguk hormat.

"Siang, Pak. Daddy ada, kan?" balas dan tanya Mirza basa-basi.

"Ada, tuan Ilham dan putranya, juga ada di dalam," balas satpam yang siang itu bertugas.

Mirza mengangguk dan tersenyum. "Saya masuk dulu, Pak," pamit Mirza, yang kemudian segera menuju 𝘭𝘪𝘧𝘵 khusus presiden direktur.

Begitu tombol dipencet, pintu 𝘭𝘪𝘧𝘵 langsung terbuka dan Mirza bergegas masuk kedalam kotak besi tersebut. Tak berapa lama, 𝘭𝘪𝘧𝘵 berhenti di lantai tertinggi yang Mirza tuju.

Setelah pintu 𝘭𝘪𝘧𝘵 terbuka, pemuda berkulit putih bersih itu langsung menuju ruangan c𝘩𝘪𝘦𝘧 e𝘹𝘦𝘤𝘶𝘵𝘪𝘷𝘦 o𝘧𝘧𝘪𝘤𝘦𝘳.

Mirza mengetuk pintu sekali dan langsung membuka pintu tersebut seperti biasanya.

"Assalamu'alaikum," sapa Mirza mengucapkan salam, untuk penghuni di ruangan khusus presiden direktur.

"Wa'alaikumsalam," balas semua yang berada di sana.

"Maaf, Dad. Mirza terlambat, tadi ada sedikit revisi sama dosen pembimbing," terang Mirza sambil menyalami sang daddy.

"Hem, duduklah, Bang," titah laki-laki paruh baya dengan penuh wibawa.

Mirza menyalami empat orang lain yang berada di sana, sebelum dirinya duduk.

"Abang tahu, kenapa daddy panggil kemari?" tanya sang daddy seraya menatap tajam pada Mirza.

Mirza yang baru saja duduk di sofa dan bersebelahan dengan Iqbal, sepupunya, menghela napas panjang. "Pasti karena cewek-cewek itu lagi 'kan, Dad?"

_____ bersambung _____

Hai bestie,,,

Ketemu lagi kita 😍

Sehat-sehat semua, kan?

Bosan gak, ketemu lagi sama keluarga Alamsyah?

Kalo bosan, Mirza pamit pulang deh... 😞

Hehe, canda ya? 🥰

Yuk, komen, biar aku tahu kalian masih setia apa mendua 😄

Buat yang baru saja gabung di novel ini, karya ini sudah TAMAT ya... tapi tetep, tolong tinggal kan jejak kalian di sini 😉😉

Dengan Like, komen, vote dan hadiah yang banyak, dan jangan lupa klik tombol hati/ masukkan favorit 🥰🥰

Dan jika kalian suka dengan cerita nya, jangan lupa berikan rating bintang lima dan katakan lah sesuatu untuk menyemangati ku 😊🙏

Makasih yah, hadir nya,,, 🤗🤗

Salam hangat dan Happy Reading,,,

Berjuang Mencari Istri

"Pasti karena cewek-cewek itu lagi 'kan, Dad?" balas Mirza terlihat santai.

"Bang Mirza, daddy sudah lelah ya, mengingatkan Abang! Hampir setiap hari, ada saja yang datang dan meminta pertanggungjawaban sama daddy agar menikahkan putrinya sama Abang! Memangnya, apa yang sudah Abang perbuat sama mereka?" tanya sang daddy penuh penekanan.

"Mirza juga lelah, Dad. Tapi ya sudahlah ... abaikan saja." balas Mirza masih dengan gayanya yang santai. "Toh, Mirza tidak pernah berbuat kurang ajar sama mereka. Mirza mutusin mereka juga dengan baik-baik dan itupun dengan alasan yang jelas, Dad," imbuh Mirza.

"Kalau daddy tidak percaya, daddy bisa tanya langsung sama Nezia, sama bang Attar," lanjut Mirza seraya menatap papa dari kedua sahabat sekaligus saudaranya yang kebetulan berada di sana, secara bergantian.

Daddy Rehan nampak menghela napas panjang, laki-laki paruh baya itu menyandarkan punggung pada sandaran sofa dan memejamkan mata.

"Yang dikatakan Mirza itu benar, Rey. Putramu tidak melewati batas dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis," tutur salah seorang dari orang tua sahabat Mirza.

"Gadis-gadis itu saja yang terobsesi sama Mirza dan meskipun sudah diputusin, masih saja terus mengejar," imbuhnya sesuai yang ia dengar dari sang putra.

"Tuh, Dad. Opa Vian saja tahu kebenarannya," timpal Mirza bangga.

"Bang, kenapa malah dibelain, sih! Jadi besar kepala 'kan, dia!" protes Daddy Rehan, menatap opa Alvian.

"Bukan belain, Rey. Tetapi itu kenyataannya!" tegas Opa Alvian.

"Benar, Rey. Nezia juga bilang begitu, kok," timpal papanya Nezia.

"Tuh, kan? Memang seperti itu kenyataannya, Dad," timpal Mirza meyakinkan sang daddy.

"Daddy harus percaya sama Mirza, Dad. Mirza 'kan sudah pernah janji sama Daddy dan mommy, kalau Mirza akan menjaga kehormatan keluarga kita," ucap Mirza dengan sungguh-sungguh.

"Lantas, kalau mereka tidak diapa-apain sama Bang Mirza, kenapa mereka menuntut pertanggungjawaban? Bahkan, ada yang sampai nekat mau bunuh diri segala?" tanya Daddy Rehan tak mengerti, seraya menatap sang putra dengan tatapan menyelidik.

Mirza mengedikkan bahunya. "Karena pesona Mirza, mungkin," balas Mirza penuh percaya diri, yang membuat ketiga orang tua yang berada di sana, terkekeh pelan. Kecuali Daddy Rehan tentunya.

"Sama narsisnya dia, kayak Abang," ucap Om Ilham yang sedari tadi diam menyimak, seraya menatap daddy Rehan.

Daddy Rehan melirik tajam adik iparnya itu, yang hanya ditanggapi Om Ilham dengan cibiran.

"Memang kenyataannya seperti itu 'kan, Bang?

Yang namanya buah, pasti jatuh tak jauh dari pohonnya. Kecuali, jika buahnya kecil dan terbawa angin," ucap Om Ilham.

"Hem, untung sebagai pohon, gue pohon yang berkualitas. Jadi buahnya besar dan tak mudah terbawa angin," timpal Daddy Rehan seperti biasa yang memuji diri sendiri dengan membenarkan perkataan Om Ilham.

"Yah, berkualitas katanya?" Om Ilham kembali mencibir.

"Di iyakan saja, Ham. Daripada nanti ribet urusan kamu," saran Om Alex pada Om Ilham seraya tersenyum.

"Seriusan, Rey? Ada yang mau bunuh diri?" tanya Opa Alvian dengan kening mengkerut dalam.

Daddy Rehan mengangguk. "Benar, Bang. Kemarin sempat dirawat di rumah sakit beberapa hari katanya," balas Daddy Rehan miris.

"Sekarang, Abang punya pacar?" tanya Daddy Rehan tegas, seraya menatap sang putra.

Mirza menggeleng. "Baru putus dua hari yang lalu," balas Mirza. "Tetapi sekarang lagi Pedekate, Dad," imbuhnya dengan senyuman yang mengembang.

"Bang Mirza bohong Pakdhe," sahut Iqbal yang sedari tadi sibuk dengan ponsel karena ada tugas dari guru.

"Bohong gimana maksud kamu, Bro?" protes Mirza yang enggak rela dikatakan berbohong.

"Bang Mirza 'kan masih jalan sama Nitta?" balas Iqbal. "Sama Rully dan Fanny juga, kan?" lanjutnya.

Daddy Rehan menepuk jidatnya sendiri.

"Abang ... kok bisa sih, dalam satu waktu jalan sama tiga cewek?" tanya Daddy Rehan tak percaya.

"Iqbal salah persepsi itu, Dad," balas Mirza seraya menyikut pelan adik sepupu yang duduk disebelahnya.

"Bukan satu waktu tiga cewek tetapi dalam satu bulan, ganti empat kali malah. Yang satu Tiara, teman kampus," lanjut Mirza seraya tersenyum santai.

"Mereka udah gue putusin, cuma jalan masing-masing seminggu," bisik Mirza pada Iqbal seraya terkekeh.

Om Alex, Opa Alvian dan Om Ilham geleng-geleng kepala.

"Mirza kenapa kelakuannya malah mirip sama si Devan ya, Rey? Apa jangan-jangan mbak Billa--"

"Lex! Gue pecat jadi saudara atau dari asisten pribadi!" ancam Daddy Rehan.

Om Alex terkekeh. "Gue bercanda, Rey. Ya enggak mungkin lah mbak Billa berani berpaling, secara suaminya tukang ancam!" olok Om Alex.

Sejenak hening menyapa ruang khusus presiden direktur tersebut.

"Oh, pantesan mereka ngadu sama guru BK dan bicara yang tidak-tidak. Rupanya, udah Abang putusin?" tanya Iqbal memastikan seraya menatap Mirza, mengurai keheningan.

"Om sampai dipanggil segala sama guru BK-nya Mas Iqbal lho, Bang. Dikiranya Mas Iqbal ikut-ikutan melecehkan mereka," timpal Om Ilham seraya menatap sang keponakan.

"Ngadu gimana, Bro?" tanya Mirza menatap Iqbal.

"Melecehkan, melecehkan apa, Om?" lanjut Mirza bertanya pada omnya.

"Ya itu tadi, Bang. Mereka mengaku kalau dilecehkan Abang sama Iqbal," balas Iqbal yang mewakili sang ayah.

"Tadi orang tua mereka juga dipanggil, sih?" lanjut Iqbal masih dengan menatap Mirza.

"Coba-coba, jelaskan kronologinya!" titah Daddy Rehan menatap Om Ilham.

"Gadis-gadis itu tadinya menuntut, agar jangan diputusin karena merasa telah memberikan sesuatu yang berharga pada Mirza dan Iqbal, Bang," terang Om Ilham seraya menatap Daddy Rehan.

"Sebagai ayah yang sangat mengerti pergaulan putranya, Ilham protes dong dan tidak terima Iqbal dituduh seperti itu. Lantas Ilham minta bukti sama mereka, bukti tempat kejadian kalau ada dan jika perlu bukti visum. Tetapi mereka bertiga tidak ada yang memiliki bukti dan mereka juga menolak untuk periksa ke dokter," lanjut Om Ilham.

"Sampai segitunya tuh gadis-gadis, terobsesi sama kalian berdua?" tanya Opa Alvian menatap kedua cucunya, seraya menggeleng-gelengkan kepala.

"Bibitnya siapa dulu dong, Om ... 'kan bibit unggul," balas Om Ilham narsis.

"Ck ...." Daddy Rehan berdecak, seraya menatap om Ilham. "Berarti sudah 𝘤𝘭𝘦𝘢𝘳 masalah di sekolahan Iqbal?" tanya Daddy Rehan.

Om Ilham mengangguk. "Beres, Bang," balasnya singkat.

"Jadi, sudah jelas 'kan, Dad? Kalau Mirza tidak berbuat aneh-aneh?" Mirza memastikan. "Mirza pamit ya, Dad. Masih ada urusan sama seseorang," pamitnya hendak beranjak.

"Tunggu, Bang. Daddy belum selesai," cegah sang daddy.

Mirza pun kembali duduk, sama sekali tak membantah. "Ada apalagi, Dad?" tanya Mirza penasaran.

"Bang Mirza 'kan sudah dewasa, sebentar lagi ulang tahun yang ke dua puluh dua dan kuliah S1 juga tinggal nunggu wisuda saja 'kan?" Daddy Rehan bertanya seraya menatap sang putra.

Mirza mengangguk, keningnya mengernyit menanti perkataan sang daddy.

"Daddy benar-benar sudah lelah, Bang, menghadapi mereka yang datang pada daddy," lanjut Daddy Rehan seraya menatap sang putra.

"Daddy minta, di ulang tahun Abang nanti, Bang Mirza sudah memiliki seseorang yang benar-benar bisa diajak untuk serius," pinta Daddy Rehan penuh harap.

"Jika Abang sudah memiliki tunangan, mereka pasti akan berhenti mengejar-ngejar Abang," lanjut Daddy Rehan.

"Dad ... itu 'kan tinggal beberapa bulan lagi. Mana keburu, Dad!" tolak Mirza.

"Kalau Abang serius nyarinya, pasti waktu segitu cukup, Bang?" kekeuh sang daddy. "Tetapi karena selama ini Abang main-main, ya dapatnya yang hanya bisa diajak untuk main-main?" imbuhnya.

"Mirza niatnya serius, Dad. 'Kan butuh penjajakan dulu, sebelum melangkah lebih jauh?" balas Mirza membela diri.

"Benar, Bang. Tetapi penjajakan itu 'kan, tidak harus dengan pacaran?" Daddy Rehan menatap putranya.

"Mana bisa begitu, Dad? Terus kalau tidak pacaran, darimana kita tahu dia cewek yang baik apa tidak?" tanya Mirza tak mengerti.

"Melalui pertemanan biasa, juga bisa kok, Za," balas opa Alvian mewakili Daddy Rehan.

"Kamu bisa mulai mengamati teman kamu satu persatu, mana yang kiranya pas di hati kamu dan perilakunya baik," lanjut Opa Alvian menjelaskan kebingungan Mirza.

"Ya, tidak asyik-lah, Opa? Masak 𝘱𝘦𝘥𝘦𝘬𝘢𝘵𝘦-nya kayak orang jaman dulu?" protes Mirza.

"Atau, Bang Mirza bisa pilih lagi dari mantan-mantan Abang. Barangkali ada yang masih bisa dipilih?" saran Om Alex.

"Tidak, Om! balas Mirza tegas. "Mereka semua gadis yang tidak bisa menjaga dirinya dengan baik. Masak baru pacaran, sudah minta cium?" lanjutnya menggerutu.

"Serius, Bang?" tanya Iqbal. "Dan Abang menolak? Ih, kesempatan bagus gitu, malah di anggurin? Sayang tahu, Bang?" cerocos Iqbal yang mendapatkan jitakan di keningnya oleh sang ayah.

Mirza terkekeh. "Kalau di obral gitu, itu artinya barangnya tidak istimewa, Bro," ucap Mirza menatap Iqbal.

"Jadi, gimana, Bang Mirza? Bisa 'kan?" kejar sang daddy.

"Tidak, Dad. Mirza belum siap!" tegas Mirza.

"Itu artinya, Abang tidak pernah serius dalam menjalin hubungan dengan wanita." Daddy Rehan menatap kecewa pada sang putra.

"Mirza serius, Dad," balas Mirza. "Ya sudahlah, Mirza akan coba," lanjutnya pasrah.

"Cie ... playboy sejati harus mulai berjuang untuk mencari istri," ledek Iqbal tersenyum tengil.

Mirza hanya bisa menghela napas kasar.

_____ bersambung _____

Akan Segera Kawin

Mirza yang baru keluar dari kantor sang daddy, terlihat sedang menghubungi seseorang sambil berjalan cepat melewati lobi.

Sepanjang melintasi lobi, pemuda bertubuh tinggi itu hanya menganggukkan kepala dan tersenyum, membalas sapaan dari para karyawan sang daddy.

Setelah panggilannya diterima oleh seseorang di seberang sana, Mirza menepi ke sisa dinding agar tidak mengganggu para karyawan yang berlalu lalang.

"Halo, Jul. Maaf ya, kita enggak jadi ketemu hari ini. Gue masih ada urusan sama keluarga," ucap Mirza pada seseorang di seberang telepon.

"Kenapa enggak jadi, Kak? Julia udah rapi nih, udah siap berangkat?" protes gadis yang Mirza hubungi.

"Kita bisa atur waktu lagi nanti, ya?" bujuk Mirza.

"Kalau nanti malam, bisa 'kan, kak?" rajuk Julia.

"Sorry, Juli. Kalau malam, gue enggak bisa. Gue jarang keluar rumah malam-malam, kecuali sama keluarga. Lusa aja, ya? Gue janji, gue akan jemput lu setelah dari kampus," janji Mirza.

"Ya udah, deh. Beneran ya, Kak?"

"Iya, Juli Sayang," balas Mirza dengan mesra.

"𝘚𝘦𝘦 𝘠𝘰𝘶, Juli," pungkas Mirza yang kemudian menutup panggilannya.

"Juli? Siapa lagi, Bang? Anak kampus mana?" cecar Iqbal yang tiba-tiba saja sudah berada di belakang Mirza dan mengejutkan abang sepupunya itu.

"Gebetan baru, dong? Anak kampus sebelah, anak baru," balas Mirza dengan bangga, seperti biasanya.

"Ingat pesan pakde tadi, Bang. Cari istri!" ledek Iqbal, menegaskan kembali ucapan daddy-nya Mirza.

"Ck ...." Mirza berdecak kesal, sambil meneruskan langkahnya keluar dari lobi dan menuju mobil.

"Kalau Iqbal sih, masih bebas, merdeka!" seru Iqbal yang mengekor langkah sang abang, sembari tersenyum meledek abang sepupunya itu.

"Sialan kamu, Bro!" gerutu Mirza sambil membuka pintu mobil.

"Eh, Abang mau kemana? Iqbal nebeng, dong?" pinta Iqbal.

"Abang mau cari istri, anak kecil enggak boleh ikut-ikutan!" tolak Mirza yang langsung masuk kedalam mobil.

Bukan Iqbal namanya, jika remaja itu nurut. Iqbal secepat kilat melesat dan masuk kedalam mobil Mirza melalui pintu di sisi kiri.

"Iqbal bantuin yah, cari istrinya," ucap Iqbal masih dengan senyum tengilnya, setelah duduk di samping kemudi.

Mirza hanya bisa menghela napas kasar.

"Memangnya, stok teman-teman kamu masih ada yang cantik dan polos?" tanya Mirza.

"Kalau cantik, masih banyak yang belum Iqbal kenalkan sama Abang. Tetapi kalau polos ...." Iqbal sejenak diam dan mengetuk-ketuk keningnya dengan jari, seolah sedang mengingat sesuatu.

"Ada enggak?" kejar Mirza karena Iqbal terlalu lama berpikir.

"Ada, Bang. Masih ada satu nama, tapi adik kelas," balas Iqbal. "Tapi dia ...." Iqbal kembali terdiam, hingga membuat Mirza penasaran.

"Dia, kenapa?" desak Mirza.

"Dia putrinya ustadz gitu, Bang. Apa iya, dia mau diajak pacaran?" Iqbal nampak ragu.

"Nice!" seru Mirza. "Kita akan coba dulu, Bro!" lanjutnya antusias.

"Tapi, Bang--?"

"Jangan menyerah gitu, dong! Masak pejuang cinta belum apa-apa sudah menyerah!" sahut Mirza, yang nampak sangat bersemangat.

"Ya, udah. Lusa, biar Iqbal bujuk agar mau kenalan sama Abang," ucap Iqbal akhirnya, yang menyetujui keinginan Mirza.

"Eh, jangan lusa Bro! Gue terlanjur janji sama si Juli tadi," tolak Mirza.

"Berarti setelah lusa?" tanya Iqbal seraya terkekeh, yang disetujui Mirza dengan anggukan kepala seraya ikut tertawa.

"Terserah kamulah, Bro," balas Mirza. "Setelah lusa atau setelah lusanya lagi," lanjut Mirza masih dengan tawanya.

"Ya udah, Bang. Ayo, jalan!" pinta Iqbal setelah tawa mereka berdua reda.

"Bentar, abang mau ketemuan dulu sama yang lain." Mirza kembali menelepon dan kali ini panggilan video.

"Kalian ada dimana?" tanya Mirza dengan tidak sabar, begitu wajah sahabat-sahabatnya telah muncul di layar ponsel mahal Mirza

"Kami lagi di kafe, nih. Nyusul kesini aja, Bang?" pinta Nezia.

"Eit, ada 𝘴𝘶𝘨𝘢𝘳 𝘣𝘢𝘣𝘺-nya om Doni? Tumben bisa ngumpul, Tante?" ledek Mirza begitu melihat wajah cantik Lili.

"Sialan kamu, Za! Manggil Lili tante!" protes Lili.

"Ya udah, Mirza nyusul sama si tengil nih." Mirza mengarahkan ponsel pada wajah Iqbal yang tersenyum pada mereka semua.

"Kafe baru, Za. Abang 𝘴𝘩𝘢𝘳𝘦𝘭𝘰𝘬!" seru Attar sebelum Mirza mengakhiri panggilan videonya.

Setelah pesan dari Attar masuk ke ponselnya, Mirza segera tancap gas dan melesat menuju tempat dimana para sahabat telah menunggu.

Mirza melajukan mobil sport mahal miliknya tersebut, dengan kecepatan tinggi karena pemuda itu sudah tidak sabar ingin menceritakan apa yang dibicarakan sama daddy-nya barusan.

Sepanjang perjalanan yang cukup lama itu, Iqbal terus saja nerocos membahas para gadis yang sudah pernah ia pacari. Mirza hanya menjadi pendengar setia, sambil sesekali tertawa ngakak jika Iqbal berbicara konyol.

"Puas-puasin aja, Bro. Mumpung masih muda. Tetapi ingat, jaga batasan! Jangan merusak anak gadis orang!" pungkas Mirza yang mengingatkan Iqbal.

"Siap, Bang," balas Iqbal.

Mirza menghentikan mobilnya tepat di samping mobil Attar karena kebetulan hanya itu tempat yang tersisa, mereka berdua kemudian segera turun.

Mirza kembali menelepon.

"Nez, kalian di sebelah mana?" tanya Mirza pada Nezia, setelah panggilannya diterima oleh putri Om Alex tersebut.

"Terus masuk aja, Bang. Kami di bangunan belakang, di taman terbuka," balas Nezia.

"Ayo!" ajak Mirza pada Iqbal kemudian, setelah menutup teleponnya

Kedua pemuda berbeda generasi, dengan ketampanan yang berbeda pula, melangkah pasti memasuki kafe yang dipadati pengunjung.

Yang satu tampan rupawan, dengan wajah blasteran seperti sang daddy dan berkulit putih bersih. Yang satu lagi, remaja ganteng berwajah eksotis khas pribumi dengan warna kulit kecoklatan.

Rupanya, hari ini kafe tersebut baru saja 𝘴𝘰𝘧𝘵 𝘰𝘱𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨 dan menawarkan berbagai macam diskon serta 𝘭𝘪𝘧𝘦 𝘮𝘶𝘴𝘪𝘤 dengan bintang tamu artis terkenal, sehingga kafe ramai dipadati oleh pengunjung.

Mirza dan Iqbal menjadi pusat perhatian para pengunjung, yang sebagian besar terdiri dari remaja wanita karena konsep kafe tersebut memang diperuntukkan bagi kalangan remaja.

Mirza terlihat cuek, sedangkan Iqbal nampak tebar pesona.

"Jangan cuma berani kasih senyuman dari jauh, kalau berani langsung samperin!" tantang Mirza saat memergoki Iqbal tengah senyum-senyum pada seorang gadis cantik, yang duduk bertiga dengan teman wanitanya.

"Oke, siapa takut? Mumpung Iqbal lagi 𝘧𝘳𝘦𝘦 nih, pas banget ada cewek nganggur?" balas Iqbal santai dan langsung melangkah pasti menuju meja yang di maksud.

"Bro, abang langsung ke belakang! Ntar nyusul aja!" seru Mirza yang meneruskan langkah panjangnya menuju tempat yang diinformasikan Nezia.

Iqbal hanya melambaikan tangan, tanda setuju.

Mirza yang sudah sampai di bangunan belakang kafe, mengedarkan pandangan. Meneliti satu persatu kursi yang mengelilingi meja bulat di bawah payung besar.

Pemuda tampan itu masih mengedarkan pandangan, kala lengannya ditepuk pelan oleh seseorang dari belakang. "Ayo, ke sana! ajak suara lembut di belakang Mirza.

Mirza menoleh dan tersenyum pada gadis di hadapannya. "Kamu dari mana, La?" tanya Mirza.

"Dari toilet," balas Lila.

Mereka berdua kemudian berjalan menuju bangku dimana Nezia, Attar dan Lili berada.

"Hai, 𝘴𝘶𝘨𝘢𝘳 𝘣𝘢𝘣𝘺 ...," sapa Mirza pada Lili. Begitulah Mirza yang senang memanggil Lili dengan sebutan tersebut setelah sahabatnya itu menikah dengan pria dewasa, yang usia Lili kala itu setengah dari usia sang suami.

"Bisa enggak sih, panggilannya di ganti! Mama muda, gitu! Aku 'kan sudah mama-mama sekarang!" protes Lili.

"Siapa yang percaya kalau kamu sudah punya anak? Kalau kemana-mana, 𝘣𝘢𝘣𝘺-nya enggak pernah diajak!" protes Nezia.

"Itulah Nez, enaknya kalau nikah sama laki-laki yang udah dewasa. Om Doni orangnya ngalah dan rela momong anak kami jika aku lagi pengin 𝘩𝘢𝘯𝘨 𝘰𝘶𝘵 sama kalian seperti ini," balas Lili seraya tersenyum.

"Habisnya kalau Om Doni enggak mau, kamu pasti ngancam, enggak bakalan bukain pintu kamar buat Om Doni. Iya, kan?" tuduh Mirza.

"Enggak juga sih, kadang-kadang aja begitu," balas Lili dan kemudian terkekeh pelan.

"Hu ... dasar!" Mirza menjitak pelan kening Lili, sementara sahabat yang lain geleng-geleng kepala.

"Dik Iqbal mana, Bang?" tanya Nezia kemudian, yang baru menyadari bahwa Mirza datang tak bersama Iqbal.

"Biasa, nyari mangsa di dalam," balas Mirza santai.

"Katanya, kamu mau kencan sama si Juli?" tanya Attar, menatap Mirza.

"Lusa aja, ada yang lebih penting dari Juli," balas Mirza.

"Oh, ya. Tadi katanya mau ketemu sama daddy, kok cuma sebentar, Za?" tanya Lila.

"Nah, ini yang mau Mirza bahas," balas Mirza.

"Apaan? Pasti masalah serius?" tebak Lili.

Tanpa dikomando, mereka kemudian merapatkan tempat duduk mendekat pada Mirza.

"Benar, kak Lili. Memang masalah serius, serius banget malah," sahut Iqbal yang baru bergabung.

Semua mata kini tertuju pada Iqbal. "Apa, Dik?" desak Nezia.

"Bang Mirza akan segera kawin," balas Iqbal tanpa dosa.

"Yang benar?" tanya mereka berempat kompak, sementara Mirza berdecak kesal.

_____ bersambung _____

Noted ; Ketentuan gift kali ini _

Diberikan kepada pendukung yang mendapatkan predikat fans yang menduduki ranking 1, 2 dan 3 saja &

Dua orang pembaca, yang aktif memberikan komentar positif mulai bab.1 sampai End, tanpa bolong &

Masing-masing wajib memberikan ulasan bintang⭐⭐⭐⭐⭐ (5)

Keputusan othor tidak dapat diganggu gugat 😄

Happy Reading, bestie 🥰🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!