NovelToon NovelToon

Pengantin Pengganti Sahabatku

Broken Heart

Enam Tahun Lalu ....

Pagi itu, Zahira datang agak siangan ke sekolah, sebab kegiatan belajar mengajar yang ditekuninya selama tiga tahun telah usai. Tiga tahun lamanya ia menimba ilmu di SMA Merah Putih dan hari ini statusnya sebagai murid SMA akan ditentukan oleh selembar kertas yang menyebutkan lulus atau tidaknya si cantik jelita bermata sipit dari sekolah tersebut.

Sang bunda mengendari kendaraan roda empat miliknya dengan kecepatan sedang di jalanan ibu kota. Zahira yang duduk di sebelah Arumi menatap keluar jendela. Sejak meninggalkan rumah peninggalan Mei Ling, si cantik jelita hanya diam saja, Arumi pun tak ingin mengganggunya dan lebih memilih fokus menyetir.

Namun, kala mendengar embusan napas kasar berasal dari putri tercinta, Arumi menoleh dan menatap lekat wajah putri pertamanya dengan sang suami. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Sayang? Bunda perhatikan sejak tadi melamun terus. Jika ada hal yang ingin dibicarakan, bicarakan sama Bunda. Jangan dipendam sendiri," tuturnya.

Zahira melirik sekilas ke arah Arumi, lalu kembali menatap keluar jendela. "Aku sedang kesal memikirkan masa depanku, Bun. Semua teman-teman sudah menentukan universitas mana yang ingin dijadikan tempat melanjutkan studi, sedangkan aku sampai detik ini belum menemukan universitas dan jurusan apa yang ingin kuambil. Padahal, hari ini adalah pengumuman kelulusan."

Arumi terkekeh pelan melihat wajah kesal Zahira yang tampak menggemaskan dengan bibir mengerucut ke depan dan kedua tangan terlipat di depan dada. Lantas, ia mengulurkan tangan sebelah kiri mengusap puncak kepala anak tercinta. "Mencari universitas dan jurusan yang benar-benar kita inginkan memang tidaklah mudah, Nak. Akan tetapi, tidak juga sulit asalkan kamu sudah tahu passion-mu di mana segala sesuatu pasti akan terasa lebih mudah."

"Selagi masih ada waktu, pikirkan baik-baik universitas mana yang ingin kamu jadikan tempat menimba ilmu selama empat tahun ke depan. Namun, bila kamu tetap bingung tidak ada salahnya mempertimbangkan masukan Ayah dan Bunda. Lagipula, dengan kemampuan yang dimiliki, Bunda yakin kamu pasti bisa mengikuti jejak kami berdua menjadi dokter dan menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Walaupun bukan spesialis bedah, tetapi setidaknya salah satu dari anak Bunda ada yang terjun di dunia medis," sambung Arumi. Nada bicara wanita itu selalu terdengar lembut meski dalam keadaan marah sekalipun tetap enak didengar oleh telinga. Itulah kenapa, Triplet serta si bungsu Shakeela Zanitha setiap kali kena sembur Rayyan pasti mengadu kepada sang bunda.

Bibir ranum Zahira semakin maju ke depan dengan wajah yang semakin ditekuk. "Bukan salah satu, Bun, tetapi dua. Bunda lupa ya, kalau Kakak Pertama pun berniat mengambil jurusan kedokteran di Jepang, tempat Ayah kuliah dulu," protesnya dengan wajah masam.

"Iya, maksud Bunda, begitu. Dua di antara empat anak Bunda mengikuti jejak kami dan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan Ayah dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai direktur rumah sakit. Usia kami semakin lama semakin senja. Sebelum Tuhan memanggil, ingin rasanya melihatmu atau Kakak Pertama mengambil alih tanggung jawab tersebut."

Zahira berdecak kesal, setiap kali Arumi membahas soal usia manusia gadis cantik jelita itu menjadi lebih emosional. Sepasang mata sipit berkaca-kaca disertai dada yang mulai terasa sesak. Ketakutan akan kehilangan orang tua menjadi momok menakutkan bagi anak ketiga Rayyan atau mungkin bagi seluruh insan di muka bumi ini.

***

Zahira bisa bernapas lega, akhirnya ia bisa lulus dan mendapatkan nilai ujian yang cukup memuaskan. Tiga orang juara dalam ujian nasional disabet oleh Ghani, Zahira dan Shaka. Sementara Zavier berada di nomor urut empat.

Kenapa Zavier ada di urutan keempat sedangkan Zahira di urutan kedua? Alasannya cuma satu, karena kakak kedua Zahira tidak terlalu fokus mengerjakan soal ujian. Patah hati akibat diputus cinta adalah faktor utama kegagalannya ketika mengisi soal.

Anak kedua dari pasangan duo dokter bedah terbaik di Persada International Hospital terkenal sering gonta ganti pacar. Akibat kegemarannya itulah membuat Zavier kena batu. Dia diputuskan cinta oleh seorang gadis yang sangat dicintainya.

"Ra, selamat ya. Akhirnya kamu masuk tiga besar peraih nilai ujian terbaik. Aku bangga sekali kepadamu," ucap teman dekat Zahira, bernama Olivia. Kedua gadis itu saling berpelukan erat karena merasa bahagia bisa lulus dan mendapat nilai bagus.

Zahira mengurai pelukan, lalu mengusut bulir air mata bahagia yang membasahi pipi. "Terima kasih, Liv."

Keduanya memutuskan duduk sebentar di bangku taman sekolah sambil melihat euforia murid kelas tiga SMA. Rona kebahagiaan terlukis jelas di wajah mereka. Harapan serta impian menjadi orang sukses dan membanggakan orang tua selangkah lebih dekat.

"Setelah ini, kamu berencana melanjutkan kuliah di mana Liv?"

Olivia meletakkan tas ransel miliknya di samping kursi, lalu menyamankan duduk sebelum menjawab pertanyaan Zahira. "Rencananya sih mau mendaftar di kampus AB, mengambil jurusan rekam medis. Kamu tahu sendiri, kedua orang tuaku ingin sekali aku bekerja di bidang medis."

"Lalu, bagaimana denganmu, apakah sudah menentukan kampus mana yang ingin kamu pilih?" sambung Olivia sambil memandangi kecantikan teman kelasnya. Wajah oriental dengan hidung mancung dan bibir ranum serta kulit putih membuat siapa saja yang melihat pasti terpesona.

Zahira menggelengkan kepala lemah. "Entahlah, aku bingung, Liv. Sampai detik ini, aku sediri tidak tahu hendak melanjutkan kuliah di mana. Semuanya masih abu-abu."

Olivia menyenggol bahu Zahira sambil berkata, "Tapi, kalau urusan Shaka, tidak abu-abu 'kan?" godanya sambil menaik turunkan kedua alis.

Sontak wajah Zahira memerah bagai buah tomat segar yang siap dipetik. Tersenyum simpul kala mendengar nama sang sahabat disebut. Rona kemerahan merambat dari wajah dan ke telinga.

"Iih ... kamu apa-apaan sih, Liv. Kok bicara seperti itu," ucap Zahira malu-malu.

Berteman sejak SMP kelas tiga, berlanjut hingga sekarang, Olivia tahu betul bagaimana perasaan Zahira terhadap Shaka. Ada rasa yang sulit diungkapkan, namun hanya mampu dirasakan oleh Zahira.

Merangkul pundak hingga posisi keduanya saling berdekatan. "Ra, sebentar lagi kamu berpisah dengan Shaka karena kudengar dia mau melanjutkan studi ke Australia. Nah, selagi masih ada waktu, cobalah berbicara dengannya dan katakan isi hatimu kepadanya. Enam tahun memendam rasa cinta kepada seseorang yang tak lain adalah sahabat sendiri, rasanya sulit loh. Memangnya kamu tidak mau Shaka tahu apa isi hatimu kepadanya?"

Zahira meremas ujung rok berwarna abu-abu di bawah lutut dengan gugup. Membenarkan semua perkataan Olivia dalam hati. Sejak dulu hingga sekarang rasa cinta gadis itu kepada Shaka semakin bersemi, tumbuh subur sepanjang hari. Namun, apakah cintanya akan terbalaskan bila anak dari sahabat sang bunda mengetahui bahwa ada rasa lain yang tersimpan di dalam dadanya selama mereka bersahabat? Ia takut menghadapi kemungkinan terbuka seandainya Shaka tahu bahwa dia mencintai pemuda tersebut.

"Kamu pasti takut 'kan hubungan persahabatan kalian putus setelah Shaka mengetahui perasaanmu kepadanya?" tebak Olivia setelah Zahira tak memberikan respon sama sekali.

Dengan lemah, Zahira menganggukan kepala sebagai jawaban. "Benar, Liv. Selain itu, aku binging harus bersikap bagaimana jika ternyata Shaka menolakku. Haruskan aku bersikap seolah-olah di antara kami tak terjadi apa-apa?"

Olivia mendesis dan memutar bola mata. Zahira memang pandai dalam segala hal, tetapi untuk urusan hati nol besar. Sejak dulu, ia memang dilarang pacaran oleh ayah dan bundanya. Belum lagi sifat over protective dari ayah serta kedua kakak laki-lakinya membuat gadis itu sedikit terbelakang dalam soal pacaran.

"Itu urusan belakangan, Ra. Yang penting, kamu sudah mengatakan sejujurnya kepada Shaka. Ditolak ataupun diterima, dipikirkan nanti," imbuh Olivia.

Percakapan mereka terhenti ketika terdengar suara riuh tepuk tangan di tengah lapangan basket. Terlihat beberapa orang berkerumun sambil bersorak ramai sambil mengelu-elukan nama Shaka--bintang basket sekolah.

Olivia dan Zahira saling beradu pandang, mengerjap mata berkali-kali. Lalu, keduanya bangkit dari kursi dan berhambur ke arah lapangan.

"Ziva, maukah kamu menerima cintaku dan menjadikanku sebagai kekasihmu?"

Kalimat itu langsung mengganggu indera pendengaran Zahira tatkala kaki jenjangnya baru saja mencapai rerumputan pinggiran lapangan basket.

Tiba-tiba, Zahira merasakan lemas di seluruh tubuhnya. Tas ransel yang digenggam gadis itu terjatuh begitu saja. Pemandangan di depan sana sungguh membuat dadanya terasa sesak. Dari jarak tiga meter, dapat melihat jelas bagaimana sang pemuda yang dicintainya memberikan setangkai mawar merah lengkap dengan boneka teddy bear warna coklat kepada sang primadona sekolah.

Sesak kembali menjalar kala sang gadis mengucapkan kata 'iya' di hadapan semua orang. Hati Zahira hancur berkeping-keping menyaksikan penyatuan kedua insan manusia di depan sana. Menatap nanar sambil merasakan kekecewaan di dalam diri.

"Ra!" seru Olivia saat ia menoleh ke samping, tetapi temannya sudah melangkah meninggalkan kerumunan orang. "Zahira, tunggu!"

Akan tetapi, Zahira sama sekali tak menoleh ke belakang sedikit pun. Ia terus melangkah dengan berderai air mata, membawa perasaan hancur karena lelaki yang dicintai telah melabuhkan hati kepada wanita lain.

.

.

.

Setelah Enam Tahun

Jepang merupakan sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung barat Samudra Pasifik, di sebelah timur Laut Jepang dan bertetangaan dengan Republik Rakyat Tiongkok, Korea Selatan dan Rusia. Negara yang dikenal akan keindahan gunung Fuji dan bunga sakura yang bermekaran di musim semi menjadi tujuan pertama bagi sepasang kakak beradik dari pasangan Rayyan dan Arumi.

Enam tahun lamanya bergelut dengan materi kedokteran, praktek dan kegiatan lainnya, akhirnya Zahira lulus dari The University of Tokyo sebagai seorang dokter. Ia memutuskan kembali ke Indonesia dan bekerja di rumah sakit milik sang ayah, sedangkan Ghani masih ingin mengambil spesialis bedah seperti kedua orang tuanya.

Berada di sebuah pesawat udara jurusan Tokyo Jakarta, Zahira menyenderkan punggung di sandaran kursi sambil memandangi birunya langit dari dalam pesawat. Beberapa menit lalu, pikiran gadis berusia dua puluh empat tahun sempat menerawang jauh seolah jiwanya tersesat pada suatu waktu dari masa lampau. Kilasan kejadian di masa lalu hadir dalam benak gadis itu.

Menghela napas panjang sembari menarik selimut hingga menutupi sebagian tubuh yang hanya menyisakan bagian kepala. "Sudah enam tahun berlalu, tetapi kenapa kejadian itu sulit sekali kulupakan. Seharusnya bayangan saat Shaka mengutarakan isi hatinya kepada Ziva telah terkubur bersamaan dengan kenangan pahit yang kurasakan. Namun, kenapa bayangan itu terus menari indah di pelupuk mataku."

"Tuhan, sampai kapan aku harus mengingat kejadian itu? Sungguh, aku lelah bila hampir setiap malam merasakan dadaku terasa sesak bagai dihimpit oleh sebongkah batu besar jika teringat bagaimana bersinarnya wajah Shaka saat cintanya diterima oleh Ziva." Tanpa terasa butiran kristal meluncur di sudut mata. Hati terasa sakit bagai ditusuk sembilu bila mengingat saat sang sahabat menyatakan cinta kepada wanita lain.

Pertama kali jatuh cinta, ia langsung menerima kenyataan pahit bahwa pria yang dicintai ternyata mencintai wanita lain. Sakit, itulah yang dirasakan oleh Zahira. Memendam rasa selama enam tahun dan mencoba menjadi sahabat terbaik bagi Shaka tidaklah mudah. Ada saat di mana dia tersiksa karena harus menahan diri untuk tidak mengatakan apa yang dipendam selama ini olehnya.

Tidak ingin terus memikirkan kenangan masa lalu yang semakin membuatnya tersiksa, Zahira memutuskan membuka smart phone dan memandangi foto keluarga. Senyum mengembang di wajah saat melihat sorot mata penuh kebahagiaan terpancar di bola mata ayah dan bundanya. Walaupun usia sudah tak lagi muda, tetapi Rayyan dan Arumi masih tampak seperti pengantin baru yang tak pernah malu menunjukan kasih sayang di hadapan semua orang.

Lampu sabuk pengaman telah dimatikan oleh kopilot, menandakan sebentar lagi pesawat itu telah tiba di bandara Soekarno Hatta, Tangerang.

"Persiapkan dirimu Zahira, karena sebentar lagi kamu bertemu kembali dengan masa lalumu. Untukmu hati, kumohon bekerjasamalah denganku. Jangan lagi merasa sakit bila suatu saat dirimu bertemu dengan lelaki itu!" berucap lirih, meminta kepada dirinya sendiri agar selalu kuat menghadapi apa yang akan terjadi di kemudian hari.

"Zahira!" seru Arumi saat melihat anak tercinta keluar dari dalam bandara. Seorang porter mengekori langkah Zahira di belakang.

"Bunda, Ayah!" Zahira bergegas berhambur, kemudian memeluk kedua orang tuanya dengan begitu erat. "Aku kangen banget sama Bunda dan Ayah." Berucap dengan nada manja seolah dia masih anak berusia remaja.

Rayyan mengusap puncak kepala Zahira dengan lembut. "Ayah dan Bunda juga kangen sekali sama kamu, Nak. Akhirnya, setelah enam tahun berpisah kita bisa berkumpul lagi seperti dulu."

"Pokoknya, mulai hari ini, kita tidak boleh pisah lagi," tutur Arumi sambil meneteskan air mata.

Seorang gadis remaja berusia sembilan belas tahun mendengkus kesal kala menyaksikan sikap manja sang kakak. "Ck! Sudah besar masih berlagak sok manja. Dasar, tidak tahu malu!"

Shakeela Zanitha atau biasa dipanggil Sha merupakan musuh bubuyutan Zahira. Kedua gadis itu sering bertengkar hanya karena hal sepele. Meskipun begitu, mereka tetap saling menyayangi dan mengasihi satu sama lain.

"Shakeela! Tidak sopan berbicara begitu terhadap Kakakmu, Nak!" tegur Arumi lembut.

Bibir mungil Shakeela mengerucut ke depan, nyaris sejajar dengan hidungnya yang mancung. "Memang kenyataannya begitu kok, Bun. Kak Zahira itu manja. Sangat manja!" menghentakkan kaki di lantai seraya melipat kedua tangan di dada.

Rayyan hanya menjadi penonton, menyaksikan drama kedua anak gadisnya.

Mengerti kalau sebenarnya Shakeela merindukannya, Zahira mengurai pelukan kemudian merentangkan kedua tangan dan membawa tubuh adik tercinta dalam pelukan. "Dasar bodoh! Begitu saja marah! Kalau kangen bilang dong jangan pura-pura marah padahal dalam hati ingin dipeluk," godanya seraya mengusap pinggung dengan lembut.

"Siapa yang kangen? Aku tidak kangen kok sama Kakak," jawab Shakeela. Di bibir berkata tidak, tetapi kedua tangan semakin mengeratkan pelukan.

Sontak, tingkah laku kedua gadis itu membuat Rayyan dan Arumi terkekeh pelan. Ada rasa haru dalam hati karena keluarganya bisa berkumpul lagi meski Ghani memutuskan melanjutkan program spesialis di negeri Sakura tak mengurangi rasa bahagia yang tengah Arumi rasakan.

***

"Beristirahatlah dulu sambil Bunda buatkan sayur sop ceker kesukaanmu," ucap Arumi ketika ia dan keluarganya sudah sampai di rumah. "Sha, kamu temani Kakakmu. Namun, kamu harus ingat jangan bertengkar! Kasihan Ayah, sejak kemarin melakukan tindakan operasi terus hingga tak mempunyai waktu istirahat. Jadi, Bunda mohon biarkan Ayah tidur sebentar sebelum berangkat kerja lagi."

"Bunda tenang saja, aku tidak akan bertengkar dengan Kakak. Janji!" ucap Shakeela sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengah bersamaan.

Sudut bibir Arumi tertarik ke atas. Apabila Shakeela sudah berjanji maka gadis itu pasti menepati. Jadi tidak ada alasan bagi wanita paruh baya itu untuk mempercayai anak bungsunya.

"Kak, keadaan di Jepang sekarang bagaimana? Aku ingin liburan lagi ke sana, tetapi Ayah selalu saja sibuk hingga tak mempunyai waktu mengajakku jalan-jalan," keluh Shakeela saat ia dan Zahira terbaring di atas ranjang yang sama.

Zahira terdiam sejenak, memandangi langit-langit kamar sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Shakeela. "Masih sama seperti dulu, Dek, tidak ada yang berubah."

Usai menjawab pertanyaan Shakeela, Zahira terdiam kembali. Pandangan mata masih menatap ke atas langit-langit kamar. Merasakan kembali betapa nyamannya merebahkan tubuh di atas kasur empuk dan di kamar miliknya.

"Kakak tahu tidak kabar terbaru tentang Kak Shaka?" celetuk Shakeela memecah keheningan. Entah kenapa, kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya yang mungil.

Mendengar pertanyaan adik tercinta, membuat jantung Zahira rasanya berhenti berdetak dan pasokan oksigen di sekitar seakan tak mampu memenuhi kebutuhan udara di dalam paru-paru. Ingin sekali meminta Shakeela berhenti membahas hal berkaitan tentang Shaka. Akan tetapi ia pun dibuat penasaran, sebab semenjak kejadian itu mereka tak lagi berkomunikasi. Dua anak manusia fokus dengan urusan masing-masing.

Zahira menggelengkan kepala, mata sipitnya memicing ke arah Shakeela. "Tidak. Memangnya ada kabar apa, Dek?"

Shakeela meletakkan siku di atas kasur dengan posisi menyamping, menghadap Zahira. "Ehm ... Kak Shaka--"

.

.

.

Surat Undangan

Shakeela meletakkan siku di atas kasur dengan posisi menyamping, menghadap Zahira. "Ehm ... Kak Shaka ... mau menikah dengan Kak Ziva dua minggu lagi."

Bagai mendengar suara gemuruh petir di siang bolong, kabar itu membuat sepasang mata sipit Zahira terbelalak dengan sempurna. Degup jantung terasa berhenti berdetak dan bumi tempatnya berpijak tak lagi berputar.

Menikah? Shaka akan menikahi Ziva? Oh Tuhan, apakah saat ini Zahira sedang bermimpi? Sebuah mimpi yang sering menghantui malam-malamnya? Mimpi yang selalu membuat gadis itu menangis di tengah malam karena tidak sanggup melihat sahabat sekaligus cinta pertamanya bersanding dengan wanita lain.

"Dek ... yang kamu katakan barusan ... cuma halusinasi Kakak saja, 'kan?" ucap Zahira terbata. Dia masih belum percaya akan berita yang disampaikan adik bungsunya itu.

Shakeela menggeleng kepala cepat. "Tidak, Kak. Perkataanku barusan bukan halusinasi Kakak, melainkan sebuah kenyataan. Kak Shaka akan menikah dengan Kak Ziva dua minggu lagi. Undangan pernikahan telah disebar bahkan Aunty Rini memintaku menjadi bridesmaid dalam resepsi pernikahan nanti," jawabnya polos.

Baik si bungsu maupun kedua kakak lelaki serta orang tua Zahira memang tak pernah mengetahui kalau gadis itu memendam rasa kepada pria yang tengah mereka bicarakan. Jadi, jangan heran kalau saat ini sikap Shakeela begitu santai tanpa merasa berdosa telah memberikan kabar mengejutkan bagi Zahira.

Lantas, Shakeela beranjak dari pembaringan lalu melangkah mendekati laci meja rias milik Zahira. Tangannya mengeluarkan sebuah undangan pernikahan warna putih dengan bagian depan bertuliskan nama calon kedua mempelai tinta hitam keemasan.

"Kak Shaka menitipkan surat undangan ini kepadaku saat aku dan Bunda berkunjung ke rumah Uncle Rio. Kak Shaka bilang dia tidak bisa memberikan kabar karena nomor Kakak ganti. Pesan yang dikirimkan via sosial media pun tak pernah dibalas. Oleh karena itu, dia memintaku menyimpan surat ini dan memberikan kepada Kakak saat kembali dari Jepang."

Detik itu juga napas Zahira berhenti sampai sekian detik lamanya. Tangan gemetar saat menerima undangan tersebut.

"I-ini ... undangan pernikahan Shaka?" gagap Zahira masih belum percaya meski bukti sudah di depan mata. "Tidak mungkin. Ini semua pasti mimpi. Shaka tidak mungkin menikahi gadis itu."

"Kenapa tidak mungkin? Mereka pacaran sudah lama loh. Enam tahun!" sahut Shakeela sambil mengangkat tangan kiri serta ibu jari ke udara. Bila disatukan membentuk angka enam. "Itu bukan waktu sebentar bagi sepasang kekasih mendalami karakter masing-masing, terlebih kedua keluarga sudah saling mengenal lalu apa lagi yang ditunggu."

Shakeela menghempaskan tubuhnya ke atas kasur dengan kasar membuat tubuh Zahira ikut berguncang. Pandangan mata menatap ke langit-langit kamar. "Aunty Rini sebenarnya takut sekali kalau Kak Shaka tidak bisa menahan diri. Banyak kesempatan bagi mereka melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh pasangan suami istri. Oleh karena itu, saat Kak Shaka bilang ingin melamar Kak Ziva, Aunty Rini menyambut niat baik anaknya dengan sangat antusias. Beliau menyiapkan segala keperluan lamaran hingga persiapan pernikahan dibantu Bunda," tuturnya. Meskipun usia Shakeela masih terbilang sangat muda dibanding ketiga kakaknya, tetapi pemikiran gadis itu cukup dewasa.

Mendengar Shakeela menyebut sang bunda, Zahira membalikan badan menghadap adik bungsunya. "Jadi, Bunda turut membantu mempersiapkan semuanya?" tanya gadis itu seraya memicingkan mata.

Si bungsu mendengkus kesal. "Kakak pikir siapa yang mengurusi itu semua kalau bukan Bunda? Kak Indah? Kak Bagus? Mereka saja sibuk dengan urusan masing-masing jadi tidak sempat membantu Aunty Rini."

"Ya ... walaupun Kak Indah maupun Kak Bagus membantu, tetap saja Bunda turun tangan. Mereka 'kan bersahabat sejak dulu jauh sebelum Bunda dan Ayah menikah. Jadi, jangan heran saat pernikahan Kak Shaka, Bunda ikut andil mempersiapkan segalanya."

Zahira kembali diam. Hubungan persabahatan dua wanita paruh baya itu memang dekat sedari dulu bahkan sejak mereka masih remaja. Namun, apakah sang bunda harus terlibat langsung mengurusi semuanya sedangkan hati anak tercinta hancur berkeping-keping menyaksikan pernikahan Shaka dengan wanita lain.

Masihkan Arumi ikut terlibat mempersiapkan segala keperluan pernikahan jika dia tahu kalau ternyata Zahira mencintai Shaka? Bagaimana reaksi wanita itu bila mengetahui selama dua belas tahun Zahira tersiksa karena memendam rasa akibat jatuh cinta kepada pria yang merupakan sahabatnya sendiri?

***

Angin berembus perlahan, menerbangkan rambut seorang gadis yang sedang sibuk berselancar di dunia maya. Sesekali dia melirik jam analog yang ada di layar ponsel.

Gadis itu mendengkus kesal. "Setiap kali janjian selalu saja telat! Tidak pernah sekalipun dia tidak membuatku menunggu. Memangnya dia pikir, aku tidak punya kerjaan lain selain menunggunya di sini! Aku ini seorang model terkenal, agendaku padat tetapi dia tak pernah mengerti aku sedikit pun. Dasar egois!"

Menghentakan kaki di atas lantai, meluapkan kekesalannya. Pasalnya dia sudah hampir satu jam menunggu tetapi orang yang dinanti tidak menunjukan tanda-tanda akan datang.

"Kalau bukan karena ada hal penting yang ingin kusampaikan, aku tidak sudi menunggunya di sini terlalu lama." Kembali menyesap ice mattcha latte kesuakaannya. Kendati begitu, dia tetap menunggu dengan setia.

Tak berselang lama, seorang pria berpenampilan rapi dengan kemeja putih serta jas hitam membalut tubuh gagahnya. "Sayang, maaf aku datang terlambat," ucapnya dengan napas tersengal.

Model cantik itu menoleh ke samping, lalu meletakkan gelas kosong ke atas meja dengan kasar hingga menimbulkan bunyi nyaring perpaduan dua buah benda yang disatukan.

"Dari mana saja kamu jam segini baru sampai? Bukankah kita berjanji akan bertemu di sini pukul dua belas siang! Lihat, jam berapa kamu baru sampai!" seru gadis itu dengan nada suara tinggi. Nada suara gadis itu mengisyaratkan betapa kesalnya dia.

"Iya, Sayang. Aku ngaku salah deh." Pria itu duduk di sebelah sang kekasih. Tangan terulur ke depan, menyentuh punggung tangan gadis tersebut. "Sudah ya, jangan marah lagi. Aku janji, ini terakhir kalinya datang terlambat. Ke depannya, akan datang tepat waktu sesuai yang kita janjikan," ucap pria itu dengan lemah lembut. Menyadari kesalahannya karena telah membuat kekasih tercinta menunggu lama.

Gadis itu menatap kekasihnya tajam. "Awas saja kalau kamu mengulanginya lagi. Aku tidak akan segan memberimu pelajaran!" ancamnya sambil mengerucutkan bibir ke depan.

Pria tampan berhidung mancung terkekeh pelan. Bibir ranum berwarna merah menyala tampak begitu menggoda. Ingin sekali mencicipi rasa manis dari bibir tersebut, tetapi dia sadar bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat baginya mencium benda kenyal itu. Akan ada masa di mana dia menikmati manisnya madu berasal dari bibir sang kekasih. Masa di mana dia dengan gadis itu dipersatukan dalam sebuah ikatan pernikahan sakral hingga apa pun yang dikerjakan mereka bernilai ibadah di mata-Nya.

"Namun, sayangnya, itu semua tidak mungkin terjadi sebab aku tak akan melakukan kesalahan yang sama." Pria tampan itu tersenyum manis dengan sorot mata berbinar bahagia. Rasa lelah yang menyelimuti diri hilang seketika kala bertemu dengan kekasih pujaan hati.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!