"Mas Rama, apakah benar, dia istrimu?" tanya Rasti dengan suara yang bergetar.
Rama Angkara, sang suami terlihat begitu gugup. Dia tak bisa mengatakan apapun, lidahnya seperti kelu.
"Rasti, aku bisa menjelaskan segalanya," ucap Rama yang sebenarnya tidak tega untuk mengungkapkan segalanya.
Rasti merupakan tanggung jawabnya setelah sang nenek meninggal dunia, Rama tak menyangka rahasia ini akan terbongkar dengan mudahnya.
"Mas Rama!" Gertak Rasti yang tidak pernah berbicara kasar pada sang suami sekalipun pria itu jarang pulang ke rumah.
Dia hanya tidak menyangka jika orang yang menggengam tangannya di kala hari berkabung itu, justru telah menghempaskan dirinya dalam lautan duka yang mendalam.
"Rasti, maafkan aku. Tidak seharusnya aku berbohong tetapi apakah aku bisa mengatakan aku pria beristri di saat nenekmu tiada, Rasti aku mohon! Kita bicarakan semua ini baik-baik."
Rama masih terus meminta Rasti tetap bersamanya meskipun hati wanita itu begitu terluka, lebih sakit karena yang menyakitinya adalah teman masa kecilnya.
Teman yang seharusnya tak menyakiti hatinya justru menembus luka terdalam dengan belati pengkhianatan.
Cinta Rama tidak lagi suci seperti pernikahan mereka.
Rama telah menjadi orang yang sangat menyakiti hati Rasti.
"Mas, ini adalah rumahmu. Aku akan pergi dari sini."
Rasti terlihat melempar sebuah bingkai foto pernikahan antara Rama dan istri pertamanya.
Wanita yang sudah merasa terhina, sangat terluka hatinya mendapatkan fakta yang tidak pernah ia sangka.
"Rasti, aku tidak akan membiarkan kau pergi. Di luar hujan deras sayang!"
"Aku tidak peduli, kau sudah membuat aku sakit hati mas Rama. Aku tidak sudi hidup bersamamu lagi!"
Rasti mengemasi barang-barangnya, Rama tetap tidak ingin Rasti pergi.
Dia mencegah dengan sekuat tenaga, hingga Rasti tiba-tiba pingsan.
Rama panik dan segera menelpon dokter pribadinya.
Dia merebahkan tubuh Rasti di atas ranjang sambil menunggu kedatangan dokter.
Setengah jam berlalu, dokter pribadinya akhirnya datang dan memberikan pertolongan.
Dia segera memeriksa kondisi Rasti.
"Bagaimana dok?" tanya Rama merasa cemas, terlihat jelas dari raut wajahnya yang tidak baik-baik saja.
"Dia hami."
"Apa?"
"Iya, dia hamil tuan Rama."
Rama girang, dia merasa ada satu hal yang bisa membuat Rasti tetap bersamanya, yaitu bayi yang ada di dalam kandungan istrinya.
"Kau senang?" tanya dokter yang juga sedang menangani urusan kehamilan istri pertama Rama, Mona.
"Iya, tapi aku memikirkan Mona," jawab Rama yang juga merasa sedih, dia teringat akan kejadian dua hari lalu, Mona harus kehilangan bayinya. Dia masih depresi dan merasa kehilangan.
"Sudah seharusnya, aku tahu kau mencintai nona Rasti. Pernikahan dengan nyonya Mona mungkin hanya kehendak orang tuamu. Namun kau harus paham tuan, dia juga butuh perhatianmu," ungkap dokter Davin, dokter yang selalu menjadi tempat curhat Rama.
"Aku tidak ingin menyakiti mereka berdua dok. Rasti juga begitu syok ketika melihat bingkai foto pernikahanku dengan Mona. Rasanya hancur hatiku dokter. Sebelum dia tahu yang sebenarnya, Rasti sudah kecewa padaku," ungkap Rama dengan raut penuh kesedihan.
"Tuan, alangkah baiknya kau segera selesaikan masalah ini, kau jaga mereka berdua atau tinggalkan salah satu. Kau harus menjadi tega untuk kebahagiaan salah satu wanita yang ada si sampingmu," jawab dokter Davin mencoba memberikan solusi.
Rama mengacak rambutnya kasar, dia tidak bisa memilih antara Rasti dan Mona.
Kedua wanita itu sangat berarti di hidupnya.
Mona selalu bersamanya meski tahu Rama belum sepenuhnya mencintai dirinya, sedangkan Rasti, wanita itu menjadi cinta sejatinya.
"Dok, aku memilih untuk tetap bersama mereka, untuk saat ini, aku membiarkan Rasti marah. Aku akan menerima konsekuensinya," ujar Rama dengan penuh tanggung jawab.
"Bagus, apa yang kau katakan sangatlah mencerminkan satu hal yang membanggakan, kau adalah orang yang sangat profesional. Aku berharap kau tidak melakukan hal di luar kemampuanmu, jika kau sudah memutuskan untuk bersama keduanya."
Dokter hanya bisa memberikan saran dan dukungan karena semua keputusan ada di tangan Rama.
"Oh ya, aku ada vitamin untuk ibu hamil. Bawa ini bersamamu dan berikan pada istrimu setelah dia sadar nanti."
"Baik dok, terima kasih atas segalanya."
"Ya. Aku pulang dulu."
"Baik, hati-hati dok. Kau pulang sendiri saja ya? Kau sudah besar," ledek Rama.
Dia berusaha tetap tenang di saat semuanya begitu sulit.
...
Satu jam kemudian ...
Rama mendapati sang istri sudah siuman, dia segera bertanya padanya.
"Sayang, kau sudah siuman?" tanya Rama.
"Aku berharap tidak siuman, kenapa aku masih hidup?" jawab Rasti ketus.
Dia merasa bahwa suaminya tidak perlu mengharapkan dia hidup karena Rasti ingin tiada saja karena kebohongan itu.
"Kita akan memiliki anak," ungkap Rama.
"Apa? anak?"
"Iya, anak. Kau hamil anakku."
"Aku tidak mau menganggap kau ayah dari anakku, biarkan aku pergi dan merawatnya sendiri. Kau adalah orang yang sangat aku cintai, tetapi begitu mudahnya menyakitiku dengan bingkai foto itu. Seharusnya kau jujur dari awal."
"Aku tidak bisa jujur karena kau tidak akan pernah bisa bersamaku. Makanya aku harus menutupi semuanya, di kala nenekmu tiada, tidak mungkin untukku memberikan fakta bahwa aku sudah menikah," ucap pria itu lirih.
Rama sangat sedih, dia tidak bisa berkata-kata lagi.
Hatinya sangat rapuh kali ini.
"Aku tidak butuh penjelasan darimu, pergilah! aku tidak membutuhkanmu lagi."
Rama mencoba memahami kemarahan sang istri, dia akan tetap menjaga perasaan istrinya.
Rasti membalikkan tubuhnya, Rama perlahan keluar dari kamar utama.
Seketika air mata luruh, Rasti sangat terluka.
Rama memberikan waktu untuk Rasti.
"Mas Rama, kenapa kau melakukan ini padaku. Kau sudah mengkhianati aku, mencurangi kisah kita. Hiks ... Nak, apakah kau baik-baik saja di sana? ibu merasa rapuh, tolong ibu nak."
Rasti hancur, dia tidak menyangka teman kecil yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya begitu tega membohonginya.
Rasti masih saja menangis, dia merasa menjadi jahat.
Namun satu hal yang membuatnya bertahan, ada anak yang harus dia rawat.
"Nak, ibu akan tetap merawat mu meski tanpa ayah nantinya, ibu akan tetap bersamamu."
Rasti meraih foto sang nenek yang duduk bersama ayah dan ibunya di sebuah kursi taman.
Bingkai foto itu adalah satu-satunya yang dia miliki, dia menangis tanpa henti dan perlahan memejamkan matanya.
Dia mendekap kesedihan itu, menahan lara di dada.
Menutup segala luka, sementara ini dia ingin beristirahat dari dunia yang selalu kejam terhadapnya.
Kehidupan yang tidak adil baginya.
Sungguh dia tidak akan menjadikan dirinya perebut suami orang, dia tak paham kondisi ini.
Rasti hanya bisa pasrah, dia masih mencintai Rama tapi juga merasa sakit hati.
*****
Keesokan paginya ...
"Aku pulang cepat Ras, aku ingin kita jalan-jalan. Kau mau ya?" ucap sang suami yang pagi ini berangkat lebih awal.
Biasanya Rama akan bangun jam 06.00 dan segera mandi. Jam 08.00 pagi sudah berangkat, tetapi berbeda dengan sekarang.
Sang suami jam 07.30 sudah selesai sarapan dan akan segera pergi ke kantor.
"Sayang, aku berangkat dulu. Aku tidak mau terjadi apapun denganmu, jadi jangan pergi kemanapun tanpa sepengetahuanku," pinta sang suami.
Rasti masih tetap diam membisu, dia sepertinya masih merasa kesal dengan apa yang terjadi semalam.
Sang suami menganggap semuanya biasa saja, tetapi berbeda dengan seorang Rasti.
Dia sedang hamil dan perasaannya sangat peka.
"Aku paham dengan segala hal yang ada di dalam hatimu. Sebisa mungkin aku akan mendampingi mu."
Sang suami mencium kening sang istri.
Lalu Rasti secara tiba-tiba berkata," Jangan lupakan istri pertamamu. Dia yang lebih dulu bersamamu. Bagaimana bisa kau melupakan itu saat ada di dekatku?"
Sang suami terkejut dengan kata-kata yang sangat menohok itu. Namun, sang suami tak akan marah, dia sadar diri.
"Aku pergi dulu," ucap Rama yang tidak mau membuat kondisi menjadi memanas seperti tadi malam.
Sang istri yang biasanya mengantar sampai depan rumah, tidak antusias lagi. Dia langsung masuk ke dalam kamar karena semua pekerjaan sudah selesai.
Dia kembali menangis, entah harus bersikap seperti apa.
...
Sedangkan sang suami yang sudah menyiapkan segalanya, langsung menelpon sahabat Rasti.
Dia mencoba menceritakan segalanya dan untung memahami posisinya.
"Baik Ram, aku akan datang. Kebetulan suamiku juga sudah berangkat bekerja dan aku libur mengajar les. Aku berharap kau segera bersikap. Rasti cukup peka, dia sangat perasa," ucap Tanti dengan penuh rasa kasihan.
Kehidupan rumah tangga yang baru terjalin sudah terguncang prahara yang sangat luar biasa.
Mungkin bagi mereka mendapatkan momongan dalam waktu cepat adalah anugerah, tetapi dibalik itu semua ternyata ada rencana Tuhan yang sangat tidak di sangka kehadirannya.
Rama yang tidak bisa berkata jujur terhambat oleh keadaaan terlihat tidak berdaya.
Dia akan jujur disaat yang tepat, hanya saja semua tak bisa berjalan sesuai dengan kehendak Rama.
Tuhan lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hambanya.
"Terima kasih Tan, aku berharap kau mampu menjadikan istriku tidak meninggalkanku karena kondisi semacam ini. Aku sangat mencintai Rasti.Namun, aku juga tidak bisa meninggalkan Mona. Dia butuh aku."
Rama sangat terhimpit, dia tidak bisa berbuat apapun.
"Iya, sama-sama. Oh ya, aku akan segera ke rumahmu. Aku tutup teleponnya."
"Oke Tanti."
Panggilan telepon telah usai, sang pria tampan yang sedang banyak masalah ini segera tancap gas dengan mobil miliknya menuju kantor.
...
Kediaman Mona ...
Ibu Rama sangat cemas karena Mona yang terus saja memanggil nama Rama, padahal Rama sudah satu minggu ini tidak pulang ke rumah karena ada sebuah pekerjaan yang sudah sangat mendesak.
Sang ibu paham akan hal ini, tapi untuk Mona yang sedang dalam kondisi terpuruk, begitu menyedihkan dan sungguh memprihatinkan.
"Ibu. Rama dimana bu? apa dia masih ada di luar kota? aku ingin bayiku kembali bu, bayiku!" ucap Mona berulang kali memanggil bayinya yang sudah tidak ada lagi di dunia ini.
"Rama sedang ada di luar kota sayang, ibu pastikan hari ini dia akan datang," cetus sang ibu mertua.
"Apakah ini benar bu? dia akan membawa anakku?"
Sang menantu sangat depresi. Rasanya sangat hancur tidak terkira.
Dia merasa segala sesuatunya akan segera musnah. Tidak ada yang tersisa.
Lalu tangis itu terasa sangat nyata.
Sang ibu mertua memberikan dukungan penuh pada Mona.
"Nak, semua akan baik-baik saja, tidak perlu kau menangisinya," ucap sang ibu mertua sambil memeluk tubuh Mona.
Tangis tak tertahan, dengan segala duka yang membelenggu kehidupannya, sangat menyiksa.
Hingga sang ibu mertua memilih untuk menelfon Rama.
Akan tetapi dia meminta asisten rumah tangganya menjaga Mona, dia tidak bisa menghubungi sang putra di depan Mona.
Sang ibu mertua cemas jika Rama belum bisa hadir di tengah-tengah mereka, so pasti akan menambah masalah dan beban lagi.
Perlahan, dia pergi dari kamar itu dan berjalan menuju dapur, sang ibu menghubungi Rama di sana.
"Ram? bisa pulang tidak?" tanya sang ibu.
"Maaf ibu, pekerjaan masih sangat banyak. Aku tidak bisa pulang," jawab Rama.
"Oh, oke sayang. Ibu paham kau banyak pekerjaan, untuk itu, ibu hanya berharap kau segera pulang saja. Syukur kalau kau bisa pulang lebih cepat," ucap sang ibu berharap.
"Iya bu, selama satu bulan ini aku harus berada di luar kota karena pekerjaan yang menumpuk. Rasanya sangat lelah tetapi aku berusaha untuk tetap pulang," jawab sang putra.
"Baik nak, ibu akan menunggumu. Kau jaga kesehatanmu. Sekarang sudah musim hujan," jelas sang ibu mengingatkan.
"Iya, terima kasih bu. Ibu juga, jaga kesehatan ibu ya?" jawab Rama yang sangat sayang dengan sang ibu.
"Oke. Sudah ya? ibu matikan ponselnya."
"Ya bu."
Panggilan telepon sudah berakhir, sang ibu merasa jika Rama belakangan ini sangat sibuk dengan segala pekerjaannya dan dia berusaha untuk memahaminya.
...
Sedangkan di belahan bumi yang lain, Rama merasa bersalah kepada sang ibu dan Mona, dia sebenarnya tidak mau membuat segalanya menjadi seperti ini, hanya saja rasanya sangat tidak nyaman.
Rama harus menyelesaikan urusan dengan Rasti terlebih dahulu.
"Rama, kau harus lebih sabar, segala sesuatunya harus perlahan dan tidak bisa selesai semuanya," ucap Rama sambil tersenyum.
Dia sedang mengkondisikan hatinya agar mampu membagi waktu untuk dua istri.
Namun, saat Rasti mengetahui segalanya, ada satu hal yang harus diperhatikan lebih dulu, Rasti sedang hamil anaknya.
Kebetulan dia sangat mendambakan buah hati yang akan menyambutnya kala pulang kerja, memberikan suntikan semangat tanpa henti padanya.
"Huft, rasanya amat berat. Akan tetapi, aku akan berjuang. Berjuang memberikan keadilan pada dua istriku."
Sang pria yang masih dalam perjalanan menuju kantor, memesan tiket pesawat untuk kepergiaannya di siang hari ke rumahnya.
Dia harus gerak cepat agar tidak terjadi kesalahpahaman antara dua wanita yang ada di sampingnya, menemani hari-harinya.
Mona dan Rasti tak lepas dari pantauannya hanya saja sejak tadi malam, dia belum menanyakan kondisi Mona. Dia terlalu lelah bekerja dan banyak masalah lain, Rasti juga sedang marah.
Semalam, dia tidur.
Dia menggunakan waktunya untuk beristirahat total.
Mobil Rama, sudah berada di depan kantornya. Seorang penjaga sudah siap untuk menyambut kedatangan sang bos perusahaan.
"Bos, selamat pagi," ucap sang penjaga yang langsung bergerak cepat membawa mobil sang bos menuju tempat parkir.
Rama tersenyum dan mengangguk, dia sangat berkharisma memang, tak salah jika Rasti dan Mona kepincut pesonanya.
*****
Rumah Rasti-Rama …
Di saat Rasti sedang membaca buku di ruang tamu, tiba-tiba saja bel rumahnya berbunyi. Dia segera beranjak dari tempat duduknya dan membuka pintu itu.
Klek!
Rasti melihat ada Tanti dihadapannya.
“Tan? apa yang kau lakukan di rumahku?” tanya Rasti heran.
“Iya, aku sedang dalam perjalanan ke rumah temanku, tetapi lewat rumahmu. Sekalian aku mampir,” jawab Tanti yang menggunakan alasan yang cukup masuk akal.
Dia tidak mau Rasti mengetahui bahwa yang memintanya datang adalah Rama.
“Oh, ayo masuk, kebetulan aku baru saja membuat kue. Kau cicipi ya? sepertinya agak gosong, tapi overall masih enak kok,” ucap Rasti dengan wajah yang pucat.
“Ya, aku tidak masalah mau makan apapun, kue gosong juga aku makan nanti.”
“Astaga, aku seperti seorang tuan rumah yang jahat, ayo masuk dulu. Kita mengobrol.”
Tanti masuk ke dalam rumah Rasti, dan dipersilakan duduk di sofa ruang tamu.
“Wah rumahmu sudah bagus ya? dua minggu lalu masih seperti pindahan,” ucap Tanti basa-basi.
“Iya, Rama sudah menata ulang barang-barang di rumah ini. Dia biasanya jarang pulang ke rumah, tetapi beberapa hari ini sangat betah berada bersamaku.”
“Bagus dong, kan makin mesra.”
“Ya, semoga saja. Oh, aku ambilkan kue dan minuman dulu ya?”
“Ya, aku terima apapun yang kau berikan.”
“Hehe, kau masih sama, selalu membuatku senang.”
Rasti perlahan beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju dapur.
Di saat yang tepat ini, Tanti melapor kepada Rama
“Rama, istrimu terlihat pucat, dia sedang membuat minuman dan kue untukku.”
Tanti menulis pesan itu untuk Rama dan langsung mendapatkan jawaban.
“Ya, jaga dia ya. Aku akan segera pulang tiga jam lagi.”
“Oke.”
“Kau laporkan apapun yang terjadi pada istriku.”
“Ya, siap.”
Di saat Tanti sedang fokus dengan ponselnya, tiba-tiba saja Rasti datang.
Tanti terkejut.
“Astaga.”
“Kenapa?”
“Aku kaget.”
“Memangnya aku hantu, sampai kau harus kaget?”
“Hehe, tidak.”
Rasti terlihat membawa sebuah piring dengan kue di atasnya, lalu minuman berupa jus mangga kesukaan Tanti.
“Ini mu,” ucap Rasti.
Dia terlihat sangat muram, Tanti mencoba bertanya dan ingin tahu mengenai apa yang terjadi, meskipun dia paham penyebab Rasti bersikap seperti itu.
“Ras? kau baik-baik saja kan?” tanya Tanti sambil menikmati kue buatan Rasti yang katanya gosong itu.
“Aku tidak apa-apa. Hm, Tan, kalau suamimu punya istri di belakangmu, kau akan marah tidak?” tanya Tanti tiba-tiba.
“Uhuk-uhuk? apa? punya istri diam-diam menurutmu? aku sudah menghajarnya, ups. Maaf, bukan menghajar tetapi apa ya bahasanya anu,” ucap Tanti kebingungan.
Dia juga akan marah jika suaminya memiliki istri lain di belakangnya, namun demi menghibur seorang teman, dia berusaha bijak.
“Kau ada masalah dengan Rama?” tanya Tanti mendahului, dia tidak mau Rasti mencecarnya dengan pertanyaan yang sama dan endingnya pasti Rama yang akan disudutkan.
“Tan, jangan katakan ini kepada siapapun, aku tahu kau teman kami, tapi aku harap kau jangan bilang ini ke Rama.”
“Mengenai apa?” tanya Tanti.
Dia berusaha senatural mungkin menanggapi apa yang akan diceritakan oleh istri Rama itu, karena sebenarnya dia sudah tahu Rama memiliki Mona sebelum menikah dengan Rasti.
“Aku merasa dikhianati dan dibohongi Tan, Rama telah memiliki istri lain,” ucap Rasti dengan berderai air mata, dia terlihat sangat sedih.
Bagaimana tidak. selama menikah dengan Rama, tak sekalipun ada kecurigaan dengan seorang pria yang menikahinya itu.
Rama sangat baik dan sopan, selalu menjaganya dan tidak pernah berbuat hal yang buruk.
Selama ini dia memang sendiri di rumah, Rasti menjalani hari-hari seperti biasa, seperti ibu rumah tangga dan istri pada umumnya, dia juga tidak pernah kurang memberikan perhatian serta kasih sayang.
Akan tetapi mengapa?
Rasta begitu tega membohonginya.
“Ya Tuhan Rama,” ungkap Rasti berpura-pura tidak tahu apapun.
“Iya, aku juga merasa kesal dan terkejut,” imbuh Tanti.
Tanti melihat raut kesedihan di mata Rasti, lalu dia mendekati sang teman.
“Kau harus lebih kuat dari sebelumnya, alangkah baiknya kalian berdua bicarakan baik-baik, kau sayang kan dengan suamimu?” tanya Tanti sambil mengusap rambut Rasti.
“Iya, cintaku kepadanya sangatlah besar, aku tidak bisa hidup tanpa dia, aku hanya mencintai dia. Maka dari itu, kenapa aku merasa sakit hati,” jawab sang teman dengan isak tangis menyayat hati.
Tanti benar-benar tidak tega, dia ingin sekali meminta Rama untuk menceraikan istri pertamanya, tetapi apakah mungkin?
Tanti memikirkan banyak hal ketika ingin memberikan saran ini.
Secara Rama memiliki istri dengan tingkat depresi tinggi akibat dari kehilangan bayi, ini sangat meresahkan.
Tanti juga merasa pusing dengan masalah ini.
“Aku tidak tega saat melihatmu menderita, oleh karena itu, aku berharap kau bisa mengikuti saranku, yaitu berbicara dengan suamimu.”
“Aku tidak bisa Tan, saat aku menatap mata Rama, dia sangat jahat, aku tidak bisa.”
Rasti sudah terluka, hatinya sudah seperti tersayat sembilu, oleh karena itu, Tanti mencoba untuk pelan-pelan memberikan solusi lain.
“Kau jalan-jalan saja dengannya, apa kau mau?”
“DIa mengajakku tadi, tapi rasanya malas.”
“Nanti saat dia pulang, kau harus menyambutnya, berikan dia senyum, dan anggap kau sudah baik. Lalu bicarakan baik-baik, kau harus berpositif thinking demi bayimu, apakah kau ingin bayimu terluka juga?”
“Aku ingin membawa bayi ini pergi dan tidak sudi menjadikan Rama suamiku lagi.”
Sang teman menghembuskan nafasnya dengan perlahan, dia juga sudah mentok.
Ide sudah tidak ada.
“Eh, kau main ke rumahku saja ya? ada anakku di rumah, dia sedang libur kebetulan. Kau bermain dengannya saja ya? kapan hari dia menanyakanmu, karena aku sibuk jadi lupa memberitahukan kepadamu.”
“Oh, aku ganti baju dulu ya?”
“Tidak perlu, kau pakai baju ini saja.”
“Oke.”
Tanti lega, dia merasa cukup pandai mengulur waktu sebelum Rama pulang, selain itu Tanti bisa membawa situasi baru bagi Rasti, tidak melulu di rumah saja karena faktor ini juga bisa membuat seorang wanita menjadi overthinking setiap waktu.
“Tan, aku ambil ponsel di kamar dulu ya?”
“Oke Ras.”
Di saat Rasti mengambil ponsel, Tanti segera mengirim pesan kepada Rama.
“Aman Ram, aku sudah membujuk istrimu ikut ke rumahku, jadi dia akan lebih segar lagi. Mungkin saja dia kesepian, dia butuh teman.”
“Oke Tanti, jaga istriku ya? titip dia.”
“Siap Rama.”
Pas sekali waktunya, Tanti sudah selesai membalas pesan dari Rama dan Rasti keluar dari kamar.
Mereka berdua berjalan menuju ke luar rumah.
Tak lupa Rasti mengunci rapat pintu rumahnya sebelum pergi.
“Lumayanlah ya, aku bisa membujuk Rasti,” batin Tanti lega.
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!