NovelToon NovelToon

Mengejar Bayang Sembrani

Brug Barong

Desa Tindihmayit menyambut pagi pertamaku dengan cuaca yang sangat cerah. Suara binatang-binatang peliharaan penduduk desa terdengar saling bersautan. Begitu pula dengan para petani yang mulai berangkat menuju ladang dan kebunnya untuk bekerja.

Aku memulai hari ini dengan menyusuri jalanan desa yang ramai dengan kegiatan para penduduknya. Terasa sangat berbeda memang, menikmati suasana desa ini ketika matahari terlihat dan ketika gelap malam tiba. Kecuali malam hari, desa ini sangat terlihat lebih hidup dan berirama.

Aku tiba di pos ronda yang berada di ujung desa sebelum melewati jembatan angker yang terkenal itu. Beberapa orang sepertinya sedang mendiskusikan sesuatu dengan nada yang serius. Ternyata setelah aku berhasil mendekat, beberapa orang itu adalah teman-teman masa kecilku yang kini sudah menginjak masa dewasa.

Diantaranya ada Bintar, Junsa dan Edo yang sangat akrab denganku sedari dulu. Selain ketiga temanku, ada juga Pak Teguh yang merupakan pemilik pemancingan umum dan sekitar 4 warga yang tidak begitu kukenal. Mereka sepertinya sedang membahas sebuah kejadian yang baru saja terjadi di desa ini.

"Wih, Ardega Sang Pemuda Kota datang!" teriak Bintar menyambutku dengan candaan khasnya.

Aku yang cukup sungkan karena sudah lama tidak kembali ke desa ini akhirnya menyalami semua orang satu-persatu sebagai etika dan sopan santun. Dari hasil mencampurkan daun telingaku dengan mereka semua, ternyata malam tadi ada sebuah kejadian tidak wajar yang menimpa Kusdi, penjual sate keliling di desa ini. Cerita yang cukup membuatku mengusap bulu-bulu di lenganku dengan cepat.

Kembali ke malam tadi saat aku dan kakek baru saja melewati jembatan pembatas desa. Sekitar pukul 11 malam, Kusdi yang memang setiap sore berjualan sate di desa sebelah yang bernama desa Cendipuro pulang ke rumahnya di Tindihmayit. Wajar saja, berjualan sate di Tindihmayit pada malam hari tidak akan menghasilkan keuntungan apapun.

Maka dari itu, wilayah operasi niaga Kusdi memang berada di Cendipuro yang lebih ramai pada malam hari. Tetapi, malam kemarin itu dagangan Kusdi hanya terjual beberapa tusuk saja. Sampai Kusdi memutuskan untuk pulang pada pukul 11 malam, Kusdi masih membawa banyak tusuk sate yang belum terjual di gerobaknya.

Biasanya untuk menghindari jembatan batas desa yang angker itu, Kusdi selalu memutar jalan untuk masuk ke Tindihmayit. Salah satu rute yang biasa Kusdi lalui adalah dengan melewati pemancingan umum milik Pak Teguh yang ada di sisi lain Tindihmayit. Namun karena saat itu hujan turun sedari sore hari dan berniat cepat pulang agar bisa segera mengganti bajunya yang sudah basah kuyup, Kusdi memberanikan diri untuk pulang melewati jembatan batas desa yang angker itu.

Tibalah saat gerobak sate milik Kusdi berada di atas jembatan, seorang lelaki dengan ciri-ciri sama persis dengan hantu yang menggangguku dengan kakek sebelumnya menghentikan Kusdi karena ingin membeli satenya. Kusdi memang kerap mendengar cerita ganjil tentang jembatan angker itu, namun karena merasa lelaki tersebut bersikap layaknya manusia normal dan juga sekalian mengurangi dagangannya yang masih banyak tersisa, Kusdi dengan pikiran yang jernih melayani pelanggannya itu. Kusdi sedikit girang dibuatnya, tak tanggung-tanggung bahkan hampir setengah sisa dagangannya diborong oleh lelaki berbaju batik lusuh itu.

Namun rasa takut Kusdi sepertinya mulai muncul tatkala orang itu mulai memakan juga tusuk-tusuk sate bekas yang ada di piringnya. Tubuh Kusdi bergetar hebat, kepalanya mulai terasa pusing dan Kusdi mulai tidak sadarkan diri sehingga tergeletak di atas jembatan. Kusdi terbangun di tengah malam ketika hujan sudah berhenti dan tentu saja masih berada di atas jembatan itu.

Kusdi segera berlari tunggang-langgang meninggalkan gerobaknya di atas jembatan. Dengan pikiran yang mulai kacau, Kusdi berniat memutari desa dan menuju pemancingan umum yang biasanya buka 24 jam. Dalam dinginnya malam Kusdi berlari memegang kipas satenya, dan beberapa waktu kemudian sampailah Kusdi di pemancingan umum desa milik Pak Teguh.

Tanpa basa-basi terlebih dahulu, Kusdi menerobos pintu masuk pemancingan dengan ganasnya. Malang bagi Kusdi, kakinya tersandung sebuah bangku kecil dari rotan yang biasa dipakai pemancing untuk duduk dan Kusdi pun tercebur ke dalam kolam pemancingan. Beberapa orang yang sedang bersantai sembari menunggu ikan menggigit umpan terkejut dan bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Namun karena semua orang mengenali orang itu adalah Kusdi sang penjual sate, para pemancing itu dengan cepat menolongnya dan segera mengeluarkan Kusdi dari dalam kolam.

Malam itu orang-orang membantu Kusdi dengan mengantarnya menjemput gerobak sate yang masih berada di jembatan. Dan yang membuat semua orang terheran-heran adalah gerobak sate milik Kusdi tidak ada di tempat terakhir Kusdi meninggalkannya. Karena merasa ada yang tidak beres, semua orang yang ikut mengantar Kusdi termasuk Pak Teguh yang memang sedang berada di pemancingan akhirnya menuju rumah Pak Digyo selaku kepala desa Tindihmayit.

Tanpa disangka ketika melewati rumah Kusdi yang memang hanya berjarak sekitar 50 meter sebelum sampai di rumah Pak Digyo, gerobak sate milik Kusdi sudah terparkir di halaman rumahnya. Semua mata terbelalak dengan kejanggalan yang terjadi malam itu, seakan ada seseorang yang mengantarkan gerobak sate pulang ke rumah Kusdi. Cerita Kusdi tadi malam membuat banyak orang kembali bergosip tentang jembatan angker itu.

Mengingat kejadian yang menimpa Kusdi cukup menggemparkan, hari ini semua orang berencana mengadakan rapat desa mengenai kegiatan meronda yang sudah lama tidak berjalan. Hari itu aku menghabiskan banyak waktu bersama Bintar dan Junsa dengan berbincang di sebuah pendopo di depan balai desa sembari menunggu hasil dari rapat warga yang juga diikuti oleh kakek. Sampai di sore hari menjelang ashar, orang-orang yang mengikuti rapat warga terlihat keluar dari balai desa secara bergantian.

"Ayo Dega kita pulang. Kalian juga sana pulang dulu sudah mau ashar, nanti main ya ke rumah mumpung Dega ada di sini." ajak kakek sembari merangkul pundaku.

Dalam perjalanan pulang kakek menceritakan perihal rapat warga di balai desa tadi. Semua warga sepertinya setuju untuk mengadakan kegiatan ronda malam kembali mengingat sudah kembali ada kejadian kurang menyenangkan di desa saat malam hari. Menurutnya, ronda malam selain untuk menjaga keamanan desa agar kondusif, hal terpenting adalah menjaga suasana desa agar tetap lebih hidup. Apalagi sekarang sudah mulai banyak orang-orang berkegiatan di malam hari terutama untuk keperluan yang mengharuskan keluar masuk desa seperti berdagang.

Dan pula sepertinya banyak orang bisa terbantu jika kejadian sama seperti yang Kusdi alami terulang kembali. Hari itu pun juga setiap rumah sudah mendapat jadwal bergilir dimulai dengan malam ini. Kakek pun turut mendapat jadwal merondanya dan tugas pertama adalah besok malam pada shift kedua sekitar pukul 1 dini hari sampai menjelang subuh tiba.

"Kek, jembatan itu apa punya nama? Maksudku julukan atau semacamnya." tanyaku saat beberapa langkah lagi kami memasuki pekarangan rumah.

"Brug Barong, tapi cuma orang-orang dulu aja yang ingat nama itu. Kayaknya nama itu udah mulai punah, apalagi hantu di sana bukan cuma Barong aja sekarang. Tapi hantu-hantu lain yang semakin aneh dan lucu, hahaha." kembali kakek mentertawakan habitat itu dan para spesiesnya.

Malam ini Bintar dan Junsa menginap di rumah kakek, tetapi Edo masih belum terlihat juga batang hidungnya. Biarlah, toh kita sudah bukan anak-anak lagi. Mungkin saja Edo memiliki urusannya sendiri saat ini.

Sepi yang selalu menyelimuti malam di Tindihmayit sekarang sudah mulai menghilang dengan adanya ronda di malam pertama. Namun, ternyata akan selalu ada suara di Tindihmayit setiap malamnya. Bukan hanya suara kehidupannya saja, melainkan juga suara lain dari sisi yang lain juga.

Sate Gagak

Tindihmayit mulai mengeluarkan suara gelapnya, selepas kejadian menyeramkan yang menimpa Kusdi di malam itu, sekarang Tindihmayit seperti kembali meraung setiap malamnya. Malam ini adalah jadwal pertama kakek untuk ikut meronda di perbatasan desa tepatnya di pos ronda sebelum jembatan angker batas desa. Aku yang mulai jenuh berada di rumah sangat bersemangat untuk ikut bersama kakek malam ini.

Dan kebetulan juga Junsa yang juga mendapat jatah ronda malam ini mendapat giliran shift kedua setelah sebelumnya Bintar terlibat dalam shift pertama ronda. Setiap shift ronda terdiri dari 8 orang perwakilan setiap rumah, ditambah dengan aku yang menjadi anggota tambahan karena aku bukan penduduk yang berdomisili di Tindihmayit. Aku rasa 9 orang di shift kedua ini cukup ramai dan sangat bisa diandalkan untuk menjaga ketentraman desa sampai pagi menjelang.

"Ga! Lucu nih si Edo, masa dia sekarang jualan sate, hahaha.", Bintar menyambutku dengan tawa.

Sebelum pulang setelah menjalankan ronda shift pertama malam ini, Bintar memberitahuku bahwa Edo ternyata malam tadi pergi ke Cendipuro untuk berjualan sate. Menurut penuturan Edo, dia menggantikan Kusdi yang mana adalah pamanya sendiri. Memang, sejak kejadian malam itu Kusdi menjadi trauma dan memutuskan berhenti berdagang untuk sementara waktu.

Waktu berjalan begitu cepat, aku banyak menghabiskan waktu mengobrol dengan Junsa tentang Edo yang memang sepertinya sedikit sibuk karena harus menggantikan pamannya berjualan sate. Namun ada hal aneh yang kami tangkap dari cerita Bintar dan warga lain yang berjaga pada shift pertama. Biasanya, Kusdi berangkat berjualan sekitar pukul 4 sore atau setelah ashar menjelang maghrib.

Tapi malam itu terasa aneh karena Edo berangkat berjualan menuju Cendipuro sudah sangat larut malam, yaitu sekitar pukul 9 malam saat ronda shift pertama baru saja dimulai. Jam di tanganku sudah menunjukan pukul setengah 4 pagi, dan kakek mendapat giliran untuk berkeliling desa bersama 3 orang lainnya. Sekarang tinggalah aku, Junsa dan 3 orang tersisa berada di pos ronda dibarengi dengan memakan kacang rebus yang dibawa oleh Junsa.

"Tolong! Tolong! Tolong!" suara seseorang terdengar mendekat dari arah Brug Barong.

Semakin terlihat jelas bayangan samar seseorang yang mendekat itu, dan tanpa disangka Edo adalah seseorang yang memecah hening di kegelapan jalan desa. Setelah mendekat ke arah pos ronda yang lebih baik pencahayaannya, terlihat Edo bersusah payah mengatur nafasnya yang tesengkal-sengkal. Orang-orang yang berada di pos ronda termasuk aku dan Junsa pun mencoba menenangkan Edo sebisa mungkin dan mencoba memberinya air minum.

"Nih Ed makan kacang dulu!", Junsa dengan santainya menawarkan kacang rebus sesaat setelah Edo meminum air yang aku berikan.

"Bocah geblek! Jangan ngawur Jun!" sela seorang warga yang terheran-heran dengan kelakuan Junsa.

"Ini pasti kerjaan hantu jembatan itu! Ya kok kamu berani banget toh Ed lewat jembatan itu lagi? Katanya kamu juga berangkat lewat situ tadi malam? Wah nekad kamu." cecar warga lain tidak memberi waktu kepada Edo untuk menjelaskan.

"Bukan! bukan mereka yang memulainya! Tapi...tapi aku yang salah karena memancing mereka keluar." Edo kali ini mulai berbicara walau dengan nada bicara yang masih patah-patah.

Singkat cerita, Edo meminta kami semua untuk mengantarnya membawa gerobak sate yang tertinggal di jembatan itu. Tanpa menunggu lama aku, Junsa, Edo dan seorang warga lainnya memberanikan diri untuk menuju Brug Barong dan menyisakan 2 orang di pos ronda untuk berjaga agar dapat menyampaikan kejadian ini jika regu kakek yang sedang berkeliling datang kembali ke pos ronda. Sekitar beberapa menit setelah itu, kita berempat sudah berhasil membawa gerobak sate milik Kusdi itu dengan aman dan mengamankannya di pos ronda.

Terlihat regu patroli kakek pun sudah kembali ke pos ronda dan mereka sepertinya sedang berdiskusi perihal apa yang menimpa Edo saat itu. Adzan subuh tidak lama lagi berkumandang, namun suasana di pos ronda semakin serius karena sekarang Edo mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di Brug Barong.

Cerita pun dimulai beberapa waktu lalu setelah Kusdi, paman dari Edo mengalami hal menyeramkan di Brug Barong. Edo yang mendengar cerita itu sebenernya ikut merasa takut karena hal itu membuat Kusdi enggan berdagang untuk sementara waktu. Ada sebuah mitos yang pernah Edo dengar perihal menjual sate daging burung Gagak yang melegenda di daerah ini.

Mitos itu mengatakan, jika kita menjual sate Gagak di tempat yang cukup angker, maka dagangannya akan laris oleh para hantu dari dunia ghaib. Ide ini memang cukup gila dan Edo sendiri tidak tahu bagaimana cara menjual sate Gagak itu. Tapi Edo yang memang sedikit nekad karena dia memang seorang pengangguran kelas berat, akhirnya dengan persiapan seadanya memberanikan diri untuk mencoba.

Menurut kepercayaan banyak orang terutama yang yang paham dengan dunia ghaib, jualan sate Gagak berbeda dengan pesugihan atau sejenisnya. Ini karena penjual hanya melakukan jual-beli tanpa adanya tumbal atau pengorbanan. Tapi tetap saja, hal ini dilarang keras dalam agama maupun budaya setempat karena sama saja kita menyalahi aturan dengan bertransaksi kepada bangsa Jin.

Kembali ke cerita malam itu, Edo dengan perasaan sedikit takut dan persiapan yang kurang akhirnya berangkat beberapa menit setelah ronda shift pertama dimulai. Edo menjelaskan, dia ingin memastikan jika terjadi hal-hal yang berada di luar kemampuanya saat itu, Edo bisa meminta bantuan kepada warga yang sedang berjaga di pos ronda. Dan orang-orang pun mengira bahwa Edo akan bejualan sate Ayam di Cendipuro, padahal sebenarnya mereka pun curiga karena Edo berangkat pada waktu yang tidak biasa.

Ketika sampai di Brug Barong, Edo mulai menyiapkan daging Gagak yang sudah dia siapkan sebagaimana lazimnya sate Ayam yang biasa dia jual ketika menggantikan pamannya saat absen berjualan. Wangi daging bakar dan asap yang cukup tebal mulai menjelajah ke setiap penjuru Brug Barong yang gelap. Namun sampai tengah malam pun tidak ada sesuatu yang terjadi.

Selepas tengah malam kira-kira jam 1 dini hari bersamaan dengan pergantian shift ronda, akhirnya pelanggan pertama Edo pun muncul. Tanpa tahu dari mana datangnya, sesosok perempuan cantik memakai kebaya berwarna kuning berdiri di depan gerobak sate. Edo yang kebingungan akhirnya memberikan sepiring sate dengan 12 tusuk sate di atasnya.

Perempuan itu memakannya perlahan, bahkan menurut Edo satu tusuk sate bisa dihabiskan selama 5 menit. Setelah sate di atas piring habis, akhirnya Edo pun kembali menyiapkan piring berikutnya. Namun ketika Edo hendak memberikan piring sate yang baru itu, di hadapannya perempuan berkebaya itu sudah berubah menjadi seorang pria yang memakai baju batik lusuh.

Edo pun teringat dengan cerita pamannya yang dihantui oleh hantu pria berbaju batik ini. Dengan cepat Edo menjulurkan tangannya untuk memberikan piring sate ke hantu tersebut. Edo sedikit berkeluh dalam hati saat itu, Edo beranggapan bahwa perempuan tadi belum membayarnya sama sekali.

Namun Edo terkejut, karena tanpa sepengetahuannya di dalam laci uang gerobak

sate telah terdapat sebuah benda aneh berbentuk buah berwarna kuning keemasan. Sebelum sempat menyentuh benda itu, Edo sempat melihat ke arah hantu pria yang sedang memakan satenya. Dengan sedikit takut dan ngeri, Edo memperhatikan bahwa hantu pria itu makan dengan cepat dan benar saja, hantu itu memakan sate beserta dengan tusuk satenya.

Edo pun acuh, mencoba menenangkan diri dengan mengalihkan perhatian kepada benda di dalam laci gerobaknya.

"Nih, kalau kalian gak percaya. Ini hasilku berdagang tadi. Tapi gak tau juga benda apa nih, semacam jimat mungkin." perjelas Edo dengan mengeluarkan dua buah benda bulat berwarna emas yang memiliki ornamen daun diatasnya.

"Do! Itu Apel Jin! wah bisa cepat kaya kamu." kakek menjelaskan perihal benda yang ada di genggaman Edo.

Barong Pitu Lawang

Semua mata melihat kakek yang sepertinya mengetahui perihal benda bernama Apel Jin itu. Kita semua menjadi penasaran karena kakek menyebutkan bahwa dengan benda itu Edo bisa menjadi kaya dibuatnya. Raut wajah kaget Edo perlahan mulai berubah menjadi senyum tipis yang memiliki banyak arti.

Benar, ternyata hantu-hantu itu tidak membayar sate Gagak Edo dengan uang. Melainkan menukarnya dengan sebuah benda bernama Apel Jin. Menurut kakek, harga satu Apel Jin ini bisa mencapai ratusan ribu jika benar-benar merupakan Apel Jin asli.

Ada seorang warga yang mengatakan bahwa biasanya Apel Jin justru digunakan sebagai pengusir hantu. Namun kakek membantahnya, Apel Jin digunakan bukan sebagai jimat pengusir hantu, melainkan sebagai benda untuk menyogok hantu agar tidak menggangu. Mungkin bisa dikatakan Apel Jin ini justru adalah benda kesukaan para hantu.

Kembali ke cerita dimana sosok hantu pria berbaju batik itu telah selesai memakan sate Gagak beserta semua tusuk satenya. Hantu ini cukup berbeda dengan beberapa hantu lain yang hampir semuanya bersikap sebagaimana layaknya hantu. Sosok hantu berbaju batik lusuh ini berbicara, berperilaku bahkan membayar satenya seperti manusia normal pada umumnya.

"Tapi, hantu ini beda banget. Beres tuh dia makan, dia ngasih langsung benda ini dengan menjulurkan tangannya. Gak kaya si perempuan yang ilang terus tiba-tiba bayar langsung di laci." jelas Edo menceritakan asal-muasal kedua buah Apel Jin itu.

"Terus Ed, apa yang membuatmu kabur dan lari meninggalkan gerobak sate?" tanya Junsa yang sudah mulai kehabisan kacang rebusnya.

Edo yang mulai terbiasa dengan para hantu di Brug Barong sedikit berbangga karena dagangan sate Gagaknya mulai perlahan berkurang oleh dua hantu yang berbeda tadi. Namun setelah itu, ketika hantu pria berbaju batik menghilang, tiba-tiba seluruh pohon bambu di sekitar jembatan bergoyang. Padahal menurut Edo tidak terasa ada angin sama sekali.

Dan dari rimbunnya pohon-pohon bambu, mulai terlihat keluar sosok yang sangat menyeramkan. Sosok itu menyerupai sebuah Barongan, hantu yang berbentuk monster besar seperti hantu Leak dalam kepercayaan masyarakat di daerah Bali. Bedanya, Barongan ini memiliki badan yang jauh lebih besar, mungkin hampir 3 kali lipat lebih besar dari gerobak sate yang dibawa Edo.

"Kepalanya besar penuh rambut, matanya merah keluar darahnya. Terus giginya bertaring tajam ke atas-bawah. Yang bikin ngeri, badannya segede 3 gerobak kalo disatuin." pungkas Edo bergidik ketika kembali mengingat sosok hantu Barong itu.

Edo pun tidak kuat menahan betapa mengerikannya hantu Barong yang mungkin juga hendak membeli sate Gagaknya. Namun apapun tujuan si hantu Barong, sepertinya hantu itu benar-benar sangat mengerikan. Terlebih menurut penuturan Edo pula, hantu Barong itu membuat jembatan bergetar dan bergoyang seperti adanya gempa bumi.

Adzan subuh sudah berkumandang di Tindihmayit, semua orang di pos ronda bersiap untuk pulang menuju rumahnya masing masing. Aku dan kakek turut mengantarkan Edo kembali ke rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Kusdi. Dalam perjalanan pulang, kakek menceritakan kepadaku tentang asal-usul hantu Barong yang mendiami jembatan itu.

"Dulu waktu kakek masih seusiamu, ada seorang penduduk Tindihmayit yang nekad mencari pesugihan ke hutan Sembrani. Orang itu bagaikan hilang dan tidak kunjung pulang untuk waktu yang lama. Sekitar 4 tahun setelahnya, orang itu muncul kembali ke Tindihmayit. Dia jadi orang kaya, banyak tanah di Tindihmayit dibeli olehnya. Termasuk jembatan penghubung desa yang dulu hanya berupa jembatan kayu, tidak luput ia bangun sehingga menjadi jembatan beton dengan aspal yang kokoh. Bahkan karena pembangunan jembatan itu, banyak kendaraan bisa dengan mudah keluar-masuk Tindihmayit untuk segala urusan. Sampai suatu ketika, orang itu sekarat dan susah untuk hanya sekedar mati. Beberapa tetua desa mengatakan bahwa orang itu mengikat perjanjian dengan pesugihan Pitu Lawang, pesugihan tingkat tinggi yang terdiri dari kumpulan siluman. Ada siluman Monyet, Ular, Harimau dan siluman-siluman lainnya. Karena orang itu tergantung antara hidup dan mati, maka semua tetua sepakat untuk membuang orang itu di Kali Sajen. Sungai yang mengalir menuju hutan Sembrani dan orang itu di buang tepat dari atas jembatan angker itu. Setelahnya, sering terlihat penampakan hantu berwujud Barong yang mana adalah hantu peleburan dari semua jenis siluman Pitu Lawang. Dan jembatan itu mulai dikenal sebagai Brug Barong. Tapi sekarang sudah banyak yang tidak mengenal nama Brug Barong, mungkin karena sudah lama hantu Barong tidak menampakan diri." kakek menutup cerita sambil membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang ia bawa.

Pada malam berikutnya aku beserta ketiga temanku berkumpul di teras rumah milik Junsa yang tidak terlalu jauh dari posisi pos ronda. Entah kenapa, setiap aku bersama Junsa, menu utama yang menemani adalah kacang rebus andalannya. Yah, mungkin karena orang tua Junsa memiliki kebun kacang tanah yang cukup luas di Tindihmayit.

"Jun, apa gak ada makanan lain kah selain kacang rebus ini?" celetuk Bintar dengan nada ketus.

"Oh, ada! Di dapur ada kacang goreng. Baru aja ibu bikin tadi sore." jawab Junsa dengan bersiap berdiri menjemput kacang gorengnya ke dalam rumah.

"Wis to! kenyang aku kalo makan kacang melulu." cegah Edo yang sedari tadi memegang Apel Jin hasil jualannya tadi malam.

"Ed, benda itu mau kau apakan? Tidak dijual saja kah?" tanyaku mulai penasaran.

"Gak! Aku mau jadikan ini kenang-kenangan pokoknya. Edo adalah satu-satunya orang yang berani menjual sate ke hantu-hantu jembatan, hahaha." Edo mulai membusungkan dadanya.

Dari teras rumah milik Junsa kita dapat melihat sebuah sorot mobil yang berhenti di depan pos ronda. Kami pun penasaran karena mobil itu cukup lama berhenti disana. Akhirnya kami berempat memutuskan untuk mendekati pos ronda yang memang sedang dijaga oleh warga yang berjaga ronda shift pertama.

Ternyata bukan hanya satu mobil yang terparkir di depan pos ronda. Melainkan berjajar sekitar 5 mobil termasuk 2 truk pengangkut barang berukuran sedang yang berada di belakangnya. Ini adalah rombongan pagelaran kesenian wayang kulit khas jawa, sepertinya mereka sedang menanyakan arah jalan menuju suatu tempat dan berakhir tersesat di Tindihmayit.

"Tapi benar kan pak ini desa Tindihmayit? Jalannya cuma bisa lewat sini kan?" tutur seorang lelaki yang nampaknya adalah sopir mobil paling depan.

"Betul pak, cuma ini bapak pasti salah alamat. Udah coba bapak hubungi dulu yang punya hajat. Ini pasti salah alamatnya. Kalau pun salah, di Tindihmayit pun tidak ada yang sedang mengadakan acara pak. Mungkin saja di Cendipuro, desa sebelum bapak masuk sini." seorang warga menjelaskan dengan sedikit meninggikan nada bicaranya.

"Tapi betul kok, alamatnya ini. Orangnya saja bilang kalo jangan sampai salah pokoknya di desa Sembrani. Nih coba bapak baca catatan alamatnya, desa Sembrani setelah Tindihmayit." pria setengah baya itu tetap bersikukuh.

Kami semua menjadi saling menatap dalam kebingungan. Apakah benar ada seseorang di hutan Sembrani yang mengadakan acara dan mengundang rombongan wayang ini kesana? Tapi semua orang disini tahu, kalau desa Sembrani sudah lama tidak ada. Dan lagi, satu-satunya tempat berpenghuni yang ada di hutan Sembrani adalah pabrik itu.

Pabrik tekstil tua yang masih beroperasi di ujung jalan desa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!