NovelToon NovelToon

Code Name

Apa Yang Terjadi Padamu?

Dari dalam menara jam, samar-samar terdengar suara dobrakkan sebuah benda tanpa henti. Tampak sebuah peti bergoyang-goyang seperti ada sesuatu yang sengaja menggerakkannya. Tiba-tiba suara itu terhenti untuk sesaat, kemudian dobrakkan keras terjadi dari dalam peti tersebut dan membuat penutup peti itu terlempar ke lantai.

Sebuah tangan yang tampak gemetar berusaha meraih ujung peti tumpul sebagai pegangan. Seorang laki-laki tampak terbangun dari dalam peti itu. Dengan kebingungan ia melihat ke sekitar, sesekali ia memegangi kepalanya.

Dengan tertatih-tatih ia berusaha berjalan menjauh dari peti yang mengurungnya. Baru beberapa langkah, ia terjatuh ke lantai dan dengan susah payah berusaha untuk kembali berdiri. Dengan langkah yang pelan, ia mencoba meraih jendela yang ada di depannya.

Cuaca yang tidak bersahabat membuat langit terlihat gelap. Sesekali petir menyambar memperlihatkan kilat terang mengisi kehampaan langit malam. Pria itu membuka jendela dan merasakan dinginnya air hujan yang mulai menyentuh kulitnya.

Dengan tubuh yang masih lemas, pria itu memandangi kota yang sepi. Kakinya gemetar menopang berat badannya sendiri, hingga ia tergelincir dari loteng menara jam itu dan tubuhnya meluncur bebas ke bawah. Bersusah payah ia mencoba meraih dinding menara jam yang ada di sampingnya, tetapi sia-sia.

Tubuh pria itu menimpa sebuah atap tenda dan terpantul ketumpukan sampah yang telah terbungkus oleh kantung plastik. Seketika ia pingsan karena kejadian itu dan tubuhnya tetap berada dalam kedinginan.

***

“Siapa dia?” tanya seorang wanita yang menyebabkan kerumunan di sekitar pria yang jatuh tadi malam.

Cahaya matahari yang panas membuatnya terbangun dari pingsan. Saat matanya terbuka, terlihat warga telah berkerumun di sekitarnya. Pria itu kebingungan dengan apa yang terjadi, begitu pun dengan perkumpulan warga tersebut.

“Mungkin dia dari khasta rendah yang dibuang pemiliknya.” Seorang warga mulai mencibir.

“Kalau dia bud*k, kenapa dia bisa ada di sini? Seharusnya tempatnya bukan di sini, ini area prajurit,” sahut seorang wanita.

“Bisa jadi dia bud*k yang dibuang pemiliknya dan pingsan di sini.” Seseorang menimpali.

“Sudah-sudah, sebaiknya usir dia. Aku sudah mual melihat bud*k ini.”

Sesaat kemudian, pria yang masih terduduk tanpa mengetahui masalah yang terjadi, mulai dilempari dengan buah busuk dan sisa makanan dari warga yang ada di sekitarnya. Ia hanya diam saja karena bingung apa kesalahan yang ia buat sehingga membuat warga marah.

Ketika buah busuk dan makanan sisa terganti oleh batu, pria itu mulai bangun, lalu berlari menjauh dari kerumunan warga tersebut. Tanpa sadar ia menabrak salah satu warga yang tengah berbelanja buah di sebuah kedai.

“Aduh! Gunakan matamu!” teriak wanita itu.

Pria itu tetap berlari dengan sempoyongan menjauhi kerumunan. Sekali lagi ia menabrak sebuah gerobak yang berisi jerami di dalamnya. Ia jatuh tersungkur, tetapi segera bangkit dan kembali berlari.

Setelah cukup lama berputar-putar di kota, pria itu duduk dan beristirahat di belakang sebuah kedai roti. Aroma harum dari roti yang dipanggang semerbak memenuhi udara di sekitar daerah tersebut.

“Perutku ... terasa sakit.” Pria itu memegangi perutnya.

Ia mulai merangkak dan mendekati si penjual roti yang sedang memanggang makanan tersebut. Laki-laki itu terus saja memandangi roti yang tengah berada di dalam oven panas yang terbuat dari tanah liat dan tanpa ia sadari, si penjual roti itu melihatnya.

“Siapa kamu? Pakaianmu lusuh sekali, jangan-jangan kamu bud*k, ya? Jangan duduk di dekat tokoku, kamu bisa membuat pelangganku enggan datang kemari.” Penjual roti itu kesal.

Pria itu tetap memandangi roti yang tengah dipanggang berubah menjadi kuning kecokelatan. Dia tidak memedulikan apa yang sedang dikatakan oleh penjual roti itu. Tentu saja hal itu membuat penjual roti tersebut semakin kesal.

“Ambil ini, dan pergilah dari sini!” teriak penjual roti sembari melemparkan roti ke arah tubuh pria itu.

 Pria yang berpakaian lusuh ini mendekap rotinya dengan erat dan segera pergi menjauh meninggalkan toko roti tersebut. Ia segera meninggalkan keramaian lalu duduk di belakang sebuah bangunan.

Ia memakan roti itu agar dapat menghentikan rasa lapar yang dirasakan perutnya. Sesaat kemudian ia menyadari ada seekor kucing yang memperhatikannya. Kucing itu terlihat kelaparan, sama seperti apa yang dialami pria tersebut.

“Apa kamu menginginkan ini? Aku punya sedikit benda enak ini untukmu, kamu mau?” Pria itu memotong rotinya dan memberi makan kucing yang kelaparan di dekatnya.

Burung-burung berdatangan melihat roti yang ada di tangan pria yang tampak kotor. “Apa kalian menginginkan benda ini juga? Aku hanya punya sedikit, mari kita berbagi.”

Pria itu tampak tersenyum melihat hewan-hewan yang sedang makan di dekatnya. Setelah roti di tangannya habis, ia berdiri dan mengucapkan selamat tinggal pada hewan-hewan yang telah menemaninya.

Ia berjalan di tengah keramaian, di mana orang-orang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Awalnya keadaan baik-baik saja, sampai salah seorang warga berteriak ke warga lainnya.

“Kenapa ada bud*k di sini? Dia datang dari mana? Di mana penjaga gerbang? Aku muak melihat bud*k ini!” teriak seorang warga.

Seketika seluruh warga yang berada di tempat itu mencari keberadaan pria yang mereka anggap bud*k tersebut. Setelah terlihat seorang laki-laki dengan pakaian lusuh dan kotor, mereka pun menjauhinya.

“Panggil penjaga gerbang! Aku tidak ingin bud*k ini menularkan penyakit!” cetus seorang wanita dari kejauhan.

Sontak warga melempari pria itu dengan batu dan membuat kepalanya mengeluarkan dar*h. Ia berusaha berlari menjauhi kerumunan tersebut, tetapi seorang penjaga gerbang telah ada di hadapannya.

“Aku mendengar ada keramaian dari kejauhan, dan setelah aku datang kemari ternyata ada bud*k yang tidak mengikuti aturan rupanya.” Penjaga itu melihat dengan sinis ke arah pria lusuh yang tengah terduduk di tanah.

“Apa kamu tidak tahu konsekuensi tidak mengikuti aturan? “ lanjut penjaga gerbang itu.

“Hukum saja dia, aku muak melihat bud*k berkeliaran dimana-mana!” Seorang warga memanaskan suasana.

“Tolong tenang! Biarkan aku yang mengurus bud*k ini.” Penjaga itu berusaha menenangkan suasana yang panas di tempat tersebut.

“Jadi, kalau kamu belum tahu apa hukuman bagi bud*k sepertimu, maka akan aku beri tahu. Aturan di sini, jika bud*k memasuki area lain maka akan di hukum cambuk.” Penjaga gerbang itu mengangkat cambuk yang ia pegang.

Tanpa aba-aba penjaga gerbang itu mulai mengayunkan cambuknya ke tubuh pria yang dianggap bud*k tersebut, tanpa mengetahui permasalahan yang terjadi. Bertubi-tubi cambuk menghantam tubuhnya dan membuat bajunya robek karena kerasnya pukulan cambuk dari penjaga gerbang.

Warga yang melihat kejadian itu bersorak kegirangan seperti melihat hiburan gratis. Sikap mereka seperti iblis yang tidak memiliki perasaan pada sesama manusia. Percikan darah pun tidak membuat mereka takut, tetapi meningkatkan sorakan dan kebahagiaan mereka yang menyaksikan.

Setelah pria itu terkapar di tanah, penjaga gerbang menyeret dan membawanya  menuju gerbang yang menjadi perbatasan sebuah area. Sesaat kemudian penjaga itu melemparnya keluar dari gerbang.

Dengan tubuh yang babak belur ia berusaha merangkak menuju tempat sepi agar tidak ada satu pun orang melihat dirinya. Tangan dan kaki yang lemas membawanya ke belakang rumah yang terlihat kosong. Ia beristirahat sejenak sembari memegangi lukanya.

Seorang wanita berambut pendek datang ke rumah itu dan melihat tetesan darah yang mengarahkannya ke belakang rumah. Betapa terkejut ia setelah melihat seorang pria babak belur sedang terbaring di belakang rumahnya.

“Kamu siapa? Apa yang terjadi padamu?”

Tolong Aku!

“Kamu babak-belur sekali! Apa yang terjadi?” Wanita itu perlahan mendekat.

Laki-laki yang telah trauma akibat perlakuan buruk dari warga sebelumnya, membuat ia mundur perlahan menjauhi wanita itu. Tubuh sakit berlumur darah ia seret akibat rasa takut akan orang asing telah merasuk ke dalam jiwanya.

“Jangan khawatir, aku tidak akan menyakitimu.” Wanita itu berusaha meyakinkan.

Langkah kaki wanita berambut pendek itu semakin mendekat, membuat pria yang tengah berbaring di tanah mundur dengan susah payah. Tangan sang wanita mulai mendekati si pria, tampak dengan jelas ketakutan terpancar dari wajah pria itu.

Tangan yang halus perlahan mengusap kepala pria itu dengan lembut dan tindakan tersebut membuatnya terkejut. “Tidak apa-apa, aku hanya ingin menolongmu. Jangan takut, ya.”

Sekejap kemudian, mata pria itu tampak menutup dan tubuhnya melemas. Ia jatuh pingsan terkapar di tanah. Tentu saja wanita tersebut panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia kemudian berusaha menggendong pria yang baru saja ia temui.

“Aku harus membawanya masuk ke rumah. Nyawanya bisa saja dalam bahaya.” Wanita itu berusaha keras mengangkat tubuh sang pria.

Wanita itu tertatih-tatih menopang tubuh pria yang tidak ringan, beberapa kali ia hampir terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Namun, kelemahannya tertutup dengan niat untuk menolong orang lain.

Wanita itu membuka pintu dengan hati-hati agar tidak menjatuhkan orang yang tengah ia gendong. Ketika mereka telah masuk ke rumah, wanita itu membaringkan si pria di atas tempat tidurnya.

“Tubuhnya dipenuhi luka, aku tidak tega melihatnya,” tutur wanita itu.

Dengan sigap wanita yang baru saja pulang dari bekerja itu mengambil kotak obat, air hangat dan handuk untuk membantu pria malang tersebut. Setelah ia berada di depan si pria, wanita itu berhenti sejenak lalu wajahnya mulai terlihat merah merona.

“Tunggu dulu, dia ... aaa ... tidak, tidak, tidak, ini sangat memalukan. Aku harus bagaimana, di sekitar sini tidak ada laki-laki yang bisa aku mintai pertolongan, mereka bekerja. Sedangkan pria ini sudah mulai sekarat.” Wanita itu panik.

Wanita itu berlari ke depan rumahnya dan melirik ke sekelilingnya, sesekali ia juga berteriak-teriak berharap ada seseorang yang mendengar, tetapi sayang sekali area pekerja akan sepi ketika jam kerja.

Wanita itu kembali masuk ke dalam rumah. “Bagaimana ini, tidak mungkin aku mengganti bajunya!”

Wanita yang tampak panik ini berpikir untuk sesaat, kemudian ia membulatkan tekadnya membantu pria sekarat yang tengah terbaring di tempat tidurnya. Ia melepas semua pakaian pria itu dan mulai membersihkannya menggunakan air hangat dan handuk.

“Maafkan aku, maafkan aku, aku terpaksa melakukan ini. Aku tidak melihatnya, aku tidak melihat tubuhnya!” Wanita tersebut berkata tidak sesuai kenyataan.

Memang ini kali pertama wanita itu melihat tubuh pria secara langsung dan hal tersebut membuatnya gugup. Wajahnya merah merona, terlihat pula wanita itu sedikit malu-malu membersihkan tubuh pria di hadapannya.

“Kenapa ia memiliki tanda empat bintang di kening kirinya dan satu bintang di dadanya?” Wanita itu memegangi tanda bintang yang ada di dada si pria.

Sesaat ia memikirkan tentang alasan adanya tanda bintang pada tubuh pria tersebut, tetapi setelahnya, ia langsung mengambil kotak obat dan mengobati luka pria itu. Secepat kilat ia mengambil selimut dan menutup tubuh yang sedang terbaring di ranjang.

“Aku sudah mengobatinya, tapi apa dia akan baik-baik saja, ya? Detak jantungnya masih terdengar, dia juga masih bernafas, mungkin sebaiknya aku membiarkan dia beristirahat terlebih dahulu. Aku akan membuatkannya baju baru ... hee ... kalau begitu aku harus mengukur tubuhnya!” Wajah wanita itu kembali memerah.

Dengan kecepatan penuh, si wanita mengukur badan laki-laki itu. Setelah mengukurnya, ia duduk di depan mesin jahit miliknya sendiri dan mulai memainkan kemampuan menjahitnya untuk membuat baju.

Waktu terus berlalu, suara mesin jahit menghiasi ruangan. Burung-burung kecil di luar rumah sedang bernyanyi menikmati indahnya siang hari. Area itu tampak sepi, hanya terlihat hewan-hewan saja yang berkeliaran.

Pria dengan perban di sekujur tubuhnya ini mulai membuka mata. Rasa sakit serta nyeri berkumpul menjadi satu sehingga membuat tubuhnya terasa sakit saat digerakkan, ia juga sedikit kebingungan akibat tidak tahu keberadaannya dan apa yang terjadi padanya setelah pingsan.

“Kamu sudah sadar? Kamu sedang di rumahku, jadi jangan takut, ya.” Wanita itu tersenyum manis.

“Jadi, kamu menolongku. Terima kasih sudah berbaik hati padaku.” Pria itu berusaha bangun.

“Jangan bangun dulu. Aku tahu, mungkin kamu sudah lebih baik, tapi sebaiknya kamu jangan berdiri atau melepas selimut itu.” Wajah wanita itu mulai merah kembali.

“Apa yang terjadi pada wajahmu?” tanya pria itu.

“Bu ... bukan ha ... hal yang penting. Aku sedang membuatkanmu baju baru, jadi bersabar sebentar, ya. Ngomong-ngomong, namaku Shin, siapa namamu, dan apa khastamu?” Walaupun sedikit malu, tapi Shin berusaha santai.

“Namaku R, maaf tapi aku tidak tahu apa itu khasta.” R nampak kebingungan.

Shin beranggapan kalau R adalah turis yang tersesat. Shin juga meminta penjelasan mengenai identitasnya, tetapi R tidak mengingat apa pun tentang dirinya sendiri. Wanita itu sedikit kecewa, karena banyak hal yang ingin ia ketahui.

Atas pertanyaan R mengenai khasta, Shin berusaha menjelaskan sistem tersebut walaupun ia terlihat sedih. Dengan memelankan suara, ia memulai penjelasan dari nama negara yang mereka tinggali saat ini, yaitu RSC, negara ini menjunjung tinggi perbedaan khasta.

Khasta yang paling rendah adalah bud*k. Golongan ini hanya menjadi manusia yang di perjual belikan, tidak dihargai, diperlakukan kasar, dan dianggap sebagai sumber penyakit. Area tempat tinggal untuk mereka singgahi adalah area pembuangan sampah.

Khasta selanjutnya adalah pekerja, Shin menjelaskan bahwa ia termasuk ke dalam khasta ini. Khasta pekerja menjadi khasta paling bebas karena bisa mengakses semua area tergantung pekerjaan apa yang sedang mereka lakukan. Namun, khasta ini sering di perlakukan semena-mena terhadap khasta di atasnya.

Lalu ada khasta prajurit yang bertugas menjadi penjaga keamanan dan menjadi tentara perang milik negara. Khasta ini mewajibkan laki-laki untuk menjadi prajurit dengan mengabdi seumur hidup untuk negara.

Khasta yang paling tinggi yaitu khasta raja. Khasta ini memiliki penduduk paling sedikit karena di dalam khasta raja hanya di peruntukan untuk keturunan pemerintah yang memiliki darah murni.

Shin juga menjelaskan bahwa ada aturan wajib yang harus dipatuhi di negara ini. Pertama, khasta rendah dilarang masuk ke area khasta yang lebih tinggi maupun sebaliknya, khasta tinggi dilarang masuk ke area khasta rendah, terkecuali tentara perang dan pekerja yang sedang bertugas. Jika larangan ini dilanggar, maka akan dihukum cambuk.

Aturan kedua, warga dilarang menyukai lawan jenis yang berbeda khasta karena negara ini tidak ingin darah murni tercampur oleh darah khasta yang lebih rendah. Hukuman ketika dilanggar ialah diusir dari negara.

Aturan terakhir, khasta tinggi bisa melakukan apa pun terhadap khasta yang lebih rendah. Jika khasta rendah menolak permintaan dari khasta yang lebih tinggi, maka mereka akan menerima hukuman ma*i.

“Aku sebenarnya tidak ingin tinggal di negara seperti ini. Terlalu menyakitkan buatku, melihat orang lain disiksa hanya karena kehendak khasta yang lebih tinggi.” Shin tampak sedih.

“Aku mengerti perasaanmu, Shin. Mereka memang semena-mena.” R berusaha bangun dan menghampiri wanita murung di depannya untuk membuat ia tenang.

“Jangan lakukan itu, R!”

Pergi.

Satu hari telah berlalu semenjak pertemuan R dan Shin. Sekarang, R sudah lebih baik dan lukanya mengering diiringi sinar matahari yang masuk menembus jendela kamar Shin. Kecepatan penyembuhan R terlihat melebihi manusia biasa, tapi hal itu tidak disadari oleh wanita berambut pendek tersebut.

“Selamat pagi! Apa lukamu masih sakit?” Suara halus dengan bibir tersenyum membuat R berusaha duduk dari tempat ia tidur. “Kamu bisa tidur lebih lama jika kamu mau.” Shin kembali melanjutkan jahitannya.

Setelah wanita ramping tersebut berbalik badan, R berusaha membuka selimut di tubuhnya dan menghampiri Shin yang sibuk menjahit baju. Suara bising dari mesin jahit menyamarkan langkah kaki. Tanpa disadari oleh gadis manis itu, R telah berada di sampingnya memperhatikan pakaian berwarna hijau tua.

“Benda apa itu, Shin?” tanya R.

Mendengar R mengajaknya berbicara, Shin berusaha melihat ke arah suara berat tersebut. Betapa terkejutnya Shin melihat R tanpa sehelai benang pun sedang berdiri di sampingnya. Shin terjatuh dari tempat ia duduk dengan wajah yang memerah.

“Apa kamu tidak malu berjalan seperti itu di depan wanita?” Shin berusaha berdiri dan sesegera mungkin mengambil selimut di ranjangnya.

“Memangnya apa yang salah dari cara berjalanku? Lalu, apa itu malu?” R kembali membalikkan badannya untuk menghadap ke arah lawan bicara.

Dengan keadaan canggung, Shin menepuk jidat seolah tidak percaya dengan apa yang ditanyakan laki-laki itu. Sesekali wanita cantik ini melirik ke arah wajah R yang polos dan tidak mengerti apa-apa, membuat Shin menghela nafasnya.

“Bukan cara berjalanmu yang salah!” teriak Shin sembari memakaikan R selimut tanpa mengintip tubuh penuh perban itu.

Wanita ini sangat bingung dengan tingkah laku laki-laki di depannya sekarang. Bagaimana dia bisa santai saja, padahal Shin sangat gugup ada di dekatnya. Tanpa berpikir panjang, Shin melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti untuk beberapa saat.

“Shin, jelaskan padaku. Apa itu malu?” tanya R.

“Aku juga sedikit bingung, apa sebenarnya malu itu, tapi kalau kamu memperlihatkan tubuhmu ke wanita, seharusnya kamu malu,” tutur Shin secara halus.

Sembari memegangi selimut di badannya, R tampak berpikir kembali. Ia berusaha mencerna kata-kata dari wanita yang sibuk dengan pekerjaannya sendiri tanpa memedulikannya. R memanggang pundak Shin secara perlahan.

“Wanita, apa itu?” Sekali lagi R bertanya hal aneh pada Shin.

“Apakah kamu sedang bermain-main? Aku adalah seorang wanita dan kamu adalah pria,” jelas Shin.

“Maafkan aku, tapi aku benar-benar tidak mengetahui hal itu. Lalu, apa perbedaan wanita dan pria? Apa kamu tahu Shin?” R kembali menanyakan hal aneh kepada Shin.

Shin sangat bingung dengan R, bagaimana bisa ia tidak mengetahui hal-hal yang sudah diketahui oleh semua orang. Wanita ini awalnya mengira R merupakan seorang turis, tapi melihat tingkahnya dengan pertanyaan aneh itu, membuat Shin berpikir kembali bahwa R bukanlah turis.

Sebelum menjawab pertanyaan dari R, Shin menanyakan tentang bagaimana ia bisa sampai ke rumahnya dengan keadaan babak-belur, karena kemarin ia tidak sempat menanyakan hal itu. R menjelaskan semua hal yang terjadi padanya.

Shin semakin bingung dengan penjelasan R, bagaimana manusia bisa terlahir dari sebuah kotak. Sekali lagi gadis ini mendekatkan telinganya ke arah dada R dengan tujuan mendengar detak jantungnya. Memang, detak jantung R sedikit lemah, tapi hal itu membuktikan bahwa R bukanlah may*t hidup seperti yang dipikirkan.

Shin tersenyum. “Bagaimana jika kita makan dulu, soal pertanyaanmu tadi, sepertinya kamu harus menunggu sedikit lebih lama. Nanti akan aku panggilkan temanku. Kamu bisa bertanya padanya semua hal yang ingin kamu ketahui.”

Walaupun R terlihat bingung, tapi dia mengangguk dengan tawaran Shin. R mulai duduk di depan meja yang telah disiapkan, sedangkan Shin mulai sibuk menyiapkan makanan dan meletakkannya di atas meja.

Setelah semua siap, Shin mempersilahkan R untuk makan. “Maafkan aku, R. Aku hanya memiliki roti saja, karena pekerjaan ini tidak banyak memberiku uang.”

“Aku pernah memakan benda ini sebelumnya. Benda ini enak dan aku menyukainya.” R mulai melahap roti yang ada di depannya.

R sangat menikmati roti di tangannya. Hal itu membuat Shin terlihat bahagia karena suguhannya dinikmati dengan sepenuh hati. Suasana sarapan itu ditemani udara segar yang menerobos masuk melalui ventilasi hingga membuat kedua orang tersebut merasa nyaman.

Setelah menghabiskan roti di tangannya, R melirik ke sebuah gelas berisi cairan berwarna putih bersih. Laki-laki ini menunjukkan raut wajah penasaran. Tanpa R sadari, Shin juga ikut memperhatikan tingkah lakunya.

“Itu adalah susu, aromanya tidak menyengat dan rasanya sedikit asin. Bagaimana jika kau mencobanya saja?” Shin mengambil gelas itu dan mengulurkannya kepada R.

Walaupun R terlihat tidak menyukai tawaran Shin, ia memutuskan untuk mengambil susu dari tangan wanita itu. Aroma lembut terasa memenuhi udara di sekitar hidung R. Menyadari bahwa Shin tidak berbohong, tanpa ragu R meneguk susu tersebut.

Setelah cairan itu masuk ke tenggorokan, R tersenyum kepada Shin dengan bekas susu di bibirnya. “Benda ini enak sekali. Jadi, ini yang dinamakan susu?” R meletakkan gelas kosong di atas meja. “Aku menyukainya.”

Shin mengambil sapu tangan di sebelahnya, kemudian ia mengelap bibir R yang kotor terkena susu sembari membalas senyuman pria itu dengan tawa ringannya. “Benarkan. Susu itu sangat enak.”

Mereka berdua saling pandang untuk beberapa saat. Pupil mata R yang berwarna cokelat gelap dengan dagu sedikit oval membuat Shin tidak henti memperhatikan lekukan wajah laki-laki itu. Melalui tangannya, Shin juga merasakan bibir tipis R sehingga wajah Shin terlihat merah merona.

Sesegera mungkin, Shin menarik tangannya. “Se-sebaiknya, kita selesaikan makanan kita.”

Waktu berlalu, mereka telah menghabiskan makanan di atas piring. Dengan sigap, Shin membereskan peralatan makan yang mereka gunakan. Terlihat jelas, wanita ini sudah terbiasa melakukan semua hal sendiri.

“Shin, bolehkah aku bertanya sesuatu?” R beranjak dari tempatnya duduk.

Shin yang sibuk mencuci piring, dengan sabun memenuhi tangannya berusaha memperhatikan laki-laki itu. “Tanyakan saja, memangnya ada apa?”

“Saat aku bangun tadi, apa yang sedang kamu kerjakan?” tanya R.

“Aku sedang menjahit, itu adalah pekerjaanku. Membuat dan memperbaiki pakaian merupakan hal yang menyenangkan bagiku.” Shin kembali meneruskan pekerjaannya.

Sekali lagi R merasa bingung dengan perkataan Shin. Banyak hal yang tidak dimengerti oleh laki-laki ini. Seolah ingatan mengenai dunia yang ia pijak sekarang tidak terekam dalam memori otaknya.

Tangan R berusaha menjangkau tubuh Shin yang sibuk melakukan aktivitas. “Shin.”

Sementara itu, wanita yang dikejar waktu ini terus saja berpindah-pindah tempat untuk membereskan rumah. Sesaat setelahnya, ia langsung menyandang keranjang berisi pakaian hasil jahitan.

“R, kamu di dalam rumah saja, ya. Aku akan pergi untuk mengantarkan pakaian ini, mungkin memakan waktu yang cukup lama, tapi aku akan berusaha untuk cepat kembali.” Shin menutup pintu dengan senyum di bibirnya.

Sesaat setelah pintu tertutup, R berlari dan berusaha membuka pintu yang Shin kunci dari luar. Wajah R terlihat cemas, matanya melirik ke setiap sudut ruang. Kesepian akhirnya menghampiri laki-laki dengan kenangan kosong di kepalanya.

“Shin, Tunggu.” Suara pelan terdengar keluar dari mulut R.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!