"Jaga anak kita baik-baik. Aku tidak ingin sampai dia terluka." Wanita itu menyodorkan bayi mungil dalam gendongannya. Beralih pada pangkuan suaminya.
"Apa yang kau katakan? Kau berkata seolah-olah kau tidak akan pernah kembali. Jangan pernah berkata seperti itu, jangan pernah tinggalkan aku dan anak kita. Kau harus terus bersamaku, selamanya…" Pria itu mengulurkan tangannya. Mengusap pipi mulus wanita cantik yang menjadi istrinya itu.
Angin berhembus lewat pintu beranda kamar mereka yang terbuka. Meniup helaian rambutnya yang tidak tertata dengan sempurna.
Cahaya bulan purnama begitu bersinar, bahkan cahayanya mampu membuat kamar mereka yang hanya disinari cahaya lilin itu lebih terang.
Wanita itu terdiam. Ia memejamkan kedua matanya sambil menggenggam tangan lelaki itu.
Setidaknya, berikan dia waktu untuk merasakan sentuhan suaminya walau hanya untuk sesaat. Karena setelah ini, dia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.
"Sea, aku mencintaimu…"
Wanita yang dipanggilnya lirih itu, membuka kedua matanya.
Iris permata nya tampak bersinar saat secara tidak sengaja memantulkan cahaya bulan purnama.
Mereka beradu tatap untuk waktu yang cukup lama. Begitu intens, dan begitu dalam. Namun di saat yang bersamaan saling memberikan keteduhan satu sama lain.
"Aku juga mencintaimu… Shawn."
Sea menjauhkan tangan Shawn darinya. Ia beringsut mundur dari hadapan Shawn.
"Aku harus pergi sekarang…"
"Jangan pergi! Aku mohon tetaplah bersamaku!" Shawn menggenggam tangannya erat, mencoba menahan dirinya agar tidak pergi.
"Aku tidak bisa. Aku benar-benar harus pergi." Sea melepaskan diri dari Shawn.
"Tapi Sea…"
"Aku benar-benar minta maaf." Sea sedikit mendorong tubuh Shawn, dan berlari menuju arah beranda. Menutup pintunya cepat sebelum Shawn berhasil mengejarnya.
Wanita itu menguncinya dari luar.
"Sea!" Shawn menggedor-gedor pintu kaca yang menjadi penghalang di antara mereka.
"Maafkan aku…" lirih Sea yang lantas berlalu meninggalkan suaminya yang terkurung dalam kamar mereka.
"Sea! Sea!" Pria itu terus berteriak menyerukan namanya.
Pats!
Wanita itu membuka kedua matanya spontan. Ia refleks bangun posisi berbaringnya.
"Hosh… hosh…" Ia berusaha mengatur napasnya yang tidak beraturan dan degup jantungnya yang berdetak hebat.
Keringat dingin mengucur membasahi sekujur tubuhnya. Untuk sesaat, ia berusaha mencerna setiap kejadian yang baru saja dia alami sambil mengembalikan seluruh kesadarannya yang masih tersisa di alam bawah sadarnya.
"Ternyata hanya mimpi…" lirihnya setelah kesadarannya benar-benar pulih seratus persen.
Entah kenapa akhir-akhir ini dia lebih sering bermimpi daripada sebelumnya ketika dia masih tinggal di desa.
"Kenapa semenjak aku bekerja di sini aku jadi lebih sering bermimpi?"
"Selain itu, mimpi yang aku alami selalu saja tentang sepasang suami-istri yang terlihat seperti bangsawan."
"Mimpi ini sungguh aneh. Setiap kali aku berusaha mengingat wajah mereka dengan jelas, aku tidak bisa ingat apa-apa. Apalagi… bangsawan wanitanya. Aku tidak bisa ingat sama sekali bagaimana wajahnya "
"Kenapa mereka berdua selalu saja muncul dalam mimpiku?"
"Apa alasan yang membuatku terus memimpikan tentang mereka?"
"Ini benar-benar membuatku bingung. Padahal sebelum aku bekerja di sini, aku tidak pernah bermimpi seperti ini sama sekali…"
Nanny kembali terdiam dalam lamunannya.
Perhatiannya lantas beralih saat ia melihat cahaya bulan yang menembus masuk lewat celah di jendelanya. Ia menghampiri jendela dan membukanya.
"Bulan…"
...***...
"Terima kasih atas tumpangannya," tutur Nanny seraya tersenyum simpul pada lelaki yang dengan baik hati mau menjemputnya dan mengantarkan dia hingga tiba di kediaman Duke Kashawn.
"Tidak masalah, saya hanya menjalankan tugas yang diberikan Zelda. Beliau yang meminta saya secara langsung untuk mengantarkan anda serta memastikan anda tiba dengan aman hingga di kediaman Duke Kashawn," sahut pria yang tak lain adalah orang yang mengantarkannya dengan kereta kuda.
Pria itu membantu Nanny mengeluarkan semua barangnya dari kereta.
"Aku jadi merasa tidak enak dengan dia, Zelda sudah terlalu banyak membantuku." Nanny tersenyum tipis sambil menempatkan semua barangnya dengan benar.
"Omong-omong kalau saya boleh tahu, apa hubungan anda dengan Zelda?"
"Aku sepupu jauhnya. Kami tinggal terpisah sudah cukup lama. Semenjak dia menjadi pengasuh keluarga Duke Kashawn, kami jadi sangat jarang bertemu."
"Begitu rupanya. Pantas saja saya baru melihat anda."
"Haha, ya begitulah… sejak dulu aku memang terbiasa tinggal di desa dan tidak pernah pergi keluar kota. Bahkan ini adalah pertama kalinya aku pergi keluar kota. Mungkin itu alasan kenapa Zelda memintamu untuk mengantarkanku." Nanny menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ah, saya mengerti sekarang. Lalu, kenapa Zelda meminta anda untuk kemari? Bukankah Zelda sendiri mengambil cuti dan pulang ke kampung halamannya untuk merawat neneknya yang sakit? Apakah kalian tidak tinggal di desa yang sama?"
"Seperti yang aku katakan, kami saudara jauh. Jadi desa kami terpisah dan mengenai neneknya, memang benar beliau sedang sakit keras. Tadinya aku ingin membantu merawat beliau. Tapi nenek menolak dan hanya ingin Zelda yang merawatnya. Jadi mau tidak mau, aku dan Zelda harus bertukar tempat untuk sementara waktu."
"Oh, jadi anda kemari untuk menggantikan Zelda?"
"Kurang lebih begitu."
"Kalau begitu semoga anda betah tinggal di kediaman tuan Duke."
"Terima kasih. Aku harap juga bisa bertahan hingga Zelda kembali. Omong-omong sekali lagi terima kasih atas tumpangannya."
"Bukan masalah. Kalau begitu saya permisi."
"Ya. Sampai jumpa lagi." Nanny melambaikan tangannya pada pria baik hati itu.
Lelaki yang mengantarkan Nanny lantas beranjak meninggalkannya seorang diri di gerbang belakang dimana Zelda memintanya untuk datang lewat pintu belakang.
Nanny terdiam dengan beberapa koper berisi pakaian miliknya di sisi kiri dan kanan. Ia berdiri di depan gerbang megah dihadapannya.
"Woah… jadi ini adalah kediaman Duke Kashawn? Megah sekali…" gumam Nanny.
Wanita itu mendongak, menatap bangunan megah dihadapannya dengan terpesona.
"Aku ingin tahu bagaimana bagian dalamnya."
"Pasti bagian dalamnya lebih megah dari yang terlihat di luar."
Nanny mengintip lewat gerbang besi yang dilihatnya. Benar-benar rumah yang megah dan besar.
"Aku sudah tidak sabar untuk melihat ke dalam," gumam Nanny yang kemudian membunyikan bel rumah bagian belakangnya.
Tidak lama menunggu, seorang wanita berpakaian maid classical menghampiri dirinya.
"Maaf, apakah anda mencari seseorang?" tanya wanita itu dengan raut wajah bingung.
"Namaku Nanny, aku kemari atas permintaan Zelda."
"Zelda?" Wanita itu mengerutkan kening sejenak sebelum akhirnya berkata, "oh, silahkan masuk. Kepala pelayan sudah menunggu anda sejak tadi."
"Terima kasih." Nanny mengangkat barang-barangnya.
"Biar saya bantu. Sepertinya anda sangat kesulitan."
"Aku bisa sendiri."
"Tidak apa-apa, ayo!" Wanita itu dengan baik hati membantunya membawa semua barang bawaannya.
...***...
"Jadi kau adalah orang yang akan menggantikan Zelda selama dia mengambil cuti?" Wanita tua itu berucap. Menatap Nanny dari atas sampai bawah sambil berjalan mengelilinginya.
Nanny merekahkan senyumannya.
"Ya, saya adalah orang yang diminta Zelda untuk menggantikannya selama dia pergi," katanya dengan penuh semangat.
Wanita bernama Inggrid itu terdiam seketika begitu mendengar jawaban Nanny yang begitu penuh dengan semangat.
Ia mengeluarkan smirk-nya. Menepis wajah garang yang sejak tadi tampak diwajahnya.
Nanny terperangah menatap wanita itu tersenyum. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Inggrid tampak lebih cantik ketika dia tersenyum seperti sekarang. Ya, walaupun usianya sudah tidak lagi muda.
"Siapa namamu, tadi?"
"Nanny. Panggil saya dengan sebuah Nanny. Semua orang di desa memanggil saya begitu."
"Nanny? Seperti seorang pengasuh," gumam Inggrid yang lantas terkekeh mendengar namanya yang terkesan unik. Karena Nanny kalau di artikan adalah pengasuh.
"Itu memang ironis, tapi faktanya nama dan pekerjaanku terdengar sama." Nanny tersenyum kaku.
Inggrid menatap Nanny dengan tatapan lekat.
"Dari cara bicaramu dan cara kau menjawab setiap pertanyaanku sejak tadi, kau sepertinya adalah orang yang sangat penuh semangat. Aku suka dengan orang sepertimu."
"Terima kasih atas pujiannya, nyonya…"
"Panggil aku kepala pelayan."
"B… baik, kepala pelayan."
"Bagus. Kalau kau bisa mulai bekerja hari ini."
"Sungguh?" Nanny tampak antusias mendengarnya.
"Ah, tapi sepertinya akan lebih baik kalau kita mulai dari yang lebih ringan. Kita akan belajar dari dasarnya terlebih dahulu dan akan aku jelaskan apa saja yang harus dan tidak boleh kau lakukan selama berada di rumah ini."
"Baik, kalau begitu mohon bimbingannya."
"Sekarang, Nora akan mengantarkanmu ke paviliun dan menunjukkan kamarmu. Simpan semua barang-barangmu setelah itu kembalilah kemari, dan kita mulai pelajaran pertamanya."
"Saya mengerti kepala pelayan, kalau begitu saya permisi." Nanny beranjak bersama Nora—maid yang tadi menyambutnya di depan gerbang.
Mereka berlalu menuju paviliun yang terletak tidak jauh dari tempat yang tadi dikunjunginya.
...*...
"Ini adalah kamar kosong yang kepala pelayan sudah siapkan untukmu," ujar Nora sambil membuka pintu kamar yang akan ditempati Nanny selanjutnya.
Nanny yang sejak tadi tak berhenti mengagumi seisi paviliun lantas terdiam diambang pintu begitu melihat ruangan yang selanjutnya akan menjadi kamarnya.
Dalam sebuah ruangan berukuran sedang, terdapat sebuah ranjang kecil yang cukup untuk satu orang. Lalu ada laci tak jauh dari ranjang, dan setelahnya lemari yang tidak terlalu besar.
Ruangannya memang terlihat sederhana, tapi kalau dibandingkan dengan kamarnya di desa sangat jauh berbeda.
"Tempatnya memang kecil dan tidak terlalu besar, tapi setidaknya cukup untuk kau tempati sebagai melepas penat setelah seharian bekerja," kata Nora sambil menaruh semua barang-barang Nanny di dekat lemari.
"Tidak. Ini justru sangat bagus, dan kelihatannya sangat nyaman. Bahkan jika dibandingkan dengan kamarku di desa, sangat jauh berbeda." Nanny melangkah masuk ke dalam kamarnya dan duduk di tepi ranjang.
Begitu ia mendaratkan bokongnya di tepi ranjang, Nanny langsung merasa nyaman. Terlebih kasur yang didudukinya saat ini begitu empuk dan nyaman.
"Kasurnya juga sangat empuk," gumamnya.
"Haha, mungkin karena kau baru pertama kali ke kota jadi kedengarannya aneh kau bicara seperti itu." Nora terkekeh pelan menanggapi sikap Nanny.
Wajah Nanny mendadak berubah merah merona.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!