Seruni bersama sang Ayah sedang menikmati sore mereka di ruang keluarga. Membuka lembar demi lembar album foto yang mulai sedikit usang. Tidak ada satu pun foto Seruni kecil bersama sosok perempuan yang mengantarkannya ke dunia. Ibu Seruni meninggal sesaat setelah melahirkan dirinya.
Saat itu Subroto---ayah Seruni, sedang bertugas di sebuah daerah pedalaman pulau kalimantan. Ibu Seruni mengalami pendarahan hebat setelah melahirkan. Lokasi barak yang jauh dari fasilitas kesehatan, membuat proses kelahiran hanya dibantu dukun bayi setempat dengan peralatan tradisional. Nyawa ibu seruni pun akhirnya tidak tertolong.
Ayah Seruni adalah seorang prajurit TNI angkatan laut, karena itu sejak dalam kandungan, Seruni sudah terbiasa berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Waktu sekolah dasar saja, Seruni harus berpindah sekolah sebanyak empat kali. Itulah mengapa Seruni tidak mempunyai sahabat dekat hingga lulus SMU. Baru saat memasuki usia kuliah, Seruni dan ayahnya tidak berpindah-pindah lagi. Subroto memasuki masa pensiun dengan jabatan terakhir sebagai laksamana madya di kesatuannya.
"Yah, kapan ayah mengijinkan Seruni mengabdi ke daerah-daerah?" tanya Seruni pada ayahnya.
"Masak kamu tega ninggalin ayah sama bude Surti dan pakde Susanto saja," jawab Subroto dengan menyebut nama sepasang suami istri yang sudah mengabdi mengurus segala keperluan Seruni sejak lahir. Kemanapun Subroto ditugaskan, Surti dan Susanto selalu ikut serta.
Sebagai abdi negara di kementrian kesehatan, tepatnya sebagai PNS dokter spesialis kandungan. Seruni ingin sekali di tempatkan di suatu daerah yang memang kekurangan tenaga medis, di mana angka kematian ibu dan anak masih cukup tinggi.
Tidak seperti harapannya, Seruni malah ditempatkan di rumah sakit angkatan laut di kota tempat dia tinggal sekarang. Entah itu kebetulan atau memang atas permintaan ayahnya. Meskipun sudah purnawirawan, bisa saja Subroto masih memiliki akses untuk menjadikan Seruni sebagai pegawai titipan.
"Ayah tidak adil! Seruni menjadi dokter kandungan tujuannya kan jelas, Yah! Seruni hanya ingin menolong sebanyak mungkin kelahiran. Agar tidak banyak anak - anak yang bernasib sama dengan Seruni." Seruni terlihat kesal dengan larangan ayahnya.
"Kamu bicarakan dulu sama Satria. Kalau Satria mengijinkan, Ayah nurut!" ucap Subroto akhirnya.
"Bener ya yah, ini Seruni mau ke rumah Mas Satria. Mau nganterin ayam kalasan sama bacem tahu tempe kesukaan ayahnya Mas Satria." Seruni sangat bersemangat.
"Prajurit tidak boleh berbohong Ser. Sana kamu berangkat nanti kemaleman pulangnya. Pelan-pelan nyetirnya. Ayah nggak bisa ikut. Nitip salam saja, nanti habis maghrib ada pengajian di masjid."
Seruni berdiri mengambil tas dan kontak mobilnya, lalu menyambar paper bag coklat berisi dua kotak thinwall di atas meja makan dengan cekatan.
"Kalau Seruni pulangnya kemaleman, ayah makan duluan ya, Yah! sudah Seruni siapkan di meja makan." Seruni mencium punggung tangan Subroto.
Sesaat kemudian mobil Seruni sudah meninggalkan halaman rumahnya. Jarak tempuh rumah Seruni ke rumah Satria hanya sekitar empat puluh lima menit. Rumah Seruni berada di Surabaya timur, sedangkan Satria ada di daerah Surabaya Barat. Tapi waktu dan jarak itu bisa dipangkas jika dilalui dengan menggunakan fasilitas tol dalam kota.
Seruni mengurangi kecepatan mobilnya begitu palang satpam hanya menyisakan jarak beberapa roda lagi. Seruni membuka dompet dan mengeluarkan ktp nya untuk ditinggal di pos security. Sistem pengamanan di perumahan Satria memang sangat ketat. Selain memberlakukan one gate system, setiap tamu yang datang juga diwajibkan meninggalkan kartu identitas di pos keamanan.
"Silahkan mbak Ser, ada acara ya mbak ? Kok banyak tamu di rumah Pak Sanjaya. Tapi tumben ada acara kok beliau tidak minta bantuan keamanan," tanya security bernama Sarno yang memang sudah hafal dengan Seruni.
"Tidak ada acara kok pak, saya cuman pengen sambang saja. Mumpung libur, pak," jawab Seruni dengan ramah.
"Owalah, saya pikir ada acara. Soalnya ada dua mobil juga yang bertamu ke rumah pak Sanjaya," jelas Security bertubuh tambun itu.
"Kan relasinya banyak pak, jadi wajar banget tamu keluar masuk," sahut Seruni sembari kembali menekan pedal gas meninggalkan pos keamanan. Perlahan semakin mendekati rumah Satria.
Seruni memarkirkan mobilnya tepat di samping mobil Harier keluaran terbaru warna putih. Karena pintu utama terbuka, Seruni langsung saja masuk ke dalam. Dua kali Seruni mengucapkan salam tapi tidak ada sahutan dari seorang pun.
Sudah biasa keluar masuk rumah Satria tanpa didampingi tuan rumah, Seruni pun langsung berjalan santai menuju dapur. Kalau pun tuan rumah sedang berada di kamar masing-masing, setidaknya pasti ada asisten rumah tangga yang tetap ada di sana.
Belum sampai tiba di dapur, sayup-sayup indera pendengaran Seruni menangkap pembicaraan yang sepertinya cukup serius dari ruang keluarga. Membuat Seruni melambatkan langkahnya.
"Kita segerakan saja pernikahan mereka. Kita sudah tidak bisa menunggu. Sheila sudah hamil lima minggu. Kalau kita mundur satu bulan lagi pasti nanti akan jadi pertanyaan di masyarakat. Mereka cukup pandai berhitung dan mencari - cari kesalahan orang," ucap salah satu suara perempuan yang tidak dikenal Seruni.
"Kamu bagaimana Sat? bagaimanapun kamu harus menyelesaikan dulu hubunganmu dengan Seruni. Kita harus bicara baik-baik pada Seruni dan ayahnya. Semua karena kesalahanmu. Bagaimana bisa kamu menghamili Sheila? Kamu punya adik perempuan, Sat. Bagaimana kalau adikmu dipermainkan sama tunangannya?" sesal Sinta---Ibunda Satria. Seruni hafal betul suara lembut perempuan itu.
Seruni memajukan langkah lebih dekat lagi, meski tubuhnya sudah mulai bergetar. Dia hanya ingin memastikan dan mendengar lebih banyak kebenaran yang sedang disembunyikan keluarga tunangannya itu.
"Mau tidak mau, terima tidak terima pernikahan memang harus dilakukan. Tidak perlu mewah, tidak perlu resepsi. Pernikahan Satria dan Sheila akan dilangsungkan seminggu lagi. Biar nanti asisten Ayah yang urus semuanya, kamu Satria, urus pembatalan pertunanganmu dengan Seruni baik-baik. Jangan sampai Seruni sakit hati, lalu menyebarkan berita miring di luaran," tegas Sanjaya---ayah dari Satria yang masih aktif menjabat sebagai deputi di salah satu perusahan ternama milik keluarga besarnya.
Seruni dengan sisa-sisa keberanian dan ketegaran yang di miliki, bergerak menampakkan diri. Tidak ada gunanya lagi bersembunyi. Telinganya sudah terlanjur mendengar kenyataan pahit itu dengan cukup jelas. Sekarang, besok atau nanti, rasa sakit itu harus tetap dihadapi.
"Ayah tidak perlu khawatir, Seruni jamin masalah yang baru saja Seruni dengar, tidak akan keluar dari rumah ini. Seruni janji. Maaf, kalau Seruni datang bukan diwaktu yang tepat. Dan maaf sudah mengganggu acara kalian." Seruni membungkukkan badannya sesaat sebagai ungkapan rasa hormat pada orangtua.
Perempuan itu kemudian berjalan menjauhi semua orang yang ada di sana. Dia meninggalkan paper bag yang ditentengnya tadi di atas meja ruang tamu.
Tidak ada yang mengejar Seruni, bahkan Satria pun tidak. Tidak ada basa-basi permintaan maaf atau apapun. Entah terlalu terkejut akan kehadiran Seruni yang tiba-tiba atau memang mereka tidak peduli.
Seruni menginjak pedal gasnya lebih dalam untuk mempercepat laju mobil setelah dia mengambil ktpnya kembali. Saat ini, tidak ada lagi keinginan yang lebih besar, selain ingin cepat sampai di rumah dan menumpahkan apa yang dia rasakan pada sang ayah.
Subroto mengernyitkan dahinya pertanda heran, belum juga dia beranjak dari ruang keluarga. Mobil Seruni sudah terdengar memasuki garasi rumah. Keheranan Subroto semakin bertambah saat melihat Seruni menangis. Seruni langsung berhambur menumpahkan tangisnya di pangkuan Subroto.
"Ada apa Ser? Kenapa anak ayah bisa cengeng dan menangis seperti ini?" tanya Subroto heran sekaligus bingung. Seumur hidup, baru kali ini dia melihat putrinya menangis sepilu ini.
Seruni menegakkan badannya, mengusap bulir bening yang membasahi pipinya. "Mas Satria menghamili perempuan lain, Yah," ucap perempuan tersebut dengan suara bergetar dan isak yang tertahan. Jelas sekali, dia sedang berusaha menegarkan diri di tengah badai.
Subroto langsung berdiri, garis wajahnya mengeras, tangannya mengepal sempurna. Subroto marah dan kecewa pada dirinya sendiri. Seberapa pun kerasnya dia menjaga hati Seruni, pada akhirnya gagal juga. Seruni tetap merasakan sakit dan kecewa karena laki-laki lain yang sudah dipercayainya.
"Menangislah sepuasmu sekarang. Tapi ingat, kehidupanmu masih harus tetap berjalan. Kamu harus kuat Ser, jangan biarkan mereka yang mengkhianatimu merasa apa yang mereka lakukan pantas untukmu. Buktikan! Kamu tidak mudah patah. Jika hatimu yang sakit, biarkan hatimu saja yang tau." Subroto menarik nafas panjang. Meredam sendiri emosinya yang sudah hampir meluap.
"Jangan mengajak matamu turut merasa. Seruni anak ayah. Ingat! Prajurit boleh tertembak dan berdarah-darah, tapi jangan menyeka luka saat musuh masih ada, seret paksa tubuhmu meski luka semakin menganga, jangan biarkan kaki mereka menginjak tubuh kita yang tidak berdaya. Jangan menyerah selama nyawa masih ada di dalam raga. Terus bergerak---menjauh---mencari celah untuk menyembuhkan luka, lalu kembali menyerang mereka demi kemenangan dan kehormatan kita!" lanjut Subroto berapi-api.
Subroto bukan seorang ibu yang bisa tenang penuh kelembutan mengucapkan kata-kata lembut untuk menenangkan hati anaknya. Subroto melakukan yang terbaik versi dirinya sendiri. Sedikit keras bagi orang lain, tapi sudah biasa bagi Seruni.
"Biarkan Seruni mengajukan diri bertugas di daerah, Yah," lirih Seruni. Untuk yang kesekian kali, permintaan itu dilontarkan.
"Ser, jangan membuat keputusan disaat hatimu sendiri tidak tahu sedang merasakan apa. Jangan melakukan sesuatu saat kamu sedang ragu. Ambil waktumu untuk sendiri sejenak. Diam bukan berarti tidak bergerak. Pikirkan dulu dengan matang. Kehidupan di daerah itu tidak mudah. Profesi dokter lebih sulit diterima ketimbang tentara. Mereka lebih percaya dukun dan tabib atau kekuatan alam ketimbang seorang dokter," tutur Subroto.
"Tidak Ayah, Seruni merasa ini yang terbaik. Sudah waktunya Seruni benar-benar mengabdi pada bumi pertiwi. Biarkan Seruni berbakti pada negeri. Seruni juga ingin mempunyai kisah membanggakan yang bisa diceritakan pada anak-anak Seruni nanti. Seruni, ingin seperti ayah. Seruni ingin dekat dengan alam bersama orang-orang yang hanya disibukkan dengan kebutuhan, bukan keinginan," tegas Seruni. Meski suaranya masih bergetar, tidak tampak keraguan sedikit pun dari raut wajahnya.
Subroto tidak langsung menjawab. Pria tersebut memilih untuk berfikir sejenak. Bukan sekali dua kali Seruni meminta ijin padanya untuk mengajukan diri bertugas di daerah. Tapi Subroto masih berat melepas sang putri semata wayang jauh darinya. Hanya Seruni harta berharga dan tak ternilai yang Subroto miliki di dunia. Namun, tidak adil kalau dia terus menerus menahan langkah Seruni untuk mengejar impiannya.
"Baiklah, ayah merestuimu, Ser. Jaga dirimu baik-baik. Lakukan yang terbaik untuk tanah air kita. Jangan menuntut balas atas jasamu, jangan berharap materi. Biarlah semesta yang membalas kebaikanmu. Jangan coba-coba menjual profesimu hanya demi kepentingan sendiri. Setiap nyawa itu berharga. Buat ayah semakin bangga padamu, Nak," ucap Subroto seraya menepuk pundak Seruni. Bukan mengusap rambut seperti layaknya perlakuan ayah ke anak perempuan pada umumnya.
Seruni memeluk ayahnya erat. "Terimakasih ayah, Seruni tidak akan pernah mengecewakan ayah."
Subroto membalas pelukan putri semata wayangnya itu. Tidak ada lagi kata yang terucap dari bibir keduanya. Hening ... mereka seakan bertukar rasa dan pikiran dalam diam. Patah hati ini bukan hanya milik Seruni. Jauh di lubuk hati yang terdalam, hati Subroto berlipat-lipat lebih patah saat melihat air mata anaknya jatuh karena menangisi pengkhianatan seorang laki-laki.
Tarikan nafas Subroto yang berat, menandakan betapa dia menganggap masalah ini tidak sepele. Merasa gagal karena tidak bisa menjaga hati Seruni dengan baik. Di saat-saat seperti sekarang, Subroto merasa apa yang dilakukannya belumlah cukup. Mungkin Seruni membutuhkan seseorang yang lebih lembut, yang bisa membuat Seruni meluapkan dan menumpahkan perasaannya tanpa ragu dan malu-malu.
Laki-laki tua itu sadar, di depannya Seruni selalu berusaha tegar seperti yang selalu dia tunjukkan. Tapi perempuan tetaplah perempuan, kadang butuh tangisan menyayat dan meronta untuk melepas semua beban di dada.
Seruni menenggelamkan kepalanya lebih dalam di dada sang ayah. Detak jantung Subroto stabil dan tetap teratur. Padahal Seruni tahu ayahnya juga sedang tidak baik-baik saja.
Tidak ada orang yang lebih terluka dari seorang ayah yang melihat putri tercinta disakiti. Hanya ini yang Seruni bisa lakukan untuk tidak menambah kesedihan di wajah ayahnya. Berhenti menangis, pura-pura tegar dan mengambil langkah besar untuk hidupnya.
Subroto merenggangkan pelukan mereka, lalu dia menepuk-nepuk lengan Seruni dengan lembut. "Ikhlaskan! Berterimakasihlah karena Tuhan lebih cepat menunjukkan pada kita---Satria bukanlah laki-laki yang baik. Suatu saat nanti, Tuhan pasti akan memberimu jodoh yang jauh lebih baik," hibur Subroto.
Ikhlas bagi Seruni saat ini adalah menerima kenyataan dengan terpaksa. Dan lama kelamaan, yang dipaksa pun akan menjadi terbiasa.
Seruni sedikit memaksakan senyumnya. Menarik nafas dalam dan mengembuskannya perlahan. Mencoba tersenyum, mengingatkan diri bahwa bukan hanya dirinya yang pernah merasakan luka. Bumi masih berputar. Detak jarum jam masih bergerak seperti biasa. Di atas langit sana, bulan juga tetap memantulkan sinar matahari seperti biasa.
Langit siang juga masih biru. Kalaupun sedikit abu-abu, itu karena mendung yang sedang mengganggu. Mau biru, abu-abu ataupun Jingga. Langit tetaplah langit. Perlu sedikit mendongakkan kepala untuk bisa melihat luasnya dengan sempurna. Begitulah cara Seruni akan menilai dirinya. Bukan sombong, pada kenyataannya hanya bayangan yang kita dapatkan jika kita terus menunduk.
"Kamu mau di tempatkan di daerah mana Ser?" tanya Subroto, menuntun Seruni untuk duduk di sofa.
"Seruni pengennya di daerah perbatasan Yah. Pasti menyenangkan berada di daerah sekitar tapal batas. Halaman depan negara kita. Beranda utama sebuah negara, tapi malah kadang sering kali terabaikan pembangunannya. Mereka tidak asing dengan negara lain, tapi malah terasing dari negara sendiri. Seruni ingin tahu, apakah benar rasa cinta tanah air di sana begitu langka." jawab Seruni tanpa ragu.
"Baiklah, ayah hanya bisa mendoakan. Fokus sama pekerjaanmu, jangan ikut campur dengan hal lain yang tidak bisa kamu jangkau. Ada hal yang bagi kita salah dan tidak lumrah, tapi di sana sudah dianggap biasa. Semua karena tuntutan hidup. Kita tidak bisa terlalu keras menyikapinya. Mereka tidak terlalu tahu peraturan negara. Apa itu negara? mereka tidak tahu dan tidak mau tahu. Gunakan selalu hati nuranimu, kedepankan rasa kemanusiaan." tutur Subroto, Seruni menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Terimakasih Yah. Terimakasih atas semua yang ayah berikan pada Seruni. Maaf kalau Seruni mengecewakan ayah, maaf karena Seruni salah memilih jodoh. Maaf membuat ayah sedih. Maaf belum bisa membalas sedikitpun kebahagiaan yang ayah berikan selama ini." ucap Seruni begitu sendu dan tulus.
"Ayah tidak suka kata-kata Maaf Ser, apalagi sebanyak itu. Meminta maaf itu bagus, tapi terlalu sering meminta maaf menunjukkan ketidakmampuanmu menghargai orang lain. Simpan kata maaf itu, biar sikapmu saja yang membuktikan kesungguhanmu!" ucap Subroto, sangat tegas.
Begitulah caranya berbicara dengan Seruni. Tidak heran, meski anak tunggal, sangat sulit menemukan sisi manja dari perempuan itu.
Seruni bergegas berdiri begitu mendengar suara mobil berhenti di depan halaman rumahnya yang tidak berpagar. Tidak lama bel pintu berbunyi, Seruni dan Subroto sama-sama berjalan ke arah pintu utama mereka. Dengan cepat, Seruni membuka benda tersebut sebelum bel kedua berbunyi. Seketika wajah Seruni berubah menjadi sinis.
"Silahkan masuk Pak Sanjaya, masuk Sat!" kata Subroto seraya membuka pintunya lebih lebar. Satu tangan lain menggenggam tangan putrinya, seperti sedang menyalurkan ketenangan dan kekuatan sekaligus.
Seruni langsung ke dapur, membuatkan minuman untuk kedua tamunya. Meski hatinya sedang tidak ingin bermanis-manis dengan Satria, kehadiran pak Sanjaya harus tetap dihargai dan disambut baik seperti biasa.
"Silahkan, Yah," ucap Seruni seraya meletakkan cangkir teh hitam kesukaan mantan calon mertuanya itu di atas meja.
"Pak Subroto, Seruni ... saya kira kalian sudah tahu maksud kedatangan kami kemari. Saya sebagai ayah dari Satria sungguh merasa malu. Saya gagal mendidik anak saya dengan baik. Rasanya kata maaf tidak pantas terucap dari mulut kami. Dengan berat hati saya membatalkan rencana pernikahan Seruni dan Satria akhir tahun ini. Bukan salah Seruni, ini murni kebodohan dari Satria," ucap Sanjaya langsung pada tujuan.
"Saya kurang lebihnya sudah mendengar dari Seruni. Kami sudah ikhlas, tapi bukan bapak yang seharusnya membatalkan rencana pernikahan ini. Pemilihan kata-kata di sini sangat penting. Karena yang mendengarnya bisa mengartikan berbeda. Kalau bapak yang membatalkan, seolah pernikahan tidak terjadi karena keputusan sepihak. Begitupun kalau kami yang membatalkan. Bagaimana kalau kita memakai kata sepakat dibatalkan saja. Biar enak didengar, artinya kita sama-sama sepakat. Tidak ada paksaan dan juga sakit hati di belakang hari. Sakitnya di depan saja," ujar Subroto, begitu tenang berwibawa.
Satria hanya diam. Tatapannya penuh dengan sesal. Satria hanya berani menatap ayahnya, tidak sedikitpun berani beralih pandang pada Subroto atau Seruni.
"Pak Subroto benar. Lebih pantasnya malah bapak yang membatalkan. Rasanya saya tidak punya muka untuk datang kemari. Saya malu pak Subroto, Seharusnya Seruni mengetahui secara langsung dari kami, bukan dengan cara menyakitkan seperti tadi. Maafkan Ayah ya Ser, Ayah tidak memaksakan maafmu. Ayah juga punya anak perempuan, kalau anak perempuan ayah diperlakukan sama sepertimu, ayah juga tidak terima. Untung-untung ayahmu tidak memenggal kepala Satria." ucap Laki - laki paruh baya itu, wajahnya terlihat lelah dan sedih.
Seruni menarik senyumnya. Sedikit memaksa, tapi dia tahu seberapa besar lukanya saat ini, luka kedua ayah di depannya ini pasti jauh lebih besar. Harapan yang pupus, tergantikan dengan kekecewaan. Keduanya hanya sedang berusaha tegar dan menuntaskan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah.
Sanjaya meletakkan harapan sangat tinggi pada Satria. Sejak awal berpacaran, Sanjaya dan Sinta sudah sangat menyukai Seruni. Pembawaan Seruni yang tidak biasa, tidak seperti pacar Satria sebelumnya.
Seruni terlihat feminim, tapi sangat tangguh dan cekatan. Tidak ada kesan jumawa atau sombong meski hidup sebagai anak tunggal di keluarga jenderal purnawirawan bintang tiga. Ayah Seruni bahkan pemilik 50% saham salah satu perusahaan security yang menyalurkan dan menyediakan jasa pengamanan paling terpercaya di Indonesia.
Subroto mengirimkan isyarat pada Sanjaya agar memberi kesempatan Seruni dan Satria bicara empat mata. Tidak ada perpisahan yang menyenangkan. Setiap perpisahan pasti menyisakan kesedihan bahkan kadang juga menyelipkan kebencian. Tapi perpisahan mereka masih di dunia yang tak selebar kelor, ada saatnya mereka akan dipertemukan kembali, sengaja atau tidak sengaja. Saat itu terjadi, tidak ada alasan keduanya untuk saling menyalahkan. Kedewasaan mereka sedang diuji saat ini. Bagaimana Satria meminta maaf dan bagaimana Seruni memaafkan bisa menentukan jalinan hubungan mereka dengan siapapun ke depan.
Sanjaya pura-pura menanyakan kelinci peliharaan Subroto. Bak gayung bersambut, Subroto menimpali dengan mengajak Sanjaya langsung melihatnya di perkarangan belakang rumah.
Seruni dan Satria kini hanya berdua saja. Satria tampak begitu canggung dan salah tingkah.
"Kalau mas mau ngomong, silahkan. Aku akan mendengarkan baik-baik. Tapi sekali saja ada kata maaf terucap, aku akan berdiri dan meninggalkan mas di sini sendirian. Bagiku masalah kita sudah selesai. Aku juga tidak ingin tahu kenapa dan mulai kapan mas berselingkuh. Aku terima semua meskipun terpaksa. Selalu ada hikmah besar disetiap kejadian. Terimakasih, karena mas Satria akhirnya aku bisa mewujudkan keinginanku dinas ke daerah," ucap Seruni, mendahului keraguan Satria yang masih sibuk merangkai kata.
"Kemana? Kenapa?" tanya Satria. Kaget dan tidak menyangka Seruni mengambil keputusan secepat itu.
"Tidak ada urusannya dengan mas. Kemananya, nanti juga mas tahu sendiri. Kenapanya, jangan mengira aku pergi karena pelarian. Jelas bukan! Hati itu di sini, kalau mau menghindari kenyataan tidak perlu repot pergi jauh-jauh, karena sejatinya hati akan tetap melekat di badan," jawab Seruni, telapak tangannya menempel di dada.
Satria seperti kehilangan kata menghadapi Seruni. Setiap ucapannya pasti bisa dipatahkan begitu saja. Jangankan dalam kondisi salah, saat benar pun kadang Satria kerap mengalah. Seruni terlalu tangguh.
Tidak membenarkan perselingkuhannya, tapi bersama Sheila, Satria merasa dibutuhkan. Sheila berlipat-lipat lebih penurut dibanding Seruni, lebih sering manja dan menggoda. Pada akhirnya Satria pun terperdaya. Namun, bagaimana pun caranya, dia memang salah, seharusnya dia mengajak Seruni bicara baik-baik. Seruni yang tidak terdidik manja, tentu saja terbiasa apa-apa sendiri. Tanpa disadari, membuat laki-laki merasa dibutuhkan---juga sangat penting.
"Tidak perlu merasa bersalah. Wajah mas Satria biasa saja. Umurku memang sudah lewat dewasa, tapi aku tidak mau buru-buru. Mungkin Tuhan tau aku belum siap jadi istri yang baik. Selamat ya mas sebentar lagi jadi bapak." Seruni mengulurkan tangannya, Satria menyambut uluran tangan itu sedikit ragu.
Aura Seruni kali ini membuat Satria salah tingkah. Satria benar-benar dibuat kehilangan kata-kata. Tidak ada lagi teman dan sahabat mesra dalam segala situasi. Profesi Satria sebagai pengacara mengharuskan dia gemar membaca dan berdiskusi dengan orang yang tepat membahas beragam topik dari berbagai sudut pandang. Seruni adalah orang yang sepadan untuk itu.
"Jangan undang aku atau meminta aku untuk datang di acara pernikahanmu, mas. Aku tidak sebaik dan setegar yang kamu kira. Kelihatannya sering kali berbeda dengan kenyataannya. Semoga acara mas nantinya berjalan lancar. Aku bukan sedang mendoakan mas Satria, tapi aku kasihan sama ayah dan bunda kalau sampai acara terkendala," tambah Seruni, membuat Satria menarik nafas dalam dan mengusap wajahnya kasar.
Bukan makian memang, bukan pula tangisan pilu, tapi lebih pada penekanan kata yang dijadikan kalimat yang terlontar tajam. Satria---pengacara yang pintar bicara dan berkelit dalam menangani kasus kliennya, kini gagal membela dirinya sendiri di hadapan mantan calon istrinya.
Seruni melepas cincin berlian di jari manisnya, melihatnya sepintas, lalu menaruhnya di genggaman tangan Satria. "Aku kembalikan cincin ini, Mas. Maaf tidak bisa mengembalikan seserahan yang lain karena sudah terlanjur aku pakai. Terimakasih mas Satria sudah mengisi hari-hariku selama empat tahun terakhir ini, terimakasih selalu menyemangati aku di saat aku lelah, maaf kalau aku banyak kekurangan. Maaf kalau kekuranganku membuat mas harus berpaling pada perempuan lain dengan cara yang tidak pantas. Urusan kita selesai sekarang." Seruni buru-buru meninggalkan Satria karena air mata terlanjur jatuh di pipinya.
Sakit hati yang tadi sempat dibalut dengan keangkuhan, akhirnya luruh juga dalam air mata. Seruni berlari ke kamarnya, langsung menjatuhkan diri di atas ranjang. Perempuan tersebut membenamkan kepala di bawah bantal, lalu menjerit dan menangis sejadi-jadinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!