Bencana itu tak terhindarkan. Pesta akhir tahun akhirnya tiba. Laudi tidak ingin terlibat lagi dengan orang-orang itu. Namun sayangnya, ia tetap harus hadir di acara yang dihelat oleh kantor tempatnya bekerja. Apalagi beberapa tamunya juga akan datang. Setidaknya ia harus menyambut mereka saat pesta nanti.
Laudi menghela napas berat. Ia adalah karyawan baru di kantor itu. Baru enam bulan dia bekerja sebagai Sales Admin di departemen Sales and Marketing sebuah hotel bintang lima di Bali. Awalnya ia bekerja dengan penuh antusias dan bersemangat karena cita-cita Laudi memang ingin bekerja di pulau dewata itu. Ia bahkan rela meninggalkan kampung halamannya di Yogyakarta demi menjalani pekerjaan sebagai hotelier di Bali.
Sayangnya, realita memang tidak pernah seindah yang dibayangkan. Menjadi pegawai hotel sama sekali tidak mudah. Laudi harus siap untuk pulang larut malam dan masuk kerja di tanggal-tanggal merah. Beban kerja yang menumpuk itu belum seberapa dibanding perlakuan para seniornya di departemen tersebut.
Atasannya, Bu Dista, seorang wanita paruh baya yang belum menikah, sama sekali tidak punya kompetensi sebagai pemimpin. Sepanjang hari Bu Dista hanya melihat ponselnya sambil berbelanja online. Entah darimana ia mendapat begitu banyak uang, padahal gaji seorang Sales Manager tidak mungkin bisa mencukupi gaya hidup hedonnya. Setiap waktu, Bu Dista selalu menyuruh Laudi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Laudi dipaksa untuk membuat laporan palsu tentang hasil kerja Bu Dista. Perempuan tua itu selalu mengaku pergi sales call mengunjungi klien potensial. Padahal yang dia lakukan hanya berjalan-jalan di Mall dan berbelanja. Laudi-lah yang dipaksa untuk membuat daftar klien potensial beserta kontak person in charge sebagai dalih kegiatannya yang hanya berfoya-foya.
Itu masih belum seberapa, dua seniornya yang lain, Mega dan Vanya, tak kalah sadis. Setiap akhir bulan, mereka berdua selalu kelimpungan karena nyaris tidak mencapai target penjualan. Karena itu, dengan tidak tahu malunya, Mega serta Vanya kerap kali mendekati klien Laudi dan membuatnya melakukan bisnis bersama mereka berdua. Alhasil target revenue bulanan Laudi pun tak tercapai karena kliennya justru melakukan close deal dengan Mega atau Vanya.
"Kamu, 'kan, Sales Admin. Jadi nggak apa-apalah kalau nggak tembus target revenue. Jadi ngalah dong sama kami yang Sales Executive. Kalau admin doang kan yang penting cuma bikin laporan, sama ngurus tuh surat-surat, apa fotokopi gitu," cela Vanya suatu ketika, saat Laudi mencoba mengajukan protes.
Laudi benar-benar sudah muak. Ia tidak ingin lagi bekerja dengan orang-orang toxic seperti mereka. Sudah berkali-kali Laudi mengeluh pada atasan mereka, sang General Manager. Akan tetapi Pak Gede, GMnya, justru membela para senior Laudi. Sepertinya mereka berempat memang sudah kongkalikong untuk menggelapkan uang para tamu grup yang menginap atau membuat event di hotel. Entah pada siapa lagi Laudi harus mengadu. Ia seperti kehilangan tumpuan.
Semua antusiasmenya saat pertama kali bekerja di Bali kini lenyap tak bersisa. Laudi ingin pulang. Ia ingin berhenti dari pekerjaannya dan mengurung diri saja di rumah. Enam bulan menjadi anak bawang di kantor membuanya begitu tertekan. Laudi selalu menangis setiap malam. Saat pagi menjelang, jantungnya berdegup kencang. Ia tidak ingin berangkat bekerja. Sayangnya nilai pinalti yang harus dia bayar begitu besar kalau berhenti sebelum waktu kontrak berakhir. Karena itulah ia terpaksa ada di sini sekarang. Setidaknya sampai enam bulan ke depan, Laudi harus menahan semua penderitaannya.
Ia kini berdiri mematung di depan loker. Jam kerjanya seharusnya sudah selesai pukul lima sore tadi. Akan tetapi, sekarang sudah jam enam lewat lima belas menit, dan Laudi masih berada di ruang ganti karyawan. Setelah itu pun, Laudi tetap belum bisa pulang. Ia terpaksa harus mandi di kantor dan bersiap untuk bekerja lagi sampai lewat tengah malam.
Hari itu adalah akhir tahun, tepat tanggal 31 Desember. Sebagai pegawai hotel, hari raya artinya lembur kerja. Meski toh nantinya ia juga akan ikut berpesta di rooftop bar hotel, tetapi tetap saja rasanya melelahkan. Laudi hanya ingin pulang dan menghabiskan acara pergantian tahun di kosnya. Sendirian. Tanpa diganggu siapa pun.
Pintu ruang loker tiba-tiba menjeblak terbuka. Laudi yang tengah ganti baju sontak menutup tubuhnya dengan panik. Ternyata yang datang adalah Tasya, anak magang di departemennya
"Mbak Laudi, maaf ngagetin," ujar anak itu merasa bersalah. Tasya adalah satu-satunya orang yang bersikap ramah padanya di kantor. Karena itu Laudi juga melakukan hal yang sama.
"Iya, nggak apa-apa, Tasya. Kamu udah mau pulang?" tanya Laudi melihat Tasya yang masih berseragam hitam putih itu. Tasya adalah mahasiswi perhotelan jurusan Bisnis Pariwisata. Kini ia magang di bawah asuhannya sebagai Sales Admin.
"Iya, Mbak. Kata Bu Dista udah boleh pulang. Mbak Laudi masih lembur sampai pagi, ya?"
Laudi mengangguk muram. "Ginilah kalau kerja di hotel, Sya. Hari libur nasional adalah hari lembur hotelier," kelakarnya dengan senyum dipaksakan.
"Tapi kan enak, Mbak. Bisa ikut party party. Mbak Mega bilang kalau Sales boleh ikut party bareng sama tamu-tamu lainnya. Bisa minum alkohol juga terus makan buffet," ujar Tasya terlihat iri.
Laudi mendengkus kecil. Betapa menyenangkan imajinasi seorang pegawai magang. Ia dulu juga merasakan hal yang sama sebelum secara resmi menjadi hotelier. Dia pikir bekerja di hotel pasti sangat menyenangkan karena setiap hari terasa seperti liburan. Bisa menikmati pesta akhir tahun yang mewah dan glamor di hotel bintang lima.
Akan tetapi, sekali lagi, kenyataan tidak semanis imajinasi. Pada kenyataannya, menjadi karyawan hotel dua kali lebih lelah daripada karyawan pada umumnya. Overtime adalah sahabat karib, masuk kerja di tanggal merah, dan beragam kesulitan lainnya. Sebenarnya Laudi pun sangat menikmati pekerjaannya tersebut. Hanya saja, nuansa kerja di hotelnya sekarang yang membuat gadis itu menderita. Rekan kerja toxic.
"Nikmati dulu aja selagi masih magang, Sya. Nanti juga ada waktunya kamu jadi karyawan hotel beneran." Akhirnya hanya kalimat itu yang bisa diutarakan oleh Laudi. Ia tidak ingin membunuh semangat gadis muda yang masih magang ini.
Tasya tersenyum manis. Sembari mengambil tasnya dari loker, gadis itu pun berpamitan pada Laudi. "Kalau gitu, saya pulang dulu ya, Mbak Laudi. Sampai ketemu besok," ujarnya riang.
Laudi mengangguk singkat. "Hati-hati, Tasya."
"Siap, Mbak. Oh, ya, Mbak Laudi tadi dicariin Bu Dista. Katanya suruh cepet-cepet ke atas soalnya harus cek venue," lanjut Tasya sebelum benar-benar keluar dari pintu ruang loker.
Laudi menghela napas lelah. Padahal belum ada tiga puluh menit ia izin ke loker, tetapi Bu Dista sudah mencercanya seperti itu. Padahal atasannya tersebut malah sudah pulang ke rumahnya sejak jam dua siang tadi, menggunakan mobil hotel. Berikut Mega dan Vanya yang ikut bersamanya. Mereka bertiga bahkan sempat ke salon dulu sebelum kembali ke hotel lagi, seolah tidak ada apa-apa.
"Oke, Sya. Makasih ya infonya," ucap Laudi dengan senyum dipaksakan. Ia hanya bisa mengutuk orang-orang menyebalkan itu dalam hati.
Setelah selesai berias, Laudi pun akhirnya pergi menuju lantai dua tempat ruangan Departemen Sales & Marketing berada. Di sana Bu Dista dan dua seniornya sudah duduk bergerombol di sudut ruangan, bergosip. Saat Laudi masuk, pandangan mereka menjadi dingin. Laudi menyapa seadaanya sambil duduk di mejanya sendiri.
“Selamat sore Bu Dista, Mbak Mega dan Mbak Vanya,” ucap Laudi canggung.
“Kok baru nongol. Udah jam enam lho. Acaranya mulai jam tujuh. Kamu udah cek venue?” tanya Vanya mulai nyinyir.
“Iya tadi siap-siap dulu, Mbak. Sama mandi di ruang loker,” sahut Laudi dengan senyum dipaksakan.
Vanya berdecak tak sabar lantas melengos melihat ponselnya lagi.
“Yaudah, sana kamu siap-siap di venue. Ini Mega sama Vanya saya suruh standby di depan aja nanti sambil nyambut tamu-tamunya.” Bu Dista pun memberi perintah.
Laudi menurut. Sebaiknya memang berada di ruangan yang berbeda dengan mereka bertiga kalau ingin bisa bernapas lega tanpa tekanan. Maka setelah mematikan computer kerjanya, gadis itu pun segera melesat ke rooftop bar di puncak bangunan hotelnya.
Persiapan di rooftop tampaknya sudah sembilan puluh persen selesai. Para waiters sudah menyusun meja sedemikian rupa, DJ yang akan tampil juga sudah mulai melakukan check sound. Anton, bartender yang dikenal Laudi sebagai karyawan hotel satu-satunya yang bertato, sudah mulai mempersiapkan beragam cocktail untuk welcome drink.
Laudi tidak punya banyak teman dekat di kantornya. Beberapa anak menyapa saat melihat dia datang. Namun kemudian mereka semua lantas membiarkan Laudi duduk sendiri di sudut bar yang temaram. Tidak ada yang perlu dia lakukan, toh seluruh persiapan venue sudah ditangani oleh Departemen Food & Beverages. Laudi tinggal memastikan bahwa tamu-tamu undangan sudah mendapat tempat duduk yang tepat.
Pukul tujuh malam, acara pun akhirnya dimulai. Tidak ada yang terlalu hingar-bingar di awal-awal pesta. Para tamu pun belum semua datang. DJ hanya memainkan musik-musik chill untuk menghidupkan suasana. Masuk pukul sepuluh malam, suasana pesta akhirnya mulai meriah. Laudi sesekali menyapa beberapa tamu yang dia kenal sebelum akhirnya para tamu itu pun menikmati pesta dengan rombongan mereka masing-masing.
Sampai saat itu, Laudi belum menyentuh alkohol sama sekali. Di seberang bar, ia melihat kawan-kawannya sekantor sudah memegang gelas alkohol mereka masing-masing. Venya menempel pada seorang tamu dari kelompok perusahaan ternama di Bali. Mega dan Bu Dista mengobrol dengan orang-orang dari agen travel.
Pesta berjalan meriah dan lancar hingga nyaris mencapai puncaknya. Mendadak Bu Dista, Venya dan Mega mendatangi Laudi yang sedari tadi hanya celingak-celinguk sendirian. Mereka membawa sebotol minuman keras berserta segelas cocktail di tangan masing-masing. Tanpa basa-basi ketiganya duduk di meja Laudi tanpa permisi.
“Laudi, kamu ih lagi party juga malah diem-diem bae,” celetuk Bu Dista sok akrab. Entah kenapa Laudi merasa janggal dengan situasi tersebut.
“Iya Laudi. Mumpung bebas gini, harusnya kita senang-senang dong. Nih kami udah bawain minuman buat kamu,” sambung Vanya setengah berteriak. Suara musik DJ kini sudah begitu keras hingga memekakkan telinga.
“Enggak, Mbak. Aku nggak minum. Nanti nggak bisa pulang,” tolak Laudi sopan.
“Heh! Nggak boleh gitu! Ayo, minum! Kita udah capek-capek bawain lho. Sama senior harus nurut! Cuma dikit juga, nggak bakal mabuk.” Mega turut mengompori.
“Nanti kalau nggak bisa pulang buka kamar aja. Nginep sini sama Vanya sama Mega.” Bu Dista pun menimpali.
Kedua senior Laudi terus menyodorkan gelas cocktail mereka pada Laudi. Dari aroma mereka bertiga, jelas semuanya sudah mabuk. Laudi tak kuasa menghadapi tiga orang wanita mabuk yang terus merongrongnya. Dengan terpaksa gadis itu pun menenggak minuman-minuman yang disodorkan padanya.
“Nah, bagus. Tuh ternyata pinter minum. Nih lagi, lagi. Nggak usah malu-malu!” seru Vanya kembali mengisi gelas kosongnya lalu memberikan pada Laudi.
Sekuat tenaga gadis itu menoak, tetapi akhirnya gagal juga. Gelas demi gelas akhirnya dia minum hingga nyaris satu jam ia menjadi bulan-bulanan tiga orang itu.
Tanpa terasa, hitung mundur tahun baru pun akhirnya dimulai. Ketiga orang itu pun mengalihkan perhatian mereka dari Laudi lalu berdiri berjingkat-jingkat untuk ikut serta berhitung dari angka sepuluh.
Laudi di sisi lain, sudah tidak bisa lagi mengangkat kepalanya. Entah sudah berapa gelas dia tenggak malam itu. Laudi sudah tidak bisa menghitungnya. Kepala gadis itu terasa sangat berat dan pening. Tubuhnya lemas seperti berubah menjadi agar-agar. Laudi terkulai lemah dan hanya bisa mendengar suara hingar bingar pesta tanpa bisa menyaksikan apa-apa. Setelah terompet tanda tahun berganti berbunyi, ia pun kehilangan kesadaran.
Laudi terbangun dengan nyeri tubuh luar biasa di seluruh persendiannya. Kepalanya berat dan perutnya sangat mual. Ia mencoba mengerjap, tetapi hanya kegelapan yang menyapanya. Gadis itu pun mencoba bangkit dari posisinya yang terbaring. Ia lantas menyadari bahwa selama ini tubuhnya tidur di atas lantai keras yang dingin. Pantas saja tubuhnya sakit semua.
Akan tetapi, hal yang lebih meresahkannya adalah kenyataan bahwa Laudi berada di tempat yang sama sekali tidak dia kenal. Jelas ruangan ini bukanlah kamar kosnya yang walaupun kecil tapi memiliki ranjang empuk dan perabot yang banyak. Lagipula lantai tempatnya terduduk sekarang terasa kasar seperti semen yang belum dipoles. Sementara lantai kosnya sudah berkeramik halus.
Sebenarnya di mana ini? Kepanikan segera melanda Laudi. Tempat itu sangat gelap. Namun secara perlahan matanya mulai beradaptasi. Ia melihat dirinya sendiri masih mengenakan baju yang sama seperti semalam. Sementara mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, Laudi mendapati bahwa tempat itu ternyata sangat luas dan kosong. tidak ada barang apa pun di sana selain dirinya sendiri.
“Apa yang terjadi?” rintihnya pelan.
Rasa mual dan pening di kepala Laudi membuat perasaannya semakin buruk. Sambil tertatih, gadis itu pun berjalan menuju sebuah pintu yang ada di hadapannya. Pintu itu adalah satu-satunya tempat dimana cahaya bisa masuk. Di bagian atas pintu terdapat kaca bening yang membuat Laudi bisa melihat keluar.
Begitu mencapai pintu, ternyata Laudi tidak bisa melihat apa-apa selain cahaya putih yang menyilaukan. Matanya yang belum beradaptasi langsung menyipit pedih. Ia pun mencoba membuka gerendel pintu yang rupanya terkunci. Berkali-kali Laudi menggoyangkan gagang pintu itu, tetapi tidak ada yang terjadi. Pintunya tetap tidak mau terbuka.
“Tolong!” seru Laudi panik sembari menggedor-gedor pintu.
Tak ada jawaban. Sekali lagi ia melakukan hal yang sama, tetapi tetap tidak ada jawaban. Hanya kesunyian.
Gadis itu pun mulai menangis. Tubuhnya beringsut jatuh ke lantai dengan posisi meringkuk. Laudi panik dan ketakutan. Ia pun teringat pada ponselnya. Dengan buru-buru ia pun segera mencari ke seluruh tubuhnya, termasuk tempatnya terbaring tadi. Sayangnya ponsel pintarnya pun tetap tidak bisa ditemukan.
Laudi meraung marah sambil menangis keras. Apa yang harus dia lakukan?
Laudi terus menangis sampai kelelahan. Ia terduduk meringkuk di balik satu-satunya pintu di ruangan tersebut. Rasa lapar dan haus mulai menyerang gadis itu. Laudi mencoba bangkit lagi dan hendak mencari jalan keluar lain. Namun saat ia bangun berdiri, sekonyong-konyong di hadapannya muncul sebuah batu pipih yang terlihat sangat mencolok meski berwarna hitam.
Batu itu tergeletak begitu saja tak jauh dari tempatnya berdiri. Laudi yakin kalau tadi batu itu tidak ada di sana. Batu itu mungkin hanya sebesar genggaman tangan Laudi. Tidak ada yang aneh dari batu itu selain fakta bahwa ada sesuatu yang mencolok dari benda tersebut. Batu pipih itu seperti berpendar keperakan. Cahayanya sangat redup dan halus, hingga sulit ditangkap oleh mata biasa. Namun entah mengapa Laudi bisa terpancing begitu saja untuk menyadarinya.
Selama beberapa detik, Laudi hanya berdiri mematung menatap batu pipih aneh di depannya. Ada dorongan yang begitu kuat untuk mengambil batu tersebut, seolah dengan cara itu, Laudi mungkin bisa bebas dari malapetaka ini. Sungguh pemikiran yang aneh. Akal sehat Laudi tentu saja menolak mengikuti insting itu. Ia berusaha mengabaikan batu itu lantas kembali berkeliling ruangan untuk mencari jalan keluar. Rasa lapar sudah menggerogotinya.
Beberapa menit lagi berlalu. Tidak ada tanda-tanda pintu keluar lain di sana. Jendela pun tidak ada. Hanya kisi-kisi sempit yang tidak mungkin dilalui oleh tubuh manusia dewasa. Ruangan itu juga sepenuhnya kosong. Laudi bahkan sudah mencoba mendobrak pintu, tetapi tetap tidak berhasil. Pintu itu sekeras tembok beton yang dibangun dengan kokoh.
Sekali lagi Laudi menghela napas putus asa. Ia sudah tidak menangis. Akan tetapi rasa panik masih menyerangnya, membuat kedua tangan gadis itu gemetaran. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Pandangannya kembali tertuju pada batu pipih yang berpendar keperakan. Kenapa batu itu lagi-lagi menarik perhatiannya? Setelah menimbang-nimbang selama beberapa saat, akhirnya Laudi memutuskan untuk mendekati batu tersebut sambil menghela napas.
“Yah, nggak ada salahnya juga. Cuma ambil batu ini,” gumamnya pada diri sendiri. Tindakannya mungkin terasa tidak rasional. Namun, ia toh juga tidak punya cara lain untuk keluar dari tempat tersebut. Maka, dengan hati-hati, Laudi pun meraih batu pipih itu dalam genggamannya.
Begitu kulit Laudi menyentuh batu itu, tiba-tiba kesadarannya berubah. Laudi tidak lagi berada di dalam ruangan asing yang kosong dan gelap lagi. Alih-alih, gadis itu kini berada di sebuah tempat yang jauh lebih luas, tak bersekat dan serba hitam. Meski begitu, cahaya-cahaya kecil keperakan tampak memenuhi latar hitam tersebut, layaknya bintang-bintang yang jumlahnya jutaan.
Laudi tidak yakin dirinya berada di mana. Namun, ia merasa begitu akrab dengan tempat itu. Tubuhnya kini terasa sangat ringan, dan ia pun menyadari bahwa dirinya tengah melayang-layang di semesta tersebut. Tepat setelahnya, ia mendapat pemahaman bahwa dirinya bukan lagi berada di raga perempuan bernama Laudi. Dia bukanlah Laudi. Itu adalah kesadarannya jauh sebelum dirinya menjadi manusia. Dia adalah bagian dari jagat bintang-bintang ini!
Pemahaman itu lantas membawanya melompat pada kesadaran lainnya. Segalanya bergerak sangat cepat, berpusar di hadapannya seolah menyedot tubuhnya lantas memecahnya menjadi banyak bagian. Ia kini berada di suatu tempat yang penuh cahaya. Titik-titik cahaya bergerak di sekitarnya, begitu dekat, begitu akrab. Dirinya sendiri adalah salah satu cahaya itu.
Tidak ada yang membuatnya tertekan lagi di sana. Semua terasa damai, indah dan menyenangkan. Ia menyadari bahwa tubuh cahayanya itu adalah pecahan dari kesadarannya yang sebelumnya di jagat semesta. Ia sudah memecah menjadi banyak makhluk cahaya yang bergerak bersama dalam satu kesatuan. Segalanya di tempat itu berdenyut dengan irama yang sama. Ia adalah makhluk cahaya.
Detik berikutnya, kesadarannya kembali berpindah. Kini Laudi berada di tempat yang lebih berwarna. Ia berada di sebuah hutan yang sangat aneh. Dedaunan dan bunga-bunga raksasa berbentuk unik melingkupinya. Semuanya berwarna mencolok. Merah, hijau, kuning dan sebagainya. Semua warna itu begitu terang seperti lampu neon yang menyilaukan mata. Ia menyadari tubuhnya masih mengambang di udara, tetapi sekarang sudah terasa memiliki massa. Tidak seringan sebelumnya.
Laudi melihat seluruh tubuhnya ternyata merupakan gabungan jutaan renik kecil-kecil yang menyatu membentuk sosok perempuan berkulit biru. Ia bisa melonggarkan rekatan tubuhnya dan membaur dengan alam sekitar. Berbelit dengan bunga-bunga atau dedaunan, lantas kembali menyatu menjadi sosok perempuan berkulit biru lagi. Setelah mengetahui bagaimana cara tubuhnya bekerja, kesadara Laudi kembali terlempar ke tempat lain.
Ia kini berada di tempat yang lebih padat. Tubuhnya terasa lebih berat dan arus gravitasi mulai mengikatnya. Ia berdiri di sebuah bangunan heksagon yang bergerak memutar dengan perlahan. Sejauh mata memandang, sebuah kota modern nan canggih memenuhi daratan itu. Ada bangunan-bangunan heksagon setinggi langit yang berpilin pelan. Bangunan-bangunan itu berwarna hitam dan entah bagaimana ia tahu bahwa seluruh arstektur di sana terbuat dari batu onyx. Di langit ia melihat kendaraan-kendaraan terbang yang berseliweran menurut rute masing-masing.
Kali ini Laudi mengetahui identitasnya. Sebalok pemahaman itu muncul begitu saja di benak gadis itu. Namanya Qhael. Ia adalah seorang peneliti dari Ras Maldekian. Ia yakin tengah memiliki misi, tetapi entah kenapa ingatan tentang hal itu terasa begitu samar. Ia tidak bisa mengingatnya.
Saat tengah berusaha keras, tiba-tiba dibelakang punggungnya sesorang berjubah hitam dengan wajah tirus dan bola mata yang berbeda warna muncul. Ia berbicara dengan bahasa asing yang entah bagaimana bisa dimengerti oleh Laudi.
“Kita hanya harus bertahan sebentar lagi, Qhael,” ucap sosok itu sembari menatap langit yang kini berubah merah, sewarna darah.
Mendadak rasa pedih mendera Laudi. Hatinya sesak dan pilu setelah mendengar kalimat tersebut. Entah bagaimana Laudi sadar bahwa peradabannya kini berada di ujung tanduk. Sebentar lagi, mereka akan musnah. Langit yang sewarna darah itu menunjukkan segalanya. Semua orang akan mati, termasuk dirinya. Perang besar tidak terhindarkan.
“Semoga kita bisa bertemu lagi, Igved.” Ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Laudi. Ia berbicara bahasa asing yang terasa begitu akrab baginya.
Tak lama setelah berkata demikian, kesadaran Laudi kembali terlempar. Semuanya berpusar dengan cepat dan tubuh Laudi kembali tersedot dalam aliran ruang dan waktu. Beban tubuhnya semakin berat, dan dia kini kembali didera rasa lapar serta haus yang amat sangat.
Laudi sudah berada di ruangan kosong yang gelap lagi. Perutnya mual setelah melalui perjalanan galaktik yang begitu intens. Tanpa bisa dicegah, Laudi berlutut di atas lantai dan mulai muntah-muntah. Namun yang keluar dari mulutnya hanyalah cairan pahit yang kekuningan. Asam lambung. Sebenarnya sudah berapa lama ia berada di dalam ruangan itu? Laudi sudah tidak terlalu memikirkannya. Kini dia sudah mengingat segalanya. Alasan ia berada di sana, berada di bumi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!