NovelToon NovelToon

Sight Of Future

Talia Ortega

Talia Ortega mengikat korsetnya dengan ketat. Hari itu dia berhasil diterima menjadi murid Akademi Kerajaan Barat, Ramona. Meski tanpa kereta kuda yang mengantarnya, Talia tetap bisa pergi ke akademi yang jaraknya ratusan kilometer dari rumahnya dengan cepat. Itu karena Talia punya satu rahasia kecil. Dia, adalah seorang penyihir.

Talia tinggal di sebuah kota pelabuhan di sisi utara Kerajaan Barat. Ia sudah tinggal di sana sejak kecil bersama ibunya yang sakit-sakitan. Saat menginjak usia 15 tahun, akhirnya ibu Talia tak sanggup lagi bertahan. Beliau meninggal karena sakit keras yang dideritanya. Meski begitu, hidup mereka tidaklah berkekurangan. Ibu Talia meninggalkan cukup kekayaan untuk Talia melanjutkan hidup, ditambah rumah dan mansion besar serta gelar Countess yang diturunkan dari keluarganya.

Tetapi Talia muda merasa belum punya cukup kemampuan untuk mengemban tanggung jawab itu Akhirnya, sebulan setelah ibunya wafat, Talia mengirim surat pendaftaran ke Akademi Kerajaan. Melalui akademi itu, Talia berharap dapat belajar lebih banyak untuk melanjutkan pekerjaan keluarganya sebagai Count di kota pelabuhan kecil itu.

"Nona! Sudah tiba waktunya berangkat! Apa Nona yakin tidak ingin menggunakan kereta kuda?" tanya Shopie, dayang pribadi kepercayaannya.

Talia menggeleng. "Aku ingin menyembunyikan identitasku sebagai penerus keluarga Count Ortega. Aku tidak suka menarik perhatian. Lagipula mengendarai sapu terbang jauh lebih cepat dan praktis."

Shopie tampak khawatir. Shopie adalah salah satu dari sedikit orang yang mengetahui bahwa Talia sudah banyak menguasai kemampuan sihir. Bahkan ayah Talia yang selalu sibuk bekerja dan berada di luar kota sepanjang waktu tidak pernah mengetahuinya.

"Tapi Nona, sebelum menjadi murid di Akademi, tidak boleh menggunakan sihir sembarangan. Anda harus mendapat lisensi sihir dulu untuk bisa menggunakan sapu terbang. Dan juga, barang bawaan Anda sangat banyak. Apa saya harus mengirimnya secara terpisah?"

"Tenang saja, Shopie. Aku akan berhati-hati," ucap Talia riang. "Sekarang, aku berangkat dulu ya. Jangan lupa kirimkan barang-barangku segera setelah aku pergi," lanjutnya sembari berjalan menuju balkon.

Sapu terbangnya sudah dia naiki. Talia menjejak balkon kamarnya, lantas melesat ke langit dengan sapu terbang itu. Perjalanan tidak memakan waktu lama karena dengan segera ibu kota Kerajaan, Ramona, sudah mulai terlihat dari atas. Kota itu sangat megah dan berkilauan. Kastel besar dengan hiasan batu mulia berdiri di tengah kota, lengkap dengan alun-alun dan pasar yang ramai.

Talia berputar-putar sejenak sambil mencari tempat untuk mendarat tanpa ketahuan. Di sisi selatan kota itu terdapat sebuah hutan yang tampak lebat. Talia melesatkan sapu terbangnya ke arah hutan lantas mendarat dengan selamat. Gadis itu segera menjentikkan tangannya begitu ia sukses menapak tanah. Detik berikutnya, sapu terbangnya menghilang bagai asap.

"Ah, aku sangat bersemangat hari ini!" ucap Talia riang. Ia segera berbalik hendak menuju ibukota Ramona. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti karena seorang pemuda tampan dengan mata abu-abu tengah berdiri di hadapannya, menatap dengan tatapan tajam.

Talia spontan menutup mulutnya karena terkejut. Pemuda itu sangat tampan dan membuat Talia tidak bisa berkata-kata. Jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya seolah terbius oleh tatapan tajam pemuda itu. Talia jatuh cinta pada pandangan pertama!

"Kau menggunakan sihir?" tanya pemuda itu dingin.

Astaga! Talia lupa kalau barusan dia melakukan sihir di depan pemuda itu! Ini benar-benar gawat! Kenapa harus pemuda tampan ini yang melihatnya.

"Itu ... aku ... ," ucap Talia gagap, berusaha menjawab pertanyaan pemuda itu.

"Aku tidak peduli. Aku akan pura-pura tidak melihatnya. Jangan pernah menampakkan wajahmu lagi di depanku," ketus, pemuda itu berbalik pergi meninggalkan Talia.

Talia menghela napas lega. Untunglah orang itu tidak bertanya macam-macam. Sayang sekali Talia tidak tahu nama pemuda tampan itu. Ia juga mungkin tidak bisa bertemu dengan orang itu lagi. Ini patah hati tercepat Talia.

Meski begitu Talia harus bersyukur bisa melanjutkan perjalanannya ke Akademi. Upacara penerimaan siswa baru dilaksanakan tepat pada saat Talia sampai di sana. Talia berlari tergopoh-gopoh dan masuk ke dalam barisan siswa-siswi baru karena upacara penyambutan sudah dimulai. Karena terburu-buru, Talia tanpa sengaja menabrak seseorang di depannya.

Seketika ia mendapat sebuah penglihatan. Talia seperti berpindah dimensi. Ia tidak lagi berdiri di halaman Akademi. Alih-alih ia tengah berdiri di depan sebuah istana megah yang dikenali Talia sebagai istana kerajaan Ramona. Seorang pemuda beraura gelap berdiri di tengah istana kerajaan dengan elemen kegelapan yang pekat menyelubungi seluruh tubuhnya. Kondisi istana sudah sangat kacau. Banyak orang bergelimpangan di jalan. Mereka sama sekali tidak bergerak. Semuanya porak poranda, bahkan bangunan istana pun sudah rusak di beberapa bagian.

"Aku akan membunuh semuanya ... ," suara pemuda beraura gelap itu mendadak terdengar.

Meski berada dalam keadaan mencekam, tetapi Talia begitu penasaran akan wajah sang pemuda. Ia mencoba berjalan ke hadapan pemuda itu, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat bahwa orang tersebut adalah anak laki-laki bermata abu-abu yang tadi dia temui di hutan! Pemuda tampan yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama itu akan menjadi mesin pembunuh berbahaya di masa depan, entah apa sebabnya. Talia begitu terkejut hingga tidak bisa berkata-kata.

Dalam satu kedipan mata, ia pun kembali ke masa sekarang, berbaris bersama siswa-siswi baru yang menghadiri upacara penyambutan. Itulah kemampuan rahasia Talia: melihat masa depan. Tidak semua penyihir bisa melakukannya, dan Talia adalah oracle spesial yang sangat jarang ditemui. Meski begitu ia tidak suka menarik perhatian. Karena itulah Talia menyembunyikan bakatnya tersebut.

"Kau lagi. Bukankah sudah kubilang untuk tidak menampakkan wajahmu di depanku lagi?" sebuah suara yang familiar terdengar menegur Talia.

Gadis itu mendongak dan betapa terkejutnya dia, pemuda bermata abu-abu itu kini berdiri di hadapannya dengan wajah dingin.

"Hey, Kyle! Jangan mengganggu perempuan! Maafkan temanku ini, Nona Cantik," seorang pemuda berambut cokelat tiba-tiba menyeruak di antara mereka. "Perkenalkan, namaku Dean Leopold, dia Kyle Gothe. Kami siswa baru di Akademi. Siapa nama Nona Cantik ini?"

Apa? Siswa baru? Talia mendesah putus asa. Sepertinya hari-harinya di Akademi tidak akan berjalan dengan mudah.

"Talia. Talia Ortega," jawab Talia ragu-ragu.

Leopold tampak riang. Ia terus tersenyum kepada Talia sambil merangkulkan lengannya di bahu Kyle.

"Senang berkenalan dengan Anda, Lady Ortega. Semoga kita berada di kelas yang sama, ya," ujar Leopold ringan.

Talia berdoa dalam hati agar setidaknya ia tidak perlu berada satu kelas dengan anak bernama Kyle Gothe ini. Akan tetapi sepertinya tidak sopan jika mengatakan hal tersebut terang-terangan.

"Oh ... iya," jawab Talia kemudian.

Kyle berdecih kesal. Ia lantas menepis rangkulan Leopold dan kembali bersikap dingin. Talia hanya bisa menarik napas panjang. Ia benar-benar tidak ingin berurusan dengan penjahat masa depan itu.

Usaha Mengubah Masa Depan

Akademi Sihir Ramona merupakan akademi terbesar di Kerajaan Barat, salah satu dari empat kerajaan yang bersumpah setia pada Kekaisaran Ramona. Karena itu, murid-murid di akademi ini berasal dari wilayah yang berbeda-beda. Talia sendiri merupakan putri dari Count di Kerajaan Barat. Sementara Kyle Gothe, rupanya adalah putra Duke dari kerajaan Utara, wilayah yang paling banyak dihuni oleh para monster. Karena itu Talia akhirnya mengerti mengapa Kyle punya sifat yang sangat buruk. Ia tentu dibesarkan dengan keras oleh keluarganya. Meski begitu, tetap saja Talia tidak menyukainya.

Selain punya masa depan yang suram, Kyle juga sangat menyebalkan. Talia menyesal karena pernah terpikat pada wajah pemuda itu. Setelah selesai upacara penerimaan, sialnya Talia ternyata ditempatkan di kelas yang sama dengan Kyle. Bahkan Leopold, orang yang mengaku sebagai sahabat Kyle saja berada di kelas yang lain, tetapi kenapa Kyle harus punya nilai sempurnya seperti dirinya? Alhasil mereka bedua kini juga harus berbagi bangku yang sama sebagai peraih nilai tertinggi di ujian masuk.

Sikap menyebalkan Kyle tidak hanya terjadi saat mereka bertemu di hutan atau saat upacara penyambutan. Kyle bahkan mendesah lelah saat melihat Talia hendak duduk di sebelahnya. ******* yang menyiratkan rasa muak, seolah Talia adalah kuman penyakit yang harus dihindari. Kalau saja Kyle tahu bahwa Talia bahkan merasa lebih buruk. Ia setengah mati ingin menghidar dari Kyle, terutama setelah melihat masa depan pemuda itu.

"Kau ... ,"

"Jangan ajak aku bicara. Aku tiak tertarik pada apa pun yang keluar dari mulutmu," potong Kyle saat Talia berusaha bersikap ramah.

Talia hanya bisa mengepalkan tangannya sambil menahan amarah. Begitulah hari pertamanya di akademi hanya berisi sumpah serapah tak terkatakan pada rekan sebangkunya.

Menjelang sore, acara perkenalan dan pembagian kelas pun selesai. Semua siswi Akademi mendapat asrama khusus yang terpisah antara pria dan wanita. Karena datang terlambat, Talia belum sempat melihat kamarnya. Ia pun menuju gedung asarama dengan perasaan lebih ringan karena menyadari tidak akan bertemu dengan Kyle selama beberapa saat.

Ruangan kamarnya cukup nyaman. Sebuah tempat tidur kayu dan sepasang meja belajar dari bahan yang sama menjadi satu-satunya dekorasi di kamar tersebut. Talia tidak banyak menuntut. Ia sudah puas dengan kamar tidurnya yang nyaman tersebut. Barang-barang Talia ternyata sudah dikirim oleh Shopie. Beberapa tas besar tampak teronggok rapi di sudut ruangan. Talia belum ingin membongkar barang bawaannya. Alih-alih gadis itu justru merebah nyaman di atas tempat tidur singlenya.

"Apa yang harus kulakukan pada anak laki-laki itu? Kyle ... ," gumam Talia pada dirinya sendiri.

Ternyata ia memang tidak bisa melepaskan pikirannya dari Kyle. Semua perasaan bercampur aduk di dalam hati Talia.

"Dia memang menyebalkan. Tidak heran kalau masa depannya adalah menjadi penjahat yang menghancurkan kerajaan," timpal Talia mendadak berubah kesal.

"Tapi tunggu sebentar." Talia melanjutkan monolognya sambil memutar tubuhnya menjadi tengkurap. "Kalau kerajaan dihancurkan, lalu apa yang terjadi pada keluargaku. Ayahku seorang bangsawan yang mengabdi pada kerajaan. Bukankah tindakannya menghancurkan kerajaan akan memicu perang? Lalu nasibku dan keluargaku akan menderita,"gumamnya terus memutar otak.

"Aahh ... apa yang harus kulakukan. Kadang-kadang aku benci kekuatan ini," pekik Talia sembari beguiling-guling frustrasi.

Selama beberapa waktu Talia terus berpikir dan berpikir. Ia sampai melupakan jam makannya hingga perutnya berbunyi.

"Baiklah! Biarpun menyebalkan, tapi demi masa depan yang baik untukku, aku akan mengubah takdirmu, Kyle Gothe!" seru Talia sembari mengepalkan tangan.

Esok paginya, Talia berangkat ke Akademi dengan langkah gontai. Semalaman ia tidur larut gara-gara memikirkan cara untuk bisa dekat dengan Kyle, makhluk dingin pembenci manusia. Setelah melihat pemuda itu sudah lebih dulu datang, beban Talia rasanya bertambah berat.

"Halo, Kyle. Apa tidurmu nyenyak semalam?" sapa Talia dengan senyum yang dipaksakan.

Kyle mendongak dan menatap sinis pada Talia seolah gadis itu adalah gangguan yang menyebalkan.

"Apa kau bodoh? Sudah kubilang jangan ajak aku bicara," kata Kyle ketus.

Talia berusaha mempertahankan senyumannya meski hatinya memendam amarah. "Kita kan teman sebangku. Ada baiknya kalau kita bisa sedikit lebih akrab," ucap Talia sembari meletakkan tasnya dan duduk di sebelah Kyle.

Pemuda itu hanya menghela napas pendek dan tidak menjawab apa-apa lagi. Sepanjang pelajaran pertama, tidak ada kesempatan bagi Talia untuk bicara dengan Kyle. Pelajaran sihir dasar sangat membosankan. Talia sudah menguasai semua teknik dasar sihir karena sejak kecil ia sering berlatih sendiri di perpustakaan rumahnya. Ayah Talia sangat jarang ada di rumah. Karena itu Talia bisa bebas melakukan apa saja sendirian.

Talia melirik Kyle yang tengah memperhatikan pelajaran dengan seksama. Tanpa diduga pemuda itu ternyata sangat rajin. Kyle bahkan mencatat semua pelajaran itu dengan tulisan yang rapi. Selenting ide muncul di benak Talia. Ia merobek ujung perkamennya lalu menulis sesuatu.

'Kau sangat rajin mencatat, Kyle. Apa kau tidak bosan?' tulis Talia.

Robekan perkamen itu lantas ia letakkan di depan Kyle. Sejenak pemuda itu berhenti mencatat dan melihat kertas dari Talia. Serta merta ekspresi wajah Kyle berubah kesal. Kyle menoleh ke arah Talia dengan begitu dramatis sambil melotot memperingatkan. Talia terkesiap dan buru-buru memalingkan wajahnya. Sepertinya strategi ini juga tidak berhasil.

Jam istirahat makan siang pun tiba. Talia sengaja menunggu Kyle membereskan buku-bukunya. Saat pemuda itu berdiri, Talia pun mengikutinya.

"Apa kau akan makan siang, Kyle?" tanya Talia riang.

Kyle tidak menjawab dan terus melihat ke depan seolah Talia tidak ada bersamanya. Talia menarik napas panjang untuk memperpanjang juga kesabarannya.

"Aku penasaran menu apa yang akan disajikan untuk makan siang. Tadi pagi aku melewatkan sarapan, jadi sekarang rasanya lapar sekali." Talia terus berceloteh tanpa peduli pada reaksi Kyle.

Mendadak pemuda itu menghentikan langkahnya tanpa aba-aba. Talia turut berhenti dengan terkejut.

"Kenapa?" tanya Talia bingung.

Kyle akhirnya menatap Talia, meski dengan tatapan tajam yang mengancam.

"Berhenti mengikutiku. Kau benar-benar mengganggu. Apa kau tidak punya harga diri?" geram Kyle dengan suara rendah. Jelas pemuda itu berusaha agar kata-katanya tidak didengar oleh siswa-siswi lain yang juga berada di koridor yang sama.

Talia hampir meledak marah karena kata-kata menyakitkan Kyle. Namun ia kembali ingat penglihatannya. Istana yang hancur, orang-orang yang mati. Ia harus menghentikan hal itu.

"Aku tidak mau. Terserah kau mau bilang apa tentangku, tapi aku akan tetap mengikutimu dan berbicara denganmu. Memangnya apa yang bisa kau lakukan untuk mengusirku?" kata Talia dengan berani.

"Kau ... ," geram Kyle semakin marah. Urat wajah Kyle sudah nyaris putus kalau saja ia tidak mencoba mengendalikan amarahnya.

"Kenapa kau sangat benci orang lain, Kyle? Aku bahkan tidak melakukan apa pun yang mengganggumu," protes Talia tidak terima.

"Keberadaanmu saja sudah sangat mengganggu. Pergilah, atau aku akan mengadukan pada guru kalau kau datang dengan sihir," ancam Kyle kemudian.

Talia tercekat kaget. "Kau ... . Bisa-bisanya kau mengancam seorang gadis lemah sepertiku," ucap Talia mencoba bertingkah imut.

Kyle mendengkus tak percaya. "Kau? Lemah? Anak lemah mana yang datang ke Akademi dengan sapu sihir?" balas pemuda itu tak mau kalah.

"Tunggu. Setelah kupikir-pikir kita bertemu di hutan. Aku yakin kau juga tidak datang ke Akademi dengan cara yang normal," sergah Talia sembari menunjuk ke wajah Kyle.

"Itu ... kau tidak perlu tahu," desis Kyle kesal. "Lakukan saja sesukamu. Aku tidak peduli," lanjutnya lantas kembali berjalan pergi.

"Aha ... kau juga menyembunyikan sesuatu ternyata, Kyle. Ayo katakan padaku," goda Talia kemudian.

Kyle menolak untuk bicara lagi. Ia melancarkan aksi diamnya dan membiarkan Talia terus mengoceh sendirian. Meski begitu Talia sudah tidak terlalu kesal. Setidaknya sekarang Kyle sudah tidak bisa mengusirnya pergi lagi.

Terluka

Sudah satu minggu berlalu sejak Talia menjadi siswa di Akademi. Semua pelajaran dasar di tingkat pertama ini sebagian besar sudah dikuasai Talia secara otodidak. Karena itu Talia sejujurnya tidak terlalu tertarik lagi untuk memperhatikan pelajaran. Alih-alih, fokusnya kini adalah untuk meluluhkan hati teman sebangkunya yang dingin.

Sikap Kyle tidak banyak berubah, apa pun usaha Talia untuk mendekatinya. Akan tetapi kini Kyle tidak lagi rewel saat Talia mengikutinya kemana-mana. Kyle bahkan tidak protes saat Talia duduk bersamanya untuk makan siang. Sekali waktu Leopold datang dan duduk bersama mereka. Entah bagaimana pemuda itu bisa berteman dengan Kyle. Talia memperhatikan bahwa kehadiran Leopold tidak terlalu membuat Kyle merasa terganggu. Kyle justru tampak nyaman dengan Leopold. Mereka bahkan berbincang-bincang tentang masalah sepele seperti makanan, atau pelajaran.

Talia tidak mengerti kenapa Kyle di masa depan bisa menjadi orang jahat padahal dia punya setidaknya satu orang sebagai temannya. Leopold juga tidak terlihat seperti anak yang jahat. Justru ia sangat ramah dan bersahabat. Akan tetapi, Talia akhirnya bisa menemukan alasan mengapa Kyle selalu membatasi dirinya dari orang lain.

Hari itu seperti biasa Talia dan Kyle pergi bersama untuk makan siang. Leopold berjanji akan menemui mereka di ruang makan, tetapi sampai jam pelajaran dimulai lagi, Leo sama sekali tidak terlihat. Kyle tampak gelisah sepanjang sisa hari.

"Ada apa Kyle? Kau terlihat tidak nyaman sejak makan siang?" tanya Talia sambil berbisik.

Gadis itu melirik buku catatan Kyle yang biasanya dipenuhi catatan rapih. Akan tetapi hari itu Kyle tidak menuliskan apa-apa. Buku tulisnya sepenuhnya kosong.

"Kyle," panggil Talia masih dengan berbisik. Gadis itu bahkan menyenggol lengan Kyle agar mendapat perhatiannya.

Kyle terlonjak kaget. "Kenapa?" bisiknya ketus.

"Kau yang kenapa? Tidak biasanya kau melamun. Apa yang kau pikirkan?"

Kyle tampak ragu, tetapi kemudian menjawab pertanyaan Talia dengan jujur. Hal yang sangat langka.

"Leo ... ," desah Kyle pelan.

"Kau mengkhawatirkan Leo?" tanya Talia kemudian.

Kyle tidak menjawab lagi. Talia memutuskan bahwa memang hal itu yang mengganggu Kyle. Maka dari itu, saat pulang sekolah, Talia pun menyeret Kyle untuk menemui Leo di kelas alkimia. Akademi Ramona membagi kelas sesuai dengan kemampuan bawaan para siswa. Kyle dan Talia masuk ke kelas enchanter, karena kemampuan mereka untuk mengendalikan elemen alam, termasuk dalam kasus Kyle, elemen kegelapan. Lalu ada juga kelas Alkimia yang dimasuki Leo. Alkimia adalah kemampuan untuk membuat beragam ramuan sihir yang memiliki banyak fungsi. Kelas yang lainnya beast taming, kelas untuk anak-anak yang berbakat memanipulasi makhluk sihir.

Kelas alkimia berada di menara timur. Talia membawa Kyle untuk langsung menemui Leo begitu pelajaran selesai. Dengan begitu, Kyle tidak perlu terlalu khawatir. Namun, saat mereka berbelok di koridor yang menghubungkan menara kelas enchanter dan kelas alkimia, Talia menemukan sesosok tubuh anak laki-laki yang tergeletak bersimbah darah.

Koridor tersebut kosong karena memang jarang dilewati oleh siapa pun. Karena itu tidak ada orang yang berusaha menolong anak laki-laki yang tergeletak itu.

"Kyle ... itu," desah Talia ragu-ragu.

Akan tetapi Kyle yang berjalan di sisi Talia mendadak berlari menyongsong tubuh bersimbah darah tersebut. Talia mau tak mau mengikuti Kyle yang tampak panik, tidak seperti biasanya. Betapa terkejutnya Talia saat melihat siapa sosok pemuda penuh darah itu: Leo.

"Leo!" pekik Kyle sembari berlutut di sebelah tubuh Leo. Talia hanya bisa membekap mulutnya karena terkejut.

Leo mengerang pelan. Tampaknya pemuda itu masih sadar.

"Apa yang terjadi?" desak Kyle tampak sangat cemas.

"Itu ... Kyle ... berhati-hatilah," hanya itu kata-kata Leo. Tak lama kemudian pemuda itu jatuh pingsan.

Setelah kejadian tersebut, Talia akhirnya mengetahui alasan di balik sikap dingin Kyle.

***

Kabar penyerangan pada Leo segera menggemparkan akademi. Para murid yang penasaran berbondong-bondong mendatangi ruang kesehatan. Namun para guru segera membubarkan mereka karena dapat mengganggu pemulihan pasien. Kasus ini bahkan sudah ditangani langsung oleh Profesor Rilley, Kepala Departemen Alkemis. Orang tua Leo segera dipanggil ke sekolah untuk melihat kondisi putranya yang luka parah hingga tak sadarkan diri.

Sama seperti para murid lainnya, Talia dan Kyle pun tidak diperbolehkan untuk berada di ruang kesehatan untuk melihat kondisi Leo. Alih-alih, mereka berdua justru dipanggil ke ruangan Profesor Rilley untuk memberikan keterangan, mengingat mereka adalah orang pertama yang menemukan korban. Talia berdiri dengan gelisah di depan ruangan sang Dekan saat menunggu dipanggil masuk ke dalam ruangan. Beberapa kali gadis itu berjalan mondar-mandir sembari menggigit kuku ibu jarinya. Kyle di samping itu, hanya duduk tercenung dengan wajah tertunduk muram. Pemuda itu tidak mengatakan apa-apa dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Bagaimana bisa penyerangan mengerikan seperti itu terjadi di akademi tanpa diketahui siapa pun?" gumam Talia sambil mondar-mandir gelisah.

"Hei, Kyle, bukankah kau sudah mendapat firasat tentang kejadian ini? Seharian tadi kau sudah memikirkan Leo. Apa kau tahu sesuatu?" cecar Talia lantas duduk di sebelah Kyle yang masih terlihat muram. Namun pemuda itu tidak merespon pertanyaan Talia sama sekali.

Talia mendesah putus asa. Rasanya dia seperti sedang bicara pada dinding batu. Dingin, tanpa respon. Akhirnya pintu ruangan Profesor RIlley pun terbuka. Seorang gadis berkacamata dengan rambut diikat ekor kuda keluar dari ruangan tersebut. Talia mengenali gadis itu sebagai Ketua Dewan Siswa.Siswi tingkat tiga yang berprestasi, Deana Riel.

"Kalian disuruh masuk sekarang," kata Deana menatap Talia dan Kyle sembari menutup pintu ruang Dekan.

Talia dan Kyle pun segera bangkit berdiri dan bersiap masuk.

"Terima kasih," ucap Talia pendek.

Muela hanya mengangguk singkat lantas berjalan pergi meninggalkan mereka berdua. Talia dan Kyle mengetuk pintu ruangan Profesor Rilley beberapa kali.

"Masuk," jawab Profesor dari dalam.

Talia pun membuka pintu dan menemukan sebuah ruangan berdinding batu dengan sebuah meja kayu mewah dan mengilat tertata rapi di ujung ruangan. Sebuah perapian berkeretak keras membakar kayu-kayu di sisi ruangan yang lain. Talia dan Kyle berjalan melewati satu set sofa gading yang ada di depan pintu dan langsung berdiri di depan meja kerja Profesor Rilley.

"Duduklah, kalian berdua," perintah Profesor Rilley kemudian.

Keduanya menurut dan duduk di hadapan sang Profesor. Ini kali pertama bagi Talia bertemu dengan Dekan dari Departemen Alkimia. Profesor Rilley adalah seorang pria paruh baya yang berusia sekitar akhir 40an. Rambut hitamnya yang ditata dengan rapi sudah terlihat beruban di beberapa tempat. Meski begitu Profesor tersebut tidak terlihat terlalu tua. Justru sorot matanya yang tajam membuatnya lebih berwibawa dan tegas.

"Kudengar kalian adalah teman dekat Dean Leopold. Apa yang terjadi hari itu pada Leopold?" tanya Profesor Rilley tanpa basa basi.

Talia tidak mencoba menjawab karena menurutnya Kyle jauh lebih dekat dengan Lao daripada dirinya. Gadis itu hanya melirik Kyle diam-diam, menunggu teman sebangkunya itu mengeluarkan kata-kata. Akan tetapi Kyle tetap terdiam dan membuat kegelisahan Talia semakin besar.

Profesor Rilley menarik napas panjang menghadapi keheningan itu. "Mungkin kalian perlu tahu tentang ini. Dean Leopold dikonfirmasi mendapat serangan hewan sihir. Lebih tepatnya Dirlagraun," lanjut Profesor dengan nada serius.

Talia mengerti mengapa informasi tersebut membuat Profesor Rilley begitu serius. Dirlagraun adalah seekor hewan buas berwujud puma dengan enam kaki dan sepasang tentakel bergigi tajam sepanjang dua meter. Hewan tersebut terkenal dengan kebuasannya saat berburu. Bukan hanya lincah dan ahli menerkam, sepasang tentakel bergigi tajamnya juga terkenal beracun. Hewan buas mematikan itu seharusnya tinggal di hutan belakang sekolah, tepatnya di penangkaran hewan buas milik Departemen Penjinak Binatang. Bagaimana mungkin makhluk sihir tersebut bisa berkeliaran bebas di akademi pada siang bolong tanpa diketahui siapa pun?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!