Dret! Dret! Dret!
Suara bunyi telepon genggam milik Bima yang masih santai di tempat tidur, memenuhi ruang kamarnya. Pemuda itu sengaja mengistirahatkan otaknya karena dia baru saja menyelesaikan Pendidikan pasca sarjananya dengan nilai yang sangat bagus, alias comlaud. Baru juga sang pemuda ingin bersantai, tiba-tiba saja ponselnya berdering, membuat dirinya mau tak mau harus mengangkat panggilan yang baru saja masuk.
"Hallo, Kek. Ada apa sih? Bima baru juga istirahat ini, tapi Kakek udah tau aja kalau aku lagi rehat."
Pemuda itu menjawab telepon dari sang kakek yang selama ini membiayai kehidupannya bersama sang bunda. Seorang perempuan yang selalu menjadi motivasinya, agar bisa menjadi orang yang sangat sukses dan akan membalas dendam pada ayah kandungnya.
"Kamu itu kan sudah tamat, jadi masih ngapain kamu di negeri orang sana? Buruan pulang ke Indonesia, kasihan ibumu!"
Kakek Arjuna entah sudah berapa kali menyuruh cucunya tersebut untuk pulang ke Indonesia, tetapi Bima masih punya banyak cara untuk menolak permintaan sang kakek. Namun, kali ini sepertinya pemuda itu tidak punya akan lain untuk menunda kepulangannya ke Jakarta.
"Tapi, Kek —" Ucapan Bima langsung terpotong karena sang kakek yang selalu mendominasi setiap mereka melakukan panggilan via telepon.
"Umur kakek itu sudah tua, Bima. Jadi sebelum kakek pergi masuk ke dalam kuburan, maka kakek pengen menggendong cicit dari kamu. Apalagi kakek sudah nggak sanggup mengurus perusahaan sebesar itu sendirian, jadi tolong kamu secepatnya pulang ke Indonesia." Kakek tua itu seperti biasanya selalu membujuk dan terus membujuk sang cucu, agar pulang ke tanah air agar Bima segera menikah.
"Baiklah, Kek. Bima akan segera pulang, tetapi bukan untuk menikah dan memberikan cicit yang Kakek pinta. Bima hanya akan menikah kalau ibu telah sembuh dari penyakitnya karena Bima tidak ingin hal yang sama terjadi lagi seperti ibu."
Sesaat ponsel pintar itu hening tanpa mengeluarkan suara dari negara Indonesia. Pembicaraan terjeda karena kakek Arjuna merasa sedih mendengar kalimat yang keluar dari mulut cucunya. Bagaimana mungkin sang cucu benar-benar sangat trauma karena Putri semata wayangnya dikhianati oleh ayah Bima Saputra.
"Bagaimana kabar ibu sekarang, Kek? Apa ibu masih suka mengamuk dan histeris?" Pemuda itu akhirnya menanyakan kabar perempuan yang telah melahirkannya dengan penuh cinta sehingga bisa menikmati keindahan bumi yang sedang diijaknya.
Arjuna terdengar menghela napasnya dengan berat, lalu menjawab pertanyaan sang cucu dengan senyum tipis di bibir keriputnya.
"Sejak kamu pergi melanjutkan pendidikan ke luar negeri, sejak itu pula lah ibumu menjadi lebih pendiam tanpa bicara apapun, tetapi dia sekali-kali masih suka mengamuk dan ingin kabur membawa mobil," cerita kakeknya yang membuat hati Bima semakin miris dan akhirnya dia memutuskan ingin kembali, demi perempuan yang sangat disayanginya dimana saat ini sedang mengalami depresi mental.
***
Cuaca panas dan terik matahari sedang tajam menghunus bumi, memberikan jejak di setiap jengkal tanpa ada celah yang tertinggal. Udaranya begitu kental dengan rasa gerah yang menyelimuti tubuh seorang gadis sedang membaca buku dengan satu tangan. Gadis itu sibuk mengibaskan kertas ke arah wajahnya, sebagai alat pendingin alami pengganti ac.
Gadis nan cantik bermata sipit sedang asyik membaca buku di dalam perpustakaan tanpa menghiraukan orang lain yang ada di sekitarnya, dia begitu fokus dalam membaca sebuah karya fenomenal yang melegenda karya Buya Hamka yang sedang dipegangnya.
“Coba kalau aku bisa menulis … sepertinya seru kalau mampu membuat novel, Mana tahu aku juga bisa membantu Bunda dari hasil menulis nanti.”
Syifa bermenung berkelana dalam lamunannya, hingga tidak menyadari dua sahabatnya sedang berjalan perlahan-lahan, seperti pencuri yang sengaja mengendap agar tak bisa tertangkap. Mereka berjalan tanpa suara berusaha mendekat ingin memberikan sebuah kejutan agar terjadi Syifa kaget untuk candaan.
"Baaa!"
"Astaghfirullah, kalian ini benar-benar tidak punya kerjaan ya, untung aku tidak punya sakit jantung. Kalau aku sampai stroke karena terkejut bagaimana? Kalian mau tanggung jawab jika aku tidur selamanya gara-gara jantungku tidak berdetak lagi!" sungut Syifa langsung berdiri dari bangkunya dan berkacak pinggang seperti seorang ibu yang sedang memarahi anak-anaknya.
Gadis itu terlihat sedikit kesal dengan ulah kedua sahabatnya yang malah tertawa terpingkal-pingkal tanpa ada rasa berdosa. Mereka berdua bagaikan nyamuk yang selalu terbang mengitari kehidupan Syifa dan memberikan rasa gatal, sehingga mau tak mau gadis berhijab dengan tubuh mungil itu, harus bersedia menggaruk ketika tubuhnya terasa gatal akibat tingkah polah yang selalu saja membuat mereka tertawa.
"Hahaha, Syifa persis mirip sama mamaku yang cerewet ketika aku tidak mau buat tugas waktu sekolah dulu," ujar Lula sengaja menggoda sahabatnya.
Dia mengakui jika Syifa sangat mudah melupakan amarahnya dalam sesaat, sehingga membuat semua orang yang mengenalnya dengan mudah untuk bergaul dengannya.
"Lagian kamu ini udah cantik, pintar tapi tak pernah punya cowok. Kasihan itu Bram, dia siap melayanimu sampai-sampai dia ingin mengikuti mu ke toilet juga, parah tuh anak wali kota, hahaha," sela Rini yang tak bisa menahan rasa gemas melihat raut wajah satu-satu sahabatnya yang mengenakan hijab.
Rini dan Lula memang sangat suka menggoda sahabatnya, karena terlalu kutu buku di mata mereka, sehingga gak pernah sekali pun untuk mau didekati oleh seorang laki-laki sekedar untuk berkencan ataupun dinner malam.
Bahkan ada beberapa mahasiswa sengaja meminta tolong padanya agar bisa menyampaikan perasaan si cowok pada sahabatnya Syifa, tetapi seperti biasa gadis berhijab itu selalu menolak siapa pun yang ingin berkencan dengannya. Terkadang Rini dan Lula merasa kesal sendiri karena sifat Syifa yang masih belum ingin terbuka terhadap seorang pria.
"Oh ya, Syifa. Sebenarnya selama ini aku penasaran loh, sudah berapa banyak sih laki-laki yang patah hati kau buat, hem? Kurasa ratusan orang sudah ada yang merasakan tolakan halus dari seorang gadis bernama Syifa Salsabila. Hipotesis ku mengatakan, hal ini disebabkan karena melihat prestasi yang kau miliki dan juga keistimewaan yang ada di dalam hatimu," ucap Lula kembali menimpali, dengan gaya bicara seolah seorang profesor baru saja mendapatkan temuan barunya ketika melihat wajah Syifa yang merona.
“Lebay deh! Kapan sih kalian berdua bisa berhenti menggangguku saat belajar? Aku tidak mau menjadi mahasiswa abadi di kampus ini, apalagi aku ingin sekali melihat bunda pergi naik haji dari hasil jerih payahku," protes Syifa dengan nada datar tetapi menancap ke ulu hati kedua sahabatnya.
Gadis itu sebenarnya sedikit malas untuk menjawab pertanyaan apapun yang keluar dari kedua sahabatnya. Dia tidak mau ikut terhanyut dari perkataan demi perkataan yang selalu berdampak terhadap kekurangan volume belajarnya hanya karena rayuan masa muda dari kedua sahabatnya.
“Syifa, ada seseorang yang lagi nyari kamu dan nungguin di kantin tuh!” terang Rini.
“Siapa emangnya?” Dahi gadis itu terlihat berkerut karena sudah beberapa hari ini hidupnya terasa damai tanpa ada yang mengganggu.
Jangan lupa kasih dukungannya ya, terima kasih.
“Siapa emangnya?” Dahi gadis itu terlihat berkerut karena sudah beberapa hari ini hidupnya terasa damai tanpa ada yang mengganggu.
Rini dan Lula melakukan aksi saling pandang, mereka sama-sama menaikkan kedua bahunya merasa seolah-olah tidak mengetahui siapa orang yang sedang menunggu pria penggemar selanjutnya.
“Kami nggak tau, swerr!” jawab keduanya dengan kompak.
Syifa yang curiga menatap secara bergantian manik hitam sahabatnya, “Apa kalian sedang merencanakan sesuatu yang tidak kusuka, hmm?”
"Hehehe Syifa, jangan masukin dalam hati dong! Kami berdua hanya ingin kau mendapatkan yang terbaik dalam hidupmu, kenapa kamu selalu menyia-nyiakan masa muda hanya dengan setumpuk buku? Kali ini kami nggak ada berbuat sesuatu yang dilarang agama kok, kami hanya ingin kamu menemui ketua BEM kita di kantin. Kasian dia udah blulukan hanya sekedar ingin bicara." Rini mencoba memberikan sedikit pandangan tentang masa muda yang harus dinikmati selagi ada.
Dia tidak menyadari jika Syifa bukanlah tipe perempuan yang suka menghabiskan masa mudanya dengan berfoya-foya, atau bergelayut manja bersama seorang laki-laki dengan penuh aura masa muda yang bisa berselancar sampai ke hubungan bebas tanpa batas.
Syifa tersenyum, Gadis itu sangat sadar jika kedua sahabatnya melakukan segala macam cara agar dirinya sedikit rehat dari buku-buku yang menumpuk sehingga dirinya pun sering dikatakan sebagai gadis kutu buku.
"Hidupku tidak seberuntung kalian berdua, jadi aku harus menatanya dengan sangat baik dan hati-hati, agar kedepannya bisa lebih baik. Hanya itu saja kok, tidak ada yang lain," sahut Syifa dengan sebuah senyuman yang terbentuk di bibir mungilnya.
Senyuman itu mampu menggoyahkan hati siapa saja yang memandangnya, termasuk dua sahabat tajirnya yang punya segala di atas rata-rata.
Lula dan Rini merasa sangat sedih dan sedikit tersinggung dengan apa yang baru saja disampaikan oleh Syifa. Mereka seolah tersadar dari lamunan panjang selama ini yang tidak pernah mereka ketahui, bahwa Syifa bukanlah gadis dari golongan kaum atas, melainkan seorang gadis miskin yang berusaha kuat dalam menghadapi arus kehidupan dengan segala kemampuan yang ada.
Ya, Syifa hanya seorang anak penjual es dawet yang mengais rezeki dengan selalu bertumpu pada cuaca panas.
Persahabatan yang sangat kental kadang menghilangkan garis tipis yang membatasi antara si kaya dan si miskin. Lula dan Rini selama ini tidak pernah peduli dengan apa yang dikatakan oleh orang lain tentang seorang gadis miskin yang selalu menempel kepada orang kaya.
Hal itu terjadi, akibat persahabatan yang terlalu dekat antara mereka berempat, Lula, Rini, Syifa dan juga Bram.
Ketiga anak muda yang tajir melintir selalu siap memberikan kendali sopir guna mengantarkan Syifa kemanapun yang dia suka. Namun kenyataan yang sebenarnya, seorang gadis yang bernama Syifa tidak pernah sekalipun memanfaatkan salah seorang dari sahabatnya untuk kepentingan yang bukan menjadi lahan jangkauannya.
"Maafkan kami, Syifa. Kami tidak punya niat sama sekali untuk membuatmu merasa rendah, kami ini sahabat yang sangat menyayangimu. Jadi jangan pernah menganggap kami ini adalah orang yang membedakan status di antara kita," ujar Lula mengingatkan sahabatnya yang tiba-tiba saja menjadi baper akibat pembicaraan sepele.
Syifa hanya menanggapi perkataan mereka berdua dengan senyum ramah penuh ikhlas, memberikan rasa nyaman dan kesejukan saat melihatnya.
“Kok malah minta maaf, sih? Emangnya kalian ada salah apa sampe segitunya?”
Syifa tidak pernah merasa tersinggung dengan apa pun yang diucapkan orang lain terhadap dirinya, ini merupakan salah satu sifat yang jarang ditemui oleh gadis seusianya. Namun, ada kalanya dia akan memberontak dan melawan habis ketika seseorang menghina keluarganya.
"Lula benar, Syifa. Kami ini sangat menyayangimu, jadi apapun masalahmu itu juga merupakan masalah kita bersama." Rini juga sangat menyayangi Syifa dan dia tidak ingin hubungan antara mereka bertiga renggang hanya karena salah paham dengan kata-kata yang keluar tanpa mereka sengaja.
Syifa tersenyum kepada kedua sahabatnya sambil meraih kedua tangan Rini dan Lula. Menyalurkan hawa persahabatan yang murni tanpa pamrih, membuat orang yang menerima sentuhan dari jemarinya, menjadi semakin merasakan aura penuh perhatian. Hal yang sudah hampir punah dari muka bumi ini, akibat dilanda rasa keegoisan yang terpatri pada hati manusia kebanyakan saat ini.
"Kalian tidak usah khawatir, kalian berdua adalah sahabat terbaikku. Jadi tidak mungkin aku tersinggung, bukankah kita sudah sangat mengenal satu sama lainnya. Lupakan! Sekarang ke mana kita akan magang? Ada yang punya ide nggak?" tanya Syifa dengan suara datar sambil menautkan kedua alisnya, seolah menuntut jawaban dari dua perempuan yang mengganggu waktu membacanya.
“Tunggu dulu, terus gimana dengan si ketua BEM? Coba kamu temui sebentar saja! Kasian loh … dia itu pemuda yang baik dan juga berprestasi sepertimu, apa salahnya kamu membuka hati untuknya.” Rini kembali mengingatkan kalau ada seseorang yang masih menunggu Syifa untuk diajak bicara.
Huft!
Gadis itu menarik nafas seiring dengan anggukan kepala, “Baiklah, kali ini aku akan menemui pemuda yang kalian jodoh-jodohkan untukku tapi aku nggak janji akan seperti apa setelah pertemuan kami nanti dan nggak ada yang boleh kecewa di antara kalian berdua.”
Mata Lula dan Rini langsung memancarkan Binar Binar bahagia karena akhirnya gadis berjilbab itu mau juga diajak nya bertemu dengan sang ketua band yang sudah sangat lama sekali menyukai Syifa.
“Kami janji!” sahut keduanya dengan kompak.
“Terus gimana dengan tempat magangnya?” kembali Syifa mengingat kedua sahabatnya.
Tiba-tiba Lula dan Rini tersadar bahwa mereka sebentar lagi harus menyusun proposal untuk tugas akhirnya sebelum menyusun skripsi. Hal yang selama ini tidak pernah terpikirkan di kepalanya, karena kedua sahabatnya itu sibuk dengan masa muda dan juga foya-foya dengan berbelanja sesuatu yang kadang tidak diperlukan olehnya.
Kadang Syifa ada rasa sedikit berlebihan akibat seringnya datang tumpukan hadiah dari tiga sahabatnya yang berbeda status sosial sangat jauh, bagaikan langit dan bumi dengan keluarganya yang miskin.
Bahkan mereka bertiga kadang tanpa sepengetahuannya, telah memberikan sebuah bantuan yang sangat dibutuhkan keluarganya tanpa diminta sama sekali. Perihal semacam itu sering terjadi di dalam keluarga Syifa yang sederhana, akibatnya ada rasa hutang budi yang sedikit bergelayut di kepala gadis tersebut, mengingat kebaikan tiga sahabatnya yang selalu setia berada di sisi-nya disaat suka maupun duka.
"Astagfirullah, kenapa aku bisa lupa hal yang sepenting ini? Kalian tenang saja, aku akan bertanya sama papa, apakah kita bisa untuk ikut magang di perusahaannya," Cetus Lula sambil tersenyum untuk menyenangkan kedua sahabatnya.
Sebenarnya tidak ada larangan yang namanya hubungan nepotisme di antara pihak keluarga, namun Syifa tidak ingin menggunakan koneksi untuk membuatnya dengan gampang masuk ke dalam perusahaan seseorang.
"Aku tidak setuju, jika kita bertiga masuk ke dalam perusahaan papamu, itu namanya jalan kita terlalu mulus dalam menggapai cita-cita, lalu dimana letak rasa jiwa menantang yang selama ini kita punya, bukankah semua akan berlalu sia-sia ya," sahut Syifa sambil menaikkan kedua alisnya.
Berusaha untuk menjadi pusat perhatian yang dominan agar kedua sahabatnya segera tertarik dengan apa yang dikatakannya, tentang rasa puas dengan usaha sendiri tanpa bantuan orang lain.
"Aku setuju dengan pendapat Syifa, jadi kita akan merasa tertantang apabila dilakukan dengan usaha sendiri tanpa bantuan orang lain," timpal Rini dengan gaya khasnya, berusaha menerima keputusan yang dianggapnya benar telah keluar dari bibir indah sahabatnya.
Dia menelaah dengan sangat sempurna ketika Syifa menyampaikan niatnya, bahwa apa yang akan terjadi pada mereka bertiga akan lebih merasa terpuaskan, ketika usaha dilakukan tanpa adanya bantuan dari pihak dalam.
"Hemm, berarti besok kita akan mencari perusahaan mana yang akan kita jadikan sebagai tempat magang," usul Lula melanjutkan kalimatnya.
"Setuju," ucap Syifa dan Rini kompak. Seolah sedang dipandu bersuara dengan nada vokal yang sama oleh seorang dirigen vokal yang berada di depannya.
"Tetapi di perusahaan mana kita bisa melakukan magang dengan mudah?" lanjut Syifa bertanya.
“Hey gimana kalau bahas itu ntar malam aja, sekarang kamu temui dulu si tampan ketua BEM!” Rini kembali mengingatkan.
“Tunggu dulu, Rini. Bagaimana kalau kita magang di perusahaan Bimasakti Group, bukankah itu perusahaan besar di kota ini? Mana tau jika kita diterima magang di sana malah nanti punya kesempatan bekerja di sana?”
Halo semua jumpa lagi dengan author receh, ig putritanjung2020. Semoga suka ya. Happy reading dan terima kasih.
“Ma-maaf, saya benar-benar tidak sengaja menabrakmu. Apa kamu baik-baik saja?” tanya Bima saat melihat gadis berhijab warna biru itu hanya menunduk memijat kakinya yang berbalut kaos berwarna hitam.
“Aku nggak apa-apa kok, makasih sudah peduli,” cicit Syifa tanpa menoleh sedikit pun, membuat Bima merasa heran karena biasanya seorang perempuan akan terpana melihat ketampanannya tapi kenapa gadis berhijab ini sama sekali tak tertarik.
‘Menarik!’ gumamnya dalam hati.
“Oh ya, bagaimana kalau saya antarkan ke rumah sakit sekarang?” tawar Bima ramah.
Pria itu memindai wajah Syifa Agar bisa langsung melekat di dalam benaknya untuk mengingat wajah lembut milik pemilik gadis yang ditabraknya.
“Gak usah, Tuan. Insha Allah ini hanya tinggal diurut di rumah sama balsem bakal baik-baik saja,” sahut Syifa mulai berdiri walau terlihat sedikit kesusahan.
Bima terus saja menatap sang gadis yang selalu menundukkan wajah seolah dirinya yang telah menabrak tanpa sengaja, merupakan manusia menjijikkan di dekatnya.
Laki-laki itu dengan cepat membantu Syifa kembali membuat motor maticnya berdiri dengan baik. Dia tahu kalau dirinya yang bersalah hingga tanpa diminta sama gadis yang ditabraknya, Bima dengan cepat memasukkan uang lembaran berwarna merah ke dalam saku motor maticnya.
Tubuh gadis itu langsung membeku, melihat tangan sang pria sudah kembali masuk ke dalam saku nya dan ingin membalikkan badan melangkah menuju mobilnya. Dengan sigap, Syifa mengambil uang merah segepok yang baru saja dimasukkan Bima ke jok depan motor matic nya dan mengejar langkah kaki pria yang sudah hampir membuka pintu mobilnya.
Baru saja Bima membuka daun pintu mobilnya, tiba-tiba saja uang merah yang tadi sempat dimasukkan ke dalam saku kendaraan perempuan itu sudah duluan terbang masuk ke dalam mobilnya.
“Maaf, saya benar-benar terjatuh akibat gesekan mobil Tuan tapi saya sama sekali bukan manusia yang suka memanfaatkan keadaan!!” sarkas Syifaa menahan sesak di dada, sembari membalikan tubuhnya dengan cepat dan berlalu pergi menaiki motornya.
‘Ternyata mulutnya saja yang lembut tapi hatinya sama dengan orang kaya lainnya, selalu memandang rakyat jelata dengan sebelah mata dan menganggap kami ini menjadikan uang sebagai Tuhan. Menjijikkan!’
❤️❤️❤️
Saat ini dalam ruangan meeting perusahaan Bimasakti Group, presiden direktur datang dengan seorang pemuda berwajah tampan, tinggi dan juga terlihat sangat cool. Rahang tegas dengan alis tebal nan hitam mampu membuat seluruh wanita yang melihat akan terpesona, tapi jangan salah karena Bima tak pernah sekali pun tertarik sama para gadis. Sang kakek memperkenalkan laki-laki berpakaian serba hitam dengan setelan tiga potong bergaya rambut konvensional sisir ke belakang, sebagai cucu kesayangannya yang bernama Bima Saputra.
Asisten Arjuna mulai membuka rapat dan langsung dilanjutkan oleh sang kakek nan wibawa untuk bicara.
"Mulai saat ini kursi kepemimpinan sebagai seorang direktur, akan saya berikan kepada cucu saya yang baru saja menyelesaikan pendidikan pasca sarjananya di Harvard University, silakan perkenalkan dirimu, Bima!" perintah sang Presiden Direktur kepada cucunya.
Kakek Arjuna menoleh pada sang cucu selaras dengan anggukan kepala mengisyaratkan agar pemuda itu mulai berbicara. Saat semua karyawan berdiri memberikan hormat, aura dingin langsung memenuhi ruangan meeting yang memang telah diprediksikan dari jauh hari sebagai wadah dalam perkenalan cucunya dengan para petinggi perusahaan pagi ini.
"Selamat pagi semuanya, saya Bima Saputra berharap kita semua bisa bekerja keras dengan lebih baik agar perusahaan ini semakin berkembang di masa yang akan datang, sehingga bisa menjamin kesejahteraan semua dalam bidang perekonomian dan juga kesehatan."
Bima berbicara dengan sangat singkat, padat tetapi penuh dengan tekanan. Matanya terlihat sangat tajam dan juga menakutkan saat memberikan pandangan dengan menyapu setiap wajah karyawan yang hadir mengelilingi meja oval di hadapan mereka.
"Satu lagi, saya paling tidak suka dengan seorang penjilat!" serunya dingin membuat kerongkongan seluruh petinggi perusahaan yang sedari rileks tiba-tiba saja mulai merasa tercekat.
Pria itu kembali memandang dengan menyapu tatapan ke semua wajah-wajah para kepala divisi satu persatu. Memberikan tatapan penuh mendominasi dan kuasa diri yang mumpuni, mampu membuat mata yang berserobok langsung merasa ciut nyali.
Ruangan seketika berubah menjadi hening, aura dingin serasa menyelimuti seluruh tubuh karyawan yang hadir saat itu. Tak ada yang berani berucap sedikit pun atau sekedar saling berbisik karena aura yang dipancarkan oleh pemimpin baru mereka begitu menegangkan dan juga menakutkan.
Ruangan yang sejuk dengan AC yang telah memberikan rasa nyaman tanpa kegerahan kepada setiap insan yang berada di dalamnya, tapi rasa itu seolah hilang dengan hadirnya sosok Bima di antara mereka. Laki-laki itu mampu menciptakan kegelisahan bagi setiap karyawan yang pernah melakukan sebuah kecurangan atau pun kecerobohan.
“Apa ada yang ingin bertanya sebelum saya sendiri menanyai kalian semua, hmm?” Pria itu bertanya dengan sedikit senyum tapi di mata seluruh peserta rapat hari ini merupakan seringaian menakutkan.
“Saya akan memastikan kalau tidak akan ada seorang karyawan pun yang melakukan kecurangan bisa ke luar dari perusahaan ini dengan selamat! Jadi pastikan diri kalian semua bukan seorang pecundang yang berani main curang di belakang. Jika ada yang sudah melakukan lalu merasa itu tak benar … maka segera berubah sebelum saya sendiri yang turun tangan menghapus jejak kecoa berdasi di perusahaan ini!”
Mereka sedang merasakan aura membunuh yang sangat melekat di dalam bola mata bening yang dipancarkan dengan cahaya kematian, saat berserobok pandang dengan pimpinan baru yang tak lain adalah ahli waris tunggal dari seorang Arjuna Sanjaya.
Semua wajah karyawan fokus mengarah kepada pimpinan baru mereka tanpa ada yang bersuara, penuh konsentrasi mendengarkan setiap kata demi kata yang disampaikan oleh Bima Saputra dengan penuh gaya yang sangat berkharisma.
Baru hari pertama Bima bekerja di sini semua karyawan terlihat sangat takut dan juga patuh kepadanya, hal ini membuat kakek Arjuna benar-benar merasa bangga sebab cucunya sungguh sangat dihormati karyawan perusahaannya.
‘Mudah-mudahan semuanya bisa berjalan dengan lancar dan saya bisa tenang meninggalkan perusahaan ini ditangan cucu sendiri,’ batin kakek Arjuna bicara sambil tersenyum dan juga menahan haru melihat sang cucu begitu berwibawa di depan seluruh karyawannya.
Sebenarnya perusahaan Bimasakti saat ini tidak mengadakan rapat para karyawan melainkan hanya memperkenalkan Bima dengan seluruh petinggi perusahaan.
“Baiklah, agar saya lebih mengerti tentang tugas kalian masing-masing, maka serahkan rincian laporan masing-masing divisi dan antarkan pada sekretaris Kenzi!" perintah Bima kepada seluruh kepala divisi.
"Baik, Pak," jawab seluruh karyawan yang merasa sebagai kepala divisi serempak di hadapannya.
Tak ada satu pun yang berani melawan titah seorang Bima Saputra yang selama ini baru bisa teridentifikasi lewat dunia maya. Namun saat ini, sosok nyata seorang Bima telah hadir dengan nyata di antara mereka. Berada dalam perusahaan yang sama, akan selalu memantau kegiatan mereka tanpa adanya sedikit celah untuk berpesta dalam berbuat curang.
Setelah meeting selesai, Bima langsung pergi bersama kakeknya menuju ruangan yang sengaja dipersiapkan untuk cucu tersayangnya. Ruangan itu terlihat begitu luas, lengkap dengan sebuah kamar di dalamnya beserta satu set kursi sofa untuk menyambut jika ada tamu yang datang ke sana.
Kakek Arjuna duduk di sofa dan menyeruput kopi yang baru saja diantar oleh office boy. Aroma kopi yang terpancar dari gelas yang ada di hadapannya, menyeruak memenuhi ruangan Bima Saputra. Membuat penciuman menjadi tertarik walau hanya sekedar mengendus wanginya.
Kakek tua itu menatap sang cucu penuh makna dan juga rasa bangga atas pencapaian prestasi yang sangat gemilang, tapi di sisi lain ada rasa ketakutannya akan sikap sang cucu yang selalu menolak setiap dirinya melakukan acara perjodohan.
Setiap ada kesempatan baik, Arjuna selalu melakukan dengan cara halus agar cucunya bisa bersatu dengan seorang perempuan, berharap akan memberikannya seorang garis keturunan yang tidak akan pernah terputus hingga menjadi generasi selanjutnya.
Namun, apa yang dia dapatkan selalu kekosongan seolah kalah dari sebuah perjuangan sengit dalam mencarikan seorang cucu menantu. Wanita yang akan dijadikannya istri dari laki-laki yang keras kepala dalam mempertahankan prinsipnya setelah peristiwa yang terjadi pada ibu kandungnya.
"Mulai saat ini, maju tidaknya perusahaan kita ada di tanganmu, kakek juga berharap bahwa kamu juga mau membuka diri untuk seorang perempuan, kamu bisa segera memberikan seorang cicit yang lucu untukku," ujar sang kakek sambil menaikkan satu kaki ke atas kaki lainnya. Dia mencoba menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya sebagai seorang kakek yang semakin hari akan semakin menua dan akhirnya pergi meninggalkan dunia.
"Kakek sudah tahu jawabanku seperti apa, jadi tidak usah mempertanyakan hal yang sama secara berulang-ulang," jawab Bima dengan nada datar, tapi terdengar tajam untuk menolak permintaan yang disampaikan oleh kakeknya.
"Bima! Umurmu itu sekarang sudah hampir 30 tahun, teman sebayamu rata-rata sudah punya anak satu sampai dua atau tiga orang, bahkan kakek yakin ada yang lebih. Sampai kapan kamu akan memenjarakan hatimu hanya karena kejadian yang menimpa ibumu, hah? Apakah kau akan menyandang gelar Bujang Lapuk Internasional sedunia?"
Kakek Juna sudah habis cara untuk membuka mata hati cucunya sejak beberapa tahun terakhir, tapi semua cara yang dilakukannya selalu gagal, karena Bima pasti menolak siapapun perempuan yang mendekatinya dengan alasan yang sama. Bima bahkan pernah mendapatkan seorang perempuan yang sengaja datang menggoda di tempat kediamannya saat menempuh pendidikan pascasarjana.
Bukan kenikmatan yang diterima oleh wanita tersebut. Namun, malah menerima tatapan jijik penuh emosi mengusirnya secara paksa dan juga kasar untuk menjauh dari lingkaran kehidupannya di masa datang. Tidak hanya sekali dua kali Bima mendapatkan hal yang sama, seorang perempuan akan mudah terpukau dan terpesona setelah melihat ketampanan wajah yang dimiliki oleh seorang Bima Saputra.
"Sebelum aku bisa menyembuhkan ibu, Kakek jangan pernah berharap kalau aku akan menikahi seorang perempuan. Wanita itu semuanya sama saja, hatinya baik ketika dikasih uang belanja, jika perlu seisi dunia berada dalam genggamannya, tapi suatu hari akan berubah menjadi busuk jika dia mendapatkan laki-laki yang lebih kaya."
Jawaban yang begitu datar namun menghantarkan penolakan penuh penekanan tentang apa yang diinginkan laki-laki tua di hadapannya. Hal itu tidak akan pernah terwujud sebelum perempuan yang telah melahirkannya bisa sembuh dari depresi yang selama ini mendera ibundanya.
"Kamu harus percaya yang namanya takdir, Bima. Takdir yang sudah ditetapkan oleh Tuhan … tidak ada yang bisa menggapai dan menolaknya, ibumu mengalami depresi itu memang sudah menjadi jalannya sendiri dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan nasib yang akan kamu terima. Kamu tidak boleh menyalahkan takdir!"
Suara kakek Arjuna terdengar meninggi untuk menyadarkan sang cucu yang sudah merasa sangat trauma dengan seorang perempuan yang telah membuat ayahnya pergi dan meninggalkan luka terdalam untuk wanita yang telah melahirkannya — Ibu Safitri.
“Bullshit! Kakek tidak perlu membawa-bawa nama takdir di sini karena dari kecil takdirku selalu menyakitkan! Sekarang Kakek Memintaku untuk segera memberikan seorang cicit sebagai penerus keturunan keluarga kita. Oke … aku akan menikah sekarang juga asalkan ibu juga sembuh saat ini!”
“What? Apa kamu gila?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!