Cahaya matahari sudah mulai meredup di tengah desiran ombak yang kian terdengar jelas. Hembusan angin ikut meramaikan suasana di tepi pantai Whitehaven--Australia. Para pengunjung yang sedang berada di sana, tampak menikmati keindahan matahari terbenam sembari merasakan hembusan angin sejuk. Sebagian dari mereka ada yang sedang mengabadikan pemandangan nan indah itu. Ada pula yang hanya berjalan di pinggir pantai dengan merentangkan kedua tangan dan membiarkan hembusan angin menerpa tubuhnya.
"Wah ini sangat menyejukkan," ucap seorang gadis cantik yang tengah menikmati hembusan angin. Ia merupakan salah satu pengunjung pantai WhiteHaven.
Namanya adalah Sorn Akarin--Seorang mahasiswa di salah satu Universitas ternama di Australia. Usianya baru menginjak 19 tahun. Ia merupakan pertama dari pasangan tuan Dallen Akarin dan nyonya Samantha. Wajah cantik yang di milikinya di turunkan oleh sang mama. Sorn sendiri memiliki sifat yang di dominasi sifat kedua orang tuanya. Terlebih lagi sosoknya begitu hangat yang membuat siapapun akan mudah menyukainya. Apalagi Sorn terkenal akan kepintarannya dalam bidang pendidikan, maupun bermusik dan bernyanyi yang merupakan hobinya. Tentu banyak orang yang menyukainya. Terkecuali beberapa orang yang tidak menyukainya karena beberapa alasan.
Setiap kali liburan tiba, Sorn pergi berlibur ke mana pun yang membuat hatinya senang. Keluarganya termasuk dalam keluarga kelas menengah. Ada beberapa usaha yang kedua orang tuanya dirikan dengan sukses. Sehingga untuk liburan seperti itu bukanlah hal yang tidak mungkin. Kali ini tujuan liburan Sorn adalah pantai Whitehaven--Salah satu pantai di Australia. Pantai Whitehaven terkenal akan airnya yang jernih dan pasir putih. Sudah beberapa kali dirinya liburan ke sana, tetapi tidak pernah merasa bosan.
"Gak salah sih aku selalu datang ke sini. Tempatnya gak membosankan," sambungnya di sela terus berjalan menyisiri pinggiran pantai.
Sorn melihat ke segala arah dengan perasaan senang. Pemandangan Whitehaven tidak pernah mengecewakan. Setiap kali datang ke sana, matanya selalu di suguhkan pemandangan yang indah. Dimana pasir putih tampak indah menyatu dengan laut berwarna biru. Di bagian ujung utara pantai Whitehaven terdapat teluk nan indah karena air pasang menggeser pasir dan air untuk menciptakan perpaduan warna. Saat yang tepat untuk datang ke sana adalah di waktu sore hari. Dimana matahari mulai terbenam, desiran ombak semakin terdengar bersamaan hembusan angin kencang. Seperti yang tengah para pengunjung lain dan Sorn lakukan sekarang.
Gadis itu senang berjalan di pinggir pantai sembari menikmati pemandangan sekitar dan membiarkan hembusan angin menerpa wajah, serta tubuhnya. Sesekali ombak pantai mengenai kedua kakinya. Itu benar-benar menyenangkan. Sorn mudah lupa waktu saat sedang berada di pantai. Kakinya terus berjalan sampai matahari benar-benar terbenam. Setelah sang surya terbenam, ia akan berjalan kembali menuju penginapannya. Namun hari ini tampak sedikit berbeda. Entah kenapa, Sorn terus berjalan menuju ujung pantai padahal matahari sudah terbenam.
Di saat sedang melihat pemandangan sekitar, tanpa sengaja matanya tertuju pada sesuatu di pinggir pantai yang berada tidak jauh darinya. Rasa penasaran pun mendorong Sorn untuk mendekati sesuatu itu. Tetapi alangkah terkejutnya, saat ia melihat bahwa sesuatu itu bukan benda. Melainkan seorang laki-laki yang tergeletak tidak sadarkan diri dengan keadaan cukup mengenaskan.
"Astaga! Apa yang terjadi pada laki-laki ini?" pekik Sorn sembari menutup mulut saking terkejut.
Sorn berusaha menetralkan keterkejutannya itu. Sebelum perlahan berjongkok di dekat laki-laki itu. Lalu segera memeriksa keadaannya untuk memastikan masih hidup atau tidak. Beruntung laki-laki itu masih bernafas, meski bagian denyut nadinya sangat lemah. Sorn menghela nafas lega.
"Huffft... Syukurlah dia masih bernafas. Tetapi, keadaannya ini begitu mengenaskan. Jika tetap di biarkan di sini, takutnya dia tidak selamat. Aku harus segera membawanya pergi untuk mendapatkan perawatan," sambungnya
Sejenak Sorn melihat ke arah sekitar, tidak ada siapa pun di sana. Suasana pantai sudah sepi. Bagaimana bisa ia mendapatkan bantuan sekarang, sedangkan laki-laki itu harus segera di bawa pergi.
"Baiklah. Sekarang aku hanya bisa membawa laki-laki ini sendiri,"
Terpaksa Sorn memapah laki-laki itu seorang diri. Badan laki-laki itu begitu kekar dan berat membuatnya sedikit kesulitan untuk memapahnya. Perlu beberapa menit sampai akhirnya ia berhasil memapah laki-laki itu.
"Laki-laki ini sangat berat. Aku hampir saja tidak bisa memapahnya," keluh Sorn di sela memapah laki-laki itu.
Dengan langkah berat, Sorn memapah laki-laki itu menuju ke penginapan. Sepanjang pantai tidak ada satu orang pun terlihat di sana. Di tambah penerangan di pantai itu cukup redup. Sehingga Sorn tidak dapat melihat wajah dari laki-laki yang tengah di papahnya. Saat sampai di penginapan pun, Sorn langsung meminta tolong pelayan di penginapan untuk membawa laki-laki itu ke kamar yang kosong. Ia sudah tidak sanggup untuk memapahnya sendiri.
"Apa ada Dokter di sini?" tanya Sorn, usai seorang pelayan menggantikannya untuk membawa laki-laki tadi ke kamar kosong dan membaringkannya di kasur yang ada di sana.
"Maaf, nona! Di sini sedang tidak ada Dokter bertugas," jawab pelayan itu dengan berat hati.
"Lalu bagaimana sekarang? Laki-laki ini perlu perawatan. Apa tidak ada yang bisa kalian lakukan untuk masalah ini? Nyawa seseorang sedang di pertaruhkan," cetus Sorn tidak habis pikir dengan keadaan yang sedang terjadi. Laki-laki itu bisa saja kehilangan nyawanya kalau tidak segera mendapatkan perawatan.
"Mohon tunggu, nona! Saya akan mencoba mencari bantuan," seru pelayan itu yang langsung bergegas pergi untuk mencari bantuan.
Sorn masih berada di kamar itu. Matanya terus menatap laki-laki yang tengah terbaring di ranjang. Sekarang keadaannya jauh lebih jelas terlihat. Terdapat banyak luka di sekujur tubuh laki-laki itu. Miris.
"Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Luka di sekujur tubuhnya ini jelas karena goresan benda. Apa mungkin dia tenggelam dan hanyut sampai ke sini?" gumamnya memikirkan kemungkinan terbesar yang terjadi pada laki-laki itu.
Tidak berselang lama, pelayan tadi kembali ke ruangan itu bersama seorang laki-laki paruh baya. Kedatangan mereka membuyarkan tatapan Sorn pada laki-laki itu. "Nona--Saya sudah menemukan bantuan. Tuan ini seorang Dokter,"
"Bagus. Kalau begitu tolong segera periksa dia!" seru Sorn pada laki-laki paruh baya yang di sebut sebagai seorang Dokter oleh pelayan tadi.
"Baik, nona!"
Dokter tersebut bergegas memeriksa keadaan laki-laki itu. Selama Dokter itu melakukan pemeriksaan, Sorn hanya diam di tempat. Ia ingin tahu keadaan laki-laki itu terlebih dulu. Setelah memastikan keadaannya baik-baik saja, Sorn pergi ke kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian.
Tok... Tok... Tok...
Terdengar suara pintu kamar di ketuk. Sorn segera membukanya dan menemukan pelayan yang tadi membantunya.
"Ada apa? Apa laki-laki itu sudah sadar?" Sorn langsung menanyakan keadaan laki-laki yang tadi di tolongnya.
"Benar, nona. Tuan itu sudah sadar,"
Mendengar itu, Sorn pun bergegas pergi menemui laki-laki itu. Ia cukup penasaran dengan apa yang terjadi, sampai laki-laki itu pingsan dalam keadaan mengenaskan. Sorn rasa hal itu bukan sesuatu yang berlebihan. Ia hanya penasaran.
Setibanya di sana, laki-laki sudah berganti pakaian karena sebelumnya basah kuyub. Beberapa luka yang terdapat di tubuhnya juga telah di perban. Kecuali luka kecil yang hanya di berikan salap.
"Kau sudah sadar?" Sorn berjalan menghampiri laki-laki itu, di sebelahnya juga masih terdapat Dokter tadi.
Laki-laki itu menatap bingung ke arah Sorn. "Kau, siapa?"
"Aku yang tadi menolongmu. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Sorn balik.
"A--Aku tidak ingat apa pun," jawab laki-laki itu sembari memegang kelapanya.
Sorn mengernyitkan dahinya. "Bagaimana dengan namamu?"
"Namaku? Aku juga tidak ingat," sahut laki-laki itu dengan raut wajah kebingungan.
Sorn terkejut mendengarnya. Laki-laki itu tidak ingat apapun. Dari raut wajahnya, sepertinya ia tidak sedang berbohong. Apa yang terjadi pada laki-laki itu? Sorn hanya bisa mendapat jawabannya dari Dokter. Ia menatap ke arah Dokter yang langsung mengerti.
"Tuan ini mengalami amnesia akibat luka di kepalanya. Saya belum bisa memastikan amnesia ini bersifat sementara atau permanen,"
"Amnesia?" ulang Sorn memastikan pendengarannya tidak salah.
Dokter tersebut mengangguk. "Benar, amnesia. Tuan ini tidak mengingat apapun tentang dirinya,"
Raut wajah Sorn tampak sangat terkejut. Ia tidak menyangka hal itu terjadi. Lalu sekarang apa yang harus ia lakukan pada laki-laki itu? Ia sendiri bingung.
"Apa tidak ada yang bisa di lakukan untuk membuat ingatannya kembali, Dok?"
"Maaf, nona. Ini di luar kemampuan saya. Kemungkinan besar ingatannya bisa kembali seiring berjalannya waktu. Itu pun jika amnesianya tidak bersifat permanen," terang Dokter tersebut. Sekarang Sorn makin kebingungan untuk bertindak.
"Baiklah, Dok. Terima kasih," ungkap Sorn di tengah kebingungannya.
"Sama-sama, nona. Saya permisi dulu!" Dokter tersebut pamit pergi dari kamar itu, meninggalkan Sorn bersama laki-laki yang baru saja di nyatakan amnesia.
Sorn bersedekap dada, memikirkan tindakan selanjutnya terhadap laki-laki itu. Sekian lama berpikir, akhirnya terbesit suatu hal di pikirannya. Sorn langsung mengambil pakaian yang tadi laki-laki itu pakai saat pertama kali di temukannya. Ia menggeledah saku pakaian itu tapi tidak menemukan apa pun.
"Apa yang sedang kau cari?" tanya laki-laki, sedari tadi ia memperhatikan Sorn.
Sorn menoleh ke arahnya. "Barang milikmu. Ku pikir aku bisa mengetahui identitasmu dari sana. Tetapi, aku tidak menemukan apapun Sepertinya barang milikmu hilang karena hanyut atau memang kau tidak membawanya,"
Laki-laki itu tampak mengangguk mengerti tanpa banyak bicara. Keadaannya masih sangat lemah. Jadi mungkin saja itu penyebabnya iri bicara.
"Ah sudahlah. Kau beristirahatlah sekarang. Nanti kita bicara lagi, oke!?" ucap Sorn yang sudah lelah dengan hari ini dan perlu istirahat juga. Ia bisa memikirkan lagi nanti soal nasib laki-laki itu.
Sekali lagi, laki-laki itu menganggukkan kepalanya. Sorn pun segera pergi ke kamarnya yang terletak bersebelahan dengan kamar laki-laki itu. Dengan kasar ia menjatuhkan dirinya ke ranjang.
"Astaga. Aku bingung harus bertindak apa pada laki-laki itu. Apa sebaiknya ku tinggalkan saja dia di sini dan meminta pihak penginapan untuk merawatnya sampai sembuh? Tidak. Sepertinya itu bukan ide yang bagus. Aku tidak punya cukup uang untuk membayar sewa penginapan ini dalam waktu yang lama. Huh bagaimana ini? Jika ku biarkan laki-laki itu pergi dari sini, takutnya dia menjadi orang tidak jelas hendak kemana dan ada orang yang berniat jahat padanya. Secara sekarang dia kehilangan ingatannya," gumam Sorn sembari menatap langit-langit kamar.
Sorn berpikir keras soal laki-laki itu. Perasaan kasihannya membuat ia harus susah payah untuk mempertimbangkan beberapa hal. Apalagi laki-laki itu tidak ingat apapun. Keadaan yang bisa saja di manfaatkan orang dengan niat jahat.
"Huffft... Ini sangat memusingkan. Sebaiknya aku tidur sekarang dan memikirkan hal ini lagi nanti," Sorn menghela nafasnya. Ia benar-benar perlu istirahat sekarang.
Perlahan Sorn mulai memejamkan matanya. Bersamaan dengan menenangkan pikirannya yang tengah pusing memikirkan soal laki-laki itu. Jika saja ia bukan sosok yang tidak tegaan, pasti sudah di tinggalkannya laki-laki itu tadi dan kehilangan nyawa di pinggir pantai. Inilah salah satu sifat positif yang Sorn miliki, yaitu tidak tega pada orang yang sedang mengalami kesulitan atau musibah.
***
Besok harinya, Sorn tengah berjalan bolak-balik di kamarnya. Ia berusaha memikirkan tindakan selanjutnya untuk laki-laki yang semalam di tolongnya.
"Huh baiklah. Sebaiknya aku bawa laki-laki itu bersamaku, sampai ingatannya kembali. Ya, benar. Sepertinya itu ide yang baik untuk saat ini," akhirnya Sorn mengambil keputusan, usai mempertimbangkannya selama beberapa jam.
Kemudian Sorn bergegas menemui laki-laki itu. Ia mungkin sudah mengambil keputusan. Namun kembali lagi pada laki-laki itu, mau atau tidak ikut bersamanya.
"Hei, kau sudah bangun!?" Sorn baru saja memasuki kamar laki-laki itu. Dimana si penghuni sedang duduk bersandar di dinding sambil menatap ke arah luar jendela.
Laki-laki itu langsung menoleh ke arahnya. Tatapannya begitu intens. "Seperti yang kau lihat,"
"Heum. Aku datang ke sini untuk melanjutkan pembicaraan kita tadi malam," ucap Sorn--Ia duduk di sofa yang ada di sana.
Laki-laki itu memberikan balasan apapun, selain dahi mengernyit. Sorn menghela nafasnya, sebelum lanjut berbicara.
"Ku pikir, kau bisa ikut denganku untuk sementara waktu. Lebih tepatnya sampai ingatan kau pulih. Itu pun bila kau setuju,"
"Kau ingin menculikku?" tanya laki-laki itu yang terdengar seperti sedang menuduh Sorn.
Mata Sorn melotot sempurna. "Apakah wajahku tampak seperti seorang penculik heh?"
"Aku hanya bertanya," kilah laki-laki itu dengan raut wajah polos. Justru hal itu membuat Sorn kesal, sekaligus jengkel.
"Tapi pertanyaan kau itu membuatku jengkel. Jika tahu begini, ku biarkan saja kau mati di pinggir pantai. Sudah di selamatkan dan aku bersedia memberi tumpangan, kau malah menuduhku seperti ini. Menjengkelkan!" cetus Sorn dengan kesalnya.
"Maaf," ungkap laki-laki itu pelan, bahkan hampir tidak terdengar.
"Apa!?" tanya Sorn karena tidak mendengar jelas ucapan laki-laki itu.
"Maaf. Aku tidak bermaksud begitu," laki-laki itu berbicara lebih keras sekarang. Dari raut wajahnya, tampak ia tulus mengucapkannya.
Sorn menghembuskan nafasnya secara kasar. Di sela menetralkan emosi di dalam dirinya. "Jadi apa kau mau ikut bersamaku? Kalau tidak, juga bukan masalah. Kau bisa tetap di sini sampai ingatanmu pulih. Tetapi aku tidak dapat membantu apapun lagi,"
Laki-laki itu kembali terdiam. Tampak ia sedang berpikir soal tawaran Sorn barusan.
"Aku ikut bersamamu saja,"
"Kau yakin? Aku tidak memaksamu untuk ikut," Sorn memastikan lagi keputusan laki-laki itu.
"Ya, aku yakin!" sahut laki-laki itu sembari mengangguk.
"Bagus. Sebelum itu aku harus memanggilmu siapa? Sedangkan kau tidak ingat apa pun," ucap Sorn di sela duduk bersandar di sofa.
"Terserah," laki-laki itu terlihat tidak keberatan di panggil dengan nama apa pun.
Sorn berpikir sejenak. "Bagaimana kalau ku panggil Lew atau Lewis? Apa kau setuju?"
Laki-laki itu mengangguk setuju.
"Baiklah, Lew. Bersiaplah! Sebentar lagi kita pulang ke rumahku," seru Sorn seraya beranjak berdiri dari sofa.
Laki-laki itu mengangguk kembali. Setelahnya, Sorn pergi untuk bersiap pulang. Ada beberapa barang yang perlu ia bereskan. Sorn juga meminta pelayan penginapan membelikan beberapa pakaian untuk Lew. Selesai dengan semua itu, ia menunggu Lew berganti pakaian di bantu pelayan tadi sembari menyelesaikan pembayaran sewa penginapan. Tidak berapa lama, Lew sudah berdiri di hadapannya. Laki-laki itu tampak cocok mengenakan setelan kaos putih santai.
"Ayo pergi!" seru Sorn mengajak Lew--Dan laki-laki itu langsung mengikutinya.
Mereka berdua pergi dari pantai Whitehaven menggunakan taksi Online yang Sorn sewa. Perjalanan menuju rumahnya memakan waktu sekitar 4 jam lebih. Dan selama itu pula, Sorn mendengarkan musik melalui earphone miliknya. Sedangkan Lew hanya diam menatap ke luar jendela.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya taksi online tadi berhenti tepat di halaman salah satu bangunan rumah berukuran minimalis. Dapat di pastikan itu adalah rumah Sorn. Meski ukurannya minimalis tapi terlihat nyaman. Apalagi di halamannya terdapat berbagai macam tanaman bunga. Sangat cantik. Siapapun pasti betah tinggal di sana.
"Kita sudah sampai. Ayo turun!" Sorn membuka pintu mobil di sampingnya.
Lew juga melakukan hal yang sama, tanpa berucap. Mereka berdua pun segera turun dari mobil. Begitu pula sopir taksi yang turun untuk mengeluarkan koper milik Sorn dan bungkusan pakaian Lew dari bagasi.
"Terima kasih, pak! Ini uangnya," ucap Sorn sembari menyerahkan sejumlah uang sesuai dengan biaya yang telah tertera sesuai jarak perjalanan.
"Sama-sama, nona!" sahut sopir itu. Sebelum kembali masuk ke dalam mobil dan langsung melajukannya.
"Apa yang kau lihat? Ini benar rumahku. Ukurannya memang kecil tapi masih ada satu kamar untukmu. Jangan khawatir!" cetus Sorn membuyarkan tatapan Lew yang sedari tadi mengarah ke bangunan rumahnya.
"Aku tidak khawatir," sanggah Lew--Spontan membuat Sorn mengangkat bahu.
"Terserah. Aku masuk duluan. Kau bisa tetap berdiri di sini,"
Sorn menarik kopernya dan berjalan melewati Lew. Tanpa berpikir panjang, laki-laki itu pun segera mengikutinya sambil membawa bungkusan pakaian miliknya. Belum juga mereka berdua berhasil mencapai pintu rumah, beberapa orang datang menyapa.
"Eh, Sorn. Kau baru pulang liburan, ya?" tanya salah seorang dari mereka.
Dari suaranya, Sorn sudah tahu siapa pemiliknya. Ia pun terpaksa berbalik badan, di ikuti Lew.
"Iya nih. Aku baru pulang," jawab Sorn dengan ramah. Sebenarnya pura-pura sih. Ia paling malas meladeni beberapa orang itu yang tidak lain adalah para tetangganya.
"Wah ini siapa? Ganteng banget," salah satu dari mereka bertanya, usai melihat wajah tampan Lew.
Perlu di ketahui, mereka semua adalah para perempuan muda. Rata-rata pekerjaan mereka bergaji cukup tinggi. Berbeda dengan Sorn yang hanya bekerja paruh waktu dan bergaji rendah. Sehingga tidak jarang para tetangganya itu bersikap julid, serta merendahkannya. Oleh karena itu Sorn paling malas bertemu mereka.
"Ah iya, benar. Ini siapa sih, Sorn? Apa kekasihmu?" timpal perempuan lainnya.
"Bukan--Ini sepupuku. Ya, sepupu jauh!" sahut Sorn cepat. Ia terpaksa berbohong agar Lew bisa tinggal di rumahnya dengan nyaman.
Mendengar ucapan Sorn, mata para tetangganya itu berbinar-binar. Seolah baru saja mendapatkan uang miliyaran. Padahal pasti penyebabnya karena tahu bahwa Lew bukan kekasih Sorn, melainkan sepupunya. Dasar perempuan genit, pikir Sorn.
"Wah benarkah? Kenapa kami tidak pernah melihatmu membawanya ke sini?"
Sorn harus kembali memutar otak untuk menjawab pertanyaan itu. "Dia baru datang ke kota ini untuk bekerja. Makanya kalian tidak pernah melihatku membawanya,"
"Oh begitu," sebagian dari mereka ber-Oh ria.
"Eh tapi apa yang terjadi padanya? Kok kepalanya dan tangannya di perban?" tanya salah satu dari mereka yang baru menyadari hal itu.
Sorn berdecak pelan. Kepo amat sih mereka, pikirnya. Tetapi kalau tidak di jawab, mereka pasti akan terus berada di sana. Sementara kakinya sudah mulai terasa kram.
"Biasalah. Namanya juga laki-laki. Iya, kan?" Sorn melirik Lew, berharap laki-laki itu mengiyakan ucapannya.
"Iya," singkat Lew.
"Tapi kan..."
"Udah ya. Aku baru saja pulang dan sepupuku juga perlu istirahat. Kita bicara lagi lain kali," tanpa menunggu balasan para tetangganya itu, Sorn langsung menarik tangan Lew dan membawanya masuk ke dalam rumah. Tidak lupa pula mengunci pintu.
"Fiuhhh," Sorn mendudukkan dirinya di sofa, sembari mengelus dada.
Lew menatap heran ke arahnya. Sorn pun menyadari akan hal itu. "Ada apa?"
"Siapa mereka?" tanyanya.
"Para tetanggaku. Kau jangan terlalu dekat dengan mereka!" jawab Sorn memperingatkan.
"Kenapa?" Lew kembali bertanya.
"Gakpapa. Intinya mereka bukan perempuan baik," Sorn menjawab apa adanya.
Lebih baik Lew tidak berdekatan dengan para tetangganya itu. Daripada mendapat pengaruh buruk. Ujung-ujungnya ia juga yang repot.
"Oh ya, kamar kau ada di sana! Di dalamnya juga ada kamar mandi," sambungnya, menunjuk ke arah kamar yang ia maksudkan.
Tatapan Lew mengikuti arah yang Sorn tunjukkan. Dimana menunjuk pada sebuah pintu kamar berwarna putih. Letaknya tidak berada jauh dari dapur dan ruang tamu.
"Di situ dapur dan ini adalah ruang tamu. Sedangkan kamarku ada di lantai atas. Kalau perlu apa-apa, panggil saja!" Sorn menjelaskan secara singkat dan ia rasa, Lew sudah mengerti.
"Baik. Aku mengerti," balas laki-laki itu cepat.
"Oke, sekarang aku ke atas dulu!" seru Sorn seraya beranjak berdiri.
Lew mengangguk. Sorn segera berjalan menaiki satu-persatu anak tangga. Seperginya Sorn, Lew tidak langsung pergi ke kamarnya. Laki-laki itu berjalan mengelilingi setiap sudut rumah Sorn. Tidak berbeda jauh dari penampilan luarnya, di dalam rumah Sorn juga tampak nyaman. Semua perabotan tersusun rapi dan tidak memakan banyak ruang. Desain interiornya pun tampak elegan dengan nuansa putih. Benar-benar hunian yang nyaman.
Puas berkeliling mengitari rumah Sorn, Lew pergi ke kamarnya. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang. Kepalanya sedikit berdenyut, mungkin efek dari luka. Keadaan seperti itu mengharuskan ia untuk berdiam sejenak. Setidaknya sampai kepalanya terasa nyaman. Untuk membantu meredakan sakit di kepalanya, Lew juga segera meminum obat yang dokter berikan. Sambil menunggu obat itu bekerja, ia memejamkan matanya dan tanpa sadar langsung tertidur.
***
Tok... Tok.. Tok...
"Lew!" panggil Sorn di sela mengetuk pintu tapi si empunya belum juga memberikan balasan.
"Lew! Apa kau tidur!?" sekali lagi Sorn memanggil. Namun kali ini mendapatkan balasan, sekaligus pintu terbuka.
Lew membukakan pintu dalam keadaan baru saja bangun tidur. "Ada apa?"
"Apa kau tidak ingin makan malam?" tanya Sorn balik.
Lantas Lew langsung melihat ke arah jam dinding yang ada di dalam kamarnya. Benar. Jam sudah menunjukkan waktunya makan malam.
"Aku lapar," jawabnya jujur. Bahkan raut wajahnya mendukung jawabannya itu.
"Kalau begitu ayo makan. Aku sudah membeli beberapa makanan. Ku harap kau menyukainya,"
Lew menganggukkan kepala. Mereka berdua pun segera berjalan menuju dapur. Di sana sudah terdapat beberapa makanan yang tertata di atas meja makan. Sorn langsung menarik kursinya dan duduk. Hal itu juga di lakukan oleh Lew. Kini mereka berdua duduk berhadapan dengan meja makan sebagai penghalang.
"Semua makanan ini aman untukmu. Jadi makanlah!" seru Sorn, bisa menebak isi pikiran Lew. Laki-laki itu sedari tadi hanya menatap semua makanan itu. Mungkin ia ragu untuk memakannya sebab mengingat keadaannya yang tengah penuh luka.
Mendengar ucapan Sorn, Lew tidak merasa ragu lagi untuk memakan. Ia pun mengambil beberapa makanan dan memakannya secara perlahan. Sorn juga ikut makan setelahnya. Mereka makan bersama dengan suasana hening.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!