Emerald City, Ruby Country,
Oktober 20xx
Masa Sekarang,
Di suatu tempat di dunia ini, negara 4 musim yang indah, kita samarkan saja namanya menjadi Emerald City.
Konon di negara bernaung inilah berbagai ilmu sihir dengan kekuatan magis tingkat tinggi merebak di akhir abad ke 14 sebelum semua dimusnahkan, di luluhlantakkan dan dilarang di abad 17.
Saat ini, di tahun 2000an ini, Emerald City merupakan kota modern dengan nilai tukar paling tinggi, dan fashion Icon yang menjadi rujukan negara-negara lain di dunia. Desainer terkenal seperti Chanel, Christian Dior, Vivienne Westwood, dan lainnya menampilkan desain terbaru mereka di atas panggung.
Lampu berwarna-warni berjejer menghiasi jalanan, aroma sari apel memenuhi udara, serta berbagai macam pedagang keluar untuk menjual makanan dan hadiah yang unik, juga ada Perlombaan menunggang kuda yang kompetitif yang menjadi warisan sejarah di banyak daerah di Emerald City.
Di kota ini, orang dapat bersenang-senang sepanjang tahun, baik untuk menelusuri jalanan kota atau menjelajahi alam.
Di sudut kota nan indah itu, di salah satu gedung bergaya Haussman, terdapat sebuah kantor Psikiater.
Seorang wanita muda berambut coklat. Wajahnya cantik bermata coklat besar, tampak merapatkan coatnya sambil memasuki kantor psikiater tersebut.
Ruang konsultasi di sana cozy bergaya homey. Membuat semua yang masuk ke sana merasa nyaman dan tenang.
Nama wanita muda itu Adinda Xavier, 23 tahun. Anak satu-satunya Ketua Mafia Velladurai. Organisasi terkenal di kawasan itu.
"Hai, silahkan duduk," sambut Psikiater, Bu Rebecca. Ia mempersilahkan Adinda untuk duduk di depannya saat wanita itu memasuki ruangan konsultasinya.
Adinda duduk dengan elegannya, ia menyilangkan kakinya dan bersandar dengan santai.
Setidaknya gadis itu berusaha bersantai.
Namun sebagai seorang psikiater, Bu Rebecca tahu persis kalau mata adalah jendela hati.
Tatapan Adinda padanya gusar dan kebingungan. Seakan ia sedang meminta pertolongan. Tampak terlihat kalau gadis itu tidak bisa lepas dari keadaan meresahkan yang sedang dialaminya.
"Adinda, ada yang mau kamu sampaikan kepada saya?" tanya Bu Rebecca.
“Saya mencintai se...” Adinda berpikir sejenak, “-Seseorang yang Papa saya tidak setujui,” kata Adinda akhirnya.
"Siapa namanya?" tanya Bu Rebecca.
"Namanya Kai. Saya memanggilnya Kai,"
Adinda pun menarik napas dengan sedikit getar. "Saya tahu hubungan ini sudah tidak baik, tapi saya tidak bisa lepas darinya. Dia selalu membayang-bayangi saya," cetus Adinda.
“Maksud kamu?” Bu Rebecca bertanya lagi.
"Masalahnya..." Adinda tampak menggigit bibirnya, "Dia menghilang. Saya tidak tahu dia masih hidup atau sudah mat... meninggal. Tapi, ibu tahu sendiri anak siapa saya ini, jadi kemungkinan dia sudah meninggal sangat besar,"
"Apa yang terakhir Kai katakan kepadamu?"
"Jangan berusaha mencariku, tempatku bukan di duniamu. Percayalah, kamu satu-satunya yang kucintai sampai akhir hayatku,"
Dan mereka berdua terdiam.
Keheningan mewarnai ruangan itu selama beberapa saat, hanya ada suara detik jam dinding yang sayu terdengar.
"Adinda, saya bukan polisi. Kalau kamu mau melaporkan orang hilang, bukan ke sini seharusnya,"
"Saya diminta membuat janji dengan Anda, Bu Rebecca. Kata Papa, pikiran saya terganggu sejak Kai meenghilang,"
Bu Rebecca menghela napas, Ia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan sesi konsultasinya dengan si Tuan Putri Velladurai di depannya ini. "Keluarga kamu ada yang tahu mengenai hubungan ini?"
"Banyak, makanya Papa mengurusnya,"
"Mengurusnya?" ulang Bu Rebecca. Melihat latar belakang keluarga Adinda, sudah pasti yang dimaksud dengan ‘mengurus’ di sini adalah memburu atau menghabisinya. Begitu pikir Bu Rebecca.
"Ya, dan Kai melawan," lirih Adinda.
"Itu terakhir kali kamu melihatnya?"
"Ya,"
"Bagaimana asal-usul Kai? Kamu tahu sesuatu?"
"Tahu, dan beberapa orang juga tahu. Makanya mereka berusaha menyingkirkan Kai. Mereka bilang dia berbahaya,"
"Jadi bagaimana?"
"Apakah..." Adinda memijat dahinya, "Apakah kalau saya ceritakan, Bu Rebecca akan percaya?"
"Saya akan coba percaya,"
"Hm," lebih seperti ungkapan dengusan meremehkan dibanding gumaman kebingungan.
"Coba saja dulu jelaskan," kata Bu Rebecca.
"Kai bukan manusia,"
"Ini... Secara harafiah atau metafora?" Bu Rebecca bertanya begitu karena tahu pekerjaan orang tua Adinda. Mereka sering memakai ungkapan dan kode saat menjelaskan suatu pekerjaan.
"Secara harafiah,"
"Apakah kamu merasa kalau Kai ini realita?"
"Tadinya saya pikir saya hanya berhalusinasi, tapi ternyata bukan hanya saya yang melihatnya," jelas Adinda.
"Makanya dia disingkirkan, begitu tadi kamu bilang,"
"Betul,"
"Jadi... Silahkan bercerita dari awal," desis Bu Rebecca dengan senyum ramahnya yang terkesan dipaksakan.
Tapi Adinda tidak peduli. Dia butuh berbicara dengan seseorang.
Dan seorang psikiater yang menjaga kerahasiaan pasiennya adalah langkah yang tepat menurutnya.
Adinda menarik napas panjang lalu menghembuskannya, "Kaisar datang sebagai hadiah ulang tahun saya yang ke 21 tahun. Harimau dengan ras special, katanya hasil kawin silang antara Harimau Sumatra dengan Macan Kumbang,"
*
*
Dua tahun yang lalu,
Kastil Keluarga Velladurai,
Bukit Green Emerald,
“Selamat Ulang Tahun, Sayang,” Xavier Velladurai mengecup dahi anak semata wayangnya, Adinda, dengan rasa sayang yang sepenuh hati. “Berkah terbesar Papa yang diberikan oleh Mama kamu,” kata-kata yang sama selalu diucapkan Papanya setiap tahun.
Seakan mengingatkan Adinda kalau Papanya sangat mencintai Mama, dan ajakan supaya Adinda tidak boleh melupakan sosok Mama, Kirana.
Adinda dibesarkan oleh Papanya. Mamanya telah tiada akibat...
Bisa dibilang meninggalnya Sang Mama berhubungan dengan pekerjaan Papanya saat ini.
Bahkan saat sebelum melahirkan Adinda pun Mama sudah mengetahui kalau pekerjaan yang dilakoni Papa tidaklah familiar dengan ‘kenyamanan’. Pemasok senjata ilegal dan Batu Mulia, seringkali mereka membuat racikan minuman keras dan bahkan Methamphetamine dan amfetamin , mereka juga memiliki ladang Bunga Opium Poppy yang digunakan untuk biang her0in walaupun mereka memang memiliki lisensi untuk menggunakannya secara medis.
Hal seperti itu sudah pasti memiliki banyak musuh dan saingan bisnis, seringkali bahkan mematikan sisi kemanusiaan pelaku yang terlibat.
"Papa berikan yang sudah dijanjikan, hewan eksotis," kata Xavier sambil merangkul bahu Adinda.
"Papa yang berjanji sendiri. Aku sih nggak berharap ya Pah, aku lebih suka hadiah yang lebih sederhana," kata Adinda.
"Jangan begitu, dong. Ini mahal sekali loh! Papa beli dari Brazil,"
"Justru itu, seharusnya tidak usah dibeli. Kembalikan saja bagaimana?"
Adinda mengatakan seperti itu karena ia yakin sekali kalau tadinya hewan -entahlah apa itu- eksotis yang diceritakan Papanya bukanlah untuk diberikan padanya tapi hanya untuk menjadi barang koleksi untuk kebun binatang mininya. Tapi Papanya memang memiliki aturan pribadi untuk harus memiliki alasan untuk setiap objek yang ia ingin beli.
"Terlalu berharga untuk dikembalikan," tukas Xavier. Sudut bibirnya menyunggingkan senyum licik khasnya, dengan cerutu di sudut satunya.
"Aku nggak mau rawat ya, yang terjadi dengan hewan ini bukan tanggung jawabku," seloroh Adinda.
"Dari sekian banyak hewan di kebun binatang Papa, mana yang benar-benar kamu rawat?!" cela Xavier
"Tidak ada. Dan tidak tertarik," cibir Adinda.
"Yang ini kamu akan tertarik. Gantinya Abigail," Abigail adalah kucing persia kesayangan Adinda. Ia meninggal karena penyakit tua, usianya sekitar 15 tahun usia manusia.
"Yang sudah meninggal tidak akan bisa terganti," lirih Adinda, "Papa paling tahu yang itu,"
Adinda ingin mengingatkan Xavier mengenai Sang Mama, Kirana, seorang wanita dari Indonesia, yang kini sudah meninggal.
Sampai sekarang Xavier belum menikah lagi karena belum ada yang dapat mengisi relung hatinya seperti Kirana.
"Paling tidak ini bisa menjadi penghibur hatimu," tukas Xavier sambil berusaha mengalihkan kesedihannya. "Binatang ini hebat sekali dan menakjudkan, lambang sebuah kekuatan!"
"Kita sudah punya Cheetah," seloroh Adinda.
"Ini jauh lebih baik dari Cheetah," kilah Xavier.
"Kita sudah punya Puma, yang kini entahlah sudah beranak pinak berapa generasi," gerutu Adinda. "Bahkan aku tidak pernah mengunjungi kandangnya karena jauh di ujung sana,"
"Ini ras special! Kawin silang antara Harimau Sumatra dan Macan Kumbang!" sahut Xavier tetap berusaha meyakinkan Adinda.
"Hah?" Adinda menatap papanya sambil memicingkan matanya. Ia tidak percaya. Selama ini Xavier memang selalu melebih-lebihkan.
"Jangan suka beli-beli hewan eksotis, Papa. Kalau suatu saat mereka punah, itu salah kita. Kita menanggung dosa dari beberapa keturunan mereka yang tidak jadi dilahirkan karena kelalaian kita," cibir Adinda.
"Ya kalau mereka punah itu takdir namanya, kan Tuhan memusnahkan sesuatu pasti ada tujuannya," seloroh Xavier.
Adinda diam dan mencibir sambil menipiskan bibirnya tanda gemasnya ia dengan tingkah laku Papanya yang ia anggap kekanak-kanakan.
"Kalau manusia punah, Papa nggak bakalan ngomong begitu," gerutu Adinda.
"Ya tapi kan manusia tidak punah. Sepertinya setiap tahun Papa bunuh ratusan, tetap saja jumlah mereka banyak," cerocos Xavier.
"Manusia bukan tikus dan ucapan Papa barusan benar-benar jahat," sindir Adinda.
"Ya memang Papa penjahat," ujar Xavier sambil menyeringai dengan lebar
"Boss," Valent, salah satu anak buah Xavier, datang gaya -seperti biasa- mempesonanya. Tidak seperti Xavier dan kebanyakan anak buahnya yang setiap hari dengan suit rapi, kemeja bersih dan dasi ala CEO Boss, Valent biasanya datang hanya dengan jeans dan Kaos oblong. Kadang dia berpenampilan rapi kalau sedang mengurusi meeting atau kontrak kerja.
Terlihat di tangan Valent rangkaian grafir yang memukau. Bisa jadi di bagian tubuh Valent yang tertutup kaos juga masih banyak lagi tattoo indah yang unik.
"Valentino! Kau coba bilang ke si Adinda ini kalau hewan yang baru datang kali ini benar-benar magnifique!!" Xavier menyambut Valent dengan suara menggelegar.
Valent menatap Adinda lekat-lekat. Ia perhatikan wanita itu dari atas ke bawah. Lalu tersenyum penuh simpatik, "Kamu cantik, Honey. Selamat ulang tahun yang ke 21 ya," lirihnya.
Entah kenapa pipi Adinda langsung merah.
Valent begitu tampan dengan rambut coklat dan mata hijaunya. Kulitnya kecoklatan terbakar matahari, dengan rahang tegas yang ingin sekali Adinda belai.
"Dasar anak suka main..." gumam Adinda.
"Anak suka main? Itu maksudnya playboy bukan?" tanya Valent sambil terkikik.
"Ya tuh tahu,"
"Kalau begitu," Valent memiringkan kepalanya sambil menatap dada Adinda yang membumbung, "Mungkin kita bisa 'main' kapan-kapan. Kan kamu sudah 21, sudah legal dong kalau-"
"Jangan seenaknya," geram Adinda sambil menatap Valent dengan tajam.
"Hei, awas kau sentuh dia," tambah Xavier waspada.
"Jadi bagaimana caranya aku bisa sentuh dia?" Valent malah balik bertanya seakan menantang Xavier.
"Ya kamu tahu caranya,"
"Dilegalkan saja sekarang bagaimana? Kita kan punya capel dan Pendeta sendiri,"
"Aku pergi yaaaa, mau makan cake," Adinda balik badan seakan tak peduli.
"Jangan dulu dong Dinda Sayaaaaang, ayo dong kita lihat hadiah kamu," Xavier menangkap lengan Adinda dan menarik gadis itu kembali ke pelukannya. "Bantu aku meyakinkannya dong!" pinta Xavier ke Valent sambil berbisik gemas.
Valent hanya terkekeh geli. Sama seperti Adinda, dia pun sebenarnya tidak terlalu antusias dengan hewan yang dibeli Xavier walaupun harganya kali ini mencapai 1 triliun. Harga fantastis yang tidak masuk akal, dan itu belum termasuk pajak ini itu dan sogokan ke petugas bea cukai.
Tapi Valent sendiri pun hanya mengurus dokumennya saja tanpa benar-benar memperhatikan bagaimana wujud hewan eksotis yang datang kali ini.
"Adinda, ini dariku," Valent memberikan kotak kecil ke Adinda.
Adinda membukanya. Lalu membulatkan matanya dengan takjub.
Rangkaian gelang berlian, dengan batu Emerald dan Safir yang memukau!
"Suka?" tanya Valent.
"Eum..." Adinda bahkan kehabisan kata-kata. Menurutnya gelang itu cantik sekali.
"Hadiah dari Papa kamu jauh lebih indah dibanding ini," tukas Valent.
Adinda kini tergoda. Ia mengangkat alisnya sambil bilang "Serius?!"
"Hebat sekali lidahmu," cibir Xavier ke Valent sambil berbisik.
"Awas kalau satu triliunmu terbuang percuma," balas Valent, "Kuhentikan pasokan cerutumu untuk menggantinya,"
"Perbuatanmu jauh lebih buruk dibanding algojo kita," tukas Xavier dengan sebal.
"Harga hewan ini bisa membeli 3 unit tank agar Pemerintah semakin respek dengan organisasi kita, kau malah habiskan untuk seekor harimau," lontar Valent.
"Ini bukan harimau biasa, dia lebih kuat dari tank. Kau sudah lihat belum?!"
"Belum,"
"Ck!"
"Tapi apa gunanya seekor Harimau di medan perang?" tukas Valent.
"Gunanya untuk membuat Adinda semakin sayang padaku," balas Xavier.
"Tanpa itu juga Adinda sudah sangat sayang padamu, Tuan Besar Velladurai,"
"Kapan kita lihat? Aku capek berdiri terus," sahut Adinda tak sabar.
"Mari sayang, kita ke taman barat," Xavier langsung menggiring putri semata wayangnya itu ke sebuah mobil golf tenaga listrik yang terparkir di bawah tangga.
“Ya Tuhan...” gumam Xavier tegang.
Valent dan Adinda hanya bisa terpana tanpa bisa berkata-kata. Seketika saat tiba di lokasi kandang khusus yang dibuat untuk si Harimau Hitam, mereka sangat kaget melihat situasi yang terjadi.
Di bawah selasar di dalam kandang berpagar besi itu, berserakan anggota tubuh manusia. Darah tergenang dimana-mana, berbagai senjata menancap di dinding dan pagar.
Sementara mereka yang berhasil selamat, terluka parah dan tak berdaya di depan pagar pembatas. Tim paramedis dan ambulance sudah datang untuk membawa semua orang kembali ke rumah utama sebelum hewan berbahaya di dalam kandang raksasa itu berulah lagi.
Dan di dalam kandang itu, di bagian podium tertinggi, duduk sesuatu yang besar.
Seekor Harimau Hitam, dengan matanya yang merah seakan membara akibat amarah yang terpendam sekian lama.
Duduk santai di atas podium sambil menjilat-jilat cakar raksasanya. Ia tampak membersihkan darah yang menempel di tangannya, juga di bulu tubuhnya yang hitam legam.
“A-apa yang t-terjadi?” lirih Xavier tergagap.
“Dia menyerang semua yang ada di dalam pagar segera setelah dilepaskan dari kandang karantina!” seseorang berteriak ketakutan ke Xavier. “Kami berusaha menenangkannya dengan xylazine tapi tidak berhasil!”
“Kamu campur opium tidak?!” seru Xavier mulai ketakutan.
“Tentu Boss, dosis tinggi! Tapi ia tak bergeming dan malah...” orang itu memucat dan merentangkan tangannya, “Ini yang terjadi!”
“Hei,” Valent menatap di penjaga yang masih berjaga dengan persenjataan lengkap.
“Bunuh dia,” desis pria itu.
“Valentino!” seru Xavier berusaha mencegah.
“Yang begitu mau kau berikan ke Adinda?! Kau gila!” hardik Valent ke Xavier.
“Tapi...” Xavier memegangi kepalanya dengan kedua tangannya, ia kebingungan. Tapi melihat korban yang berjatuhan di dalam kandang yang berakhir dengan tragis, ia juga tidak bisa menampik solusi dari Valent.
“Nanti kuganti uangmu,” geram Valent, “Pasukan bersenjata, bidik serentak!”
“Siap!!” sekitar 20 staff organisasi dengan ujung laras M4 di tangan mereka mengarah ke arah Harimau Hitam yang masih dengan duduk di atas podium.
Kini hewan itu sedang menatap ke arah pasukan bersenjata, namun masih dalam posisi santai seakan meremehkan. Ia tidak bergeming, tidak juga berdiri. Tampaknya ia memang menunggu aksi selanjutnya.
Lalu, kepalanya menoleh ke samping.
Ke arah Adinda.
“Tunggu aba-abaku,” sahut Valent.
Dan Hewan itu berdiri lalu melompati pagar setinggi 10m meter, mendarat mulus tepat di depan Adinda.
Semua sampai tercengang melihatnya.
Sekaligus tegang dan ketakutan.
Selama beberapa saat Adinda pikir ia akan mati detik itu juga.
Harimau itu menunduk menatapnya dalam diam. Hanya berdiri di depan Adinda sambil memandang wanita itu lekat-lekat.
Terdengar geraman pelan darinya.
“Va-Valent?” desis Adinda tergagap.
“Adinda, diam dan jangan bergerak...” lirih Valent.
“Dia-“ tenggorokan Adinda seakan tercekat. Wanita itu hanya gemetaran di tempatnya sambil terpaku, memicingkan matanya dengan takut tak berani menatap Harimau Hitam yang kini berjalan ke arah sampingnya seakan mengalihkan target penembak jitu.
Bau anyir darah menggelitik hidung Adinda, sekaligus wangi tembakau bercampur anggur yang khas. Wangi yang berasal dari bulu si Harimau.
“Tahan tembakan,” resah Valent ke anak buahnya.
Berikutnya mereka bagai mendengar suara dari arah Harimau itu. Suara kekehan bercampur geraman seakan mengejak semua di sana yang berkemampuan jauh di bawah si Harimau.
Valent sampai-sampai mengernyit memastikan ia tidak salah dengar.
Dan akhirnya setelah mengendus Adinda dengan puas, ia mendengkur sambil menggosokkan dahinya di lengan dan leher Adinda.
“V-v-Val?” lirih Adinda masih ketakutan.
“Honey, jangan bergerak,” gumam Valent sambil mengangkat tangannya memastikan anak buahnya membidik dengan tepat. Harimau itu kini duduk tegak berada di belakang Adinda sambil menatap semua orang di sana dengan mata memicing.
Lalu dengan dahinya ia mendorong Adinda dengan lembut, seakan bilang : suruh mereka berhenti menembak.
“A-a-aku rasa dia ingin kalian berhenti menembak,”
Terdengar geraman lagi di dekat telinga Adinda.
Adinda diam, bagai tersentak.
Ia menatap dengan pandangan kosong ke arah depan.
Sebuah suara di kepalanya. Suara seorang laki-laki. Besar dan mengeram.
“Aku benci manusia,”
“Aku bisa menghancurkan mereka dengan sekali sentakan,”
“Tapi aku suka kamu,”
“Jadi kamu bisa bilang ke mereka, supaya berhenti menembakku,”
“Atau kujadikan seperti yang di dalam kandang itu...”
“Porak poranda, hehehehe,”
Adinda melirik takut-takut ke dalam kandang di sebelahnya.
Kandang besi dengan suasana hutan yang berukuran sekitar 1000 m2 di sebelahnya, penuh cipratan darah dan anggota tubuh manusia.
“Ka-kat-katanya...” Adinda gemetar hampir menangis, “Dia benci manusia dan akan memusnahkan semua yang ada di sini kalau ada yang berani macam-macam lagi,”
“Sial,” tukas Valent sambil mengepalkan tangannya dengan geram.
“Adinda, kok kamu bisa-“ Xavier tidak berani melanjutkan kalimatnya.
“Aku tidak tahu, Papa,” lirih Adinda masih gugup. “Tiba-tiba ada suara di kepalaku,”
“Turunkan senjata,” desis Valent ke anak buahnya. “Dengar dasar Harimau Brengsek kurang ajar,” ketus Valent.
Si Harimau tanpa diduga menatap Valent bagaikan mengerti ucapan yang keluar dari mulut pria itu. Ia menegakkan dagunya dan menatap Valent dengan meremehkan.
Tingginya saat duduk tegak sekitar 3 meter. Bobotnya mungkin ratusan kilogram. Harimau Raksasa yang sangat besar.
“Aku tahu kamu mengerti yang kukatakan,” tekan Valent, “Kami akan menurunkan senjata asalkan kamu berhenti bertingkah. Sekarang kamu milik kami, dan kami adalah organisasi berpengaruh. Jumlah kami bisa ribuan. Sekuat-kuatnya kamu, Tidak mungkin kamu bisa melawan saat kami bergerak serentak. Aku tidak takut gertakan,”geram Valent sambil menurunkan senjatanya.
Terdengar geraman pelan dari si Harimau.
Terlihat matanya melirik Adinda yang berdiri di depannya, lalu ke arah Valent, dan ke arah Xavier.
Dan terdengar dengusan pelan, seakan ia mengakui kalau Valent benar.
Jadi dia duduk dan menggesekkan kepalanya di pinggul Adinda. Meminta dielus.
Adinda masih terpaku karena ketakutan.
Harimau itu mendengkur dan mengangkat tangan Adinda dengan hidungnya, lalu memposisikannya di dahinya.
Adinda perlahan mengelusnya, walau pun dengan gerakan kaku. Bisa saja makhluk raksasa ini mencaplok seluruh tangannya sekali gigit.
Hal itu membuat Valent semakin kesal. “Hei, Tuanmu itu di sini, Xavier Velladurai Papa Nona Besar di sana itu, bagusnya kamu jaga sikap kalau masih ingin kami memberimu makan,” geram Valent sambil menyerahkan senjatanya ke salah satu anak buahnya.
Harimau hitam itu berdiri dan berjalan maju ke depan Xavier sambil menatap ke arah pria itu yang masih terpukau melihat sosok penuh keagungan bermata membara.
“Kaisar,” gumam Xavier.
Semua diam.
“Namamu Kaisar,” sahut Xavier lagi.
Dengusan sekilas dari si Harimau, tanda persetujuannya.
Dan ia pun mengaum.
Suaranya membahana.
Begitu besar dan tegas suaranya sampai terdengar ke seluruh penjuru kawasan itu.
Kaisar si Harimau Hitam seakan sedang meresmikan panggilannya sendiri, dan memberitahu seluruh penghuni Bumi mengenai keberadaannya saat ini.
Dan yang penting,
Ia bersedia berdamai sejenak dengan manusia.
Tentunya untuk kelangsungan hidupnya sendiri.
Setelah puas mengaum sampai semua orang menutup telinganya dan menunduk dengan ketakutan, Kaisar mendengus ke arah Xavier.
Dengusannya seakan mengejek Ketua Mafia Organisasi Velladurai itu.
Lalu Harimau Hitam itu berjalan melewati Xavier dan dengan angkuhnya menuju ke arah rumah utama.
Semua orang menghela napas lega.
Namun Valent berdecak,
“Ya Ampun, tambah satu lagi Boss Besar sombong yang harus ditangani,” keluh Valent sambil memerintahkan beberapa anak buahnya membersihkan kandang Kaisar.
Hari itu semua kegiatan berjalan tidak seperti biasanya.
Pasalnya, Kaisar yang berjalan di sepanjang seluruh penjuru kastil Velladurai membuat takut para pelayan dan pegawai.
Tampaknya harimau Hitam itu sedang mencari spot yang nyaman untuknya sendiri. Dalam sekejab, tidak malu-malu, ia mengklaim semua penjuru kastil itu adalah rumahnya.
Dan langkah binatang itu berhenti di sebuh kamar dengan pintu besar putih berukir klasik.
Kamar Adinda.
Ia tampak mengendus ke seluruh pintu.
Lalu membuka pintu besar itu sekali sentak dengan dorongan tangannya yang besar.
Dan melihat-lihat ke kiri dan kamarnya. Lalu menoleh ke belakang.
Ke arah Adinda yang menatapnya dengan tegang.
Tatapannya bagai bertanya ‘apakah ini kamarmu’. Berbeda dengan hewan lain, mata kaisar yang merah membara itu menyiratkan banyak hal.
Caranya melihat seseorang seakan sedang berbicara tanpa bersuara.
Xavier melirik Valent. Valent hanya menatap si Harimau dengan kesal, “Dia bukan hewan sembarangan. Sepertinya dia mengerti bahasa manusia. Mungkin dia dulu milik seseorang. Inteligensinya berbeda dengan yang lain,”
“Dia bicara padaku,” tukas Adinda, masih bersembunyi di belakang Papanya, “Sejenis telepati, langsung menggema di kepalaku. Mungkin saja dia siluman,”
“Kamu yakin tidak sedang berkhayal?” sindir Valent.
“Semua lihat buktinya, kalau yang kukatakan memang keinginannya,” ujar Adinda sedikit emosi.
“Boss, ini sih bahaya,” desis Valent ke Xavier.
“Kita lihat dulu perkembangannya,”
“Kalau dia macam-macam aku tidak segan-segan menghabisinya. Masa bodoh dengan uangmu,” gerutu Valent.
“Ini kamar Adinda, anakku,” kata Xavier mewakili Adinda yang dari tadi tidak sanggup bicara saking takutnya dia.
“A-aku rasa... dia suka di kamarku,” gumam Adinda tegang sambil mengaduk tehnya dengan gugup.
Valent hanya berkacak pinggang sambil menatap binatang besar yang tidur terlentang di atas ranjang King Size Adinda.
“Dia bukannya suka di kamarmu, dia hanya binatang berbulu raksasa yang mesum,” gerutu Valent sambil memicingkan mata.
Terdengar geraman lagi.
“Kandangmu sudah dibersihkan, balik sana!” seru Valent sebal.
Kaisar, si Harimau Hitam, menatap Valent sesaat. Lalu membuang muka dan kembali memejamkan matanya.
“Honey, coba kamu yang suruh,” desis Valent.
“Aku?” Adinda membelalakkan matanya ketakutan.
“Dia nurut padamu. Coba saja,” bisik Valent.
“Emmmm...” Adinda melirik gumpalan bulu hitam yang melingkar di atas kasurnya. “Kai, kembalilah ke kandangmu, nanti ku renov kamarku sedikit agar ada kasur khusus untukmu di sini,”
Seperti diprediksi Valent, Kaisar mengangkat kepalanya, dan dengan dengusan enggan ia perlahan turun dari ranjang dan berjalan keluar dari kamar Adinda.
Mereka berdua menatap Kaisar dengan terpana.
“Barusan dia... menurutiku?” desis Adinda ragu.
“Begitulah menurutku,”
“Kenapa?”
“Tanyakan saja padanya, kamu yang bisa berkomunikasi dengannya,” ucapan Valent seakan gerutuan sebal. “Tapi... siapa sih yang nggak nurut kalau kamu yang suruh, Papamu saja tunduk padamu,”
“Kamu tidak,”
“Masa sih? Siapa yang selama ini menyediakan kebutuhanmu, Princess?”
“Kamu,”
“Hehe,” Valent mendekat dan mencium dahi Adinda sekilas. Adinda mendorong tubuh pria itu dengan kesal.
“Jangan seenaknya,” ketus Adinda.
Valent mendengus sinis, lalu kembali memperhatikan Kaisar. Harimau itu sedang menyuruh seorang pelayan menuang sebotol wine ke dalam piring dengan anggukan kepalanya.
Si pelayan sambil gemetaran menuang seluruh isi botol ke piring besar.
Lalu Kaisar menunduk dan mulai menjilati wine sampai habis.
“Wah, benar-benar hadiah ulang tahun yang spektakuler,” Kata Adinda mulai menyukai yang terjadi hari ini.
“Kita harus mengadakan pemakaman layak bagi korban-korban si liar ini,” gerutu Valent sambil menggelengkan kepala. “Semoga tak ada lagi nyawa melayang sia-sia karena si bengal,”
“Dan menambah stok wine di gudang,” tambah Valent sambil berjalan pergi dari sana.
*
*
Dari selasar di lantai atas, Xavier Velladurai menatap ke arah Kaisar sambil terpaku. Harimau Hitam itu duduk tegak di atas bench sambil menikmati angin sore. Matanya menatap ke arah pegunungan di depannya bagaikan sedang menanti sesuatu, atau merindukan sesuatu.
Begitu angkuh dan kuat sosoknya.
Xavier mengingat saat Harimau itu menatapnya. Ia bagaikan seorang hamba sahaya yang bertemu seorang Raja. Sikap menekan dan tatapan sombong bagai tak terkalahkan.
“Aku sedang mengurung sesosok Raja. Sebenar-benarnya Raja. Dia jelas bukan hewan, tapi sesuatu yang lain,”desis Xavier sambil mengelus lengannya yang merinding.
Valent datang sambil membawa tabletnya, ia menghampiri Boss Mafia Velladurai itu dan berdiri di sampingnya. Bersama dengan Xavier, Valent juga memperhatikan Kaisar.
“Kenapa kau begitu terobesi dengan kucing, Boss?” ujar Valent sambil mengernyit.
“Bisa jadi karena sejak aku kecil, aku dijejali dengan legenda mengenainya,” Xavier menjawab pertanyaan anak buahnya dengan setengah menggerutu.
Pertanyaan Valent ini bukannya tanpa alasan. Dalam sebulan mereka harus memberi makan 10 ton daging mentah ke peliharaan-peliharaan Xavier di kebun binatang mininya. Belum biaya perawatan dan maintenance kandang, Kastil itu membutuhkan biaya operasional milyaran yang sebanyak 60%nya tercurah untuk koleksi hewan liar Xavier.
Valent mengerti kalau binatang buas adalah lambang prestise para Sultan, atau orang kaya yang berpengaruh seperti Xavier. Namun menurutnya, sebagai konsultan keuangan di organisasi itu, buang-buang uang semacam ini tidak ada imbal balik yang sepadan.
“Legenda yang kulihat di buku cerita di basement itu bukan?” tanya Valent.
“Buku cerita apa?”
“Suku Zafiry,”
“Itu bukan buku cerita, Valent. Itu kitab. Isinya mengenai informasi tentang suku siluman yang ada di hutan pulau tak berpenghuni di tengah laut pasifik,”
“Aku lihat banyak sekali gambar kucing di sana,”
“Raja dan Ratu mereka bentuknya Harimau, juga Pangeran mereka si anak pertama. Anak Kedua Serigala, Anak ketiga Elang, seorang wanita, dan yang bungsu berbentuk ular, wanita juga,”
Valent sampai menatap Xavier dengan terperangah, “Boss, kalau kecapekan bisa healing ke Jepang, kita ada onsen pribadi,”
“Aku serius,” tukas Xavier. “Hei, Valentino... melihat Kaisar yang bertingkah semacam itu, apakah kita berhalusinasi massal, hah?! Aku bukan tanpa sebab mengeluarkan trulinan untuk keberadaannya di sini,”
Valent menoleh ke arah depan sambil kembali memperhatikan Kaisar, “Dia pasti sudah dilatih di sirkus, atau semacamnya,”
“AH kamu ini!” tandas Xavier tak sabar, “Moyangku melihat sendiri, dengan mata kepala sendiri kalau suku itu nyata. Siluman penunggu hutan dengan kekayaan lebih besar dari manusia. Bangunan mereka dari berlian, tanah mereka dari emas!”
“Oh, itu El-Dorado bukan sih? Kartun besutan Disney?”
“Kalau tak percaya ya sudah. Yang jelas, semenjak mereka pulang dari perburuan itu, emas keluarga Velladurai tidak berkurang. Kini tinggal mencari sisa-sisa kekayaan yang tersebar di berbagai belahan, dan kalau bisa penduduk suku sekalian,”
“Menggelikan,” tukas Valent.
“Dia sepertinya salah satunya,” Xavier menunjuk Kaisar dengan dagunya, “Aku punya feeling bagus mengenai ini,”
“feelingmu kan suka salah, boss,”
“Sssst!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!