NovelToon NovelToon

CEO Maksa Nikah

Bab 1 Awal Mula

“Pak,saya mohon. Tolong, jangan seperti ini. Tolong, bertanggung jawablah. Saya bisa hancur, Pak.” Gadis itu memohon dengan bersimpuh di kaki Ervan yang merupakan atasannya.

“Tanggung jawab? Ambil ini.” Melemparkan selembar cek. “Apa yang terjadi malam ini adalah kesalahanku. Dan aku, tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama dengan menikahimu.”

Setelah melemparkan cek, Ervan melangkah pergi begitu saja, tanpa mempedulikan gadis itu bersimpuh di kakinya sambil bercucuran air mata. Ia menerobos gelapnya malam, mempercepat langkahnya, mencoba melepaskan diri dari gadis itu, yang terus mengikuti langkahnya dari belakang.

Keringat perlahan menetes dari pelipisnya, napasnya mulai tersengal, begitu juga dengan kedua kakinya yang terasa berat. Ervan mengedarkan pandangannya, tak disangka ia tiba di tepi jalan raya. Dan tepat dihadapannya, gadis itu berdiri tegak dengan perut yang sudah membuncit.

Ervan membelalak dan ternganga, melihat gadis itu. Sorot matanya terkunci, pada perut yang sudah membuncit. Lidahnya terasa kelu, saat ia ingin bertanya, begitu juga dengan tubuhnya yang menjadi kaku , saat ia ingin pergi menjauh.

Gadis itu, menatapnya tanpa ekspresi, tapi sorot matanya yang tajam seperti sebilah pisau yang siap menancap di tubuhnya yang tidak bergerak.

“Aku mengutukmu, hatimu akan mati bersamaku!” ucapnya lalu tersenyum, detik berikutnya ia berlari menuju jalan raya, pada saat bersamaan sebuah mobil truk melintas hingga menabrak tubuhnya hingga terpelanting jauh.

“TIDAAAKK,”

Ervan berteriak dengan histeris, lalu tersentak bangun dari tidurnya. Ia memperhatikan sekeliling, ternyata masih berada di kamarnya dengan cahaya lampu yang remang. Ervan menekan dadanya dengan kuat, merasakan denyut jantung yang berdegup kencang. Memejamkan matanya sesaat, membiarkan air matanya mengalir jatuh, bercampur dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya.

“Maaf, Maafkan, aku,” lirih sembari menghapus air matanya.

Ervan menyibak selimutnya, duduk di tepi ranjang menatap nanar ruang kamarnya. Perlahan bangkit, membuka pintu balkon kamar, membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Ia menengadahkan kepala, dilihatnya bulan dengan cahayanya yang memudar karena tertutupi awan.

“Maafkan aku, Sarah.”

Pagi menjelang, sinar matahari menyapa tubuh Ervan yang masih duduk bersandar di balkon kamar. Matanya terpejam, sampai akhirnya ia mengerjap karena silaunya cahaya matahari. Ia bangkit perlahan, berpegangan pada tiang besi pembatas, menatap kebawah, dilihatnya para pelayan rumah sedang melakukan tugasnya masing-masing. Tukang kebun dengan sapu lidi di tangannya dan satpam rumah yang sudah bersiap dengan seragamnya.

Ervan berjalan meninggalkan balkon, ia harus membersihkan tubuhnya dan bergegas menuju perusahaan. Di meja makan, terlihat kedua orang tuanya sedang menikmati sarapan. Ervan menarik kursi, lalu duduk bergabung di meja makan. Tidak ada pembicaraan yang terjadi diantara mereka, yang terdengar hanyalah suara sendok dan piring. Sampai akhirnya, ibunya membuka suara untuk memecah suasana hening yang tercipta.

“Kapan kamu akan menikah?”

Ervan tidak menjawab, raut wajahnya berubah masam, ia menarik napas perlahan. Lalu, menjatuhkan sendok dan garpunya dengan kasar diatas piring yang masih di penuhi makanan.

Ia merasa muak, mendengar pertanyaan yang sama setiap harinya. Bahkan, sudah seperti lauk pelenkap, saat ia akan menikmati sarapan dan jadwal makan lainnya. Ervan menyambar gelas yang berisi jus, meminumnya sampai tandas. Lalu bangkit, meninggalkan orang tuanya.

“Ervan.” berhenti, lalu memalingkan wajahnya.

“Ma, please! Aku malas jika Mama dan Papa membahas ini setiap hari. Aku belum terlalu tua untuk menikah buru-buru.”

“Van, dengarkan Mama. Kamu mungkin tidak buru-buru, tapi kamu harus lihat usia Mama dan Papa. Lihat paman dan bibimu, mereka sudah punya 3 cucu. Sedangkan, Mama jangankan cucu, menantu saja tidak punya.”

“Ma, aku akan menikah jika aku sudah menemukan gadis yang aku cinta. Jadi, tolong untuk sementara jangan memaksaku.”

“Kapan itu, Van? Sampe Mama pegang tongkat, gitu?

“Ma,” sela Ervan

“Dengar, malam ini anak teman Mama akan datang. Jadi, malam ini kamu makan malam di rumah. Mama tidak mau mendengar alasan kamu.”

Mama segera meninggalkan Ervan tanpa menunggu jawaban, entah iya atau tidak yang akan keluar dari mulut putranya. Sudah kesekian kalinya perjodohan dilakukan, tapi Ervan jangankan untuk menerima, bertemu saja ia menolak.

Ervandara Nugrah, seorang  CEO di perusahaan  PT. Anugerah Group. Perusahaan yang bergerak dibidang industri makanan dan minuman serta pakaian. Umurnya masih 28 tahun, tapi entah kenapa kedua orang tuanya terus memaksanya untuk menikah. Ervan sendiri tidak ada niat untuk menikahi siapapun, bukan karena sakit hati atau tidak percaya akan cinta. Tapi, karena rasa bersalahnya pada seorang gadis dimasa lalu.

Yah, sekitar dua tahun lalu, Ervan melakukan kesalahan fatal dengan memperawani seorang gadis yang bekerja di salah satu cabang perusahaannya. Pengaruh minuman keras membuatnya tidak berpikir jernih, bahkan minuman itu juga membuatnya tidak mampu menahan hasrat. Setelah malam itu, Ervan meninggalkan gadis itu begitu saja tanpa ada niat untuk bertanggung jawab.

Tiga bulan kemudian, Ervan kembali untuk menemui gadis itu, setelah di hantui rasa bersalah selama berbulan-bulan. Tapi, sepertinya rasa bersalah itu akan terus menghantui selama sisa hidupnya. Karena gadis itu bunuh diri, dalam keadaan hamil. Mengetahui hal itu, Ervan semakin tenggelam dalam penyesalan.

Setelah, mendengarkan ocehan ibunya, Ervan melangkah pergi, dengan rahang mengeras menatap tajam sekretarisnya yang sudah menunggu di halaman rumah, sambil membuka pintu mobil. Ia berjalan masuk tanpa menyapa, menunggu Tirta duduk di kursi kemudi.

“Tirta,apa aku perlu menikah?”

“Tidak, tidak perlu. Tetaplah seperti itu,”

Sampai kau menua. Tirta melanjutkan kalimatnya dalam hati.

Ervan menatap ke arah luar, lalu lintas pagi ini kembali sibuk seperti hari-hari kemarin. Tampak kendaraan, memadati jalan raya. Ada kendaraan bermotor dengan penumpangnya menggunakan seragam PNS. Ada juga yang berkendara seorang diri, hanya dengan pakaian biasa.

Ia kembali memalingkan wajahnya, melihat Tirta mengemudi tanpa mengajaknya bicara. Pria itu, hanya fokus dengan jalanan dihadapannya. Sesekali membunyikan klakson, bahkan terkadang berdengus kesal, jika kendaraan lain menyalipnya.

"Tirta, mampir di sebuah cafe. Belikan aku kopi dan roti lapis. Beli dua porsi."

"Baiklah." Menengok  ke arah kanan dan kiri, sepanjang perjalanan. Kemudian, berhenti, di sebuah cafe tidak jauh dari gedung perusahaan.

Tirta keluar dari mobil, berlari kecil masuk dalam sebuah cafe. Memesan, lalu duduk sebentar sembari menunggu pesanannya datang. Tak lama, pelayan cafe memanggilnya, menerima pesanannya, lalu berjalan pergi.

"Ini." Menyodorkan kepada Ervan.

"Untukmu." Memberikan segelas kopi pada Tirta.

"Apa kamu tidak sarapan lagi?" meneguk kopinya, sebelum menyalakan mesin mobil.

"Bagaimana aku bisa sarapan, jika menu dihadapanku hanya pertanyaan tentang pernikahan.?"

"Apa kamu tidak bisa menerima saja?" Melihat kursi penumpang melalui kaca spion. "Tidak, lupakan saja." Panik, setelah dibelakang sana menatapnya dengan tajam.

Bab 2 Dia

Kini Ervan tengah menatap foto seorang gadis yang akan ditemuinya malam ini, lengkap dengan informasi tentangnya. Foto itu, baru saja dikirim oleh sang ibu. Ibunya berharap, ia mau bertemu dengan gadis yang ada di foto itu. Gadis dengan wajah yang cantik sempurna, tapi sama sekali tidak membuat hatinya tergerak. Entah seperti apa tipe gadis yang ia sukai, ia sendiri pun tidak tahu. Ervan bangkit dari duduknya, berjalan ke arah kaca dinding sambil memandang keluar.

“Buang semua.” Tirta segera mengambil semua foto, lalu membuangnya ke tempat sampah.

Sudah hampir dua tahun berlalu, Ervan belum juga melupakan kejadian yang membuat hidupnya tidak tenang, meski wajah gadis itu mulai samar dalam ingatannya.Tidak ada ikatan cinta diantara mereka berdua, tapi sejak gadis itu pergi, seluruh hati Ervan pun ikut membeku bersamanya. Rasa bersalah yang menggrogoti hatinya, membuat Ervan menolak jatuh cinta. Gadis itu seakan mengutuk dirinya, sehingga membuatnya sama sekali tidak memiliki perasaan untuk jatuh cinta.

PRAANGG

Serpihan kaca berserakan diatas lantai, bercampur dengan genangan air. Ervan mengepalkan tangan, mendaratkannya di dinding kaca, lalu berteriak dengan frustasi. Ia merasa lelah menjalani hidup dengan bayang-bayang seorang gadis yang bersimpuh di kakinya, memohon agar ia bertangung jawab. Ia marah karena rasa bersalah terus menekan batinnya, sehingga membuat seluruh tubuhnya ikut mati bersama gadis itu.

“Apa kau bahagia sekarang? Hah!” Berteriak dengan menengadahkan wajahnya.

Tirta hanya membisu melihat Ervan, ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu atasan sekaligus sahabatnya itu. Ia sangat tahu, besarnya rasa bersalah dan penyesalan yang tertanam dalam hati Ervan. Ditambah lagi, tekanan orang tuanya yang terus menjodohkan dan memaksanya segera menikah.

Tirta meraih telepon diatas meja. “Utus seseorang untuk membersihkan ruangan CEO,” perintah Tirta pada seseorang di balik telepon.

Tok....Tok...Tok....

“Masuk,” jawab Tirta dari dalam ruangan.

Seorang gadis menggunakan seragam cleaning servis masuk dengan membawa peralatan kebersihan. Berjalan perlahan, pandangannya terkunci, CEO dengan balutan jas, berdiri depan dinding kaca, dengan puing-puing kristal berserakan di lantai sekitarnya.

DEG, Dia! Batinnya memanggil.

Ia berjalan mendekat dengan menundukkan wajahnya. Memungut pecahan kaca yang ukurannya besar, satu persatu, lalu memasukkannya dalam kantong sampah. Kemudian, mulai membersihkan serpihan kaca dengan alat kebersihan yang dibawanya. Setelah selesai, ia kembali memastikan lantai itu sudah benar-benar bersih.

“Saya permisi, Pak.”

“Tunggu.” Menatap tajam dari ujung kaki sampai rambut.

“I ... iya, Pak.” Terbata karena mendapat tatapan yang seperti akan mencekiknya.

“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Menyelidik dengan wajah yang terasa familiar.

DEG,

“Ti ... tidak, Pak.” Tertunduk menyembunyikan wajahnya.

“Hemm.” Memalingkan wajahnya. “Keluar.”

“Baik, Pak.”

Ervan kembali duduk, memilah beberapa dokumen diatas meja, setelah meluapkan kekesalannya. Ia membaca dengan teliti, sebelum menorehkan penanya. salah satu dokumen menarik perhatian, membuat memorinya mundur sesaat, lalu tersadar seketika.

"Tirta, siapa penanggung jawab QC di anak perusahaan kita di Kota XX?"

"Sebastian, dia menggantikan Sarah, setelah dipecat."

Tatapan Ervan berubah menusuk, raut wajahnya memberi peringatan kepada Tirta, agar tidak menyebut nama gadis yang terdengar sakral baginya.

"Jangan pernah menyebut namanya, didepanku!"

"Maaf, aku lupa."

Salahku menjawab berlebih.

Waktu menunjukkan pukul lima sore, yang artinya jam kerja telah usai. Para karyawan satu per satu meninggalkan perusahaan, dengan cuaca mendung mewarnai langit sore itu. Ervan yang masih duduk di kursi kebesarannya merasa enggan meninggalkan tempat itu. Suasana hujan rintik di luar sana, melengkapi suasana hatinya yang kian memburuk.

Ervan mengetuk meja dengan jari telunjuknya, berulang kali. Ini menunjukkan jika ia sedang berpikir keras, untuk mencari alasan menghindari pertemuan malam ini.

"Aku harus ke mana?" Gumamnya. lalu, mengambil ponsel dan menghubungi Tirta. “Ke ruanganku, sekarang.”

Tirta tiba di ruangan CEO dengan tergopoh-gopoh, bagaimana tidak, ia sudah berada dalam mobil dan bersiap untuk pergi. Tapi, Ervan mendadak memanggilnya setelah ia baru saja menyuruhnya untuk pulang lebih dulu.

“Ikut, aku!” memerintah, tanpa membiarkan Tirta mengatur napasnya terlebih dahulu..

“Ke mana?” Masih dengan napas yang naik turun.

Ervan tidak menjawab, ia melangkah pergi bersama Tirta yang mengekor dibelakangnya. Keduanya masuk dalam lift, yang akan membawa mereka ke lantai bawah. Pintu lift terbuka, keduanya keluar beriringan tanpa ada sepatah kata. Baru beberapa langkah kaki mereka menapaki lantai, terdengar suara anak kecil yang sedang menangis. Suara itu terdengar lirih dan serak sepertinya anak itu sudah lama tenggelam dalam tangisannya. Ervan dan Tirta berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah kanan dan kiri mencari sumber suara.

“Kamu dengar itu?”

“Dengar, Van.”

Kaki mereka kembali melangkah, mengikuti sumber suara. Tapi, terhenti lagi saat mereka tidak yakin akan arah yang  mereka tuju.

“Kamu yakin suara itu berasal dari sana?” Menunjuk arah toilet.

“Aku tidak tahu."

Ervan mengikuti langkah Tirta didepannya. Semakin dekat langkah kaki mereka, semakin terdengar jelas suara tangisan anak itu. Tirta  menghentikkan langkahnya didepan pintu yang bertuliskan ‘Toilet Wanita’. Tirta menoleh ke belakang, menatap Ervan seolah bertanya, apakah kita akan masuk kedalam?

“Kamu yang masuk!” perintah Ervan, yang mengerti maksud tatapan Tirta kepadanya.

“Aku, Van?” jawab Tirta, mencoba protes.

“Ya, iyalah kamu. Masa harus aku, yang masuk kedalam?”

“Tapi, ini toilet wanita loh, Van.”

“Terus kenapa? Cepat masuk sana.” Mendorong tubuh Tirta masuk ke dalam toilet wanita.

Tirta menemukan seorang anak laki-laki yang berusia sekitar satu tahun, tengah duduk di samping tubuh ibunya yang terbaring diatas lantai. Tangan mungilnya, mengguncang tubuh ibunya sambil terus menangis.

“Mama,” isaknya, lalu memeluk tubuh ibunya.

Bingung, harus berbuat apa. Ia duduk dengan lutut tertekuk, mensejajarkan dirinya dengan anak itu. Tirta menyibak rambut wanita itu, wajah pucat menjadi pandangan pertamanya. Tirta berteriak memanggil Ervan yang masih menunggunya didepan pintu toilet.

“Van, cepat masuk!” perintah Tirta yang mulai melupakan kedudukannya.

“Ada apa?” Terdiam sejenak melihat pemandangan dihadapannya. "Wanita itu kenapa?"

"Sepertinya dia pingsan."

Ervan mendekat, menatap wajah wanita itu, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangannya. Lalu, mengangkat tubuhnya.

“Kamu sedang, apa? Cepat bawa dia!” Menunjuk anak itu dengan sorot matanya.

Ervan berjalan lebih dulu, meninggalkan Tirta yang menggendong anak itu dengan tas jinjing yang menepel dibahunya. Seorang Satpam berlari mendekati mereka, saat melihat Ervan menggendong seorang wanita dengan langkah yang tergesa-gesa.

“Maaf, Pak," ucapnya sembari membuka pintu mobil

"Tidak apa." Meletakkan kepala wanita itu diatas pahanya.

Tirta menyusul masuk, memberikan tas jinjing kepada satpam untuk diletakkan di kursi sebelah kemudi. Sementara ia, menyerahkan anak itu kepada Ervan, karena harus mengemudi.

Bab 3 Wajah yang mirip

Rumah sakit ...

Wanita itu, kini sudah berada di ruang UGD untuk mendapatkan penanganan. Ervan duduk sambil menunggu dokter melakukan pekerjaannya. Sedangkan, Tirta masih berusaha untuk menenangkan bocah itu, yang masih terus menangis mencari ibunya. Tirta memperlihatkan mainan mobil-mobilan yang baru saja dibelinya, sambil menggendong.

“Lihat,baguskan!” rayu Tirta, tapi tak mendapat respon dari anak itu. Justru, suara tangisannya semakin memekakkan telinga, membuat pengunjung rumah sakit menatap ke arahnya

Ervan yang dari tadi hanya memainkan ponselnya, mulai terganggu dengan tangisan anak itu. Ia menengadahkan wajahnya, menatap Tirta yang sudah pasrah membiarkan anak itu menangis dalam pelukannya.

“Tirta. Suruh dia, diam.”

“Kamu ingin aku menutup mulutnya?” Tirta mulai kesal, karena Ervan hanya memerintah tanpa membantu.

Ervan lalu mengambil bocah itu dari pelukan sekretarisnya. Mengusap punggungnya dengan lembut, sembari menggoyangkan tubuhnya, agar anak itu merasa seakan berada di ayunan. Sesekali, Ervan mendaratkan kecupan dan menempelkan pipinya. Ervan tidak memiliki pengalaman mengurus seorang anak, tapi entah mengapa keahliannya tiba-tiba muncul begitu saja. Lambat laun, anak itu pun mulai terdiam dan membenamkan wajahnya di leher Ervan.

“Apa dia sudah tidur?” tanya Ervan dengan suara berbisik.

Tirta mendekati Ervan, memeriksa dengan tatapan matanya. Lalu, menganggukkan kepala. Kemudian, ia kembali duduk dengan tenang. Ervan cukup lama mempertahankan posisinya, menggendong anak itu. Ia pun memberikan isyarat kepada Tirta dengan menendang kakinya.

“Aku keram,” bisik Ervan.

“Dibagian mana?”

“Punggung dan bahuku, serasa mau copot.”

Tirta bangkit, mengendurkan jari-jarinya dan mulai memijat punggung dan bahu Ervan. Ia menekan cukup kuat, agar Ervan merasa lebih baik. Tanpa mereka sadari, sorot mata para perawat dan pengunjung rumah sakit tertuju kepada mereka berdua. Terlihat senyum diantara orang-orang yang memperhatikan tingkah Tirta memijit Ervan seperti istrinya.

“Pak Ervan?” panggil dokter Alan.

Tirta menyelesaikan pijatannya, lalu berjalan mendekati dokter Alan yang tidak lain adalah teman baik mereka. “Kau tidak usah memanggilnya, dia sedang sibuk.”

Alan menatap ke arah Ervan yang mulai berjalan meninggalkan ruangan UGD. Merasa aman, ia merangkul bahu Tirta dengan akrab, mendekatkan wajahnya di telinga Tirta, seolah akan membisikkan sesuatu yang penting.

“Apa hubungan wanita itu dengan Ervan?” Tersenyum

“Hubungan kepalamu.” Menjitak kepala dokter Alan dengan kuat.

“Auch, sakit. Kau kenapa? Apa kau sedang cemburu?” ucap dokter Alan sambil mengusap kepalanya.

“Cemburu? Kau mau mati, ya? Dia hanya seorang karyawan. Kenapa jiwa bergosipmu selalu saja kambuh?”

Terdengar suara kekehan, dari para gadis berseragam putih. Keduanya menoleh, menatap sambil tersenyum malu-malu. Tirta menarik Alan, untuk menjauh dari ruang UGD.

“Kenapa begitu banyak wanita, di tempatmu?”

“Mereka calon dokter yang sedang magang. Apa kau tertarik?” goda Alan.

“Hah, sudahlah. Katakan, wanita itu sakit apa?” Mengalihkan pembicaraan

“Wanita itu hanya pingsan karena kelelahan dan juga kekurangan nutrisi. Aku sudah menyuntikkan obat dalam cairan infusnya, agar ia beristirahat,” jelas Alan yang kembali dalam mode profesional.

“Ya, sudah, sekarang kamu pergi!” usir Tirta.

Dokter Alan tidak mengindahkan perkataan Tirta, ia ikut mendorong brankar wanita itu menuju ruangan perawatan VVIP. Tirta sudah menduga akan hal ini, jiwa penggosip sudah merasuki pikiran Alan. Setibanya di dalam ruang perawatan, Alan menghampiri Ervan yang masih menemani anak itu tidur di atas sofa. Ia membiarkan para asiten dan perawat melakukan tugasnya. Alan memasang tampang wajah yang penuh dengan kecurigaan dan tatapan menyelidik, seperti seorang polisi yang hendak menginterogasi tersangka.

“Ada apa?” tanya Ervan dengan tatapan tidak suka.

“Kamu masih tidak mau jujur?” selidik dokter Alan yang sedari tadi menatap wajah Ervan dan anak itu secara bergantian.

“Jujur apa? Sebenarnya, kamu ini kenapa?”

“Hei, kamu masih mau berbohong. Lihat wajah anak ini sangat mirip denganmu!”

Ervan menatap dengan cermat anak laki-laki itu, begitu juga dengan Tirta yang tiba-tiba mendekat setelah mendengar ucapan Alan. Ketiganya, dengan teliti menatap wajah anak itu. Ervan memang belum sempat melihat jelas wajah anak itu, begitu juga dengan Tirta. Mereka hanya sibuk menenangkannya, karena terus menerus menangis. Alan pun mulai menjabarkan satu per satu persamaan keduanya.

“Lihat, hidung dan bibirnya. Sama persis denganmu, Ervan. Begitu juga, dengan wajahnya,”jelas dokter Alan, diikuti dengan anggukan kepala Ervan dan Tirta.

“Perhatikan bola matanya, persis denganmu, meski ia sedang tidur.” Jelas dokter Alan lagi, disusul sebuah pukulan mendarat di atas kepalanya.

“Auch ...,” rintihnya, “kenapa kau selalu memukul kepalaku?”

“Sebaiknya, kau tutup mulutmu sebelum anak itu terbangun dan kembali menyusahkanku.”

“Oh, baiklah. Maaf.”

Para perawat dan asisten dokter telah menyelesaikan tugasnya. Mereka, mendekati dokter Alan seolah menunggu tugas selanjutnya. Dokter Alan mengatur tatanan rambutnya yang sempat teracak,  akibat ulah Ervan yang memukul kepalanya.

“Aku akan kembali, setelah jam kerjaku selesai, oke?” ucap Dokter Alan, lalu keluar meninggalkan ruangan bersama para dayangnya.

Setelah, dokter Alan meninggalkan mereka, Ervan dan Tirta berganti posisi untuk menjaga anak itu. Ervan berdiri dan meregangkan tubuhnya , lalu berjalan ke ranjang pasien. Ia ingin memastikan wajah karyawannya, karena dari tadi belum sempat melihatnya.

Wajah pucat itu, tertidur pulas dengan jarum infus menancap di urat nadi tangannya. Ervan memperhatikan, bentuk alis yang melengkung sempurna, menyelaraskan bentuk matanya yang kini terpejam berhiaskan bulu lentik yang tebal.

“Cantik,” ucapnya memperhatikan bibir ranum, seolah menantangnya untuk mendekat. Ervan tersenyum sesaat, lalu kembali duduk duduk disisi Tirta.

“Tirta. Kamu sudah mengetahui identitasnya?”

“Namanya, Tamara Maharani dan kamu baru saja bertemu dengannya di perusahaan. Dia bekerja

sebagai cleaning servis yang membersihkan ruanganmu hari ini.”

“Ooh ... apa dia tidak memiliki keluarga? Suruh anak buahmu untuk mencari tahu?”

Tirta tidak menjawab, ia merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya. Ia menghubungi seseorang, lalu memutuskan sambungan telepon. Sedetik kemudian, Ia kembali menghubungi seseorang, kali ini bukan anak buahnya, melainkan drive ojol yang sudah menjadi langganannya untuk mengantarkan makanan.

“Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Apa kita harus ikut menginap di sini?” tanya Tirta setelah meletakkan ponelnya dalam saku.

“Tentu saja. Ini adalah senjataku, untuk menghindari pertemuanku dengan gadis itu.”

“Baiklah. Terserah kamu saja.”

Hening ...

Keduanya membisu, Tirta memejamkan mata, menunggu dering ponselnya berbunyi. Sedangkan Ervan, duduk menatap dengan cermat wajah anak itu. Apa benar anak ini mirip dengannya? Bertanyanya dalam hati. Lalu, membelai pipi tembemnya, mengusap alisnya, dan memegang jari-jarinya.

“Jika dia masih hidup, mungkin ia sudah tumbuh sebesar dirimu,” gumamnya, lalu bangkit mendadak dengan jantung yang berdegup tidak beraturan.

DEG,

“Tidak, tidak mungkin.” Berjalan menuju sisi ranjang, menatap tajam sambil menguras ingatannya, memastikan sesuatu dalam memorinya.

Tidak, kamu bukan dia!

Ervan kembali duduk di sofa dengan terkulai, mengusap wajahnya dengan kasar, lalu membenamkan dikedua telapak tangannya. Terdiam sesaat dengan degup jantung yang mulai berdetak normal. Ia mengangkat wajahnya, kembali menelusuri wajah anak itu, yang memang terlihat persis dengannya.

“Tirta,” panggilnya, memecah keheningan, “apa anak ini sangat mirip denganku?”

“Iya. Kalian memang mirip, tadinya aku berpikir Alan itu konyol. Tapi, setelah menatap kalian berdua, aku rasa kalian memang memiliki kemiripan, seperti ayah dan anak.”

“Apa? Coba ulangi lagi!” Perkataan Tirta membuat sesuatu terlintas dalam pikirannya.

“Ulangi apa? Yang mana?”

“Kalimat terakhirmu.”

“Kalian mirip seperti ayah dan anak,”

“Yah, itu dia!” seru Ervan, membuat Tirta menatapnya dengan wajah penuh kebingungan.

“Memangnya ada apa?”

“AKU AKAN MENIKAH DENGANNYA.”

“APAAA???” pekik Tirta tanpa sadar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!