Menginjak usia 32 tahun, Zayyan Alexander belum juga memiliki
keinginan untuk menikah. Berbagai cara sudah dilakukan kedua orang tuanya, namun hasilnya tetap saja nihil. Tanpa mereka ketahui jika pria itu justru mencintai adiknya sendiri, Azoya Roseva. Sejak Azoya masuk ke dalam keluarga besar Alexander, Zayyan adalah kakak paling peduli meski caranya menunjukkan kasih sayang sedikit berbeda.
Hingga ketika menjelang dewasa, Azoya menyadari jika ada yang berbeda dari cara Zayyan memperlakukannya. Over posesif bahkan melebihi sang papa, usianya sudah genap 21 tahun tapi masih terkekang kekuasaan Zayyan dengan alasan kasih sayang sebagai kakak. Dia menuntut kebebasan dan menginginkan hidup sebagaimana manusia normal lainnya, sayangnya yang Azoya dapat justru sebaliknya.
“Kebebasan apa yang ingin kamu rasakan? Lakukan bersamaku karena kamu hanya milikku, Azoya.” – Zayyan Alexander
“Kita saudara, Kakak jangan lupakan itu … atau Kakak mau orangtua kita murka?” - Azoya Roseva.
..........
Hampir tengah malam, sepasang mata tengah memastikan keadaan. Dia berharap malam ini pulang tepat waktu, tidak seperti kemarin. Tangannya mendadak dingin padahal malam ini biasa saja, mungkin dia terlalu gugup dan khawatir dengan kemarahan Zayyan, sang kakak.
"Turunlah, apa kamu masih merindukanku, Sayang?"
Suara lembut itu terdengar menenangkan di telinganya. Dia bingung hendak menjawab apa karena pada faktanya bukan kerinduan yang menjadi alasan dia ragu untuk turun. Melainkan ketakutan pada sosok pria yang akhir-akhir ini semakin membuat batinnya kian tertekan.
"Hem, sedikit ... kita hanya bertemu dua jam hari ini," tuturnya mencari jawaban yang paling tepat dan tidak membuat kekasihnya terluka.
"Benar juga, apa tidak sebaiknya aku mengantarmu masuk? Aku juga ingin bertemu Zayyan," ucap Mahen kemudian. Jujur saja dia juga memiliki ketakutan tersendiri tentang Zayyan, pria yang sempat dikenalkan Azoya sebagai kakaknya dua minggu lalu.
"Jangan, lain kali saja. Dia sudah tidur biasanya."
"Baiklah kalau begitu, salam saja untuknya besok pagi," ujar Mahen dengan senyum hangat di wajahnya.
Azoya Roseva, wanita cantik yang berada di posisi sulit ini terpaksa harus berbohong demi menjaga hati seseorang. Mahendra adalah kekasihnya yang ke-empat selama satu tahun terakhir, bukan karena dia murahhan ataupun sengaja mengumbar. Hanya saja Zayyan selalu ikut campur hubungannya dengan lawan jenis hingga kekasih Azoya memilih mundur jika sudah bertemu Zayyan.
Turun dari mobil Azoya melangkah begitu pelan kala memasuki kediaman mewah orang tuanya. Khawatir langkah kakinya akan terdengar sang kakak, Azoya memilih masuk lewat pintu belakang. Dia yang sengaja tidak izin ketika pergi tadi sore bersama teman-temannya jelas saja memiliki ketakutan tersendiri akan kemarahan Zayyan yang biasanya kerap di luar batas.
Ceklek
Pintunya tidak dikunci, di luar dugaan dan dia beruntung sekali malam ini. Wanita itu tersenyum simpul karena dia tidak perlu melakukan banyak usaha memanggil pelayan di rumahnya, entah dia berdoa apa hingga bisa seberuntung ini, pikirnya.
Lampu sudah tampak dimatikan di beberapa ruangan, hanya temaram namun Azoya masih bisa melihat dengan jelas objek di depannya. Wanita itu mengendap-ngendap menuju kamarnya, sensasi yang dia bagaikan maling di rumah sendiri ini sudah biasa dia rasakan.
"Aku harap dia memang sudah tidur, sulit sekali hidupku begini."
Begitu pelan dia mendorong pintu kamarnya, seperti yang dia duga suasana begitu gelap dan tidak bisa melihat apa-apa di sini. Jelas saja demikian, dia meninggalkan kamar ketika hari belum gelap dan tidak berpikir akan pulang selarut ini.
Azoya mengunci pintu kamarnya demi menghindari Zayyan masuk sembarangan seperti yang sudah-sudah. Dia sedikit meraba kala mencari saklar lampunya, suasana hatinya mulai tenang hingga kemudian semua berganti kala lampu kamar dia hidupkan.
"Aarrrggghhh!!" pekik Azoya mengelus dadanya berkali-kali, sosok pria tinggi yang kini membelakanginya berhasil membuat jantung Azoya seakan berhenti sejenak.
"23:52 ... otakmu dimana, Zoya?" tanya Zayyan tetap membelakanginya, pria yang dia hindari sebisa mungkin nyatanya sudah menunggu di kamar seraya menatap jauh ke luar sana.
"Sejak kapan Kakak berdiri di situ?" tanya Azoya sedikit kesal karena merasa sama sekali tidak memiliki privasi akhir-akhir ini.
Zayyan tidak menjawab, dia menoleh dan kini melayangkan tatapan tajam ke arah Azoya hingga wanita itu bergetar. Langkah Zayyan yang kian mendekat semakin membuatnya takut dan perlahan mundur hingga membentur pintu kamar.
"Masih pria yang kemarin?" tanya Zayyan dari jarak yang begitu dekat bahkan hembusan napasnya dapat Azoya rasakan.
"Hm, masih."
"Akhiri hubungan kalian, dia bukan pria yang baik untukmu," titah Zayyan semudah itu dalam mengendalikan kisah asmara adiknya sesuka hati.
"Lagi? Kakak please!! Ini sudah keempat kalinya, mau sampai kapan? Aku sudah dewasa tapi selalu dikekang, aku juga ingin kebebasan, Kak ... aku tidak mau jadi perawan tua kalau begini!!" sentak Azoya sedikit meninggi hingga tatapan Zayyan kian tidak terbaca.
"Kebebasan bagaimana yang ingin kamu rasakan? Lakukan bersamaku karena kamu hanya milikku, Azoya," ucap Zayyan terdengar pelan namun menakutkan bagi Azoya.
- To Be Continue -
Hallo, jangan lupa favoritkan karya author💋 Cerita kali ini adalah cerita baru dan berdiri sendiri. Author ingin sesuatu yang lebih segar sembari berkecimpung dengan Dinasti Ibra. Semoga suka💕
"Kebebasan bagaimana yang ingin kamu rasakan? Lakukan bersamaku karena kamu hanya milikku, Azoya," ucap Zayyan terdengar pelan namun menakutkan bagi Azoya.
Semakin tidak bisa diterima, perlakuan Zayyan lama-lama membuat Azoya terganggu. Pria itu bahkan menghimpit tubuhnya hingga keduanya tidak lagi berjarak, aroma maskulin pria itu menembus indera penciumannya.
Azoya masih berusaha untuk tidak panik dan menghadapi Zayyan dengan caranya. Akan tetapi malam ini memang dia sedikit berbeda bahkan berani mencengkram dagunya dengan sedikit tenaga.
"Mobil pria itu berhenti lebih dari sepuluh menit, katakan apa yang kalian lakukan sebelum turun? Hm?"
Pertanyaan jebakan yang membuat Azoya harus benar-benar berpikir untuk menjawabnya. Sudah dipastikan Zayyan berada di kamarnya sejak lama dan sengaja menunggu dirinya pulang hingga dengan sengaja memantau dari atas.
Wajah Azoya mendadak pucat ketika Zayyan menekannya untuk bicara. Padahal, sama sekali tidak ada hal menyimpang yang mereka lakukan, akan tetapi kenapa justru dia setakut ini untuk bicara, pikir Azoya.
"Katakan? Bagian mana yang dia sentuh?" tanya Zayyan sembari melepas cengkramannya di dagu Azoya.
Zayyan sangat paham watak pria, mau bagaimanapun tidak ada yang namanya benar-benar menjaga. Ya, begitulah fakta yang dia ketahui selama hidupnya. Lingkungan Zayyan memang berbeda dari Azoya, dan jelas saja cara pandang keduanya terhadap dunia sangat jauh berbeda bahkan bisa dikatakan bertentangan.
"Tidak ada!! Mahen hanya mengantarku pulang, kami makan malam di pesta ulang tahun Aneth tapi setelah itu pulang."
"Makan malam?"
Dia berdecih, jawaban Azoya terdengar lucu di telinganya. Pria itu menelusuri wajah sang adik dengan jemarinya, begitu lembut hingga kemudian dia tepuk pelan beberapa kali wajah Azoya, bukan tamparan akan tetapi ini teramat menakutkan.
"Makan malam katamu? Makan malam apa pulang selarut ini, Zoya. Kamu kira aku bodoh, otak laki-laki di dunia ini sama." Zayyan menekan setiap kalimatnya, semua pria di mata Zayyan memang seburuk itu dan tidak ada baiknya sama sekali.
"Dia yang memakanmu mungkin," lanjut Zayyan dengan tatapan penuh kekecewaan pada adiknya, pria itu meghela napas kasar kemudian melangkah mundur demi membuat Azoya tidak setakut itu.
"Maksudmu apa? Aku bukan wanita murahhan, jangan samakan aku dengan wanita yang Kakak kenal," tegas Azoya menatap tajam Zayyan yang hingga saat ini berusaha menahan emosinya.
"Mulutmu mungkin bisa berkata begitu, tapi yang terjadi sebenarnya belum tentu."
Sakit sekali, Zayyan benar-benar meganggapnya sebagai wanita tidak punya pendirian dan harga diri. Azoya yang kesal memilih tidak peduli dan naik ke tempat tidur tanpa peduli dia belum membersihkan diri.
"Azoya."
Zayyan memejamkan matanya, pria itu tidak terima kala belum selesai bicara dan Azoya memilih bersembunyi dibalik selimut.
"Zoya," panggilnya untuk kedua kali dengan suara yang sedikit lebih lembut.
"ZOYA!!"
Sudah digunakan cara baik-baik Azoya tidak juga mendengar sontak pria itu berteriak hingga Azoya mengalah dan kini duduk di tepian ranjang. Kakaknya memang tidak pernah main-main, Azoya yang khawatir kericuhan di kamarnya sampai ke telinga orang lain memilih mengalah meski hatinya seakan tersayat akibat ucapan Zayyan.
"Apalagi? Kakak tidak malu berteriak begitu? Di rumah ini bukan hanya kita berdua," celetuk Azoya sebal karena benar-benar tidak habis pikir kenapa bisa Zayyan sesantai itu dalam bertindak.
"I don't care," jawabnya singkat dengan tatapan yang masih sama seperti sebelumnya.
Belum selesai kemarahan Zayyan lantaran Mahen begitu lama berhenti di depan rumahnya, kini pria itu kembali dibuat naik darah kala menyadari kalung yang dia berikan untuk Zoya beberapa waktu lalu sudah tergantikan dengan kalung yang berbeda.
"Dimana kalung pemberianku?"
"Aku simpan, Kak ... tidak mungkin aku pakai dua kalung sekaligus," jawab Azoya sedikit berbohong, alasan sebenarnya jelas karena Mahen yang meminta.
"Memang tidak, dan yang boleh ada di lehermu hanya kalung pemberianku, Azoya."
Tanpa pikir panjang, sama sekali dia tidak peduli bagaimana dampaknya pada hubungan mereka. Zayyan menarik paksa kalung itu hingga putus dan berhasil membuat Azoya menganga.
"Kakak gila ya? Kalau Mahen tahu bagaimana denganku?" tanya Azoya dengan mata yang kini mengembun, hal-hal tidak disangka begini kerap kali dia dapatkan dari Zayyan yang memang semena-mena.
"Aku bisa belikan yang lebih baik da mahal dari ini, tidak perlu menangis, Zoya."
Zayyan menyeka air mata adiknya penuh kelembutan, suaranya juga terdengar berbeda dan tidak lagi ada kemarahan di sana. Pria itu menarik sudut bibir kala Azoya mendongak dan menatap matanya.
"Tidurlah, hari sudah larut," ucapnya kemudian mengecup bibir Azoya tanpa aba-aba sebagai ucapan selamat malam, wanita itu mendorong dada sang kakak dan hanya mendapat senyum tipis dari Zayyan.
"Mama, aku benar-benar membencinya." Azoya mengepalkan telapak tangan dan mengusap kasar bibirnya berkali-kali, niat hati segera tidur kini terganti hingga wanita itu memilih mandi karena merasa dirinya sekotor itu tiba-tiba.
- To Be Continue -
Meskipun tidur larut, sudah menjadi tanggung jawab Zoya untuk tetap bangun pagi. Walau sudah masuk dalam keluarga Alexander, dia tetap harus melakukan pekerjaan yang biasa dia lakukan ketika Amora, sang mama masih menjadi janda.
Dia dibantu satu pelayan untuk menyiapkan sarapan pagi ini. Azoya sudah biasa, jadi hal semacam ini tidak terlalu sulit baginya. Menjadi penanggung jawab di dapur dan memastikan tiga saudara tirinya tidak terlambat sarapan ataupun makan malam tidak begitu sulit baginya.
Kantung matanya terlihat jelas pagi ini, jelas saja hal itu terjadi karena gangguan sang kakak yang membuat Azoya tidak bisa tidur nyenyak setelahnya. Wanita itu bahkan menghabiskan banyak buku demi berusaha melupakan perlakuan kurang ajar Zayyan padanya.
Di tengah kegiatannya, Zayyan tiba-tiba muncul dengan pakaian yang sudah begitu rapi. Profesinya sebagai pemimpin perusahaan menggantikan sang papa sejak empat tahun lalu mengharuskan Zayyan disiplin setiap paginya.
"Belum siap, Bi?"
"Sebentar lagi, Tuan ... apa saya perlu buatkan kopi lebih dulu?" tawar Lika bicara baik-baik, wajah Zayyan yang sama sekali tidak bersahabat itu cukup membuat Lika takut sebenarnya.
"Tidak perlu, saya tunggu saja."
Sengaja turun lebih dahulu, dia ingin memandangi adik kesayangannya lebih lama. Jika di hadapan orang tuanya, Zayyan takkan bisa berbuat lebih. Sang papa begitu tegas, bisa jadi matanya ditusuk sendok garpu jika sampai ketahuan mencuri pandang Azoya.
Sementara Azoya yang kini tengah menata sandwich mencoba fokus dan tidak peduli dengan kehadiran Zayyan yang sengaja duduk di depannya. Walau mata Azoya tidak menatap sang kakak, namun jelas sekali dia merasakan bagaimana Zayyan terus menjadikannya objek pagi pagi.
"Tidak tidur?"
Suara itu memecah keheningan, Azoya menghela napas pelan dan berusaha pura-pura tidak mendengar. Padahal, dengan jelas di ruang makan hanya mereka berdua dan tidak mungkin suara Zayyan tidak terdengar.
"Atau menangis?" tanya Zayyan kedua kali, sejak tadi dia menyadari ada yang aneh dengan adiknya. Wanita itu terlihat berbeda, marah, sedih dan kacau tampak bercampur jadi satu.
"Zoya."
"Tidak dua-duanya, aku baik-baik saja dan berhenti bertanya," kesal Zoya akan tetapi membuat Zayyan tertawa sumbang, tidak sia-sia dia bangun lebih pagi demi bisa mengerjai adiknya hingga begini.
"Morning!! Mana sarapannya?"
Suara Agatha terdengar menggema, adik bungsu Zayyan yang seumuran Azoya kini baru saja keluar kamar dengan pakaian yang sudah tampak rapi. Dia duduk di sisi Zayyan dan meminta Azoya memberikan sarapan untuknya, raut wajah dan gestur tubuh Zayyan berubah kala Agatha hadir.
"Pakaianmu kenapa begini?" tanya Zayyan menatap pakaian sang adik yang tampak kurang bahan, pria itu menatapnya datar namun tidak semarah jika yang mengenakan pakaian seperti itu adalah Zoya.
"Kenapa memangnya? Ini namanya fashion, Kakak harusnya ikut perkembangan zaman," celetuk Agatha yang kini menikmati sarapannya, tanpa sedikitpun kalimat ajakan ataupun menunggu anggota keluarga yang lainnya.
Tidak lama berselang, Zico dan kedua orangtua mereka turut bergabung untuk sarapan bersama. Selama itu, Azoya hanya menunduk dan tidak berniat melihat ke arah lainnya, interaksi keluarga yang lainnya amat hangat. Terutama pada Agatha, jujur saja ada sedikit perasaan iri dalam benak Azoya.
Dia kenapa? Apa aku terlalu kasar tadi malam?
Di sisi lain, perhatian Zayyan hanya tertuju padanya. Pria itu membatin dan merasa bersalah ketika melihat Azoya tampak lesu pagi ini. Akan tetapi, dia sama sekali tidak menampar ataupun menyakiti. Kalau misalkan marah soal kecupan, bukankah seharusnya dia senang? Zayyan berpikir keras sembari menikmati sarapannya.
"Astaga!! Aku sudah terlambat ... hm, aku harus pergi sekarang," pekik Agatha kala menyadari jam berapa saat ini, Azoya yang tampak lesu melirik ke arah Agatha dan sedikit bingung telat karena apa.
"Ya sudah, tapi Azoya belum siap, Sayang ... tunggu sebentar ya," ujar Alexander menahan kepergian putri bungsunya, baik Azoya maupun Agatha masuk di perguruan tinggi yang sama dan ini adalah tahun terakhir mereka.
"Aduh Papa, aku sudah terlambat. Dia masih belum siap bahkan bajunya belum ganti, sekalian sama Kak Zico saja, lagian searah juga," elak Agatha benar-benar menolak dan sama sekali tidak mau jika harus pergi bersama Azoya.
"Ya sudah kalau begitu, sama Zico saja."
"Tidak bisa, Pa ... kalau sampai Zico pergi bersama Azoya, Regina bisa marah dan aku tidak mau itu terjadi," tolak Zico mentah-mentah tanpa berpikir bagaimana hati Azoya ditolak mentah-mentah begitu.
"Ya Tuhan, Zico. Azoya adik kamu apa salahnya? Lagipula bukankah itu baik bagi Regina juga untuk mengenal adikmu satu persatu," ujar Alexander menggeleng pelan dengan sikap kedua anaknya ini.
"Tetap tidak bisa, Big no!! Papa izinkan saja dia bawa mobil sendiri, kalau mau belajar beberapa bulan juga bisa, kecuali kalau niatnya memang bergantung sana sini," cerca Zico bahkan lebih tajam dari ucapan Agatha, Azoya hanya bisa diam sembari berusaha menahan sakitnya.
"Ck, biasa saja, Zico. Kaki Azoya pernah patah dan Papa khawatir makanya tidak diberi izin sampai saat ini, jika memang tidak mau tolak saja baik-baik tanpa perlu bicara panjang lebar."
Keributan semacam ini memang kerap terjadi. Tanpa menyelesaikan sarapannya, Zayyan beranjak karena naffsu makannya mendadak hilang.
"Ganti bajumu, aku tunggu lima belas menit lagi," ucap Zayyan kemudian menatap Azoya yang kini menunduk.
"Tidak, Kak ... nanti Kakak terl_"
"Jangan membantah, aku paling tidak suka dibantah. Apalagi adikku sendiri," tegas Zayyan kemudian pergi dan berhasil membuat Azoya lagi-lagi terjebak dalam situasi bahaya.
- To Be Continue -
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!