"Sumpah, Pak, itu anak bukan saya yang mau culik, tapi justru saya yang sudah menyelamatkannya!"
Sebuah ruangan introgasi kepolisian cukup berisik dengan suara perempuan muda yang sudah berkali-kali membela diri bahwa memang dia tidak menculik bayi berusia kurang lebih satu tahun itu. Si bayi sendiri cuma tertawa melihat gadis muda itu berusaha membela diri di depan seorang polisi yang tengah menanyainya.
Bayi itu sekarang sedang berada dalam gendongan perempuan paruh baya dengan seragam. Sepertinya, dia adalah pengasuh atau semacam pelayan bayi cantik itu.
"Bohong, Pak, ini perempuan cantik-cantik masih muda sudah mau jadi penjahat!" tuding pengasuh bayi itu.
"Eh, enak aja nuduh gue begitu! Lo pikir gue orang jahat apa? Lagian tadi beneran gue yang udah nyelamatin itu bocah dari tangan penjahat. Bahkan gue sempat berantem sama mereka! Nih, lihat, tangan sama kaki gue pada lecet! Malah gue yang dituduh mau nyulik ini anak!"
Gadis itu terus melakukan pembelaan. Dia benar-benar apes, niat mau menyelamatkan seorang bayi yang hampir saja jadi korban penculikan malah dituduh sebaliknya. Pengasuh yang tadinya sudah kelimpungan karena hampir kehilangan bayi itu malah menuduhnya hanya karena dia melihat si gadis yang telah menggendong sang bayi. Belum sempat menjelaskan apapun, si pengasuh malah membawanya ke kantor polisi seperti ini.
"Terus kenapa anak majikan saya ada di tangan kamu tadi?!" tanya pengasuh itu lagi.
"Ya karena gue yang udah menyelamatkan dia! Gue ikhlas nolongin ini anak, tapi kenapa gue juga yang kena tuduh?!"
Tanpa sadar, gadis itu membuka topi yang dikenakannya lalu dihempaskannya benda itu begitu saja di atas meja pak polisi yang sekarang cuma geleng-geleng lihat perdebatan mereka.
"Sudah-sudah! Kenapa malah jadi berantem di sini?"
"Lagian gimana saya bisa terima kalau dituduh begitu, Pak! Kalau salah tuduh saya juga bisa tuntut balik loh!"
Dengan mata mendelik, gadis muda itu terus menatap kesal pengasuh dan polisi bergantian. Perdebatan itu kemudian terhenti ketika seorang anggota polisi yang lain masuk ke dalam ruangan introgasi.
"Lapor, keluarga bayi ini sudah datang, Pak. Ternyata ini cucunya tuan Beno."
Polisi itu tampak membulatkan matanya, dia tahu betul sosok terhormat itu.
"Tuan Beno datang sendiri?"
"Ya enggak, Pak, mesti datang sama nyonya Mira."
"Kalau begitu, segera suruh masuk."
Lalu ruangan mendadak sunyi. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki memasuki ruangan. Semua mata menatap ke satu titik ketika pintu terbuka dan terlihatlah dua orang pasangan paruh baya dengan pakaian mereka yang rapi, juga wajah ramah dan segera tersenyum ketika melihat bayi cantik itu.
"Tuan, Nyonya, silahkan duduk."
Pak polisi segera mempersilahkan kedua orang terhormat itu untuk duduk. Mereka menatap gadis muda yang sekarang tampak sedang menunduk.
"Kok bisa sampai di kantor polisi seperti ini, Tih?" Nyonya Mira membuka percakapan kepada pengasuh yang tadi telah menuding gadis itu.
"Itu, Nyah, Neira mau diculik sama perempuan itu."
Lagi, dia menunjuk gadis itu. Gadis itu menarik nafas panjang. Dia sudah cukup lelah untuk melakukan pembelaan. Tadinya dia pikir, perempuan terhormat itu akan sama seperti pengasuh tadi, menuduhnya juga. Jadi akan percuma mau berdebat lagi, apalagi sekarang dia sangat haus. Matanya jelalatan melihat galon yang bergelembung-gelembung airnya seolah memanggil untuk segera masuk ke kerongkongan.
Mana haus banget, pak polisinya gak nawarin minum lagi! Dia menggerutu di dalam hati.
Seperti yang dia pikirkan semula, bahwa orang kaya itu pasti akan sama seperti pelayan tadi, akan menuduhnya. Namun, yang dia dapatkan adalah senyuman ramah dari perempuan paruh baya yang nampak begitu anggun itu.
"Sungguh, Nyonya, Tuan, bukan saya yang mau menculik anak itu." Akhirnya, dia kembali membuat pembelaan diri. Dia menatap tuan dan nyonya bergantian.
"Saya tahu, saya yakin kamu memang bukan orang jahat. Pak, lepaskan saja dia."
Tuan Beno mengatakan itu dengan ringan kepada polisi yang sekarang jadi heran. Semudah itukah kedua pasangan dari kalangan terhormat itu percaya?
"Ya sudah, kalau itu sudah menjadi permintaan Nyonya dan Tuan, kami akan melepaskannya," sahut pak polisi. "Kamu boleh pulang, berterima kasihlah kepada Nyonya Mira dan Tuan Beno."
Gadis muda itu mengangguk. "Terimakasih, Tuan dan Nyonya, tapi sungguh saya mengatakan yang sejujurnya. Saya permisi."
Gadis itu segera keluar. Di luar area kantor kepolisian, dia memakai lagi topinya, sembari berjalan keluar dari gerbang kantor polisi, tak hentinya dia menggerutu.
"Mimpi apa sih gue? Udah hari ini ga dapet duit dari ngamen, malah dituduh mau nyulik anak orang kaya!"
Sembari menendang kerikil-kerikil jalanan, dia berguman dengan kesal. Diperiksanya saku celana jeans dengan atasan kaus kebesaran itu, hanya ada uang lima ribu rupiah.
"Coba kalo tadi gak ke kantor polisi segala, udah lumayan kan gue dapet duit. Kayak gini mana bisa buat beli makan?"
Akhirnya dia memilih duduk di trotoar, sambil bertopang dagu, dia menatap ke jalanan dengan banyaknya kendaraan yang sedang lalu lalang.
Lalu, dia tersentak ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depannya. Dia mengerutkan kening, menatap heran sesaat dan berdiri, bermaksud untuk segera pergi. Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang memanggil namanya.
Dia segera menoleh, terkejut lagi ketika menemukan nyonya tadi sekarang berjalan mendekat ke arahnya. Dia jadi was-was, apa mungkin orang kaya itu merubah keputusan mereka untuk membebaskannya? Dan lagi, darimana nyonya itu tahu namanya? Karena sekelebat dia seperti mendengar perempuan itu menyebut namanya juga.
"Ada apa lagi, Nyonya?"
"Saya lupa mengucapkan terimakasih kepada kamu dan juga maafkan atas tuduhan dari pengasuh cucu saya kepada kamu. Saya tahu kamu bukan orang jahat, kami juga sudah melihat rekaman CCTV yang diambil dari pinggir jalan dan memang kamu sudah menyelamatkan cucu kami. Saya Mira, dan tadi suami saya namanya Beno. Nama kamu Sekar Arum kan?"
Gadis itu menarik nafas lega, lalu kemudian dia mengangguk.
"Betul, Nyonya. Saya Sekar. Darimana Nyonya tahu?"
"Polisi tadi yang bilang, kan kamu sempat didata."
Sekar mengangguk lagi.
"Ini ada uang untuk kamu, karena sudah menyelamatkan cucu kami."
Sekar terdiam sebentar. Dia memang lapar saat ini dan melihat uang merah yang cukup banyak itu, perutnya seolah demo minta segera dibelikan makanan enak. Tapi Sekar paham, tak semua hal harus dihargai dengan uang. Apalagi dia memang ikhlas menyelamatkan bayi kecil tadi.
"Gak usah, Nyonya. Saya ikhlas, saya permisi dulu."
Dia bergegas berbalik, membuat nyonya Mira cukup terkejut mendapat penolakan itu. Zaman sekarang masih ada yang menolak uang cuma-cuma begini? Perempuan itu akhirnya menyimpan kembali sejumlah uang itu ke dalam tas tangannya. Namun, dia tetap mengejar Sekar.
"Sekar, tunggu dulu."
Sekar kembali berhenti, dia jadi berbalik lagi.
"Saya ikhlas, Nyonya, sungguh." Sekar mengulangi lagi kata-katanya.
"Saya tahu, kamu gadis baik. Kalau begitu boleh saya tahu kamu tinggal dimana?"
Mendapat pertanyaan itu, wajah Sekar mendadak murung. Namun, dia segera tersenyum kecil.
"Jauh, Nyonya. Saya tinggal mengontrak."
"Kamu bekerja?" tanya nyonya Mira lagi.
"Saya mengamen, Nyonya. Saya baru lulus sekolah, cari pekerjaan sangat susah."
Nyonya Mira menatapnya dengan tenang tetapi dengan sorot prihatin.
"Kedua orangtuamu?"
Sekar diam sebentar, kemudian menggeleng.
"Sudah meninggal, Nyonya, kecelakaan tiga bulan yang lalu."
"Maaf, saya tidak bermaksud menyinggung perasaan kamu."
"Tidak masalah, kalau begitu, saya pamit ya, Nyonya."
"Sebentar, Sekar. Kalau kamu bersedia, ikutlah dengan kami, bekerjalah kepada kami."
Sekar membuka matanya lebih lebar, dia tentu sangat senang dengan tawaran ini.
"Betul, Nyonya?"
"Tentu."
"Saya akan bekerja sebagai apa, Nyonya?" tanya Sekar yang mulai bersemangat.
"Jadi pengasuh cucu saya, Neira."
Bayi kecil tadi ternyata sudah berada di luar mobil dengan kakeknya. Dia tertawa lucu khas bayi ke arah Sekar. Pada pandangan pertama, dia sudah jatuh hati kepada bayi lucu dan cantik itu.
"Terimakasih, Nyonya."
Nyonya Mira mengangguk, kemudian mengajak Sekar masuk ke dalam mobilnya. Bayi itu sekarang sudah di pangkuan Sekar, tersenyum lucu dan menggemaskan.
"Waw, ini betulan rumah?"
Mobil baru saja memasuki gerbang dengan halaman luas di dalamnya. Ada satu bangunan megah yang sepertinya lebih cocok jika disebut sebagai istana.
Sekar tanpa sadar jadi berdecak kagum. Di pangkuannya, bayi kecil yang bernama Neira itu sedang menoel-noleh kaus kebesarannya, tepat ke bagian dada sebelah kanan.
Sekar menunduk, menatap Neira sambil tersenyum. Sekar baru saja lulus sekolah, usianya yang baru menginjak delapan belas tahun. Dia tentu tak paham mengapa Neira terus saja menyentuh dadanya.
Lalu kemudian dia mulai mengerti, sepertinya, bayi kecil ini ingin menyusu. Sekar bingung, harus bagaimana dia mengatakan kepada nyonya dan tuan di depan sana.
"Kenapa, Sekar?" tanya nyonya Mira seolah paham kegelisahan Sekar saat ini.
"Ehmmmm, sepertinya Neira pengen minum susu, Nyonya." Sekar berkata sambil tersenyum kikuk.
"Iya, gak papa, sebentar lagi kita akan memberikannya susu."
Sekar menganggukkan kepala, dia mulai mengusap lembut punggung bayi itu, menenangkannya.
"Nyonya, ibu yang tadi nuduh saya dimana? Kok tidak kelihatan."
"Oh, itu namanya Ratih. Dia salah satu pelayan kami. Tadi sudah lebih dulu pulang dengan taksi. Maafkan dia ya. Dia pasti tadi sudah kebingungan mencari Neira jadi malah menuduh kamu yang enggak-enggak."
Sekar mengangguk-angguk. Meski masih merasa kesal dengan wanita paruh baya tadi, tapi Sekar akhirnya bisa memaklumi. Pasti sangking paniknya, pelayan tadi sampai salah menuduh dirinya. Ya sudah, dia juga malas memperpanjang hal yang tidak sengaja.
"Kita sudah sampai, ayo turun, Sekar. Nanti saya kenalkan dengan Arjuna, ayah Neira."
Sekar mengangguk saja, di gendongannya Neira sudah tampak mengantuk. Bayi cantik itu mulai memejamkan matanya.
"Kok bobo sih? Katanya mau susu." Sekar menjawil pelan dan gemas hidung Neira.
Nyonya Mira dan tuan Beno saling pandang, mereka juga tersenyum melihat Neira yang begitu tenang dalam dekapan Sekar.
"Nampaknya, Neira cocok sama Sekar ya, Pa."
"Iya, Ma. Akhirnya ada juga yang bisa membuat Neira tidak rewel seperti sebelumnya."
Sekar cuma mendengarkan tanpa menimpali perbincangan pasangan kaya di depannya itu. Mereka terus berjalan, dan Sekar terus mengikuti kemana langkah tuan dan nyonya besar akan membawanya.
"Nah, kemari, ini kamar Neira. Letakkan dia di dalam box bayinya ya, Sekar," kata nyonya Mira.
Sekar menurut, diletakkannya Neira perlahan ke dalam box bayi. Gadis kecil cantik itu sudah tertidur pulas. Sekar kasihan sebab sebelumnya, Neira sempat minta susu dengan menunjuk dadanya.
"Sekarang, kamu ikut saya. Saya akan tunjukkan kamar kamu."
"Ehmmmm, jadi saya mulai bekerja hari ini, Nyonya?" tanya Sekar dengan hati-hati.
"Ya, kalau kamu tidak keberatan."
"Saya sangat bersyukur mendapat pekerjaan ini, Nyonya. Tapi tentu saya juga harus mengurus kepindahan saya dari kontrakan. Pemilik kontrakan juga harus saya beritahu dulu dan saya juga ingin mengambil baju saya yang ada di sana."
"Oke, saya setuju, Sekar. Tapi setelah beres, kamu bisa langsung kembali ke sini bukan?"
Sekar mengangguk cepat. Ini pekerjaan yang tidak boleh dia sia-siakan. Setidaknya, dia juga tidak akan pusing memikirkan uang kontrakan yang harus dibayar setiap bulan jika sudah mengasuh Neira.
Namun, ada satu hal yang mengganjal di hati Sekar sedari tadi. Dia sama sekali tidak melihat kedua orangtua Neira. Meski tadi nyonya Mira sempat menyebut nama ayah bayi kecil itu, sampai sekarang dia belum bertemu dengannya dan dimana juga ibu Neira?
"Nyonya, maaf, boleh saya bertanya satu hal?"
"Tentu, Sekar."
"Kedua orangtua Neira, apa sedang tidak di rumah?" tanya Sekar dengan hati-hati.
Nyonya Mira menatap tuan Beno sebentar sebelum dia menjawab pertanyaan Sekar.
"Mama saja yang jelaskan kepada Sekar. Pap mau ke belakang dulu."
Nyonya Mira mengangguk perlahan, melepas suaminya. Sekar jadi tidak enak hati, apa ada masalah dengan pertanyaannya barusan? Tapi bukankah dia memang harus tahu siapa kedua orangtua Neira sebab dia juga akan bertanggungjawab sebagai pengasuh bayi itu kelak.
"Kita bicara di ruang tengah saja yuk," ajak nyonya Mira kepada Sekar yang segera menurut.
"Maaf ya, Nyonya, kalau pertanyaan saya sedikit berani seperti tadi."
"Tidak apa, Sekar. Sebagai pengasuh Neira yang baru, kamu memang harus tahu semua hal tentang cucu kami."
Sekar diam, masih menunggu kata-kata perempuan di depannya lagi.
"Mamanya Neira namanya Eva. Dia istri dari putera kami, Arjuna, ayahnya Neira. Tapi, Eva sudah meninggal satu bulan yang lalu karena kecelakaan. Arjuna, sangat sibuk jadi sering tidak punya waktu untuk Neira."
Sekar tertegun sejenak, tidak menyangka jika bayi lucu itu ternyata sudah tak lagi punya ibu. Dia jadi terkenang saat Neira menunjuk dadanya tanda dia ingin menyusui. Kasihan, gadis kecil itu pasti masih mengira bahwa ibunya masih ada.
"Maaf, Nyonya, saya tidak bermaksud untuk membuat Nyonya bersedih," ungkap Sekar dengan tak enak hati.
"Gak papa kok, Sekar. Yang penting sekarang kamu sudah tahu. Saya berharap kamu betah ya mengasuh Neira. Sudah ada banyak sekali pengasuh yang bekerja kepada kami, tapi mereka tidak ada yang betah karena Neira memang agak rewel semenjak ditinggal mamanya. Nanti kamu akan saya kenalkan kepada putera saya."
"Baik, Nyonya. Sekarang saya pamit dulu. Nanti setelah semuanya beres, saya akan kembali lagi ke sini."
Nyonya Mira mengangguk. Sekar kemudian melangkah, pergi meninggalkan rumah megah itu dengan langkahnya yang riang.
"Gak papa deh, jadi pengasuh. Yang penting bisa lepas uang makan dan uang kontrakan."
Langkah Sekar riang, menyusuri trotoar. Dia akan menunggu angkot yang bisa mengantarnya ke kontrakan. Namun, baru saja dia hendak menyebrang, hampir saja sebuah mobil menabrak dirinya. Pengemudi mobil itu keluar dengan marah dan menghampiri Sekar.
"Pakai mata dong kalo jalan! Kamu pikir ini jalan bapakmu!"
Sekar yang tadinya sempat terpesona sesaat karena ketampanan abang tampan, sekarang jadi ikutan emosi.
"Liat dong mobil lo lampu sein nya hidup ke kiri! Mana gue tahu lo mau jalan lurus! Makanya kalo baru bisa nyetir, jangan belagu!"
Sekar memajukan tubuhnya sambil berkacak pinggang. Lelaki itu menoleh, melihat bahwa memang benar dia lupa mematikan lampu sein mobilnya.
Tanpa rasa bersalah, pria itu berbalik dan meninggalkan Sekar yang masih menatapnya kesal.
"Dasar orang kaya sialan, lo! Cuma monyet yang suka sama laki-laki galak gak mau salah kayak lo itu!" teriak Sekar membuat lelaki itu menoleh sebentar sebelum masuk ke dalam mobilnya. Pria itu tak menggubris makian Sekar barusan tapi juga tidak meminta maaf atas kesalahannya tadi.
Sekar juga meninggalkan tempat itu, buru-buru naik ke angkutan umum yang akan segera melaju.
Gerimis tiba-tiba saja turun ketika Sekar baru saja hampir sampai di depan mulut gang sempit tempat dia tinggal selama ini. Sebetulnya, dia punya sanak saudara, adik ibunya yang juga punya anak seusia dia. Cuma hubungan Sekar dan tantenya tidak baik. Setelah ibu dan ayahnya meninggal, kata tantenya, rumah yang selama ini ditempati Sekar dan orangtuanya sudah diwariskan kepada mereka dan itu memang dibuktikan dengan surat kepemilikan atas nama tantenya itu.
Memang, rumah itu adalah peninggalan kakek nenek Sekar, jadi Sekar sendiri tak mau ngotot mempertahankan rumah itu. Tantenya pun tetap memperbolehkan dia untuk tetap tinggal di sana, hanya saja, dia jadi tak nyaman karena tantenya seperti sedang menjadikannya pembantu daripada keponakan sendiri.
"Sekar, masih mau perpanjang kontrakan gak?"
Sekar yang baru saja membuka pintu kontrakannya terkejut ketika suara ibu pemilik kontrakan itu terdengar di belakang tubuhnya yang sudah kebasahan.
"Enggak, Bu. Udah dapat kerjaan."
"Loh, emang langsung ada tempat tinggalnya?"
"Iya, Bu, saya jadi pengasuh anak orang kaya. Tinggalnya juga ikutan di sana."
Ibu itu mengangguk-angguk mengerti. Akhirnya dia membiarkan Sekar membereskan pakaiannya. Sekar tak punya barang berharga selain baju-bajunya saat pindah ke kontrakan itu. Selama tiga bulan ini juga dia sering mengamen untuk menyambung hidup juga nyawa, kadang membantu mencuci mobil atau motor di tempat pencucian.
Walau hidup pas-pasan, tapi itu lebih baik daripada hidup bersama tantenya tapi diperlakukan bagai babu. Ya, sepertinya Sekar paham, itu mungkin salah satu cara tantenya agar dia benar-benar hengkang dari rumah yang sempat didiami kedua orangtuanya dulu. Ingin rasanya Sekar memberikan ucapan selamat sebab adik ibunya itu sudah berhasil membuatnya terusir secara halus.
"Ini kuncinya, Bu. Makasih ya selama ini udah kasih aku tempat tinggal."
"Sama-sama, Sekar. Oh iya, kamu sudah makan belum?" tanya ibu kontrakan yang tampak iba melihatnya.
"Udah kok, Bu."
Sekar sengaja berbohong, karena dia ingin secepatnya kembali ke rumah nyonya Mira. Dia ingin, di hari pertama bekerja, nyonya Mira melihat kesungguhan dan kedisplinannya. Padahal, sekarang cacing-cacing di perutnya sudah pada demo.
"Ya sudah, kamu hati-hati ya."
Sekar mengangguk, lantas segera menyeret kopernya melewati jalanan yang basah. Dia sendiri sudah selesai mandi jadi penampilannya pun terlihat lebih rapi walaupun sekarang dia harus tetap sedikit basah lagi sebab gerimis masih turun.
Sekar kembali menunggu angkutan umum. Karena sudah cukup sore, dia jadi lama menunggu angkot yang lewat. Sampai akhirnya sebuah angkot berhenti dengan membawa dua penumpang di dalamnya.
Jalanan Jakarta tak lagi terlalu macet sebab orang-orang yang baru pulang bekerja menjadi lebih sedikit jika sudah terlalu sore begini. Sekar memandangi jalanan dengan hati lebih lega.
"Gak pengangguran lagi kan gue." Sekar bergumam bangga. "Stop di sini saja, Pak!" seru Sekar kemudian membuat supir angkot jadi mengerem mendadak dan membuat kening Sekar terantuk pintu angkot.
"Ya ampun, Pak, kepala saya bisa lepas ini!" Sekar menatap pak supir dengan kesal sembari mengusap-usap keningnya.
"Maaf, Neng, habisnya bilang mendadak."
"Ya terus mesti gimana, Pak, bilangnya? Masih untung kan cuma kepala saya aja yang kejedot!"
"Iya ya, Neng, untung gak nyungsep Enengnya keluar dari angkot," sahut pak supir menambahi.
"Yeeeeee, Bapak! Bukannya mikir malah nambahin untung rugi segala!"
Dengan masih mengomel, Sekar turun dari angkutan umum. Dua penumpang lain di belakang sudah tertawa cekikian melihat kesialan Sekar hari ini.
"Nih, Pak, uangnya."
"Yaaa, kurang dua rebu, Neng."
"Anggap aja itu ganti rugi kepala saya yang kejedot tadi."
Sekar mengibaskan rambutnya di depan pak supir lalu berbalik dan menyeret koper. Pak supir cuma geleng-geleng.
Sekar meneruskan langkahnya hingga ke belokan terakhir sebelum gerbang tinggi rumah megah nyonya Mira terlihat. Setelah menekan bel, pintu gerbang itu terbuka.
"Sore menjelang malem, Pak." Sekar menyapa para satpam yang sedang asyik main catur di samping pos jaga.
Mereka melambai ke arah Sekar yang sekarang sudah melangkah semakin cepat menuju ke rumah besar itu. Halaman yang luas membuat Sekar memang harus berjalan cukup jauh lagi ke dalam untuk mencapai pintu utama.
Dia sampai dan segera disambut oleh bi Ratih, pelayan yang sempat bersitegang dengannya di kantor polisi beberapa jam yang lalu.
"Maaf ya, Sekar, saya tadi udah nuduh kamu yang macem-macem."
"Semacem doang sih, Bi, cuma agak ngilu juga hati saya."
Mendengar itu, Ratih jadi tidak enak.
"Becanda kok, gak papa, gue udah maafin lo. Eh, maksudnya saya juga udah maafin Bibi. Lagian kita cuma salah paham kok."
Bi Ratih menarik nafas lega mendengarnya. ia membantu Sekar membawa koper. Terdengar suara tangisan kemudian. Sekar menatap bi Ratih.
"Nangis lagi Neira dari tadi."
"Saya ke sana dulu, Bi. Biar aja kopernya di sini dulu nanti saya bawa lagi."
" Udah, biar koper kamu Bibi yang bawa."
"Makasih ya, Bi."
Sekar lantas segera berlari kecil menaiki anak tangga menuju kamar Neira. Ternyata di dalam sudah ada nyonya Mira yang tampak kewalahan menenangkan cucunya.
"Neira, Itu Sus udah datang loh."
Tangisan bayi itu langsung berhenti ketika Sekar sudah mendekat dan menggendong anak kecil itu. Neira secara ajaib langsung tertawa saat Sekar mulai mengajaknya bercanda. Nyonya besar itu memandang dengan senyuman.
"Ya ampun, mau sama Sus Sekar baru bisa diem!" kata nyonya besar itu dengan gemas.
"Ma, aku ke apartemen!"
Sebuah suara terdengar dari luar arah belakang Sekar dan nyonya Mira. Sekar belum bisa berbalik karena dia sekarang sedang menggantikan popok Neira.
"Arjuna! Kamu perhatiin dong Neira! Kamu itu gak pernah memperhatikan Neira! Kasihan anakmu loh, Jun!"
Sekar tetap dengan aktivitasnya mengganti popok Neira sambil membercandai gadis kecil itu. Dia menebak, lelaki yang sekarang tengah berdebat dengan nyonya Mira itu adalah ayah Neira.
"Udahlah, lagian ada Mama sama papa kan di sini. Tuh, ada pengasuh ju ..."
Kata-kata Arjuna terdengar berhenti ketika dia merasa tidak pernah melihat sosok yang tengah membelakanginya itu.
"Itu Sekar, pengasuh barunya Neira." Nyonya Mira menjelaskan. "Sekar, ke sini dulu, kenalan sama papanya Neira."
"Iya, Nyonya, tunggu sebentar," sahut Sekar yang sekarang sudah menggendong Neira dan saat dia berbalik, senyumnya perlahan menghilang.
Dia dan lelaki bernama Arjuna itu saling pandang dengan terkejut!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!