Seorang pria terlihat lari tergesa-gesa dari sebuah bandara internasional menuju mobil yang sudah menunggu nya.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai dirumahnya.
Pria itu adalah Alvino Winata. Laki laki 27 tahun yang baru menyelesaikan gelar master di Singapura.
Alvino langsung pulang setelah mendapat kabar dari sang Mama bahwa keadaan Papa sudah sangat kritis dan ingin melihat Alvino. Anak kedua dari Tiga bersaudara.
Sesampainya di rumah, Alvino segera naik ke lantai atas untuk menemui sang papa yang sejak tahun lalu memilih untuk di rawat di rumah saja agar bisa dekat dengan keluarga, terutama dengan dua cucu dari anak pertamanya, Alviana.
Bruk !!!
Karena terlalu tergesa-gesa, Alvino menabrak Husna. Gadis 21 tahun dan yatim pintu yang menjadi perawat saat Papa Alvino memutuskan untuk melanjutkan perawatan di rumah.
" Maaf, maafkan aku." Ucap Alvino.
" Tidak apa apa, tuan bisa pergi biar saya yang membereskan nya." Ucap Husna sambil menunduk.
Tanpa pikir panjang lagi, Alvino langsung menemui sang Papa.
" Papa, ini Al." Bisik Alvino.
" Al..." Papa membuka mata dan bersuara lemah.
" Aku di sini pa." Ucap Alviana seolah-olah tahu arti dari tatapan sang Papa yang sedang mencari anak-anaknya.
" El...?"
" El sedang dalam perjalanan pulang pa." Ucap Alviana yang mendekat ke arah Papa nya.
Elvio, adik bungsu dari Alviana dan Alvino yang sedang menunggu pesawat lepas landas untuk bisa pulang.
Tak lama kemudian, Husna masuk membawa makanan dan obat-obatan yang harus di makan Pak Winata.
Alviana dan Alvino sedikit menjauh untuk memberikan ruang kepada Husna.
Alviana keluar dari kamar untuk melihat Mama yang sedang berkonsultasi dengan dokter. Sementara Alvino tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Husna yang begitu telaten merawat Papanya.
" Aku tidak menyangka jika masih Husna yang merawat Papa bahkan ketika Papa sudah berada di rumah." Ucap Alvino setelah Husna selesai merawat Pak Winata.
" Ya, Papa tidak menginginkan orang lain untuk merawat Papa selain Husna."
" Nak...."
" Ya?"
" Jika Papa memintamu untuk menikahi Husna, apa kamu bersedia?"
" Tentu saja tidak, Alvino sudah memiliki kekasih kan pa?"
" Hmmm..."
" Memangnya kenapa?" Tanya Alvino.
" Uhuk.. uhuk..., tidak apa apa, papa melihat Husna adalah wanita yang cocok untuk menjadi pendamping hidup kamu ketimbang Helena.."
Alvino membenarkan posisi duduknya, dia ingin sekali berkata bahwa dirinya dan sang kekasih sudah merencanakan pernikahan mereka tahun depan tapi hal itu tidak mungkin diungkapkan oleh Alvino mengingat kondisi sang Papa yang sangat tidak memungkinkan untuk mendengar berita itu.
Alvino pernah membawa Helena untuk menemui orang tuanya dua kali dan itu pun saat keadaan Papa masih membaik belum jatuh sakit.
Tapi Alvino tidak menyangka jika sang Papa sebenarnya tidak menyukai Helena.
Malam itu, Alvino tidak bisa tidur karena memikirkan perkataan yang baru saja dikatakan oleh sang Papa.
" Husna adalah wanita yang baik dan Papa yakin dia akan membuatmu merasakan kebahagiaan dan ketenangan dalam rumah tangga. Husna akan membawamu untuk mengenal cinta yang sesungguhnya. Pikirkan permintaan Papa, jika kamu bersedia menikahi Husna maka papa akan sangat berbahagia dan mempunyai kesempatan untuk menjadi wali dari Husna mengingat dia tidak punya siapa-siapa."
Beberapa hari berlalu, kesehatan Papa semakin memburuk sehingga keluarga memutuskan untuk membawa ke rumah sakit.
Sebelum di bawa ke rumah sakit, Alvino sempat mendengar pembicaraan dari Papa dan Adiknya.
" Papa tidak perlu meminta bang Al untuk menikahi Husna karena aku bersedia menikahinya."
" Kamu adalah anak bungsu kamu tidak boleh mendahului abang mu, jadi sebelum abang mu menikah kamu tidak boleh menikah dan papa sangat berharap Abang mu mau menikahi Husna."
" Kenapa?"
" Husna adalah wanita yang cocok mendampingi Alvino. kesabarannya, ketelatenannya, Papa yakin Husna mampu membimbing Alvino untuk menjadi seorang pengusaha yang sukses seperti kamu."
Elvio, walaupun usianya baru memasuki 25 tahun tapi dia sudah menjadi pengusaha muda yang sukses ketimbang Alvino.
Karena itu Alvino memutuskan untuk mendapatkan gelar master sebelum dia kembali ke Indonesia dan mengambil alih bisnis kecil milik keluarganya agar bisa mengembangkan bisnis kecil menjadi perusahaan besar.
Kondisi Papa semakin memburuk, ini sudah sepekan namun Pak Winata tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa kondisinya akan stabil.
" Semua keluarga sudah berkumpul apakah ada di antara kalian yang belum menepati janji atau memenuhi keinginan dari beliau?" Tanya Dokter Jimi, orang yang sudah merawat Pak Winata dari awal Pak Winata jatuh sakit hingga sekarang.
" Tidak, aku merasa bahwa di antara kami tidak ada janji yang harus ditepati dan beliau juga tidak mengutarakan keinginannya kepada kami." Ucap Mama.
" Benar, Papa hanya mengatakan bahwa dia ingin sekali berkumpul dengan ketiga anaknya." Ucap Alviana.
" Husna, apa bapak pernah mengutarakan keinginannya kepadamu atau kamu pernah berjanji kepada bapak?" tanya Mama kepada Husna.
" Maaf Bu, Tapi selama saya merawat bapak-bapak tidak pernah mengutarakan keinginannya dan juga saya tidak pernah berjanji apapun kepada bapak. Saya hanya melaksanakan tugas dan kewajiban saya untuk merawat bapak."
" Hmmm..." Dokter Jimi menghela nafas panjang pasalnya selama dia menjadi dokter hal seperti ini biasanya terjadi karena sang pasien menginginkan sesuatu yang belum sempat terkabulkan.
Alvino terdiam, dia berpikir tidak mungkin Papanya menginginkan dirinya untuk menikahi Husna.
Alvino ada di kantin rumah sakit dan sedang menikmati makan siang saat Elvii datang padanya.
" Nikahi saja Husna."
" Apa maksud kamu?"
" Aku tahu, Papa menginginkan Abang untuk menikahi Husna, kenapa tidak dilakukan saja?. Mana tahu hal itu bisa membuat kesehatan Papa menjadi lebih baik." Pekik Elvio.
" Pikirkan soal kesehatan Papa, kesampingkan dulu urusan pribadi mu."
Setelah mengatakan itu, Elvio pergi meninggalkan Alvino.
Alvino mencoba menghubungi Helena, namun entah kenapa beberapa hari terakhir ponsel Helena sangat sulit di hubungi.
Alvino mendekati Pak Winata.
" Pa, aku berjanji akan menikahi Husna saat keadaan Papa sudah membaik."
Keajaiban pun terjadi, kesehatan Papa berangsur membaik, sehingga tiga hari setelah itu pernikahan Alvino dan Husna di gelar.
Papa yang berada di kursi roda tersenyum dan memeluk Husna serta Alvino bersama sama.
" Semoga kalian selalu di berikan kebahagiaan."
Malam harinya...
Husna tahu ini semua serba cepat, tapi sebagai muslimah yang baik, Husna ingin melakukan tugasnya sebagai seorang istri.
Husna berjalan dengan menggunakan pakaian dinas setelah pernikahan. Namun kemudian langkah nya terhenti saat mendengar suara isak dari Alvino.
" Maafkan aku Helena, aku mencoba untuk menghubungimu. Tapi beberapa hari terakhir ini ponselmu sangat sulit dihubungi."
" ---------"
" Maaf kan aku yang tidak akan bisa menempati janji ku untuk menikahi mu karena aku sudah menikah dan ada hati yang harus aku jaga."
" -------"
" Sekali lagi maafkan aku..."
Alvino mematikan ponselnya dan Husna melihat Alvino mengusap air matanya sebelum berjalan ke arah Husna yang berada di kamar mandi.
Mengetahui Alvino berjalan ke arah nya, Husna dengan cepat kembali masuk ke dalam kamar mandi.
Tok
Tok
Tok
" Ya?" Suara Husna.
" Husna tidak perlu bersiap untuk malam ini karena aku tidak akan meminta hakku malam ini."
Ceklek...
Husna keluar dengan menggunakan pakaian yang biasa dia kenakan.
" Baiklah jika itu yang tuan inginkan, ijinkan saya untuk tidur lebih dulu." Ucap Husna sambil menunduk.
Alvino hanya mengangguk kemudian masuk ke dalam kamar mandi.
...----------------...
...----------------...
...----------------...
...----------------...
Pagi harinya...
Alvino bangun dan dia tidak mendapati Husna.
Alvino duduk dan melihat ke arah sofa tempat di mana semalam Husna tidur di sana.
Alvino kemudian memutuskan untuk mandi sebelum turun dan ikut sarapan bersama dengan keluarganya.
Alvino tidak boleh melewatkan momen apapun bersama dengan sang Papa mengingat sekarang kesehatan sama Papa sudah jauh lebih baik.
Alvino melihat semua orang sudah berkumpul dan semua orang memang sudah menunggu nya.
" Alvino, sebaiknya kamu mengajak Husna untuk pergi ke villa yang ada di Turki.." Ucap Papa.
" Kenapa?"
" Villa itu sudah lama tidak pernah di datangi. Pergilah, sekalian kamu mengunjungi bibi Rosita. Dia pasti sangat merindukan mu, dia pasti akan senang saat kamu datang ke sana bersama dengan istrimu." Ucap Papa.
" Tapi..."
" Pergilah."
" Ijin bicara." Ucap Husna.
" Silahkan nak."
" Maaf, bukannya menolak keinginan dari Papa. Tapi kondisi Papa belum sepenuhnya sehat jadi Husna tidak bisa meninggalkan Papa dalam keadaan seperti ini."
Husna tahu makna tersirat dari permintaan Papa yang menginginkan Alvino untuk pergi bersama dengan Husna ke Turki, karena itulah Husna memakai alasan kesehatan dari Pak Winata untuk membuatnya tidak akan pergi kemanapun.
Ya, Bagaimana bisa Husna akan pergi berdua dengan suaminya, sementara sang suami masih dalam keadaan bersedih karena ternyata dia menikah dengan wanita yang bukan kekasihnya.
" Yang dikatakan Husna ada benarnya sebaiknya kita menunggu kesehatan Papa benar-benar membaik sehingga kita bisa pergi mengunjungi bibi Rosita bersama-sama." Ucap Alvino.
Papa tersenyum lalu menerima suapan demi suapan dari Husna.
Husna kemudian mendorong Pak Winata dan membantunya berbaring di kamar untuk beristirahat.
" Husna, terima kasih karena kamu sudah mau menikah dengan Alvino."
" Tidak, seharusnya Husna yang berterima kasih karena Papa sudah mau menjadikan Husna bagian dari keluarga ini."
" Nak, sejak awal aku memintamu untuk menjadi perawat pribadiku aku sudah menganggapmu menjadi bagian dari keluarga ini."
Husna tersenyum dan merasa terharu.
" Pergilah, kamu harus melayani suami mu."
Husna tersenyum sebelum akhirnya meninggalkan Pak Winata agar Pak Winata bisa beristirahat setelah makan dan meminum vitamin.
Husna kembali ke meja makan, Husna terkejut karena di meja makan hanya ada Alvino.
Husna bukan terkejut karena semua orang sudah pergi karena memang itu sudah menjadi kebiasaan ketika Husna selesai mengurus Pak Winata dan dia akan sarapan maka semua orang sudah selesai dengan sarapannya tapi pagi ini ada yang berbeda.
" Mas, kenapa masih ada di sini apakah Mas tidak suka dengan makanannya atau...."
" Aku menunggu mu." Ucap Alvino yang langsung memotong pembicaraan dari Husna.
" Hmmm?"
" Duduklah lalu kita makan bersama." Ucap Alvino.
Husna lalu mengambil piring dan menata beberapa makanan dan meletakkannya di hadapan Alvino.
" Terima kasih." Ucap Alvino.
" Sama sama." Ucap Husna sambil tersenyum dan menunduk.
Malam harinya...
" Husna, apa kamu memang selalu seperti ini tidur dengan tetap menggunakan cadar?"
" Tidak."
" Lalu kenapa kamu masih menggunakan cadar ketika kamu tidur?"
" Aku tidak akan menggunakan cadarku ketika yang berhak sudah memintanya."
Alvino masalah nafas panjang karena dia memiliki maksud dari perkataan Husna.
" Maafkan aku, aku masih belum bisa memberikan hak ku sepenuhnya sebagai seorang suami."
" Tidak apa, aku akan menunggu. Jika mas meminta aku untuk membuka cadar maka aku juga bersedia karena seluruh raga ini sudah menjadi milik mas."
" Aku belum siap untuk melihat wajahmu biarkan saja seperti ini dan maaf jika perkataanku menyakiti hatimu."
"Katakanlah sekarang bahwa kau tak bahagia, aku punya ragamu, tapi tidak hatimu. Kau tak perlu berbohong, kau masih menginginkannya. Aku rela kau dengannya asalkan...."
"Beberapa orang berpikir bahwa mempertahankan hubungan dengan orang yang dicinta membuat kita kuat, tapi terkadang justru dengan melepaskan orang tersebut hubungan kita menjadi lebih kuat." Ucap Alvino yang langsung memotong pembicaraan dari Husna.
"Selamat tinggal bila kau ingin pergi. Tak mungkin lagi ku memaksamu di sini. Lupakan aku yang telah menjadi kekasih halalmu. Doakan saja aku mendapatkan pengganti lebih darimu."
" Husna..."
" Baiklah, tidak masalah. Kalau begitu izinkan aku untuk beristirahat lebih dulu.," Ucap Husna.
" Tidurlah di tempat tidur biar aku yang tidur di sofa."
Husna tidak berkomentar apapun dia langsung naik ke tempat tidur dan tidur. Sementara Alvino memilih untuk berada di balkon kamarnya dan membalas pesan yang dikirimkan oleh kekasihnya.
Untuk sesaat mereka saling bertukar pesan.
(Memiliki kenangan indah dan berharga bersama seseorang tidak selalu merupakan anugerah. Makin indah kenangan tersebut, makin sakit pula rasanya saat kehilangan.)
(Kupikir kita sebenarnya bisa bersama, tapi kita menjalaninya dengan salah.)
(Selamat tinggal kekasihku, temanku. Kau telah menjadi, telah menjadi orang yang paling istimewa di hidupku.)
(Kehadiranmu mengubah diriku menjadi lebih baik, aku tak akan melupakanmu selamanya.)
Alvino meletakkan ponselnya karena dia sudah tidak sanggup untuk membaca balasan yang akan dikirimkan oleh Helena.
Namun siapa sangka jika Helena langsung menelpon Alvino karena Alvino tidak membalas pesan yang dikirimkan oleh Helena.
" Al..."
"Aku tak menginginkan hubungan ini berakhir, aku juga tak menginginkan hubungan ini dimulai. Tapi, inilah hidup, bahkan hari baik yang tak disangka-sangka tetap merasakan tenggelamnya matahari."
" Al, Akan ada fase di mana orang yang sabar menjadi muak. Orang yang perduli menjadi masa bodo. Dan orang yang setia akan angkat kaki, ketika sabar, perduli dan setianya tidak lagi dihargai."
"Akan ku buat kau membenciku agar lebih mudah untukmu, agar dapat kau lanjutkan langkahmu. Agar bisa kau gantikan posisiku di hatimu dengan orang lain, yang jauh lebih baik dari pada aku. Yang terakhir yang aku bisa lakukan untukmu, seseorang yang paling kau cintai." Ucap Alvino sambil meneteskan air mata.
" Al..."
"Sekarang cinta bukanlah sahabat bagiku, sekarang kita berdua telah jadi musuh. Kata sayang sepertinya juga telah hilang, mereka pergi angkat kaki jauh jauh dari sini. Kita tak sejalan dan sepertinya sekarang aku berkawan dengan kesepian, sekarang kau berduaan dengan sependeritaan."
" Al..."
"Terima kasih untuk kamu yang telah hadir dalam hidupku dan telah mengajarkan kedewasaan. Berucap syukur atas nikmat dan hikmah dari pendewasaan yang terberikan oleh waktu, usai sudah perjalanan bersama bayangan waktu."
" Al, tolong jangan berkata seperti itu berkatalah bahwa kamu akan tetap berada di sampingku."
" Aku tidak bisa Ele, aku sudah mempunyai istri sekarang."
" Aku siap menjadi istri keduamu."
" Tapi aku tidak siap untuk menduakan dia bahkan aku belum siap untuk melihat wajahnya." Ucap Alvino.
" Apa kamu yakin akan mengakhiri hubungan ini apakah kamu tidak takut jika suatu kamu akan kehilangan aku untuk selamanya?"
"Bagaimana bisa aku takut dengan mengakhiri, kalau aku berani untuk mengawali semua? Bagaimana aku takut dengan perpisahan, sedangkan aku berani untuk saling memiliki."
" Maafkan aku Helena." Ucap Alvino sambil memutus panggilannya dan menonaktifkan ponselnya.
...----------------...
...----------------...
...----------------...
"Pergi meninggalkan suatu tempat untuk selamanya memang seringkali terasa berat. Apalagi, jika tempat tersebut menyimpan banyak kenangan. Belum lagi, jika kepergian tersebut juga memisahkan kita dengan orang-orang terdekat. Saat harus mengalaminya, hati akan merasakan kesedihan mendalam." Ucap Husna yang mengejutkan Alvino.
" Husna, kamu belum tidur?"
" Bagaimana aku bisa tidur jika suamiku sendiri tidak bisa tidur karena merasa sedih."
Alvino langsung mengalihkan pandangannya dan menyesal air mata yang tersisa di sudut matanya.
"Pepatah mengatakan tak ada yang lebih pahit daripada pahitnya perpisahan. Kata mutiara perpisahan tersebut sepertinya nyata dialami banyak orang. Setiap pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan."
"Kebahagiaan selalu diiringi dengan kesedihan yang akan datang silih berganti. Setiap hari seseorang bisa bertemu dengan orang-orang baru dan berpisah dengan orang lama. Terkadang tak semua pertemuan bisa memberi kebersamaan. Bahkan ada yang berakhir dengan perpisahan yang menyakitkan."
Alvino terdiam.
"Untuk bisa bersama perlu keteguhan yang luar biasa dari sebelumnya. Jadi jangan jadikan perpisahanmu adalah sebuah akhir dari segala bentuk pelayaran, tapi jadikan ia sebagai awal kisah baru yang lebih indah dari sebelumnya." Ucap Husna yang membuat Alvino melihat sekilas ke arah nya sebelum mengalihkan pandangan ke arah lain.
" Husna, aku tidak ingin menyakitimu karena pernikahan ini. Maafkan aku karena aku mungkin belum bisa menerima kenyataan bahwa saat ini kamu adalah istriku tapi aku berjanji akan bersikap sebagai suami yang baik kepadamu."
"Manusia tak akan bisa merasakan cinta yang akan hadir jika dia belum bisa melepaskan segala bentuk penderitaan dari kisah sebelumnya.."
Alvino terdiam.
" Sudah malam, sebaiknya mas masuk dan beristirahat karena tidak baik terlalu lama terkena angin malam. Jika hati dan pikiran masih belum bisa untuk tenang maka sajadah dan sujud adalah tempat yang tepat untuk mendapatkan ketenangan."
Setelah mengatakan itu, Husna masuk ke dalam dan sudah dalam posisi tidurnya ketika Alvino menutup pintu balkon dan berjalan menuju kamar mandi.
Husna tersenyum saat melihat Alvino menggelar sajadah dan hanyut dalam dua rakaat yang dia lakukan.
Pagi harinya...
Suasana rumah tiba-tiba menjadi panik saat kesehatan papa menurun dengan drastis.
Husna langsung memutuskan untuk membawa Papa ke rumah sakit.
Husna yang sebelumnya memang seorang asisten dokter memutuskan ikut masuk ke dalam ruang ICU untuk melihat sebenarnya apa penyebab dari menurunnya kondisi Pak Winata.
Pak Winata sendiri sejak beberapa tahun terakhir sudah menderita penyakit komplikasi hanya saja penyakitnya menjadi sangat parah dalam 2 tahun terakhir.
Husna menjadi perawat yang selalu membantu Pak Winata untuk cuci darah selama melakukan rawat jalan hingga kemudian Pak Winata secara pribadi meminta Husna untuk merawatnya di rumah ketika Pak Winata tidak bisa lagi melakukan rawat jalan.
Sejak itulah, Husna memutuskan untuk berhenti bekerja di rumah sakit dan mengabdikan diri kepada keluarga Pak Winata. Bisa dikatakan Husna menjadi perawat Pak Winata sekaligus dokter keluarga Pak Winata.
Husna bersyukur keputusannya untuk berhenti bekerja di rumah sakit karena tinggal di rumah Pak Winata membuat Husna merasakan kehangatan keluarga yang sebelumnya tidak pernah Husna rasakan.
Dan sekarang melihat Pak Winata terbaring lemah tidak berdaya membuat Husna tidak bisa menahan tangisnya.
Pak Winata dinyatakan kritis.
Semua keluarga sekarang berkumpul dan berada di sisi Pak Winata sementara Husna tidak terlihat.
" Alvino, coba kamu cari di mana Husna." Ucap Mama.
Alvino hanya menganggukan kepala sebelum akhirnya dia keluar dari ruangan Pak Winata untuk mencari Husna.
Alvino langsung melangkahkan kakinya menuju masjid yang ada di rumah sakit itu dan benar saja Husna ada di sana.
" Assalamualaikum Husna."
Alvino menghentikan langkahnya yang hendak menghampiri Husna ketika ada seorang dokter yang menghampiri dan menyapa Husna.
" Walaikumsalam Dokter Ciko."
" Aku dengar pasien yang kamu rawat secara pribadi di rumahnya sedang kritis."
" Iya, mohon doanya untuk kesehatan beliau karena dokter sudah angkat tangan atas kondisi beliau." Ucap Husna sambil menundukkan kepalanya.
"Di dunia ini kita hidup hanya sementara. Semua makhluk yang hidup, termasuk manusia akan mengalami kematian yang sudah pasti terjadi."
"Dunia hanya sebagai tempat persinggahan maupun penginapan untuk menunggu hari akhirat. Tak seorang pun mengetahui datangnya kematian, termasuk Rasulullah SAW juga tidak mengetahuinya."
" Mungkin saja beliau sedang meminta keikhlasan dari seluruh anggota keluarganya."
Husna terdiam tanpa Dokter Ciko tahu, air mata Husna sudah menetes dan membasahi cadar yang dia kenakan.
" Husna..." Alvino akhirnya menghampiri Husna.
" Assalamualaikum." Ucap Alvino.
" Walaikumsalam, anda....." Tanya Dokter Ciko.
" Perkenalkan, saya Alvino. Suami Husna."
Ciko melihat sekilas ke arah Husna yang masih menundukkan kepalanya sebelum akhirnya menerima jabat tangan dari Alvino.
Setelah Ciko dan Alvino berbasa-basi Alvino mengajak Husna untuk kembali ke ruangan Pak Winata.
Sepanjang perjalanan, Husna terus memikirkan perkataan yang dikatakan oleh dokter Ciko mengenai Pak Winata yang mungkin sedang menunggu keikhlasan dari seluruh keluarganya.
Sesampainya di ruangan Pak Winata.
" Apa maksud dokter dengan mengatakan jika Pak Winata sudah tidak bisa lagi jika tidak dipasang berbagai selang di dalam tubuhnya?" Ucap Mama dengan penuh air mata.
" Maafkan kami bu, kami para dokter sudah berusaha tapi penyakit yang diderita Pak Winata sudah sangat menyebar ke seluruh tubuhnya jadi untuk menjaga Pak Winata tetap bertahan kita tidak boleh melepas selang yang ada di tubuhnya. Anggap saja, Pak Winata sekarang kembali mengalami,. Hanya bedanya sekarang hanya keajaiban dari Tuhan yang mampu membangunkannya."
" Hiks.... hiks, tidak mungkin. Anda pasti salah mendiagnosis suami saya karena beberapa hari yang lalu suami saya sehat bahkan suami saya sendirilah yang menjadi saksi pernikahan dari putra kedua saya."
Dokter itu memilih untuk diam dan menundukkan kepalanya karena dia sungguh tidak tega mengatakan kepada istri dari Pak Winata bahwa kondisi Pak Winata dalam dunia kedokteran sudah tidak dapat lagi ditolong.
Husna yang melihat itu langsung menenangkan Mama yang kini menjadi mama mertuanya.
Satu Minggu berlalu, kondisi Pak Winata benar-benar memprihatinkan.
Dokter meminta keikhlasan dari keluarga untuk melepas selang bantu pernafasan yang di pasang pada Pak Winata mengingat harapan hidup dari Pak Winata hanya 10%.
Husna tidak pernah absen membacakan ayat-ayat suci Alquran di dekat Pak Winata.
" Assalamualaikum Bapak..." Ucap Husna saat melihat tangan Pak Winata bergerak seolah-olah akan menyentuh kepalanya.
Husna meletakkan tangan Pak Winata di atas kepalanya dan terlihat senyum di bibir Pak Winata.
Husna mendekat saat melihat mulut Pak Winata yang seolah-olah ingin mengatakan sesuatu.
" Di.... ma.... na.... ya...ng la...in?"
" Mungkin sedang di luar, Husna akan memanggilnya."
Pak Winata mengedipkan mata sebagai isyarat anggukan kepala.
Husna segera memanggil seluruh keluarga untuk berkumpul karena Pak Winata sadar.
Semua orang masuk kecuali Alvino, Husna segera mencari keberadaan Alvino.
" Dimana kira kira mas Alvino berada?"
...----------------...
...----------------...
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!