“Jihan, tolong antarkan Ibu ke rumah Ibu Farida teman Ibu. Menantu Ibu Farida meninggal dunia tadi malam. Ibu mau takziah ke sana,” kata Ibu Wenti menghampiri menantunya yang sedang mencuci piring di dapur.
“Iya, Bu,” jawab Jihan sambil membilas piring yang sudah diberi sabun.
“Antarkan Ibu dulu, baru antar Akmal ke sekolah. Takut mereka keburu pergi ke makam. Kata Ibu Farida menantunya akan dimakamkan pukul sepuluh,” kata Ibu Wenti yang masih berdiri di dapur.
“Hari ini sekolah Akmal libur. Guru-guru ada acara di kecamatan,” ujar Jihan.
“Oh iya, Ibu lupa. Padahal kemarin siang kamu sudah bilang ke Ibu. Kalau begitu Akmal dibawa takziah. Kasihan dia kalau ditinggal sendirian,” kata Ibu Wenti.
“iya, Bu,” jawab Jihan.
Akhirnya semua piring selesai dicuci. Jihan mengambil handuk lalu menuju ke kamar mandi untuk mandi.
Lima belas menit kemudian Jihan keluar dari kamar mandi. Cepat-cepat ia mengganti baju dan berdandan. Ia hanya menggunakan bedak dan lipstick tipis-tipis. Tidak pantas jika datang takziah memakai make up yang mencolok. Jihan menggunakan kerudung yang cocok dengan baju yang ia gunakan.
Setelah rapih Jihan menghampiri Akmal yang sedang menonton film kartun di televisi.
“Akmal ganti baju dulu, yuk. Kita menemani nenek ke rumah teman Nenek,” kata Jihan kepada Akmal.
Aklmal menoleh ke Jihan.
“Nanti pulang dari rumah teman Nenek boleh nonton film lagi?” tanya Akmal.
“Boleh,” jawab Jihan.
Kemudian Akmal mematikan televisi lalu menghampiri Jihan.
“Gendong,” kata Akmal sambil mengangkat ke dua tangannya.
“Sudah besar, kok digendong? Malu, ah,” kata Jihan.
“Gendong, Bunda,” kata Akmal dengan manja.
Jihan menggendong Akmal dan membawa ke kamar Akmal. Kemudian ia mengganti baju Akmal.
Setelah selesai mengganti baju Akmal merekapun keluar dari rumah. Ibu Wenti sudah menunggu di depan rumah.
“Rumahnya jauh, nggak Bu?” tanya Jihan sambil mengunci pintu.
“Dekat di RW sebelah,” jawab Ibu Wenti.
“Kalau begitu Jihan ambil helm dulu. Barangkali nanti Ibu mau ikut ke pemakaman,” kata Jihan sambil membuka kembali kunci pintunya.
“Eh, tidak usah. Dekat kok, Han,” sahut Ibu Wenti.
Namun Jihan sudah masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian Jihan keluar sambil membawa tiga helm.
“Tidak apa-apa, Bu. Hanya untuk jaga-jaga,” jawab Jihan sambil memberikan helm ke Ibu Wenti.
Jihan memakaikan Akmal helm lalu ia memakai helm. Setelah memakai helm Jihan mengeluarkan motor metic miliknya dari halaman rumah. Ibu Wenti menggembok pintu pagar. Setelah Akmal dan Ibu Wenti naik ke atas motor, Jihanpun menjalankan motornya.
Perjalanan menuju rumah Ibu Farida cukup jauh. Rumahnya ada di sebelah kompleks rumah Ibu Wenti. Jihan memasuki kompleks perumahan. Rumah-rumah di kompleks itu besar-besar dan bagus-bagus. Tidak seperti rumah yang ada di kompleks perumahan tempat tinggal Ibu Wenti, kebanyakan rumah sederhana.
“Yang mana rumahnya, Bu?” tanya Jihan dengan suara agak kencang agar terdengar oleh Ibu Wenti.
“Di depan belok kiri,” jawab Ibu Wenti.
Jihan membelokkkan motornya. Akhirnya mereka sampai di sebuah rumah yang berukuran besar. Di depan rumah itu ada bendera kuning. Jihan memarkirkan motornya di depan rumah itu. Setelah membuka helm mereka pun masuk ke dalam rumah Ibu Farida.
“Assalamualaikum,” ucap Ibu Wenti dan Jihan ketika masuk ke dalam pekarangan rumah itu.
“Waalaikumsalam,” jawab para pelayat yang sedang duduk di pekarangan rumah.
“Silahkan masuk, Bu. Suami dan Ibu almarhumah ada di dalam,” kata salah seorang pelayat.
Ibu Wenti dan Jihan masuk ke dalam rumah.
“Assalamualaikum,” ucap Ibu Wenti ketika masuk ke dalam rumah.
“Waalaikumsalam,” jawab semua orang yang berada di dalam rumah.
Ibu Wenti mencari Ibu Farida. Ia melihat Ibu Farida sedang berbicara dengan tamu yang lain. Ibu Wenti mendekati Ibu Farida. Jihan dan Akmal mengikuti Ibu Wenti.
Ibu Wenti menyalami Ibu Farida lalu memeluknya. Ibu Farida pun menangis terseduh. Ibu Wenti mengusap punggung Ibu Farida sambil membisikkan sesuatu. Ibu Farida mengangguk lalu mengucapkan terima kasih kepada Ibu Wenti. Ibu Wenti duduk di sebelah Ibu Farida bersama dengan teman-teman pengajian Ibu Wenti yang lainnya. Jihan menghampiri Ibu Farida.
“Turut berduka cita, Bu. Semoga almarhumah husnul khotimah,” ucap Jihan sambil menyalami tangan Ibu Farida.
“Aaamiin ya robbalalamin. Terima kasih, Neng,” jawab Ibu Farida.
Ibu Farida memandangi Jihan.
“Wajahmu mirip seperti menantu saya almarhumah Sarah,” kata Ibu Farida.
“Dia menantu saya. Namanya Jihan,” kata Ibu Wenti.
“Oh, dia menantumu? Wajahnya mirip seperti almarhumah Sarah,” ujar Ibu Farida.
Kemudian Jihan duduk di sebelah Ibu Wenti. Ibu Wenti sedang mendengarkan Ibu Farida yang sedang menceritakan kejadian sebelum menantunya meninggal dunia.
“Akmal tunggu di sini, ya. Bunda mau mendoakan jenasah dulu,” bisik Jihan.
Akmal mengangguk. Jihan pun mendekati jenasah yang berada di ruangan itu. Di atas jenasah bertuliskan Sarah Farhanah binti Sulaiman. Jihanpun membacakan surat alfatiha untuk almarhumah setelah itu ia kembali ke tempat semula.
Ketika ia kembali ke tempat semula, Ibu Farida belum selesai bercerita. Jihan hanya mendengarkan ceritanya sekilas.
Tiba-tiba Akmal berbisik kepada Jihan, “Bunda, Akmal mau pipis.”
Jihan kaget mendengarnya. Ia kebingungan untuk ke kamar mandi. Akhirnya ia berbisik ke Ibu mertuanya, “Bu, Akmal mau pipis.”
Ibu Wenti menoleh ke Akmal.
“Sudah nggak tahan?” tanya Ibu Wenti kepada Akmal.
Akmal mengangguk.
“Kenapa?’ tanya Ibu Farida.
“Cucu saya mau pipis,” jawab Ibu Wenti.
“Masuk aja ke dalam. Di sebelah kiri ada kamar mandi,” kata Ibu Farida.
Jihan dan Akmal berdiri lalu mereka masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah banyak keluarga Ibu Farida. Ada seorang perempuan sedang menggendong anak kecil yang sedang menangis sambil memanggil, “Mama Mama.”
Jihan menoleh ke kiri mencari kamar mandi. Akhirnya ia melihat sebuah pintu di sebelah kiri. Namun ia tidak yakin itu pintu kamar mandi atau bukan. Daripada salah lebih baik ia bertanya kepada orang-orang yang berada di sana.
Jihan mendekati perempuan yang sedang menggendong anak itu.
“Teh, kamar mandi sebelah mana?” tanya Jihan.
Anak kecil yang sedang menangis itupun berhenti ketika mendengar suara Jihan.
“Itu, Bu,” jawab perempuan itu sambil menunjuk ke arah pintu di dekat dengan ruang tamu.
“Terima kasih, Teh,” ucap Jihan.
Jihan membawa Akmal menuju ke kamar mandi. Anak kecil itu mengedip-kedipkan matanya melihat Jihan dan Akmal dari belakang.
“Bunda, kenapa tadi adenya nangis?” tanya Akmal di dalam kamar mandi.
“Mungkin dia mencari mamanya,” jawab Jihan.
“Ayo, Akmal pipis dulu,” lanjut Jihan.
Setelah Akmal selesai pipis. Jihan dan Akmal keluar dari kamar mandi. Anak kecil itu masih memperhatikan Jihan. Ketika Jihan hendak kembali ke ruang tamu tiba-tiba anak kecil itu memanggil Jihan.
“Mama Mama mau cama Mama.”
Anak kecil itu memanggil Mamah sambil menunjuk ke Jihan.
“Itu bukan Mamah,” kata perempuan yang menggendong anak kecil itu.
“Mama Mama,” anak kecil itu meronta-ronta sambil memanggil Jihan dengan sebutan Mamah.
Mendengar suara anak kecil itu Jihan pun menoleh ke belakang.
“Mama,” anak kecil itu mengangkat kedua tangannya minta digendong oleh Jihan.
“Itu bukan Mamah,” kata perempuan yang menggendongnya.
“Mama,” terus saja anak kecil itu memanggilnya Mama sambil mengangkat kedua tangannya minta digendong oleh Jihan.
Jihan merasa tidak tega melihat anak kecil itu menangis.
“Akmal, kita ke ade itu yuk. Kasihan ia menangis terus,” kata Jihan.
Akmal mengangguk. Jihan menuntun Akmal mendekati anak kecil itu.
“Kenapa Ade menangis?” tanya Jihan.
“Mau cama Mama,” jawab anak kecil itu sambil sesegukan.
“Alika mau cama Mama,” kata anak kecil itu sambil memngangkat ke dua tangannya minta untuk di gendong oleh Jihan.
“Ini bukan Mama. Ini Bunda Abang,” sahut Akmal.
Kemudian anak kecil itu menatap Akmal.
“Kaka,” anak kecil itu memanggil Akmal.
“Biar saya gendong. Kasihan ia menangis terus,” kata Jihan.
Perempuan itu ragu untuk memberikan Alika kepada Jihan.
“Alika mau cama Mama,” kata Alika sambil meronta-ronta.
“Iya, Mbak lepaskan dulu kain gendongannya,” jawab perempuan itu.
Dengan terpaksa perempuan itu memberikan Alika kepada Jihan. Jihan menggendong Alika. Alika langsung merebahkan kepalanya di bahu Jihan sambil sesegukan. Jihan mengusap-usap punggung Alika.
Melihat bundanya menggendong ade kecil, Akmal langsung ingin menangis.
“Bunda. Ini Bunda punya Abang,” kata Akmal yang hampir menangis.
Jihan mengusap kepala Akmal.
“Ade pinjam Bunda dulu,” kata Jihan sambil mengusap kepala Akmal.
Akhirnya Akmal pun mengangguk tanda setuju.
Jihan menggerakkan badannya agar gadis kecil itu merasa diayun-ayun. Ia juga mengusap-usap punngung Alika agar gadis kecil itu tidur. Alika terus saja merebakan kepalanya di bahu Jihan. Pengasuh Alika tidak berani menjauh dari Alika. Ia takut jika Jihan menculik Alika. Bagaimanapun ia harus waspada.
Alika merasa nyaman di gendong oleh Jihan. Mata gadis kecil itu mulai mengantuk. Sampai akhirnya semua orang bersiap-siap untuk berangkat ke makam.
Abrisam datang menghampiri pengasuh Alika.
“Mbak, mana Alika? Kita siap-siap pergi ke makam,” tanya Abrisam.
“Itu, Pak,” pengasuh Alika menunjuk kearah Jihan.
Abrisam menoleh ke Jihan.
“Siapa wanita itu? Kenapa kamu membiarkan orang lain menggendong Alika?” tanya Abrisam.
“Alika minta digedong ibu itu. Dia menyangka ibu itu mamahnya. Alika menangis meronta-ronta kalau tidak digendong oleh Ibu itu,” jawab pengasuh Alika.
Abrisam mendekati Jihan.
“Alika,” laki-laki itu memanggil Alika.
Alika menoleh ke Abrisam.
“Ayo, Papah gendong. Sebentar lagi kita berangkat untuk memakamkan mamah,” kata Abrisam.
“Nggak mau! Alika mau digendong Mama,” jawab Alika lalu memeluk Jihan.
“Itu bukan mamah. Mamah sudah meninggal,” kata Abrisam memberikan pengertian kepada Alika.
“Ini Mama Alika,” jawab Alika sambil memeluk Jihan lebih eret lagi.
Abrisam menghela nafas. Dengan terpaksa ia mengambil Alika dari gendongan Jihan. Namun Alika mencengkram baju Jihan sehingga sewaktu Abrisam menggendong Alika, baju Jihan juga ikut ketarik.
“Alika! Lepaskan baju tante, sayang,” bujuk Abrisam.
“Nggak mau, Alika mau sama Mama,” kata Alika.
Tiba-tiba Ibu Farida datang bersama dengan Ibu Wenti. Ibu Wenti sedang mencari Jihan dan Akmal.
“Alika kenapa?” tanya Ibu Farida.
“Alika menyangka wanita ini mamahnya. Dia tidak mau lepas dari wanita ini,” jawab Abrisam.
“Alika sama Nenek, ya,” kata Ibu Farida sambil berusaha mengambil Alika dari gendongan Jihan.
“Ngga mau. Alika mau cama mama,” jawab Alika sambil memeluk Jihan.
“Alika sama Nenek dulu, ya,” kata Jihan yang mencoba membujuk Alika.
“Alika mau cama mama,” jawab Alika sambil memeluk erat Jihan.
“Iya, nanti lagi sama Tante. Sekarang Alika mau pergi sama Nenek dan Papah. Nanti Alika ditinggalin Papah dan Nenek,” kata Jihan.
“Mama juga ikut?” tanya Alika.
“Iya, nanti Tante menyusul Alika. Tante naik motor sama Abang Akmal dan Nenek Wenti,” jawab Jihan.
“Alika mau naik motol cama Mama,” ujar Alika.
“Motornya penuh. Tidak akan cukup berempat. Alika naik mobil sama Nenek dan Papah, ya,” bujuk Jihan.
“Ngga mau. Alika mau naik motol cama Mamah!” seru Alika.
Abrisam menghela nafas mendengar perkataan putrinya.
“Begini saja. Ibu ikut dengan kami, naik mobil saya,” kata Abrisam.
“Tapi bagaimana dengan Ibu dan anak saya?’ tanya Jihan bingung.
“Ibu dan Akmal naik angkot bersama dengan rombongan ibu-ibu pengajian,” jawab Ibu Wenti.
“Akmal mau ikut sama Bunda,” ujar Akmal.
“Jangan! Akmal ikut sama Nenek, kita naik angkot. Mobil Omnya penuh,” kata Ibu Wenti.
“Nggak mau, Akmal mau sama Bunda,” Akmal memeluk pinggang bundanya.
“Biar Akmal ikut dengan kami, Bu,” kata Ibu Farida.
“Cukup, tidak?” tanya Ibu Wenty.
“Cukup. Bu. Dia masih kecil jadi bisa duduk bertiga di belakang,” jawab Ibu Farida.
Akhirnya Jihan dan Akmal ikut ke mobil Abrisam. Jihan duduk di belakang bersama dengan Alika, Akmal dan pengasuh Alika. Sedangkan Ibu Farida duduk di depan, Abrisam yang menyetir mobil. Sedangkan Ibu Wenti bersama dengan ibu-ibu pengajian naik angkot yang disediakan oleh Ibu Farida.
Selama di dalam mobil Alika tidak mau lepas dari Jihan. Ia duduk di pangkuan Jihan sambil memainkan kerudung Jihan. Lama kelamaan Alika mengantuk dan iapun tidur pangkuan Jihan.
Mobil yang dikemudikan Abrisam sudah mendekati tempat pemakaman, sedangkan Alika tidur nyenyak dipangkuan Jihan.
“Mbak pinjam kainnya untuk menggendong Alika,” bisik Jihan kepada pengasuh Alika.
“Biar saya yang gendong Alika,” kata pengasuh Alika.
Pengasuh itu mengangkat tubuh Alika, namun Alika memagang kuat baju Jihan.
“Mau cama Mama,” kata Alika sambil tidur.
Pengasuh Alika tidak jadi mengangkat Alika.
“Saya pinjam kainnya, Mbak,” kata Jihan.
Pengasuh itu memberikan kain gendongan kepada Jihan. Jihan menggendong Alika dengan menggunakan kain. Ketika sampai di pemakaman mereka turun dari mobil. Abrisam langsung menghampiri mobil jenasah. Karena ia ingin mengangkat jenasah istrinya.
Jihan berjalan mengikuti Ibu Farida sambil menggendong Alika dan menuntun Akmal. Sedangkan pengasuh Alika mengikuti Jihan dari belakang.
Selama pemakaman Alika tidur, sehingga ia tidak bisa melihat jenasah Mamahnya untuk terakhir kalinya.
Setelah selesai pemakaman semua orang kembali ke rumah duka dan ke rumah masing-masing. Tinggallah Abrisam, Ibu Farida, Jihan, Akmal dan pengasuh Alika yang masih ada di makam. Mereka belum pulang karena Abrisam masih berdoa di makam istrinya.
Lama juga Abrisam berdoa di depan makam istrinya. Tiga puluh menit kemudian Abrisam selesai berdoa.
“Ayo, Bu. Kita pulang,” kata Abrisam.
Merekapun meninggalkan makam Sarah. Selama di perjalanan mereka hanya diam tidak ada satupun berbicara.
Sampailah mereka di rumah Ibu Farida. Jihan dan Akmal turun dari mobil dan langsung menuju ke rumah Ibu Farida. Ibu Wenti sudah menunggu di depan rumah Ibu Farida. Menunggu kedatangan Jihan dan Akmal.
“Tunggu sebentar, Bu. Jihan tidurkan Alika dulu,” kata Jihan kepada Ibu Wenti.
“Iya, Ibu tunggu di sini,” jawab Ibu Wenti.
“Akmal tunggu di sini sama Nenek. Bunda tidurin ade Alika dulu,” kata Jihan.
“Iya. Tapi jangan lama-lama, ya,” jawab Akmal.
“Iya,” kata Jihan.
Jihanpun masuk ke dalam rumah Ibu Farida. Pengasuh Alika mengantarnya menuju ke kamar Alika. Jihan menidurkan Alika di atas tempat tidur. Dan Alika pun tidak bangun. Gadis kecil itu tidur dengan nyenyak.
Ketika Jihan turun dari lantai atas, Jihan bertemu dengan Ibu Farida dan Abrisam yang sedang duduk di ruang tengah.
“Saya pamit pulang, Bu,” kata Jihan kepada Ibu Farida.
“Terima kasih ya, Jihan. Maafkan kalau Alika merepotkanmu,” ucap Ibu Farida.
“Sama-sama, Bu,” jawab Jihan.
“Pak, saya pamit,” kata Jihan kepada Abrisam.
“Iya, terima kasih,” jawab Abrisam.
“Assalamualaikum,” ucap Jihan.
“Waalaikumsalam,” jawab Ibu Farida.
Jihan keluar dari rumah Ibu Farida.
“Ayo, Bu. Kita pulang,” kata Jihan.
Merekapun berjalan menuju ke motor Jihan yang terparkir di luar rumah Ibu Farida. Jihanpun mengendarai motornya meninggalkan rumah Ibu Farida.
Hari terus berlalu semenjak pemakaman Sarah Ibu Wenti tidak melihat Ibu Farida di pengajian, mungkin Ibu Farida masih berduka dengan meninggalnya menantunya.
Namun pada suatu hari Ibu Farida menelepon Ibu Wenti.
“Bu Wenti, saya minta tolong ke Bu Wenti,” kata Ibu Farida ketika menelepon Ibu Wenti.
“Minta tolong apa ya, Bu?” tanya Ibu Wenti.
“Cucu saya Alika semenjak mamahnya meninggal ia tidak mau makan. Ia selalu saja bilang mau makan sama mamah. Ia hanya mau minum susu saja. Kemarin pengasuh minta ijin pulang ke kampung karena ibunya sakit. Terpaksa Abrisam hari ini tidak masuk kerja karena harus mengurus Alika. Walaupun dengan papahnya, tetap saja Alika tidak mau makan. Saya takut Alika jatuh sakit karena tidak mau makan,” kata Ibu Farida.
“Bisakah Jihan datang ke sini untuk membujuk Alika agar mau makan?” tanya Ibu Farida.
“Saya tanya Jihan dulu. Sekaang ia sedang mengantar Akmal sekolah,” jawab Ibu Wenti.
“Terima kasih, Bu Wenti. Saya tunggu jawabannya,” ucap Ibu Farida.
“Sama-sama, Bu Farida,” jawab Bu Wenti.
Sepuluh menit kemudian Jihan datang dari sekolah Akmal.
“Assalamualaikum,” ucap Jihan ketika masuk ke dalam rumah.
“Waalaikumsalam,” jawab Ibu Wenti.
“Jihan, ke sini dulu sebentar. Ibu mau bicara denganmu,” kata Ibu Wenti.
Jihan menghampiri Ibu Wenti dan duduk di sebelah Ibu Wenti.
“Ada apa, Bu?” tanya Jihan.
“Tadi Ibu Farida menelepon Ibu,” kata Ibu Wenti. Lalu Ibu Wenti menceritakan semua apa yang dikatakan Ibu Farida. Jihan mendengarkan cerita Ibu Wenti.
Setelah Ibu Wenti selesai bercerita Jihan menghela nafas.
“Apa Alika seperti itu karena Jihan, Bu?” tanya Jihan dengan perasaan bersalah.
“Itu bukan kesalahanmu. Dia seperti ini karena kehilangan mamahnya. Ada atau tidaknya kamu pada saat itu, Alika tetap akan seperti ini,” jawab Ibu Wenti.
“Jihan merasa tidak enak kepada Ibu Farida dan papahnya Alika,” kata Jihan.
“Sudahlah Jihan, ini bukan kesalahanmu,” kata Ibu Wenti sekali lagi.
“Sekarang yang Ibu tanyakan kamu mau nggak membantu Ibu Farida untuk membujuk Alika agar mau makan?” tanya Ibu Wenti.
“Jihan mau, Bu. Hanya saja Jihan takut Alika jadi lebih ketergantungan pada Jihan,” jawab Jihan.
“Itu nanti kita pikirkan lagi. Sekarang yang paling utama Alika mau makan,” kata Ibu Wenti.
“Kapan Jihan harus ke sana?” tanya Jihan.
“Sebentar, Ibu telepon Ibu Farida dulu,” kata Ibu Wenti.
Ibu Wenti mengambil ponselnya lalu menelepon Ibu Farida. Sambil menunggu Ibu Wenti menelepon Jihan menuju ke dapur untuk memasak.
“Assalamualaikum, Ibu Farida,” ucap Ibu Wenti.
“Waalaikumsalam,” jawab Ibu Farida.
Ibu Wenti menceritakan apa yang Jihan katakan.
“Baikalah Bu Farida. Jihan akan segera ke sana. Assalamualaikum,” kata Ibu Wenti di akhir pembicaraannya dengan Ibu Farida.
Ibu Wenti menutup teleponnya, lalu menghampiri Jihan yang sedang memasak.
“Kata Ibu Farida, sekarang kamu ke rumahnya,” ujar Ibu Wenti.
“Tapi Jihan belum masak, Bu,” jawab Jihan.
“Biar Ibu yang memasak. Kamu ke rumah Ibu Farida saja,” kata Ibu Wenti.
“Baik, Bu,” jawab Jihan.
Jihan mengambil tasnya dari dalam kamar.
“Jihan berangkat dulu, Bu,” Jihan mencium punggung tangan Ibu Wenti.
“Assalamualaikum,” ucap Jihan.
“Waalaliaikumsalam,” jawab Ibu Wenti.
Jihan menggunakan helmnya lalu mengeluarkan motornya dan kemudian ia pergi dengan mengendarai motornya. Ibu Wenti menghela nafas menatap kepergian Jihan.
***
Jihan memarkirkan motornya di depan rumah Ibu Farida. Terdengar suara tangisan Alika dari dalam rumah.
“Assalamualaikum,” ucap Jihan ketika berdiri di depan rumah Ibu Farida.
“Waalaikumsalam,” seorang wanita setengah baya keluar dari dalam rumah dan membuka pintu pagar.
“Ibu Farida ada?” tanya Jihan.
“Ada. Masuk, Teh,” jawab bi Isah.
Jihan masuk ke dalam halaman.
“Teh, itu motor Teteh?” tanya bi Isah.
“Iya,” jawab Jihan.
“Masukin aja ke dalam, nanti ada yang mengambil,” kata bi Isah.
“Iya,” jawab Jihan. Jihanpun memasukkan motornya ke halaman rumah setelah itu barulah ia masuk ke dalam rumah Ibu Farida melalui garasi.
“Assalamualaikum,” ucap Jihan ketika berdiri di pintu menuju ke ruang keluarga.
Semua orang yang sedang berada di ruang keluarga menoleh ke Jihan.
“Waalaikumsalam,” jawab Abrisam dan Ibu Farida.
Alika yang melihat Jihan langsung berkata, “Mama.” Alika berlari menghampiri Jihan.
“Mamah kemana aja? Alika cali-cali Mama,” tanya Alika.
Jihan cuma tersenyum sambil mengusap rambut Alika.
“Alika sudah makan, belum?” tanya Jihan.
“Belum. Alika mau dicuapin Mama,” jawab Alika.
“MasuK, Jihan. Duduk sini,” kata Ibu Farida.
“Iya, Bu,” jawab Jihan.
Masuk ke ruang keluarga. Lalu ia menyalami Ibu Farida dan Abrisam kemudian duduk di sofa.
“Kaka mana?” tanya Alika.
“Abang sedang sekolah,” jawab Jihan.
“Tuh, Tantenya sudah datang. Jihan makan ya, sama Tante,” kata Ibu Farida.
“Iya, Nek,” jawab Alika.
Abrisam memberikan piring yang berisi makanan kepada Jihan. Dari tadi ia berusaha membujuk Alika agar mau makan, namun Alika tetap tidak mau makan. Alika hanya mau disuapi mamahnya.
“Baca doa dulu sebelum makan,” kata Jihan.
Alika membaca doa mau makan.
“Pintar,” puji Jihan setelah Alika selesai membaca doa.
Jihan menyuapi Alika dan Alika makan dengan lahap. Abrisam bernafas lega karena akhirnya Alika mau makan.
Setelah selesai makan, Alika mengajak Jihan bermain boneka. Dengan sabar Jihan mengikuti keinginan Alika. Sampai akhirnya waktunya Jihan untuk menjemput Akmal pulang sekolah.
“Alika tunggu dulu di sini sama Nenek dan Papah. Tante mau jemput abang Akmal dulu,” kata Jihan.
“Alika mau ikut,” ujar Alika.
“Jangan! Tante naik motor,” jawab Jihan.
“Heehng, Alika mau ikut,” Alika merengek.
“Ya sudah, Tante tidak jadi pergi. Tante di sini saja sama Alika,” kata Jihan.
Jihan mengambil ponselnya untuk mengirim pesan kepada guru Akmal.
“Sekolahnya dimana? Jauh tidak?” tanya Abrisam dengan tiba-tiba.
“Tidak terlalu jauh. Biar saya hubungi ibu gurunya agar dia pulang sendiri,” jawab Jihan.
Jihan melanjutkan mengirim pesan ke ibu guru Akmal.
“Saya jemput,” kata Abrisam.
Jihan menoleh ke Abrisam.
“Saya yang jemput anak kamu. Saya pinjam motormu,” kata Abrisam.
“Alika mau ikut Papah,” ujar Alika mendengar Abrisam akan menjemput Akmal.
Abrisam menghela nafas.
“Ya sudah, kamu dan Alika ikut. Kita naik mobil saja,” kata Abrisam mengalah.
Akhirnya mereka mejemput Akmal dengan menggunakan mobil.
Sesampainya di sekolah Akmal, banyak anak-anak tk yang sudah keluar dari sekolah. Jihan turun dari mobil sambil membawa Alika.
“Bunda,” panggil Akmal ketika Jihan bersama Alika.
Jihan menghampiri Akmal. Akmal langsung mencium punggung tangan Jihan.
“Kok Ade ikut?” tanya Akmal yang kaget melihat Alika.
“Bunda sedang di rumah Alika. Jadi Alika mau ikut,” jawab Jihan.
“Ayo kita pulang,” kata Jihan.
Jihan menuntun Akmal dan Alika menuju ke mobil.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!