“Sudah Ibu bilang jangan ke pesisir!” teriak Cistia pada Telestia.
Telestia mengibas-ngibaskan sirip ikan di bagian kakinya atau lebih tepatnya ekor bersisik untuk mempertahankan diri melayang di dalam air. Tidak, dia bukanlah ikan. Tubuh bagian atasnya menyerupai manusia. Bisa dibilang Telestia dan ibunya setengah manusia dan setengah ikan.
“Aku sudah besar, Bu. Kalau ada bahaya, aku bisa bernyanyi.” Telestia menunjuk lira di tangan kirinya.
“Memang kita bisa memikat manusia dengan suara, tapi tetap saja mereka menakutkan. Kamu bisa ditangkap dan dijadikan bahan tontonan, Tia.” Pistia memegangi kedua lengan Telestia. Tampak kekhawatiran di matanya.
“Aku akan berhati-hati agar manusia tidak melihatku, Bu. Tenang saja.” Telestia menepis tangan sang ibu. Dia bersalto dalam air menghindari Testia yang berusaha menangkapnya. Lantas melesat ke pesisir.
“Tunggu, Telestia, tunggu!” Cistia berenang mengejar Telestia. Usia yang semakin tua mengakibatkan kecepatan berenangnya tidak segesit dulu. Dia semakin tertinggal dan tertinggal. Telestia pun menghilang dari pandangannya.
Telestia terus melaju tanpa menoleh ke belakang. Dia tak sabar melihat keindahan daratan dari pesisir. Pemandangan di lautan membuatnya bosan. Hanya ada ikan, rumput laut, terumbu karang, lumba-lumba, putri duyung dan siren.
Telestia termasuk dalam golongan siren. Bila dilihat sekilas, tubuh siren mirip dengan putri duyung. Perbedaannya siren memiliki suara yang merdu dan selalu membawa harpa. Namun, jumlah putri duyung akhir-akhir ini berkurang drastis. Bahkan hampir punah. Oleh karena itu, Raja Siren menghimbau agar para siren berhati-hati saat berkeliaran sendirian.
Ingatkah kamu pada masa-masa yang kita lalui.
Telestia berhenti. Nyanyian yang didengarnya sangat merdu. Hanya siren yang dapat mengeluarkan suara yang menyayat hati seperti itu. Namun, dia tidak mengenali suara siren itu. Kemungkinan siren dari kelompok lain.
Telestia berenang dengan cepat menuju sumber suara. Dia tak sabar bertemu dengan teman baru. Suara itu semakin terdengar jelas di bagian pesisir. Telestia pun menyembulkan kepalanya di permukaan air.
Bruk!
Seorang pria berjaket hitam terjatuh ke belakang. Sorot matanya terlihat kebingungan.
Telestia mengamati pria itu cukup lama. Pandangannya teralihkan pada kaki pria itu. Kaki pria itu tidak bersisik ataupun menyatu. Terdapat sesuatu yang menyangkut di kaki pria itu. Telestia tidak tahu apa benda itu. Yang jelas pria itu bukanlah siren. Karena siren tidak hidup di daratan. Dapat disimpulkan pria di terjatuh dermaga itu adalah manusia.
Pria itu menunjuk Telestia. “Kamu siapa?”
“Aku Telestia.” Telestia menghampiri pria itu. Manusia di depannya sama sekali tidak menakutkan. Ibunya pasti mengarang cerita tentang manusia untuk menakut-nakutinya.
“Ini sudah malam, kenapa kamu malah berenang? Nggak takut kedinginan?” Pria itu mulai bangkit. Dia melangkah ke tepi dermaga mendekati Telestia.
“Aku hidup di lautan, sudah pasti kegiatanku tiap hari adalah berenang.”
“Kamu putri duyung?” Suara pria itu meninggi. Matanya terlihat berbinar-binar.
“Bukan, aku siren. Tubuh kami memang hampir sama, tapi siren memiliki lira dan suara yang merdu. Kukira kamu siren. Suaramu sangat bagus.”
“Mana yang lebih bagus suaraku atau wajahku?” Pria itu berjongkok menurunkan masker, mendekatkan wajahnya agar Telestia dapat mengamatinya lekat-lekat.
Telestia memicingkan mata. Jika dibandingkan pria yang ada di lautan, wajah manusia di depannya itu memang lebih tampan. Namun ....
“Suaramu. Bahkan tidak ada siren yang memiliki suara semerdu dirimu.” Telestia memperpendek jarak di antara wajah mereka.
Pipi pria itu memerah. Dia segera bangkit dan berdeham. “Namaku Raiden. Apa kita bisa bertemu lagi?”
“Tentu, asal kamu mau berjanji tidak menceritakan diriku pada manusia lain.” Telestia tersenyum.
“Aku berjanji.” Raiden mengulurkan jari kelingkingnya.
Telestia memiringkan kepala, tak mengerti apa yang dilakukan Raiden.
“Ini cara manusia mengikat janji. Tautkan jari kelingkingmu denganku.” Raiden kembali menyodorkan jari kelingkingnya.
Telestia menuruti saran Raiden. Keduanya saling melempar senyum. Mereka mendapat teman baru yang hidup di dunia yang berbeda. Tanpa sadar ada sepasang mata yang mengamati mereka diam-diam.
***
Tiap dua hari sekali, Telestia diam-diam menuju ke dermaga untuk bertemu dengan teman barunya. Mereka sering membicarakan kehidupan satu sama lain. Berkat itulah, pengetahuan Telestia tentang dunia manusia semakin banyak. Manusia menggunakan benda menyala yang bisa menghubungkan mereka dengan manusia lain di tempat jauh. Sayang benda itu tidak dapat digunakan di air. Raiden memberi tahu nama benda itu adalah smartphone.
Bukan cuma itu. Manusia hidup di rumah yang terbuat dari tumpukan batu yang menjulang tinggi. Berbeda siren yang tinggal di gua sempit.
“Kenapa murung begitu?” Raiden duduk di tepi dermaga memandangi Telestia yang mengapung di lautan.
“Aku bosan. Meskipun lautan luas, aku tidak bisa ke mana-mana.” Telestia menatap bulan yang bersinar terang.
“Mau dengar ceritaku lagi?”
Tiba-tiba saja Telestia sudah berada di depan Raiden. Telinganya terbuka lebar. Kisah Raiden tidak pernah membuatnya bosan.
Manusia mempunyai kotak yang bisa memperlihatkan segala sesuatu, namanya TV. Tentang kisah manusia lain, pemandangan indah, daratan di ujung bumi, hal-hal lucu dan banyak lagi.
Telestia semakin ingin menjelajahi dunia yang tak terjangkau itu. Pasti sangat menyenangkan tinggal di sana. Sayangnya, dia adalah siren. Andai saja dia dilahirkan sebagai manusia. Itulah yang terbesit di pikiran Telestia sekarang.
“Kenapa malah makin murung?” Raiden mencubit pipi Telestia.
Telestia menyingkirkan tangan Raiden. “Aku iri denganmu. Pasti kamu bahagia di daratan.”
“Nggak juga. Kamu baru dengar yang bagusnya aja. Besok bakal kuceritakan hal-hal buruknya biar kamu nggak iri.” Raiden meringis ke arah Telestia.
Telestia tertawa. Gurauan Raiden mampu mengikis rasa iri Telestia. Namun tak mampu membendung keinginannya menjadi manusia.
Keesokan harinya, Telestia pergi ke perpustakaan laut. Buku-buku berjajar rapi di rak buku. Meskipun di dalam air, buku-buku itu tidak basah karena terbuat dari bahan yang tahan air dan sudah dimantrai oleh Raja Siren.
Sudah seharian, Telestia berada di perpustakaan. Sayangnya, buku yang dia cari belum ditemukan. Dia sudah bertanya pada penjaga perpustakaan. Namun, sia-sia. Tersisa satu tempat di perpustakaan yang belum Telestia datangi. Ruang Terlarang. Namun, ruangan itu dijaga oleh dua siren bersenjata trisula. Telestia bukanlah tandingannya, bila berhadapan secara langsung.
Telestia menunggu penjaga berganti shift. Sebelum penjaga memakai penutup telinga, Telestia segera menyanyikan lagu tidur. Kedua penjaga itu pun tertidur lelap. Telestia bergegas menyelinap ke Ruang Terlarang.
Di ruangan itu terdapat sebuah buku yang terletak di sebuah batu. Karena penasaran, Telestia membaca buku itu. Halaman demi halaman dia balik. Dia berhenti di halaman keseratus.
Cara Siren menjadi Manusia
Tanpa sadar senyum Telestia mengembang membaca bab itu. Harapannya akan terwujud. Namun, senyum Telestia perlahan menghilang ketika menutup buku itu. Dia memerlukan sepuluh nyawa manusia untuk hidup di daratan.
“Kamu denger nggak yang kukatakan tadi?” tanya Raiden pada teman sirennya.
Telestia terkesiap. Dia menoleh ke arah Raiden. “Ya, ya, aku dengar,” jawab Telestia asal-asalan.
“Coba ulangi.”
Telestia gelagapan. “Sudahlah, kenapa kamu ke sini? Apa kamu tidak punya teman? Atau bosan sepertiku?”
“Jadi memang nggak denger. Keningmu sampai berkerut seperti ini.” Raiden menyentuh sela di antara kedua alis Telestia.
Telestia membalas perbuatan Raiden dengan menceburkan diri ke air. Raiden basah kuyup akibat cipratan Telestia. Pria itu melepas jaket hitamnya. Dia memakai kaos putih tipis yang menampilkan lekuk tubuh atletis. Biasanya, para wanita akan berteriak bila Raiden dalam kondisi seperti ini. Namun, Telestia malah terkekeh. Pemandangan dada bidang dan perut berkotak-kotak sudah menjadi santapannya sehari-hari. Di mata siren itu, penampilan Raiden sekarang sangat acak-acakan, terutama rambutnya.
Raiden mengembuskan napas panjang. Dia ingin menceburkan diri dan menangkap Telestia. Sayangnya, Raiden tidak bisa berenang. Bisa-bisa dia semakin dipermalukan bila berani masuk ke daerah kekuasaan siren itu.
Tawa Telestia memudar. Dia menatap langit malam dengan sendu. “Menurutmu, seandainya ada yang membunuh sepuluh manusia bagaimana?”
“Itu namanya psikopat. Nggak ada orang normal yang membunuh sepuluh manusia,” jawab Raiden sambil memeras pakaiannya.
“Kamu membencinya?”
“Daripada benci, aku nggak mau dekat-dekat dengan orang itu. Nyawaku ini sangat berharga.”
Telestia menghela napas panjang. Tidak ada yang mau berteman dengan pembunuh. Alih-alih mengorbankan nyawa manusia dan berjauhan dengan Raiden, lebih baik dia menjadi siren selamanya. Baginya teman sangat berharga.
Raiden menggosok-gosokkan kedua tangan. Angin malam membuat tubuhnya menggigil. Melihat hal itu, Telestia menyanyikan lagu penghangat untuk Raiden.
Rasa dingin perlahan menghilang dari tubuh Raiden. Dia menatap mata biru siren cantik itu. “Suaramu lebih bagus daripada suaraku.”
“Tapi, suaramu lebih menggugah hati dibanding siren pria lain.”
“Terima kasih.” Raiden menarik kedua sudut bibirnya ke atas.
Wajah Telestia memerah. Dia mengatur napas agar debar jantungnya memelan. Namun, semua perbuatannya sia-sia. Dia pun menjauh dari orang yang menimbulkan perasan aneh di hatinya. “Aku pulang dulu. Bisa gawat kalo ibuku tahu anaknya tidak ada di rumah.”
“Hati-hati!” teriak Raiden.
Telestia tak mendengar ucapan Raiden. Dia terus berenang berharap bayangan tentang manusia itu di otaknya menghilang.
Sampai di pintu masuk Kota Siren, Telestia berhenti. Matanya membesar. Pandangannya tertuju pada kawanan siren yang terjaring.
“Ada siren yang masih bebas!” seru salah satu penyelam yang mengawal jaring.
Telestia bernyanyi dan memainkan harpanya dengan cepat. Arus air yang kuat tercipta di samping Telestia. Dia mengarahkannya ke para penyelam.
Penyelam-penyelam itu terseret arus dan tak sadarkan diri. Tubuh mereka perlahan mengapung.
Telestia bergegas mendekati jaring yang membelenggu para siren. “Ibu, Ayah, kalian di mana?”
Telestia menemukan ayah dan ibunya di antara para siren. Keduanya menatap Telestia penuh kelegaan. Bukan cuma orang tuanya, Telestia merasa semua mata siren tertuju padanya. Mata yang meminta pertolongan. Memahami isyarat kaumnya, Telestia segera menciptakan arus untuk memotong jaring.
Tiba-tiba saja, ada tombak yang mengenai lengan Telestia. Telestia segera menoleh ke arah manusia yang menombaknya. Manusia itu memakai baju selam yang berbeda dengan penyelam yang telah mati. Sebelum manusia itu menyerangnya kembali, Telestia menyentuh harpanya. Sayang, senar harpa yang selalu menemani Telestia sejak kecil kini terputus.
“Awas,” peringat ayah Telestia lirih.
Kewaspadaan Telestia kembali. Dia mencoba menghindari tombak yang dilontarkan manusia itu. Tombak itu menggores perutnya. Telestia meringis kesakitan.
Tak punya waktu untuk beristirahat, Telestia pun menyanyikan lagu pemikat manusia. Lagu ini akan memikat manusia hingga meniadakan fungsi otak mereka sementara. Di samping itu, manusia yang mendengar lagu ini akan mengikuti semua perintah siren tanpa perlawanan sedikit pun.
“Kemarilah!” titah Telestia.
Beberapa pelaut yang ada di atas kapal berjatuhan ke laut. Penyelam yang menombak Telestia tadi mulai menghampiri siren muda itu.
Telestia hendak merebut tombak penyelam itu. Tak disangka, penyelam itu malah melayangkan pukulan di perut Telestia. Penyelam itu berpura-pura jatuh dalam buaian nyanyian Telestia.
Telestia terdorong ke jaring kawanan siren.
“Lari, Telestia,” bisik Cistia.
“Aku tidak akan meninggalkan kalian. Ini salahku. Gara-gara aku pergi ke pesisir, mereka tahu kota kita,” balas Telestia berlinang air.
“Kamu memang anak pembangkang, jadi turutilah perintah Ibu kali ini. Larilah dan gunakan nyawa pelaut yang telah mati dan jadilah manusia.” Cistia berusaha berteriak meskipun tenggorokannya terasa panas.
Telestia menggeleng-geleng. Matanya terasa basah. Namun, tombak melukai tangannya yang memegang harpa. Harpa itu pun terlepas dari tangan Telestia.
“Pergilah, Telestia.” Siren-siren lain ikut meminta Telestia meninggalkan mereka.
Telestia menatap mereka nanar. Dia memejamkan mata lantas berenang mengumpulkan jiwa-jiwa pelaut yang tak bernyawa. Tombak demi tombak di arahkan ke tubuh Telestia. Luka Telestia semakin bertambah, tetapi dia belum menyerah.
Penyelam itu itu kehabisan tombak. Dia pun berdecak kesal dan naik ke atas kapal.
Telestia memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Banyak tombak yang terarah kepadanya. Untung, semuanya meleset karena pandangan penyelam itu terhalang.
Tak ada lagi tombak yang menyerang Telestia. Dia berhasil meloloskan diri. Tangannya memeluk bola-bola nyawa pelaut dengan erat. Memang impiannya akan terwujud, tetapi Telestia tidak menyangka kehidupan kaumnya akan terancam. Seandainya dia tidak pergi pesisir. Seandainya dia lebih berhati-hati. Seandainya, seandainya, dan seandainya. Banyak kata seandainya yang memenuhi kepala Telestia. Namun, terus menyesal tidak akan memberikan hal positif. Telestia bertekad dalam hati.
Aku akan menyelamatkan kalian. Aku janji.
Sementara di atas kapal, penyelam itu menendang pinggiran kapal. “Sial! Satu siren kabur.”
Bukan hanya itu, dia kehilangan banyak anak buah. Namun, dia malah untung karena tak perlu membayar mereka. Di samping itu, anak buah dapat dicari lagi. Berbeda dengan siren yang sulit ditemukan karena keberadaan mereka sudah langka.
Penyelam itu bernama Adinata. Dialah yang merencanakan penangkapan siren. Seminggu yang lalu, Adinata melihat siren yang berbincang-bincang dengan manusia. Dia pun mengikuti siren itu diam-diam untuk mencari persembunyian para siren. Setelah itu, dia merekrut pelaut dan membeli obat untuk menghilangkan suara. Perlu waktu seminggu untuk menyiapkan semuanya.
Lalu, Adinata menjalankan rencananya hari ini. Dia menuangkan obat di kota siren. Dengan begitu, para siren tidak bisa menggunakan suara ajaib mereka. Adinata dapat menangkap mereka dengan leluasa. Tidak pernah dia pikirkan sebelumnya, ada satu siren yang masih berkeliaran. Dia kira siren yang dilihatnya di pesisir sudah kembali ke Kota Siren karena sudah tengah malam.
Adinata berusaha tenang. Dia mengalihkan pandangannya ke jaring yang menangkap para siren. Meskipun satu lolos, dia masih punya siren lain yang berjumlah puluhan. Dia akan kaya. Adinata tertawa keras sambil menarik sumber hartanya ke kapal.
Telestia sampai di pesisir. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Dengan bersusah payah, Telestia memasukkan bola-bola nyawa manusia ke tubuhnya. Perlahan sisiknya mengelupas. Kaki yang semula satu kini menjadi dua.
Telestia tidak lagi menahan napas di daratan. Udara segar memenuhi paru-parunya. Mata Telestia memberat. Dia harus pergi ke tempat yang aman, sebelum pemburu siren itu menangkapnya. Namun, dia harus ke mana? Tak ada tempat yang aman di daratan. Dia pun tak tahu di mana rumah Raiden.
Telestia memegangi perut yang terus mengeluarkan darah. Dengan sisa tenaga terakhir, Telestia bernyanyi. Luka-lukanya sembuh, tetapi kesadaran Telestia hilang seketika.
***
Matahari belum terbit, tetapi Raiden sudah keluar dari rumah. Dia berlari-lari kecil melewati rumah-rumah yang penghuninya belum bangun. Ini sudah menjadi kesehariannya. Menjaga bentuk tubuh tetap bugar sudah menjadi kewajiban seorang idol. Ya, Raiden adalah idol yang harus menjaga image di depan publik. Dia selalu berpura-pura menjadi orang baik dan terus tersenyum. Bila salah sedikit, dia akan dihujat. Hanya bersama dengan Teletia, Raiden terbebas dari belenggu itu. Dia bisa tertawa lepas dan mengerjai Telestia tanpa takut dicibir.
Raiden pun melangkah menuju dermaga yang terbengkalai, tempat pertemuannya dengan Telestia. Dermaga itu sangat sunyi, tak ada orang yang pernah ke sana kecuali Raiden. Seminggu sekali Raiden datang dermaga untuk mengeluarkan kepenatannya dengan bernyanyi. Cuma baru-baru ini saja, Raiden sering ke tempat itu karena ingin bertemu dengan Telestia. Seperti sekarang. Meskipun begitu, Raiden tidak berharap lebih karena siren itu pasti sedang tertidur pulas di guanya.
Tak disangka harapan Raiden terkabul. Telestia berada di pantai dekat dermaga. Yah, walaupun siren itu tak sadarkan diri dan tanpa sehelai benang melekat ditubuhnya. Namun, apakah Telestia bisa disebut siren? Wanita itu kini memiliki kaki seperti manusia pada umumnya. Itu tidak penting. Ada hal yang lebih mendesak.
“Tia, bangun, Tia.” Raiden menepuk-nepuk wajah Telestia.
Tidak ada balasan. Mata Telestia masih terpejam. Raiden memeriksa denyut nadi dan napas Telestia. Masih terasa, Telestia masih hidup.
Daripada membiarkan Telestia di sini kedinginan, Raiden membuka jaket untuk menutupi tubuh wanita itu. Dia segera menggendong Telestia menuju rumahnya. Kepalanya menoleh ke kanan-kiri. Dia tidak ingin dianggap sebagai orang mesum karena membawa wanita tanpa busana.
Beruntung Raiden tidak bertemu dengan siapa pun dalam perjalanan. Dia bergegas membaringkan dan menyelimuti Telestia di kamar. Sambil menunggu Telestia bangun, Raiden menyiapkan makanan. Dia yakin wanita itu lapar dan membutuhkan tenaga untuk menceritakan kejadian yang menimpanya.
***
Telestia membuka mata. Ruangan di sana sangat asing. Ingatan para siren ditangkap, membanjiri kepalanya. Dia tergesa-gesa turun dari ranjang. Sayang, karena belum terbiasa dengan kaki barunya, dia terjatuh.
“Kamu sudah sadar?” tanya Raiden.
“Jangan dekati aku. Pergi!” Telestia histeris. Dia tak mengenali suara Raiden karena ketakutan.
“Ini aku, Tia.” Raiden membalut tubuh Telestia dengan selimut.
Telestia malah meronta-ronta. “Pergi! Jangan tangkap aku!”
Tak tahu harus apa, Raiden mulai bernyanyi. Hanya itu satu-satu cara yang bisa membuat Telestia mengenalinya.
Rasa takut Telestia mulai memudar. Dia berada di tempat yang aman bersama Raiden. Matanya terasa basah.
“Raiden?”
Raiden memeluknya. “Nggak apa-apa. Aku ada di sini.”
Telestia meluapkan kesedihan dan ketakutannya dalam pelukan Raiden. Dia hanya berpura-pura kuat saat menghadapi pemburu siren. Padahal tangannya terus gemetaran kemarin.
Setelah Telestia berhenti menangis, Raiden memberanikan diri bertanya, “Apa yang terjadi?”
Telestia bungkam. Terlalu sulit untuk menceritakan semuanya apalagi dia sudah membunuh manusia. Bila Raiden tahu, dia takut pria itu akan membencinya.
“Katakan aja, aku bakal membantumu dan akan merahasiakannya. Percayalah padaku,” tambah Raiden.
Menyadari tatapan Raiden yang tulus, Telestia menceritakan kejadian yang menimpanya, kecuali tentang pengorbanan yang dibutuhkan agar dirinya menjadi manusia.
Sorot mata Raiden berubah iba. “Kamu tinggal aja di sini sementara. Jangan pergi ke laut. Bakal bahaya. Penjahat. itu bisa kembali kapan aja.”
“Terima kasih.”
Tersadar bahwa wanita itu masih belum mengenakan pakaian, Raiden mengambil kaos dan celana di lemari lalu memberikannya pada Telestia. Raiden tidak mungkin memakaikan pakaian saat Telestia tertidur. Harga diri wanita itu bisa ternodai. Dia merupakan pria normal yang bisa berbuat salah apabila melihat wanita tanpa pertahanan sedikit pun, seperti Telestia.
“Kamu tahu, kan cara memakainya?” tanya Raiden.
Telestia tahu cara memakai kaos karena pernah melihat mengenakan pakaian itu Raiden. Tetapi, berbeda dengan celana. Dia mengamati celana biru yang diberikan Raiden dengan kebingungan.
“Yang ini bagaimana?” Telestia menunjuk celana biru di tangan kirinya.
“Biar kucontohkan,” Raiden mengambil celana dari tangan Telestia, “pertama, buka lubang bagian besar lalu masukkan kakimu secara bergantian melewati lubang kecil di bawah. Paham, kan?” Raiden membuka celana biru itu dan berpura-pura memasukkan kakinya.
Telestia mengangguk. Raiden mengembalikan celana, kemudian menunggu di luar. Tak ada lima menit, Telestia selesai berpakaian. Raiden pun masuk. Matanya terpaku penampilan Telestia.
Kaos yang dipakai wanita itu terlalu longgar. Bahkan, lebih pantas disebut dress saat melekat di tubuh Telestia, sebab celana pendek biru miliknya tertutup kaos. Namun, di mata Raiden Telestia terlihat imut. Raiden memalingkan wajahnya yang memerah.
Tiba-tiba terdengar suara telepon. Raiden gelagapan meraih smartphone-nya. Dia cepat-cepat menempelkan smartphone di telinga kanannya.
“Ha-“
“Apa kau sudah gila? Ini sudah jam berapa? Apa kau lupa hari ini ada pemotretan?” teriak seorang wanita di seberang sana.
Raiden menepuk dahinya. “Maaf, aku lupa. Aku akan ke sana. Tolong tenangkan mereka, Sop.”
“Bisa gila aku. Pokoknya kamu harus sampai di sini dalam waktu sepuluh menit,” tegas Sophia.
“Baik, baik. Makasih, maafkan aku.” Raiden menutup telepon sambil mengembuskan napas panjang.
“Kamu akan pergi?” Mata Telestia memelas menatap Raiden.
Sejujurnya, Raiden tak ingin meninggalkan Telestia sendirian. Apalagi kondisi wanita itu belum pulih benar. Sayangnya, pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan.
“Maaf, ya. Aku harus bekerja. Tadi, manajerku marah-marah.” Raiden mengelus-elus lengan Telestia.
Kemudian, Raiden menjelaskan ruangan-ruangan yang ada di rumahnya. Tak lupa, dia menjelaskan fungsi perabotan yang ada di sana.
Telestia mengangguk-angguk. Dalam hati dia mencamkan tidak akan merusak barang-barang di rumah Raiden.
“Oh, ya. Ada makanan di meja makan. Kamu pasti lapar.” Raiden menuntun Telestia ke ruang makan.
Raiden menarik kursi di meja makan, mempersilakan Telestia duduk. Dia melirik jam tangannya. Tersisa waktu lima menit.
“Aku pergi dulu, ya. Anggap aja rumah sendiri.” Raiden beranjak dari sana.
“Kamu tidak makan?” Telestia menarik ujung lengan kemeja Raiden.
“Aku sudah makan tadi. Aku buru-buru. Jangan khawatir. Dan jangan ke mana-mana. Kamu aman di sini. Aku bakal pulang.”
Telestia perlahan melepas ujung lengan kemeja Raiden. Dia tersenyum. “Hati-hati.”
Raiden balas menyunggingkan senyum, lalu meninggalkan wanita itu sendirian. Wajah Telestia berubah suram. Dia memakan masakan buatan Raiden tanpa semangat.
Aku ingin kamu menemaniku, Raiden.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!