Azzura tampak termenung menatap nanar ibunya yang sedang terbaring lemah di bed pasien.
Tangannya tak lepas terus menggenggam jemari ibunya yang tampak sedang tertidur dengan selang yang masih terpasang di hidung.
"Ya Allah ... aku harus bagaimana? Di mana aku harus mendapatkan uang sebanyak itu untuk biaya operasi ibu? Termasuk perawatan untuk kemo selanjutnya."
Air mata mulai menetes memikirkan nasibnya.
"Gajiku sebagai barista nggak akan cukup untuk membiayai pengobatan ibu. Bahkan uang pensiunan ibu dan almarhum ayah pun nggak akan mencukupi."
Azzura melepas genggaman tangan sang ibu kemudian mengecup keningnya.
"Bu, aku berangkat kerja dulu ya. Aku akan berusaha mencari pinjaman untuk biaya pengobatan ibu. Apa pun itu, ibu harus sembuh supaya kita bisa bersama lagi."
Setelah itu, Azzura meninggalkan ibunya yang masih terbaring lemah dengan mata yang terus terpejam.
Dengan langkah gontai, ia melangkah lunglai sambil memikirkan cara untuk mendapatkan pinjaman.
"Apa sebaiknya aku meminjam uang saja pada Nyonya, ya? Nggak apa jika harus membayar dengan menyicil," gumamnya.
Bruuukk ....
Langkahnya terhenti lalu perlahan mendongak.
"Ah ... maaf Dok, saya nggak sengaja," ucapnya sambil menunduk lalu mengatupkan kedua tangan di dada.
"Nggak apa-apa. Lain kali kalau jalan jangan melamun," pesan Pak dokter lalu mengulas senyum.
Azzura mengangguk pelan. Lanjut mengayunkan langkah menuju area parkir.
*******
Setibanya di Cafe tempatnya bekerja, Azzura menarik nafas dalam-dalam.
"Zu, semangat," ucapnya sambil mengangkat tangannya menyimbolkan semangat.
Ia pun melangkahkan kaki memasuki cafe lalu menyapa temannya yang lebih dulu tiba darinya.
"Zu, kok kamu telat?" tanya Nanda sahabatnya.
"Aku mampir ke rumah sakit sebentar menjenguk ibu," jawab Zu dengan seulas senyum.
"Bagaimana keadaan Tante?"
Azzura menghela nafas. "Ibu harus dioperasi, Nanda. Makanya saat ini aku lagi bingung cari pinjaman. Kamu tahu kan biaya operasi kanker itu sangat mahal, belum lagi jika harus menjalani kemoterapi," jelas Zu dengan raut wajah sedih.
"Yang sabar ya, Zu. Nanti kami akan coba membantu dengan menggalang bantuan," usul Nanda seraya mengelus punggung sahabatnya.
"Terima kasih ya, Nanda," ucap Zu.
Keduanya kembali bekerja melayani pembeli yang sedang memesan minuman.
Setelah membuat minuman pesanan seseorang, Azzura beberapa kali memanggil nama si pemesan. Namun, sang pemesan tak kunjung menghampiri meja bartender cafe.
"Nan, ini yang mesan orangnya mana sih?" tanya Zu. "Dari tadi aku panggil, orangnya tak kunjung kemari."
"Oh itu, gadis blasteran yang sedang duduk di sana," tunjuk Nanda, mengarahkan telunjuk ke arah gadis yang sedang asik memainkan ponsel.
"Ngeselin banget sih?! Nungguin sebentar saja nggak bisa," gerutu Zu lalu menghampiri gadis itu.
"Maaf ... Nona, ini minuman pesanan Anda," ucap Zu lalu meletakkan cup minuman coklat di atas meja.
"Lama banget sih!" bentaknya.
"Maaf," ucap Zu mengalah.
"Segampang itu, kamu meminta maaf, hah!! Apa kamu nggak tahu siapa aku?" bentaknya lagi.
"Kamu kekasihnya Close, benar kan," jawab Zu singkat.
"Bukan cuma kekasih, tapi bakal jadi istrinya sekaligus calon menantu keluarga besar Kheil Brandon," ucap gadis itu lagi menyombongkan diri.
"Huh!! Ngeselin banget! Jika saja kamu bukan kekasihnya Close, aku pasti sudah memakimu," gerutu Zu dalam hati lalu meninggalkan gadis blasteran itu.
********
Sore harinya ....
Dengan perasaan getir, Azzura memberanikan diri melangkah ke arah ruang kerja sang owner cafe.
Sebelum mengetuk pintu, ia menarik nafas dalam-dalam demi menetralkan perasaanya yang sedang getir lalu mengetuk pintu.
"Masuk," perintah suara dari dalam ruangan.
"Selamat sore Nyonya," sapa Zu dengan seulas senyum.
"Ah, Zu. Sore juga. Kemarilah."
Gadis berhijab itu mengangguk lalu duduk di kursi berhadapan dengan Nyonya Liodra.
"Ada apa, Zu?" tanya Nyonya Liodra dengan ramah.
"Nyonya, saya ke sini ingin meminta bantuan Anda. Maksud saya ... eeemm ... saya ...."
Azzura tampak ragu ingin mengutarakan niatnya.
"Katakan saja jangan ragu," kata Nyonya Liodra.
"Nyonya, boleh nggak, saya meminjam sejumlah uang pada Anda?" tanya Zu lalu menunduk.
"Meminjam uang? Tapi untuk apa Zu?" tanya Nyonya Liodra dengan alis yang saling bertaut.
"Untuk biaya operasi dan perawatan kemoterapi ibu saya, Nyonya. Ibu saya sakit kanker," jelasnya masih sambil menundukkan kepala. "Saya akan menyicil pembayarannya meski saya selamanya akan bekerja untuk Nyonya."
Senyum penuh arti terbit di bibir tipis wanita cantik paruh baya itu.
"Zu, saya tidak akan meminjamkan kamu uang. Tapi, saya akan membiayai semua perawatan ibumu selama dirawat. Tapi ada syaratnya."
Azzura langsung mendongak menatap Nyonya Liodra.
"Apa syaratnya, Nyonya? Saya akan menerima syarat itu demi melihat ibu saya bisa sembuh lagi," sahut Zu.
"Menikahlah dengan putraku, Close, maka semua biaya pengobatan ibumu akan saya tanggung," tawar Nyonya Liodra.
Azzura sangat terkejut dengan syarat yang di ajukan oleh Nyonya Liodra. Bukan tanpa alasan, dia tahu benar seperti Close. Pria angkuh, arogan, suka seenaknya terlebih ia sudah memiliki kekasih.
Ia tampak menimbang-nimbang. Di satu sisi ia merasa takut namun di satu sisi lain, ia sangat membutuhkan uang demi biaya operasi juga pengobatan lanjutan sang ibu.
Namun, demi kesembuhan ibunya, ia akhirnya menerima syarat itu meski erpaksa, walau sudah tahu resikonya seperti apa nantinya.
"Baiklah Nyonya, saya akan menerima syarat itu. Tapi, izinkan saya tetap bekerja di cafe ini," kata Zu.
"Baiklah, jika hanya itu yang kamu inginkan," kata Nyonya Liodra.
"Maafkan saya, Zu. Semua ini saya lakukan karena saya tidak menyukai Close terus berhubungan dengan Laura. Entah mengapa saya tidak menyukai gadis itu," batin Nyonya Liodra.
Setelah itu, Azzura berpamitan meninggalkan ruangan Bu Liodra.
"Ya Allah ... aku harus bagaimana? Sejak zaman kuliah, Close sangat membenciku bahkan nggak segan-segan menghinaku."
Ia terus mengayunkan langkah hingga sampai di parkiran. Baru saja ia akan mengenakan helm, pria yang baru saja ada di benaknya itu melewatinya dengan tatapan benci. Entahlah apa yang membuat Close membencinya.
Azzura menatap nanar punggung tegap putra sulung majikannya itu.
"Demi kesembuhan ibu, aku pasti kuat menghadapinya dengan lapang dada."
Ia pun menyalakan mesin motornya, meninggalkan tempat itu menuju taman kota untuk menghibur diri.
******
Sesaat setelah berada di taman kota, Azzura duduk bersandar di salah satu bangku taman. Ia mendongak, menatap langit yang mulai menggelap.
"Bu ... Ibu harus sembuh. Jika Ibu sembuh, aku janji akan mengajak Ibu jalan-jalan ke puncak. Kita akan bernostalgia lagi mengenang semua kenangan kita bersama Ayah saat beliau masih hidup. Bertahanlah Bu, jangan tinggalkan aku."
.
.
.
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
Mohon dukungannya ya, readers terkasih dengan meninggalkan rate, vote, like, gift dan meramaikan kolom komentar.
Maaf author memaksa. Tanpa dukungan dari readers terkasih, siapalah author recehan seperti aku. Happy reading 🙏😊🥰😘
Malam harinya di mansion Keluarga Kheil ....
"Apa!!! Menikah dengan Azzura, karyawan Momy di cafe itu?!" sentak Close seolah tak terima.
"Ya, pokoknya Momy nggak mau tahu, kamu harus menikah dengannya!" tegas Momy tak ingin di bantah.
"Mom ... aku memang akan menikah, tapi bukan dengan gadis barista itu melainkan dengan Laura.
"Momy nggak mau dengar alasan apapun. Lupakan Laura karena momy nggak pernah suka dengan gadis itu!" tegas Momy.
"Close ...." Suara bernada dingin itu membuat Close menoleh. "Azurra gadis yang baik, sopan juga good attitude. Daddy juga setuju jika kamu menikah dengannya ketimbang dengan Laura."
"Tapi, aku nggak mencintainya Dad!" tegas Close.
"Cinta bisa tumbuh kapan saja tanpa kita menyadarinya. Tidak ada salahnya kamu menerima Azurra," saran Tuan Kheil.
Close bergeming, mengepalkan kedua tangan lalu meninggalkan ruang tamu dengan perasaan marah.
Ketika berada di dalam kamar, ia langsung meninju tembok yang tak bersalah melampiaskan semua kekesalannya.
"Entah apa yang sudah gadis itu katakan pada Momy sehingga Momy mau menerimanya. Pasti dia mengincar harta. Dasar gadis matre, mata duitan!!!" Sedetik kemudian ia menyeringai.
"Akan kubuat kamu seperti berada di dalam neraka setelah kita menikah! Jangan berharap aku akan mencintaimu apalagi memperlakukanmu sebagai istriku!"
Entah mengapa ia sangat membenci Azzura bahkan tak segan-segan menghina gadis itu. Padahal Azzura tak pernah mengusiknya. Yang semakin membuat Close kesal adalah, Azzura tak pernah menggubrisnya bahkan terlihat acuh.
Sementara di ruang tamu, Gisel yang baru saja pulang, langsung menghampiri kedua orang tuanya.
"Mom, Dad, ada apa? Tadi aku sempat mendengar kalian berdebat."
"Nggak apa-apa, Sayang. Momy dan Daddy hanya membahas tentang rencana pernikahan kakakmu," jelas Momy.
"Beneran? Apa kakak akan menikah dengan Laura?" tanya Gisel dengan raut wajah tak suka.
"Bukan dengan Laura tapi dengan Azzura," jelas Momy lagi.
Gisel tersenyum seraya mengangguk pelan. Duduk di samping sang Daddy seraya bertanya, "Apa Daddy setuju jika kakak menikah dengan gadis itu?"
"Jika itu pilihan Momy, maka daddy juga setuju."
"Aku juga setuju jika kakak menikah dengan Azzura. Jujur saja aku nggak suka sama Laura. Perempuan itu angkuh bahkan suka semena-mena," aku Gisel.
Setelah itu, ia beranjak dari sofa kemudian berpamitan meninggalkan ruang tamu.
Sepeninggal Gisel, Nyonya Liodra menatap sang suami.
"Daddy, sebenarnya Momy nggak tega pada Zu."
"Kenapa?" Tuan Kheil mengernyit.
"Tadi sore, Zu ingin meminjam sejumlah untuk biaya operasi sekaligus perawatan ibunya yang sedang sakit kanker. Momy bilang padanya, Momy nggak akan memberi pinjaman melainkan akan menanggung semua biaya operasi serta perawatan ibunya asalkan dia mau menikah dengan Close."
Ungkapan Nyonya Liodra sontak membuat sang suami terkejut.
"Momy!' sentak Tuan kheil.
"Daddy, momy lakukan semua ini demi kebaikan Close."
"Tapi, itu terkesan memaksa Zu, Mom. Kasian anak itu." Tuan Kheil lalu terdiam sejenak. "Rencananya, kapan Momy akan melangsungkan pernikahan mereka?"
"Dua minggu dari sekarang. Besok kita akan mengunjungi ibunya Zu sekalian mengutarakan niat baik kita padanya."
"Hmm ... baiklah," gumam Tuan Khiel sambil manggut-manggut.
Tak lama berselang Close menuruni anak tangga. Karena masih merasa kesal, ia melewati ruang tamu begitu saja tanpa menegur kedua orang tuanya.
"Close mau ke mana kamu," tanya bu Liodra.
"Bukan urusan Momy," sahutnya dingin.
"Close." Suara tak kalah dingin sang Daddy membuat langkahnya terhenti.
"Jaga sikapmu serta berbicaralah dengan sopan pada momy," tegas Tuan Khiel. "Daddy dan Momy mendidikmu bukan untuk menjadikanmu anak pembangkang tapi sebaliknya."
Close menunduk. Sedetik kemudian ia pun berlalu meninggalkan tempat itu.
.
.
.
Tok ... tok ... tok ... Tok ... tok ...tok ...
Ketukkan pintu bertubi-tubi yang terdengar dari luar membuat Azzura sedikit merasa kesal.
Ia yang baru saja akan berangkat ke rumah sakit, kembali meletakan paper bag ke atas meja sofa.
"Siapa sih?! Ketuk pintu seperti seorang buronan saja!" gerutunya.
Ia pun menghampiri benda itu lalu membukanya. Azzura mematung menatap pria yang sedang berdiri di hadapannya. Tatapan menghunus tajam seketika membuatnya meremang.
Azzura mengusap tengkuk seraya memundurkan langkah.
"Close," sebutnya.
"Dasar gadis matre!! Mata duitan!! Apa yang kamu katakan pada Momy hingga dia mau menerimamu menjadi menantunya, hah!!" bentak Close seraya mencengkeram pipi Azzura.
"Ssssttt ... Close! Azzura meringis sembari memegang tangan pria itu.
"Dengarkan aku baik-baik, Zu. Sekali pun kita sudah menikah, aku nggak akan pernah mencintaimu bahkan nggak akan pernah menganggapmu sebagai istri. Kamu tahu kan, aku sangat mencintai Laura. Jadi jangan pernah bermimpi untuk mendapatkan cintaku walaupun itu hanya secuil."
Azzura hanya bergeming menatap dalam manik berwarna coklat Close lalu tersenyum sinis.
"Jika saja bukan karena terdesak ekonomi, aku juga nggak sudi menjadi istrimu. Aku terpaksa."
Senyuman sinis seolah mengejek itu, membuat Close naik pitam. Ia menarik rambut Azzura. Dengan sigap Azzura menahan jilbab yang menutupi rambutnya agar tak terlepas.
"Ssssttt ..." Azzura kembali meringis menahan sakit.
"Malam ini tersenyumlah sepuas yang kamu ingin. Tapi, setelah kita menikah akan aku pastikan mata indahmu ini akan terus mengalirkan air mata! Camkan itu baik-baik." Close melepas tarikan rambut lalu mendorong Azzura
Setelah itu, tanpa merasa bersalah ia meninggalkan Azzura dengan perasaan geram.
Sepeninggal Close, air mata Azzura langsung mengalir deras.
"Ya Allah ... kenapa dia sangat membenciku? Sejak dulu dia selalu memperlakukanku seenaknya bahkan nggak segan-segan menghinaku. Apa salahku padanya?" ucap Azzura dengan lirih sembari menyeka air mata.
"Azzura, kamu harus kuat. Sejak kecil kamu sudah terlatih memiliki mental baja seperti ayah. Sebagai anak seorang Jendral, kamu harus kuat dan tangguh. Jangan pernah menangis di hadapannya. Karena kamu akan terlihat lemah di matanya," ucap Azzura lagi menyemangati dirinya sendiri.
...🌿................🌿...
Mohon dukungannya ya, readers terkasih dengan meninggalkan rate, vote, like, gift dan meramaikan kolom komentar.
Maaf author memaksa. Tanpa dukungan dari readers terkasih, siapalah author recehan seperti aku. Happy reading 🙏😊🥰😘
Keesokan harinya ....
Nyonya Liodra dan Tuan Kheil ke rumah sakit untuk menjenguk Bu Isma.
"Mom, apa Momy yakin ibunya Azzura di rawat di kamar ini," tanya Tuan Kheil.
"Iya, Azzura sendiri yang memberitahu momy." Nyonya Liodra mengetuk pintu kamar rawat itu lalu menyapa Azzura yang sedang menyuapi ibunya.
"Zu ... Ibu," sapa Nyonya Liodra dengan seulas senyum.
"Tuan, Nyonya," sahut Azzura.
Bu Liodra menatap lekat wajah Bu Isma yang terlihat pucat.
"Bu, ini Nyonya Liodra owner cafe tempatku bekerja. Dan yang di sebelahnya Tuan Kheil suaminya. Beliau Presdir KL Brandon Corp," jelas Azzura pada Bu Isma.
Bu Isma mengulas senyum lalu mengangguk kecil. "Saya Isma, Nyonya, Tuan. Terima kasih karena sudah berbesar hati mau menjenguk saya," ucap Bu Isma dengan suara lirih.
"Sama-sama, Bu. Kedatangan kami berdua ke sini bukan semata-mata hanya ingin menjenguk saja. Tapi, sekalian ingin melamar Azzura untuk menjadikannya menantu kami," ungkap Nyonya Liodra.
Bu Isma melirik Azzura lalu tersenyum. "Nyonya, Tuan, jika Azzura menerima lamaran ini, berarti saya juga menyetujuinya."
Nyonya Liodra dan Tuan Kheil sama-sama menatap Azzura dengan penuh harap.
"Ibu, aku akan menerima lamaran ini sekalian meminta restu serta doa dari ibu," timpal Azzura dengan mata berkaca-kaca.
Bu Isma kembali tersenyum, mengangguk pelan seraya mengelus lengan putri semata wayangnya itu.
"Terima kasih, Azzura, Bu," ucap Nyonya Liodra dan Tuan Kheil.
Azzura mengangguk pelan. Menatap sang calon mertua bergantian kemudian beralih menatap sang ibu. Demi melihat wanita yang disayanginya sembuh, Azzura rela menerima lamaran itu.
"Sayang," panggil Bu Isma.
"Ibu." Azzura memeluk Bu Isma sambil menangis.
Bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena ibunya akan segera dioperasi dan akan melanjutkan perawatan. Sedih karena membayangkan rumah tangganya yang bakal tak harmonis.
Melihat Azzura menangis di pelukan Bu Isma, Nyonya Liodra dan Tuan Kheil ikut meneteskan air mata.
"Bu, rencananya pernikahan Azzura dan putra kami akan di selenggarakan dua minggu lagi. Semuanya akan saya atur. Ibu juga nggak usah khawatir mengenai biaya rumah sakit. Saya yang akan menanggung semuanya," jelas Nyonya Liodra sembari menggenggam jemari calon besannya itu.
"Terima kasih," ucap Bu Isma merasa terharu.
"Sama-sama, Bu."
.
.
.
Sementara itu, di kantor Close, Laura tampak begitu kesal.
"Apa! Apa aku nggak salah dengar?!" geram Laura menatap tajam pada Close.
"Bukan aku yang ingin tapi Momy. Bahkan dua minggu lagi kami akan di nikahkan," jelas Close.
"Kenapa kamu nggak menolak!" sentak Laura.
"Aku sudah menolak, tapi Momy tetap ngotot ingin menikahkan aku dengan gadis itu."
"Sayang! Pokoknya aku nggak mau jika kamu sampai menyentuhnya. Sebaiknya kamu melakukan sesuatu," usul Laura dengan senyum sinis.
"Nggak akan bahkan aku nggak sudi apalagi tertarik dengan gadis kampungan seperti dirinya. Yang ada, aku sangat membenci gadis itu," jelas Close. Namun tak menjelaskan secara gamblang penyebab ia membenci Azzura.
Hening sejenak ...
Close menyeringai lalu memeluk Laura. "Ide kamu, boleh juga. Melakukan sesuatu ... menurutku ide yang paling brilian adalah, membuat surat perjanjian perceraian. Ya, dia tetap akan menjadi istriku. Tepatnya sebagai istri di atas kertas. Aku akan memintanya menanda tangani surat perjanjian perceraian itu, jika dia sudah menyerah. Dan, secara otomatis kami akan resmi bercerai."
Sungguh tega apa yang di rencanakan pasangan sejoli itu. Bahkan dengan percaya diri, Close mengungkapkan keinginannya dengan menggebu-gebu. Ia lupa jika di antara benci dan cinta perbedaannya sangat tipis.
Laura langsung tersenyum puas mendengar ucapan Close sambil membatin, "Aku nggak mau kehilangan Close. Aku akan terus menghasut Close supaya membenci gadis barista itu. Ngeselin banget!"
.
.
.
Dua minggu kemudian ....
Pada umumnya pasangan yang akan menikah pasti akan terlihat bahagia. Namun itu tidak berlaku bagi Azzura dan Close.
Keduanya sama-sama terpaksa menikah dengan alasan yang berbeda.
Saat Azzura akan dipersunting oleh Close, ibunya juga harus di operasi di hari yang sama.
"Nanda, aku titip Ibu, ya. Tolong hubungi aku jika ibu sudah selesai dioperasi."
"Baiklah. Maaf, aku nggak bisa hadir di hari pernikahanmu. Ibu lebih penting karena beliau sudah kuanggap seperti ibuku juga," sahut Nanda lalu memeluk sahabatnya itu. "Selamat ya, Zu. Aku nggak menyangka jika kamu akan menjadi menantu Bu Liodra. Apapun itu, aku turut berbahagia untukmu."
Azzura hanya mengangguk dengan mata berkaca-kaca-kaca. Mengurai pelukannya lalu menatap wajah pucat sang ibu.
"Sayang, jangan menangis. Tersenyumlah, karena ini hari bahagiamu," ucap Bu Isma dengan lirih seraya mengelus wajah polos Azzura.
"Andai ibu tahu alasanku menikah, ibu pasti nggak akan setuju," batin Azzura.
Tak lama berselang beberapa perawat masuk ke kamar Bu Isma. Mulai mendorong bed pasien keluar kamar.
Air mata Azzura terus berlinang. Ia dan Nanda ikut mendorong bed pasien seingga mereka terpisah di depan pintu ruang operasi.
Sedetik kemudian ia memandangi seorang dokter pria yang sedang mengenakan masker menghampiri mereka.
"Dok, tolong selamatkan ibu saya." Azzura menggenggam tangan dokter itu dengan suara tercekat.
Dokter itu mengangguk sembari menatap lekat sepasang mata Azzura yang terus mengeluarkan air mata.
"Jadi ... pasien tadi, ibunya gadis ini?" batin pak dokter. Menatap tangan yang sedang digenggam oleh Azzura.
"Insyaallah, kami akan melakukan yang terbaik," sahut Pak dokter.
"Terima kasih, Dok," ucap Azzura lalu melepas genggaman tangannya.
Pak dokter mengangguk pelan. Tersenyum di balik masker kemudian lanjut masuk ke ruang operasi.
Dengan berat hati, Azzura berpamitan pada sahabatnya. Meninggalkan tempat itu menuju mobil yang sejak tadi telah menunggunya.
Di sepanjang perjalanan Azzura hanya diam dengan pandangan kosong memikirkan ibunya.
Tak lama berselang, Yoga yang tak lain adalah asisten Close menegur, "Nona Zu, kita sudah sampai."
"Sudah sampai ya ... oh ya, jangan panggil Nona, panggil Zu atau Zura saja," timpal Azzura dengan senyum ramah.
Yoga mengangguk. Meminta Azzura segera turun dari mobil, karena calon mertuanya sedang menunggu di depan lobby hotel.
Dengan patuh Azzura menurut. Menghampiri Nyonya Liodra yang sedang tersenyum menunggunya.
Begitu mereka berada di kamar hotel, Nyonya Liodra meminta perias untuk segera merias Azzura.
"Mbak, tolong rias mantu saya, ya."
"Siap, Nyonya."
Tiga puluh menit kemudian ....
"Sempurna," ucap Mbak MUA menatap kagum wajah cantik Azzura.
"Wah, Zu ... aku sampai pangling," ucap Gisel dengan senyum manis.
"Sayang, apa kamu sudah siap, Nak?" tanya Nyonya Liodra.
"Siap, Mom." Azzura memejamkan mata sejenak. Menarik nafas dalam-dalam sambil memegang dada.
Setelah itu, Gisel dan Momy Liodra mengapit lengan Azzura menuju ballroom hotel. Di sana Pak penghulu, Daddy dan Close sedang menunggu calon mempelai.
Dengan langkah pelan tapi pasti, Momy Liodra dan Gisel mengantar Azzura kepada Close yang sedang berdiri menantinya.
Sejenak, Close tertegun menatap kagum sang calon istri. Ia langsung memegang dadanya yang tiba-tiba saja berdebar menatap jelas wajah cantik Azzura.
Namun, seketika membuyar saat Momy Liodra menegurnya. "Close!"
Close langsung menyambut jemari Azzura lalu membantunya duduk.
Beberapa menit kemudian, Pak penghulu menyalami tangan Close. Menuntunnya mengucapkan janji suci pernikahan.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Azzura Zahra binti Muhammad Fadil dengan mas kawinnya yang tersebut di bayar tunai!"
Suara lantang Close menggema di ruangan itu. Mengucap ijab qobul hanya dengan sekali tarikan nafas.
"Sah!"
"Sah!"
"Sah!"
Wajah Azzura tetap terlihat tenang. Namun, hatinya seketika mencelos merasa miris. Mengingat dirinya kini resmi menjadi istri dari Close Navarro Kheil.
Azzura tersentak kaget saat jemarinya di raih oleh Close. Memasangkan cincin pernikahan di jari manisnya. Pun sebaliknya, ia dengan terpaksa memasang cincin itu di jari manis Close.
"Close ... ayo kecup kening istrimu," pinta Daddy Kheil.
Dengan terpaksa Close menuruti permintaan itu.
Ia menatap lekat wajah Azzura, menangkup pipi lalu mengecup kening sang istri.
Setelah itu, ia berbisik, "Selamat datang di pernikahan laknat ini. Pernikahan yang bakal seperti berada di dalam neraka!"
Azzura bergeming dengan wajah datar menatap lekat manik coklat suaminya. Ia seolah sudah siap menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi.
...🌿----------------🌿...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!