NovelToon NovelToon

Istriku Penipu

Pinjol

Gita menyandarkan punggungnya ke tempat duduk KRL menuju Stasiun Manggarai. Setelah berdiri cukup lama karena penuh, akhirnya dia mendapatkan tempat duduk juga. Satu dari sekian tempat sempit yang tersedia. Terhimpit di kanan kiri, nyaris tanpa ruang gerak.

Tubuhnya sangat lelah akibat berdesakan setiap berangkat dan pulang kerja. Tapi, mau bagaimana lagi? Gita harus berangkat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Orang berarak ramai keluar dari gerbong setelah kereta berhenti tepat di stasiun tujuan. Gita menunggu sebentar sampai keriuhan surut, baru kemudian beranjak turun. Kini dia terjebak lagi dalam keramaian untuk mencapai pintu keluar.

Untung saja dia sudah ahli berjibaku dengan lautan manusia pada jam sibuk seperti sekarang. Bahkan, Gita sudah hapal kapan harusnya memesan ojek online yang akan mengantarkannya ke rumah.

Dering telepon tiba-tiba terdengar, muncul dilayar ponsel nomor yang tidak dikenal. Gita menautkan alisnya sejenak menatap ponsel sebelum mengangkatnya. Mungkin driver ojek online yang baru saja dipesan, pikirnya.

“Halo, dengan Mbak Gita, ya?” ucap suara berat ditelepon. Terdengar deru napas kasar dari laki-laki tersebut.

“Iya, saya. Ini siapa, ya?”

“Saya dari pihak Dana Tunai mau ngasih tahu, Mbak Gita punya tunggakan pembayaran sebesar 8 juta yang jatuh tempo hari Jumat ini. Tolong segera dilunasi ya, Mbak!”

“Dana Tunai? Pinjol? Saya gak pernah pinjam duit dari pinjol. Bapak mau nipu saya, ya?” tuduh Gita. Dia mengingat teman-temannya di kantor sangat mewaspadai telepon yang mengatasnamakan pinjaman online untuk menipu dan menjerat korban.

“Jangan sembarangan ngomong ya! Anda tanggal 23 Agustus kemarin mencairkan dana sebesar 7 juta lewat website Dana Tunai. Perhitungan setelah bunga dan biaya administrasi dengan tenor 3 bulan sebesar 8 juta. Saya gak mau tahu pokoknya Anda harus bayar Jumat ini!”

“Lah, apaan? Saya gak pernah buka website Dana Tunai ataupun cairin dana 7 juta. Coba cek mutasi rekening kalian, emang ada dana yang ditransfer ke rekening atas nama Gita?” Suara Gita meninggi, membuat beberapa orang yang berada di sekitarnya menoleh.

“Di website kami jelas-jelas akun yang mendaftarkan pinjaman itu atas nama Anda. Saya punya alamat rumah, kantor, nomor telepon, sampai NIK buat buktikan kalau Anda adalah peminjam di website kami. Kalau Anda tetap menolak membayar hingga Jumat ini, saya akan datangi rumah dan kantor Anda.”

“Ya udah datengin aja! Saya gak salah dan gak pernah minjem dari kalian!” Pungkas Gita yang langsung menutup sambungan telepon.

Pesanan ojek online-nya datang tepat disaat itu juga. Segera saja Gita naik ke motor tersebut. Selama perjalanan menuju ke rumah, emosinya masih belum surut. Terpikirkan bahwa data-datanya bocor dan digunakan secara tidak bertanggung jawab oleh orang jahat. Mana mungkin Gita berani meminjam uang dari pinjol?

Motor berhenti di depan gang tempat Gita tinggal, dari sana dia harus berjalan beberapa meter untuk mencapai rumah. Gita tinggal di kawasan padat penduduk, dimana rumah-rumah reyot, kecil, kumuh, saling berdempetan.

Rumahnya tidak mencolok, sama seperti yang lain. Bercat putih dengan pintu dan jendela berwarna cokelat kusam, serta tanpa pagar.

“Assalamualaikum! Ibu kemana, Sa?” Gita masuk ke dalam rumah, menyapa adik tirinya yang sibuk memainkan ponsel sambil berbaring di sofa ruang tamu.

“Ga tahu, ke rumah Bu Yana kali. Pinjem duit,” jawab Risa ketus.

Gita mengabaikan tanggapan adik tirinya yang bernada tidak sopan itu, sudah terbiasa. Walaupun mereka saudara satu ayah, namun sejak dulu tidak pernah akur.

Gita duduk di sofa lain yang kosong, mencomot keripik pisang yang tergeletak di meja. Merebahkan semua rasa lelah setelah bertarung riuh dengan penumpang KRL tadi.

“Kapan lo beli HP baru, Sa?”

Gita baru sadar sekarang gawai yang dipegang oleh adiknya itu tidak pernah dilihat sebelumnya. Selama ini dia memang jarang memperhatikan apapun tentang adiknya, karena terlalu sibuk bekerja. Lagipula hubungan mereka juga tidak begitu dekat layaknya saudara.

“Udah lama.”

“Dapet duit dari mana lo beli iPhone?”

“Kepo deh lo!”

“Jawab pertanyaan gue! Lo beli iPhone duit dari mana?” Suara Gita mulai meninggi, tiba-tiba emosi.

Nalarnya dengan cepat menyambung pada masalah tagihan pinjol yang didapatkannya sebelum pulang. Padahal mereka sekarang dalam keadaan sulit. Bisa-bisanya adiknya membeli ponsel baru yang harganya mahal. Uang dari mana?

“Apa sih gak jelas banget lo?!” Risa bangkit dari sofa, terganggu dengan pertanyaan menyudutkan dirinya.

Gita dengan cepat menahan Risa untuk pergi dengan menjambak rambut belakangnya, membuat gadis itu meringis dan menjerit marah.

“Gue bilang, lo dapet duit buat beli iPhone dari mana? Jangan-jangan lo ya yang minjem duit dari pinjol pake nama gue, buat beli iPhone ini? Jawab cepetan, Tol*l!” Gita mulai berteriak, emosinya seketika mendidih.

“Gak tahu, Gue dibeliin ibu,” cicit Risa sambil diselingi tangis.

“Heh! Ngapain lo jambak rambut adek lo sendiri?! Udah ga waras ya lo?!” Teriak Ani yang baru saja masuk ke rumah. Segera saja dia menarik tangan Gita agar melepas cengkraman dari rambut anaknya.

“Oh jadi Ibu yang minjem duit dari pinjol buat beliin Risa iPhone? Ibu tahu kan kita gak punya duit, kontrak kerjaku habis dan kita masih nunggak utang ke bank. Bisa-bisanya Ibu beliin barang gak penting buat dia!” Gita menatap sengit ibu tirinya. Kemarahan semakin membara dihatinya.

Sejak dulu, ibunya sangat gemar berfoya-foya dan menyombongkan diri pada tetangga. Dia jugalah yang mendorong ayahnya agar meminjam uang ke bank untuk memperbesar bengkelnya. Padahal bengkel tersebut sepi pelanggan, hingga akhirnya malah berakhir gulung tikar. Kemudian menyisakan utang yang harus Gita bayar.

“Makanya kalau lo tahu udah gak bisa perpanjang kontrak, cari kerja lagi! Bego amat sih punya anak! Adek lo butuh HP begituan biar ga di-bully temennya di sekolah.”

“Tapi gak minjem ke pinjol juga, Bu! Terus sekarang gimana kita lunasinnya? Aku udah gak punya kerjaan dan gaji lagi!”

“Ya cari kerjaan lain! Masa gitu aja harus nanya sih?”

“Ya udah kalau gitu Ibu juga cari kerja! Jangan gantungin hidup dari gaji aku doang!”

Mendengar kata-kata anak tirinya itu membuat hati Ani bergolak panas. Dia merasa terhina. Sekuat tenaga kedua tangannya menjambak rambut Gita yang berdiri menjulang dihadapannya. Sesekali tamparan didaratkan ke wajah anak tirinya itu, hingga pipinya memerah dan bibirnya terluka akibat tergigit.

“Lo udah ngerasa hebat gitu dengan ngasih gue makan dari gaji lo, hah?! Baru segini aja udah perhitungan sama Ibu sendiri. Durhaka lo sama gue! Udah gue urus dari kecil, ga ada terima kasihnya sedikitpun ke gue! Kalau ngerasa hebat, sana pergi! Gue gak butuh gaji lo buat makan! Lo pikir duit gue dari gaji lo doang?”

Ani berteriak histeris dan memukuli kepala Gita. Panik melihat ibunya yang semakin membabi buta menyerang kakaknya, Risa mencoba memisahkan mereka. Tubuh ibunya dia jauhkan dan dia tahan sekuat tenaga.

“Oke. Kalau gitu aku keluar dari rumah! Ga usah nyariin atau minta duit lagi! Urus hidup masing-masing!”

Gita berlari ke kamarnya, mengemas dengan cepat baju-baju dan barang pentingnya ke tas besar. Dia sama sekali tidak menoleh ataupun memedulikan ibu dan adik tirinya saat pergi meninggalkan rumah.

“Mbak Gita!” Teriak Risa yang masih berusaha menahan kepergian kakaknya. Tapi Gita sudah menetapkan hati untuk pergi. Mereka hanya ibu dan adik tiri, tidak punya hubungan apapun dengannya setelah ayahnya meninggal.

...****************...

Tidak ada tempat lain yang Gita tuju selain rumah Mia, sahabat dekatnya sejak SMP. Setiap kali diusir oleh ibu tirinya, Gita akan berlindung di tempat ini. Ayah dan kakak Mia sudah hapal dengan kebiasaan ini. Mereka baik dan selalu mengizinkannya tinggal sementara.

Dulu ayahnya yang akan menjemput pulang setelah berhari-hari minggat, namun sekarang sosok itu sudah tiada. 5 bulan lalu ayah Gita berpulang. Selain meninggalkan utang, dia juga menitipkan istri dan anaknya pada Gita.

“Jadi, bokap lo punya utang 400 juta ke bank yang tiap bulan lo cicil, ibu tiri lo pinjem duit dari pinjol, kontrak kerja lo ga diperpanjang kantor, dan sekarang lo diusir dari rumah,” ucap Mia merangkum kisah hidup Gita dalam satu helaan napas.

Gita mengangguk, kemudian merebahkan diri di atas kasur empuk milik Mia. Kamar ini lebih nyaman daripada miliknya. Jelas, karena Mia adalah salah satu temannya yang hidup berkecukupan. Tidak kaya, tidak miskin. Hanya cukup. Orang miskin di sini hanya Gita.

“Tamatlah riwayat lo, Git.”

“Apa mati aja ya gue?”

“Heh, gak boleh gitu! Pamali,” larang Mia, tangannya mencubit pipi Gita. “Lo tahu gak sih, kalau lo tuh cakep tapi burik? Gak pernah skincare-an sih karena miskin. Padahal dengan tampang gini dan perawatan, lo bisa godain bos, jadi selingkuhannya CEO kayak di novel, atau jadi pacar temen kerja lo yang anak SCBD hits itu.”

“Manager gue rese, CEO gue udah tua bangkotan, dan temen kerja gue kayak lambe turah. Lagian telat, besok hari terakhir gue kerja sebagai anak SCBD hits. Gak ada kesempatan godain dan jadi simpenan mereka.”

“Kalau gak bisa jadi simpenan, lo tipu aja mereka.”

“Gue orang baik. Gak ngerti cara menipu orang.”

Suara ponsel menghentikan sejenak obrolan mereka. Gita segera memeriksanya. Nomor tidak dikenal mengirimkan pesan.

[+6282109xxx : Hai Gita, ini nomor Arkian. Aku tahu dari Rio. Besok ajak tim kamu gabung farewell party bareng timku aja ya! Soalnya aku udah sewa tempat karoke yg gede. Sayang kalau cuma anak int. audit doang yg pake. Gak usah bayar kok, tenang aja.]

Ah, farewell party. Acara buang-buang uang yang paling Gita hindari. Sebulan belakangan ini teman satu tim selalu menyindirnya yang tidak bersedia mengadakan acara perpisahan. Padahal, hal tersebut sudah menjadi budaya di sana, mentraktir tim dihari terakhir bekerja. Gita bahkan tidak akan membelikan mereka sesajen donat J.Co sebagai tanda perpisahan. Dia sama sekali tidak punya uang.

Tapi kemudian Gita tersenyum simpul memandang pesan yang dikirim nomor baru tersebut. Arkian Wibisana, manager tim audit. Kenapa dia repot-repot mengajaknya ikut bergabung di acara perpisahan timnya? Apa dia kasihan melihat Gita tertekan karena tidak bisa mengadakan acara perpisahan? Bisa jadi.

Farewell Party

“Ngapain lo ke tempat kerja gue?” ucap Mia kaget melihat Gita datang ke Epilogue Club & Karaoke bersama teman kerjanya.

“Farewell party,” jawab Gita dengan malas.

Sebenarnya Gita pun tidak ingin ikut acara ini, namun dia merasa tidak enak pada orang yang sudah mengundangnya.

Teman satu timnya yang lain sudah naik ke lantai empat terlebih dahulu, ke tempat karaoke private yang disewa oleh Arki. Sementara Gita masih berdiri di dekat lift, menjawab semua tanya yang sudah tersirat diwajah Mia tentang kedatangannya kemari.

“Hah? Bukannya lo gak punya duit buat jajanin mereka? VIP loh ruangannya, Git.”

“Bukan gue yang bayar. Gue cuma numpang acara tim lain, soalnya manager-nya juga terakhir di kantor hari ini, sama kayak gue.”

“Jirr, baik banget mau bayarin tim lain.”

“Ya gitu deh. Orang tajir.”

“Git, kok belum ke atas?” tanya Arki yang baru saja tiba. Dia datang paling terakhir dan langsung mengantri lift bersama Gita.

“Oh iya, Pak. Ini mau ke atas.”

Gita meninggalkan Mia, yang sekarang menatap Arki takjub hingga terhenti saat pintu lift terbuka. Gita dan Arki masuk kesana. Suasana terasa canggung di dalam lift. Walaupun mereka satu kantor, satu lantai, bahkan satu ruangan, selama ini jarang sekali keduanya berkomunikasi.

Mungkin mereka pernah beberapa kali bertegur sapa, mengirim email, atau mengurus pekerjaan bersama. Tapi hanya sekadarnya saja. Mereka tidak begitu akrab. Selain itu, karena posisi Arki yang sudah manager sedangkan Gita hanya pegawai kontrak, umbi-umbian dan samsak tinju ditimnya. Rasanya sulit bergaul dengan orang sepertinya.

“Pak Arki, makasih ya mau ngundang tim saya ikut farewell party-nya internal audit. Apalagi saya gak bantu bayar apa-apa,” ucap Gita memulai pembicaraan.

“Gak apa-apa. Sebenarnya aku cuma ngajak Rio ke farewell party-ku, soalnya kita temenan deket, kan. Terus dia cerita hari ini kamu juga last day di kantor. Tapi gak ngadain acara apa-apa. Jadinya daripada mubazir aku pesan ruangan gede dan yang dateng sedikit, karena tim audit sebagian lagi pada ambil CRMA*, mendingan gabungin farewell party kita aja. Lagian kita sering kerja bareng juga, kan?” ungkap Arki memberi penjelasan mengenai motifnya mengajak tim accounting bergabung.

Di dalam ruangan VIP yang luas dan mewah, semua orang sudah berkumpul. Makanan dan minuman yang terlihat mahal dan enak juga sudah diantar kesana.

Gita melihat sekeliling. Pantas saja Arki mengajak tim lain untuk ikut bergabung diacara terakhirnya, karena dari timnya sendiri hanya dihadiri oleh Budi dan Ikhsan. Sementara yang memenuhi ruangan ini adalah tim accounting yang berjumlah 6 orang termasuk dirinya.

“Lagu ini khusus dipersembahkan buat Mas Arki ganteng yang akan melanjutkan perjalanan diperusahaan lain. Sukses ya, Bro! Semoga di sana dapat cewek cakep, biar gak patah hati terus. Cepetan nikah, inget umur udah mau tiga puluh! Kasihan Mama Ela mau nimang cucu,” kata Rio berbicara pada microphone, musik into dari sebuah lagu dangdut terdengar dilatar belakang.

“Hoobaaaah … Cinta satu malam oh indahnya. Cinta satu malam buatku melayang ….” Suara Rio mulai menggelegar menyanyikan lagi dengan bersemangat. Budi, Ikhsan, Bayu dan Yoga dengan kompak bergoyang seakan sedang berdendang dengan biduan. Arki tergelak dengan kelakuan teman-temannya.

“Buset dah, kalau karoke sama si Rio pasti ujung-ujungnya nyanyi dangdut,” ucap Andini mengomentari.

“Bodo amat ah, yang penting gue bisa makan malem gratis. Biarpun denger suara fals si Rio,” kata Fenny yang sejak tadi sibuk mencicipi hidangan yang tersedia di meja.

“Iya lah, gue juga ngincer makanannya doang. Soalnya di tim kita kan gak modal banget, ada anak yang mau resign tapi gak mau keluar duit ngadain farewell party. Gak ngehargain senior, main cabut aja kayak gak ada terima kasihnya,” sindir Wina. Jelas kalimat itu ditujukan untuk siapa. Ya, tentu saja Gita.

Gita yang sejak tadi diam saja langsung tertohok dengan sindiran tersebut. Seniornya itu memang kerap kali menyindirnya sejak sebulan lalu perkara farewell party, membuat Gita jengah.

“Mau makan gratis kok mengatasnamakan senioritas, bilang aja mau hedon tapi gak modal! Ribet!” ucap Gita tenang. Sontak saja kalimat tersebut membuat ketiga perempuan itu menatap tajam dirinya.

“Songong lo! Mentang-mentang besok udah gak kerja lagi, jadi berani banget mulutnya sama senior!”

“Harusnya gue bilang ini dari sebulan lalu sama lo, dasar cewek-cewek sok elit tapi ekonomi sulit! Minta gratisan dengan dalih senioritas dan kebersamaan! Gak tahu malu!” Gita sudah tidak bisa menahan dirinya lagi untuk mengatakan hal ini, toh besok dia tidak akan bertemu mereka lagi.

Biarlah semua rasa frustrasi yang dipendamnya selama 2 tahun sebagai junior accountant di sana meluap sekarang juga. Selama ini mereka merundung Gita dengan sindiran-sindiran yang membuat kepercayaan dirinya turun.

Mereka berkomentar tentang pakaiannya yang bukan barang branded, gawainya yang tidak update, bekal makan siangnya yang sederhana, dan penampilannya yang tidak fashionable. Semua untuk membuat Gita merasa paling miskin saja. Padahal mereka pun hanya sekumpulan orang dengan ekonomi biasa saja, bergaji UMR Jakarta dengan beberapa ratus ribu tambahan uang tunjangan jabatan.

Sebelum mereka membuka mulut lagi untuk menyerang, Gita bangkit dari tempat duduknya. Keluar menuju toilet dan beristirahat di dalam salah satu bilik paling pojok. Di sana dia hanya memainkan ponsel berlama-lama. Harusnya dia langsung pulang saja, tapi tidak enak beranjak dari undangan Arki. Apalagi dia susah payah mengajak untuk merayakan acara perpisahan dengan gratis.

Tanpa sadar Gita sudah menghabiskan waktu hampir 1,5 jam di sana. Dia menonton drama pada ponselnya. Selama itu pula, dia banyak mendengar orang keluar masuk toilet, lantas berkomentar tentang salah satu pintu yang terus menutup dari tadi, membuat antrian menjadi panjang. Ocehan kesal pun terdengar silih berganti tanpa Gita pedulikan.

Untunglah saat keluar, Gita tidak menemukan siapapun disana. Dia lantas merapikan diri dikaca besar dekat wastafel. Orang-orang sudah pergi, dan ini waktunya untuk Gita pergi juga dari tempat ini. Dia akan berpamitan pulang pada Arki dan rekan kerja menyebalkannya yang lain.

Saat berjalan kembali menuju ruang VIP, empat orang laki-laki teman sekantornya sedang berjalan ke arah berlawanan, menuju lift. Tapi dia tidak melihat Arki sama sekali. Mereka menenteng tas seperti berniat pergi.

“Kalian mau pada kemana? Udahan acaranya?” tanya Gita bingung.

“Lah, kok lo masih di sini sih, Git? Kirain udah cabut sama yang lain 30 menit yang lalu,” ucap Bayu yang keheranan.

“Gue dari tadi di toilet,”

“Ya udah, ayo pulang sekarang!” ajak Rio.

“Tas gue masih di dalem. Pak Arki juga udah pulang?”

Keempat laki-laki itu saling menatap sejenak, “Dia masih di dalem juga. Nanti ada yang jemput dia kok. Lo biarin aja dia kayak gitu. Ambil tas, terus pulang!” ucap Rio. Pintu lift terbuka dan keempat orang tersebut masuk ke sana. “Cepetan pulang ya! Awas loh, Git!” tambah Rio memperingatkan sebelum pintu tertutup.

Gita sedikit bingung dengan ucapan Rio, dia pun akan segera pulang tanpa disuruh. Tanpa pikir panjang dia melangkahkan kakinya kembali masuk ke ruangan.

Saat melihat keadaan di dalam, Gita hanya mendapati Arki yang sedang tertidur di sofa, melintangkan kakinya tak sadarkan diri. Sejenak Gita bisa mengendus aroma alkohol menguar dari sana karena AC sudah mati.

Ah, mabuk. Pikir Gita.

Pantas saja Rio menyuruhnya cepat pulang dan meninggalkan Arki sendirian. Tapi apakah benar akan ada yang menjemputnya nanti? Apa perlu Gita memanggil Mia untuk mengabarkan pada satpam tentang keadaan Arki?

Gita termenung sejenak menatap tubuh lunglai dihadapannya. Menimbang apakah harus memanggilkan satpam sekarang, agar penjemput Arki nanti tahu.

“Luna!” Panggil Arki tanpa sadar.      

Hah, Luna? Pasti pacarnya!

Tidak, tidak. Gita tidak boleh berurusan dengan orang mabuk. Bisa berbahaya. Tangannya langsung menyambar tas selempang yang berada di kursi, kemudian melangkah menuju pintu keluar.

Tanpa Gita sadari Arki sudah bangkit dan berlari mengejarnya. Sekuat tenaga mendorong kembali pintu yang sempat Gita buka. Tangannya yang lain merangsek memeluk pinggang Gita, dengan kuat menariknya mendekat. Gita bisa merasakan punggungnya menyentuh dada laki-laki itu. Aroma alkohol yang kuat tercium saat dia mendekatkan mulut ke lehernya.

“Luna … aku gak bisa kalau gak sama kamu,” bisik Arki.

“Saya bukan Luna, Pak! Saya Gita!” Teriak Gita panik.

Tanpa peduli apapun yang dikatakan gadis itu, Arki yang sudah kehilangan nalar kini membuatnya berbalik dan mendorong dengan kuat hingga Gita terpojok di pintu. Ciuman kasar dia daratkan tanpa ampun dibibir gadis antah berantah yang tidak begitu dekat dengannya.

Gita mencoba melepaskan diri, menjambak rambut dan menarik telinga Arki dengan perasaan tidak berdaya. Laki-laki itu tetap tidak menyerah, menautkan lidahnya hingga rasa kebas Gita rasakan di sana.

Aroma alkohol memuakkan juga mengisi indera penciumannya. Gita seketika menangis, menghadapi mara bahaya yang mengadangnya akibat berurusan dengan laki-laki mabuk.

“Aku cuma bisa ngelakuin ini sama kamu, Lun.” Arki mulai meracau kembali setelah melepaskan kecupannya.

Kini dia mendorong tubuh gadis itu ke sofa, tangannya dengan cepat melucuti kemeja yang Gita kenakan. Hingga tak bersisa kain menutupi bagian atasnya.

Gita berteriak, menangis, memukul, hingga menggigit Arki yang sudah gelap mata, mengedarkan bibirnya dikulit lembut miliknya. Sayangnya teriakan itu tertelan ruangan yang kedap suara.

Arki berhenti sejenak, melepas kemejanya juga dan sedang berusaha melepaskan sabuk dari celananya. Kesempatan sekian detik itu Gita pakai untuk meraih microphone yang terletak tidak jauh dari kepalanya.

Sekuat tenaga Gita memukul kepala Arki beberapa kali dengan penuh emosi, membuat laki-laki itu berteriak dan mengaduh. Terlihat luka berhasil ditorehkan dipelipisnya. Usaha Gita tersebut ternyata berhasil, Arki melorot menjauhinya.

Gita langsung menyambar kemeja yang sempat menghilang dari tubuhnya dan tergeletak di lantai. Mengenakannya dengan cepat, kemudian berlari keluar meninggalkan laki-laki yang mulai tidak sadarkan diri kembali di sofa.

Air mata bercucuran sepanjang jalan keluar dari Epilogue, musik club di lantai satu yang nyaring menggema, menenggelamkan isakannya. Dia tidak bisa berpikir apa-apa selain berlari menjauh dari sana, bahkan tidak mengingat minta pertolongan Mia yang bekerja di tempat tersebut. Saat mencapai pintu keluar, Gita langsung masuk ke taksi yang kebetulan berhenti menurunkan penumpang di sana.

   

*CRMA (Certification in Risk Management Assurance): adalah program sertifikasi khusus yang dirancang oleh IIA untuk semua profesional manajemen risiko, tidak hanya bagi auditor internal saja.

Barang Yang Tertinggal

Tubuhnya diguncang keras oleh seseorang hingga terbangun. Seorang perempuan ber-make up tebal menyambut pandangannya saat membuka mata.

Kepalanya berat dan juga terasa sakit. Arki menyentuh pelipisnya dengan jemari, mendapati bagian yang sakit tersebut terluka dan berda rah. Susah payah mencoba bangkit dan duduk di sofa dan membenarkan celananya yang melorot.

“Mas, gak apa-apa, kan?” kata perempuan tadi dengan khawatir.

“Lo siapa?” tanya Arki yang tidak mengenalnya.

Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, melihat ruangan yang sama saat dia berkumpul untuk farewell party. Semua rekan kerjanya sudah tidak ada disana, sekarang dia bertelanjang dada dan terluka. Semua keadaan ini membingungkan.

“Aku yang di pesan Mas Arki buat temenin malam ini.”

“Temenin apa maksudnya? Dipesan gimana?”

“Loh ini Mas Arki yang pesan jasa saya diaplikasi, kan? Buat bobo bareng.” Perempuan itu mencoba memeluk Arki, tapi langsung ditepis dengan tegas oleh laki-laki tersebut.

“Gue gak pernah pesen cewek diaplikasi … Ah anjing! Pasti kerjaan Rio!” Arki tersadar bahwa ini semua pasti ulah Rio, temannya yang sangat tahu tentang rahasianya terkait hubungannya dengan perempuan. “Lo kapan ke sininya? Lo yang buka baju gue, ya? Mukul gue sampe terluka kayak gini juga lo, kan?” lanjut Arki memberedel banyak pertanyaan.

“Bukan kok. Pas aku kesini kamu udah kayak gitu. Sumpah! Aku baru dateng terus kaget lihat kamu terluka dan tiduran telanjang gitu.”

“Ya udah sana pergi! Bukan gue yang pesen jasa lo, itu temen gue yang iseng.”

“Bayar lah. Aku udah jauh-jauh kesini. Biarpun gak jadi pake, kamu harus tetap bayar uang pemesanan.”

Arki mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu, meskipun dengan wajah yang enggan. Tapi dia tidak ingin berdebat dan memperpanjang masalah.

Setelah perempuan itu pergi, Arki segera mencari ponselnya yang menghilang entah kemana. Sebuah benda tergeletak di lantai seketika menarik perhatiannya.

BH siapa nih?

Arki seketika terpaku sebelum meraih benda tersebut. Ketakutan berkumpul dikepalanya. Jangan-jangan dia sudah melakukan perbuatan tidak senonoh pada seseorang! Gawat!

Pasti lukanya dia dapatkan karena melakukan hal tersebut pada perempuan yang meninggalkan sehelai pakaiannya di sini. Arki menjambak rambutnya berusaha mengingat, tapi tidak ada satupun kenangan itu dimemorinya.

“Lo dimana, anjing?!” serang Arki di sambungan telepon pada Rio.

“Gimana cewek yang gue pesen, Bro? Ular sawah lo berdiri gak?” balasnya sambil terkekeh.

“T*i lo! Ngapain sih lo kayak gini? Pake cekokin gue minuman dan sewa cewe segala?!”

“Lah? Kan lo yang bilang kalau ular sawah lo gak bisa bangun. Gue bantu pesenin cewe hot jeletot biar ular sawah lo bisa jadi ular kobra. Jadi gimana testimoninya? Mantep gak?”

“Gue gak ngapa-ngapain sama dia, udah gue suruh pergi.”

“Lah gimana sih lo?”

“Ya menurut lo aja, Jing. Lo kira gue mau main sama cewek sembarangan? Kalau gue ketularan penyakit gimana?”

“Alah cupu!”

“Lagian gue telepon lo bukan mau ngomongin itu,” kata Arki menghela napas sejenak. Melihat ke benda yang digenggamnya. “Kayaknya gue ngelakuin sesuatu sama cewek gak dikenal. Pas gue dibangunin sama cewe yang lo pesen, gue udah setengah telanjang dan gue nemu BH dilantai,” lanjut Arki bercerita.

Rio terdiam sejenak, kemudian tertawa sejadinya beberapa detik kemudian. “Maksud lo apa, Ki? Lo habis main sama cewek, tapi lo gak inget sama siapa, gitu? Mungkin cewek yang gue pesen kali. Lo sampe gak inget gitu saking mantapnya,” ucap Rio masih tergelak.

“Bukan. Cewek yang lo pesen yang bangunin gue. Gue mungkin pingsan atau apalah, kepala gue dipukul sampe berda rah. Jangan-jangan gue habis ngelecehin pelayan yang masuk ke sini?”

“Lo dipukul?” ucap Rio kaget. “Kalau pelayan sih gak mungkin, Ki. Soalnya gue tambahin sewa ruangannya sampe jam tutup dan suruh pelayan gak masuk kesana sebelum sopir gue Pak Sobri jemput lo.”

“Lah terus siapa dong?”

Rio berpikir sejenak menganalisis kemungkinan-kemungkinan, “Jangan-jangan Gita?”

“Hah?”

“Iya. Tadi pas gue abis bikin lo tipsy, gue sama yang lain cabut. Gue kira si Gita juga udah pergi sama para cewek, ternyata dia diem di toilet lama dan balik lagi ke tempat lo buat ngambil tas.”

“Kalau beneran dia gimana dong, Bro?”

“Yaa … Lo harus tanggung jawab lah. Minta maaf kek atau apa gitu. Tapi pertanyaannya, lo sama dia udah sampe sejauh mana? Kok sampe BH-nya ketinggalan gitu? Apa dia udah bikin ular sawah lo bangun?”

“Lo kok bahasnya itu mulu sih? Cari solusi yang bagus gue harus ngapain.”

“Bukan gitu, kalau lo sama dia bisa turn on, artinya lo udah sembuh dong?”

“Gak tahu ah! Bodo amat soal itu!”

Sekarang selain kepalanya yang sakit karena pengaruh minuman dan pukulan, Arki juga semakin pusing karena memikirkan apa yang sudah dia lakukan. Dia sangat ketakutan, bagaimana jika benar dia telah melecehkan mantan teman kantornya sendiri. Besok dia harus menghubungi Gita dan meminta maaf tentang kejadian tadi.

...****************...

Sesampainya di rumah Mia, keluarganya sedang berkumpul di ruang tengah untuk menonton TV. Mereka semua menoleh saat melihat Gita datang dengan wajah sembab setelah menangis.

Ayah, ibu dan kakak perempuan Mia terlihat sangat khawatir dan memberikannya banyak pertanyaan. Tapi Gita tidak bisa mengatakan hal yang sebenarnya, dia begitu ketakutan karena kejadian yang baru saja dialaminya. Dia hanya meminta waktu dan beristirahat di kamar Mia, walaupun si penghuninya belum pulang bekerja.

Keluarga Mia sudah mengenalnya lama dan sudah menganggapnya seperti bagian dari keluarga. Setiap melarikan diri dari ibu tirinya, Gita selalu berlindung disini. Berada di tempat ini rasanya seperti berada dikeluarga yang sebenarnya, dibandingkan rumahnya sendiri. Ayah dan ibu Mia menyayanginya seperti kedua putrinya.

“Bapak bilang, lo tadi pulang sambil nangis-nangis. Kenapa, Git?” ucap Mia saat masuk ke kamar. Duduk dipinggiran ranjang.

Gita lantas bangkit dari kasur setelah mendengar kedatangan Mia dan memeluk sahabatnya itu sambil terus menangis, “Gue dilecehin cowok di tempat karaoke, Mi. Gue takut banget.”

“Hah? Sama siapa? Kok bisa? Kok lo gak bilang gue sih, Git? Kalau lo bilang gue, udah habis tuh tamu gue hajar. Tempat gue kerja juga pasti bakal laporin ke polisi kalau ada tamu yang berbuat asusila gitu.”

Gita menceritakan kejadin mengejutkan yang menimpanya. Hingga sekarang dia pun masih tidak percaya orang sebaik Arki melakukan hal tersebut padanya. Gita paham sebanarnya laki-laki itu sedang dalam pengaruh alkohol, tapi perilakunya tidak bisa dibenarkan sama sekali.

“Padahal tadi gue kagum banget liat cowok ganteng itu, ternyata akhlaknya rusak,” ucap Mia kesal mendengarkan cerita Gita. Dia tidak suka melihat sahabatnya diperlakukan demikian. “Besok gue minta si Anto buat kasihin rekaman CCTV di luar ruangan itu, buat barang bukti. Kita laporin aja tuh cowok ke polisi, biar kapok!” lanjut Mia memeluk dan menenangkan Gita yang masih menangis.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!