Sarah, berdiri di ambang pintu, menatap ruang teringat akan kehangatan yang tercipta saat masih bersama suaminya. Matanya mulai berkaca-kaca, dadanya terasa sesak.
"Kamu tega, Mas." Sarah berjalan ke delam kamar, kakinya terasa tak berpijak. Satu jam yang lalu ia resmi bercerai dengan Farhan, suaminya. Ia tak menyangka bahwa Farhan akan menceraikannya, beralasan bahwa selama ini dia tak mencintainya.
"Dua tahun kita bersama, setiap hari kamu ucapkan kata cinta padaku, mas," gumam Sarah. Sakit, amat teramat sakit. Selama dua tahun Farhan membohonginya, Sarah ingat betul ucapan Farhan yang terdengar tulus setelah menikahinya waktu itu.
"Aku akan membahagiakannya, karena aku juga mencintainya." Pengakuan Farhan di depan orang banyak setelah mereka resmi menjadi sepasang suami istri.
Sarah tersenyum saat mendengarnya. Pernikahan yang diawali perjodohan itu meyakininya bahwa ia dan suaminya saling mencintai. Sarah, berusia 23 tahun, terlahir dari keluarga sederhana tapi dipenuhi dengan rasa kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuanya. Apa pun yang diingikannya pasti dikabulkan oleh kedua orang tuanya. Hingga ia tumbuh menjadi gadis manja dan periang.
Setelah kedua orang tuanya meninggal, keluh kasahnya ia curahkan kepada Farhan, menjadi sandaran ternyamannya saat ia lemah, dan saat ia lelah. Tapi sekarang, Sarah tersadar. kini dirinya sendiri, merenungi semua yang telah terjadi dan ia merasa itu tak mungkin terjadi dalam hidupnya. Farhan yang selalu di sampingnya setiap hari membuat Sarah selalu merasa dicintai. Farhan menceraikannya karena suatu alasan yang begitu sulit ada dalam pikirannya.
Deraian air mata tak terhenti, ia tak ingin berpisah dengan suaminya. Namun, bisakah dirinya memutar waktu seperti dulu? Bahagia, tapi semuanya hilang tanpa sebab karena suaminya menghentikan perasaannya.
"Bila boleh aku jujur, aku tak ingin berpisah. Kamu kebahagiaanku." Ucap Sarah sembari menatap sebuah bingkai yang terpasang foto pernikahan mereka. Mengusap foto itu lalu menciumnya, merebahkan tubuh lalu meringkuk di atas ranjang sambil mendekap foto pernikahannya.
Menangis sesegukkan, ini terasa mimpi baginya hingga ia larut dalam tangisan. Matanya terasa sembab karena sejak tadi terus menangis.
Dengan sendirinya, Sarah tertidur dalam keadaan memeluk foto pernikahannya dua tahun silam.
* * *
"Sudah sore, kenapa bu Sarah belum juga keluar dari kamarnya, apa terjadi sesuatu dengannya?" kata seorang pembantu di rumah Sarah. Rumah yang ditinggali selama pernikahannya. Farhan membeli rumah itu atas nama Sarah, Farhan menjadi suami yang bertanggung jawab selama ini. Memberinya nafkah lahir batin, tak luput sedikit pun perhatian yang diberikan kepada Sarah.
Itu mengapa, Sarah masih tak percaya akan perpisahan itu. Selama ini pernikahannya baik-baik saja. Pernah sekali ia memperegoki suaminya bersama Nadia. Nadia adalah teman Farhan sejak dulu, sebelum Sarah kenal dengan suaminya. Di kantor, saat ia mengantarkan bekal untuk Farhan.
"Kejutan," ucap Sarah tiba-tiba masuk ke dalam ruangan suaminya. Wajah sumringah itu menghilang saat melihat tangan suaminya tengah digenggam oleh Nadia. Namun, saat itu juga Farhan menjelaskannya kepada Sarah.
"Nadia hanya meminta tanda tanganku," jelas Farhan, Farhan tahu bagaimana sikap Sarah selama ini. Cemburu, posesif, dan selalu curiga. Itu sebab kenapa Farhan tidak nyaman bersama istrinya. Sarah yang terlalu begitu mencintai suaminya, takut akan kehilangan. Kini, rasa ketakutan itu terjadi.
"Mas Farhan ..." Teriak Sarah sambil membuka mata. Mimpi buruk yang selalu menghantuinya kini terbukti, kehilangan orang yang kita cintai ternyata begitu menyayat hati. Seegoisnya Sarah, setelah ia tahu bagaimana perasaan suaminya kini ia bisa mengikhlaskannya.
Mencintai dengan keterpaksaan akan semakin membuatnya terluka, ia bisa memahami di posisi Farhan saat ini. Sarah juga tidak menyalahkan akan hadirnya orang ketiga yang menyebabkan kehancuran rumah tangganya. Ia sadar bahwa dirinya egois, sadar akan sikap cemburunya yang terlalu berlebihan. Mungkin itu faktor kenapa Farhan memilihnya untuk berpisah, pikir Sarah.
"Mas Farhan," lirih Sarah. Andai, waktu bisa diputar kembali, ia tak ingin usai. Tetaplah menjadi bagian dalam hidupnya, penyemangatnya.
Tok tok tok ...
Ketukan pintu mengalihkan lamunan Sarah.
"Bu, Ibu tidak apa-apa? Ini sudah sore. Ibu minta dibangunkan pas ashar bukan?" ucap seseorang di balik pintu.
Sarah tak menjawab, dirinya langsung beranjak. Meletakan foto yang ia peluk sejak tadi di atas meja nakas, lalu menuju ke arah pintu. Mata sembab yang tak bisa disembunyikan itu terlihat jelas oleh seorang wanita paruh baya yang bernama bi Ami. Seorang asisten rumah tangga yang sudah mengabdi belasan tahun di rumah orang tua Farhan.
Farhan mengajak bi Ami tinggal bersamanya, ia tahu bahwa Sarah tak bisa melakukan pekerjaan rumah. Ia juga tidak menuntut Sarah untuk bisa melakukan semuanya. Selama berumah tangga, mereka menjalani sebuah keluarga yang terbilang cukup harmonis. Kedustaan Farhan berhasil membohongi istrinya. Lambat laun, Farhan tak bisa membohongi diri.
Sikap Sarah yang berlebihan membuatnya merasa tidak nyaman.
"Ibu, baik-baik saja 'kan?" tanya bi Ami yang khawatir.
"Ya, aku baik-baik saja, Bi. Apa mas Farhan sudah ke sini?" tanya Sarah kemudian.
"Belum," jawab bi Ami.
"Kata dia mau ke sini karena mau mengambil barang-barang yang tersisa," jelas Sarah. Sebelum perceraian, Farhan memang sudah tidak tinggal bersama selama satu minggu. Hingga akhirnya, surat gugatan cerai dan surat panggilan untuk Sarah pun datang.
Sarah sempat shock saat mendapati surat panggilan itu. Meski kini telah berpisah, Farhan masih memberikan uang bulanan untuk Sarah. Sarah hanya seorang ibu rumah tangga yang menggantungkan hidupnya kepada suaminya. Karena sejak masih gadis, orang tuanya tak mengizinkan Sarah bekerja. Sampai akhirnya, kedua orang tuanya menjodohkannya kepada anak sahabatnya yaitu, Farhan.
Bi Ami dapat melihat kesedihan dan keterpukulan majikannya, wanita manja itu tak bisa jauh dari suaminya. "Ada yang Ibu butuhkan?" tanya bi Ami.
"Tidak, kalau pun ada apa-apa aku bisa sendiri, Bi. Sudah tidak ada yang memanjakanku saat ini, Bibi tidak perlu khawatir. Aku harus mandiri dari mulai sekarang, itu yang diinginkan mas Farhan 'kan? Memiliki seorang istri yang bisa melakukan apa saja," jawab Sarah. Meski Farhan tak menuntut, tapi ia pernah mendengar keluhan suaminya.
Lagi-lagi, Sarah teringat kenapa suaminya menceraikannya. "Maaf, sepertinya aku akan terlambat. Asisten rumah tanggaku sedang cuti, kamu taukan kalau istriku tidak bisa ngapa-ngapain," kata Farhan diujung sambungan telepon. Percakapan itu terhenti saat Sarah datang.
"Aku bantu, Mas. Kamu lagi buat kopi 'kan?" Sarah berinisiatif membantu. Pendengarannya cukup kuat saat mendengar percakapan suaminya. Saat menuangkan air panas ke dalam cangkir, air panas itu malah mengenai kulitnya.
"Aduh," pekik Sarah yang tersiram air panas. Tangan melepuh dan itu semakin membuat Farhan kesiangan. Wajah kesal Farhan tak dapat disembunyikan, meski kemarahan itu tidak ditunjukkan tapi Sarah menyadarinya.
Sarah menangis, menangis bukan karena rasa perih di tangan. Melainkan wajah kusut Farhan yang terlihat kesal kepadanya. Itu awal di mana Sarah tahu tentang sikap suaminya yang selama ini disembunyikannya.
"Lain kali hati-hati, ucap Farhan pelan tapi dengan nada kesal.
Sarah berjongkok lalu menelusupkan wajahnya dikedua telapak tangan, wanita yang kini sudah resmi menyandang status janda itu menangis sesegukkan.
"Bu," lirih bi Ami.
Sarah pun bangkit lalu menghapus air mata yang membasahi pipi. Sarah dan bi Ami menoleh ke arah jendela saat mereka mendengar suara deruman mobil.
"Itu pasti bapak," ucap bi Ami.
Tidak ingin terlihat berantakan, Sarah merapikan rambut lalu kembali menghapus sisa air mata di pipi. Ia tak boleh terlihat kacau, sesakit apa pun Farhan tidak boleh tahu.
"Bu, saya temui, bapak dulu," kata bi Ami pamit.
Sarah tak menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, ini pertama kali mereka kembali bertemu dalam keadaan status yang berbeda. Farhan pun masuk dan bertemu Sarah di dalam.
"Aku mau ambil barang-barang," ucap Farhan.
Sarah hanya mengangguk dan melihat kepergian suaminya yang menuju ke ruang kerjanya. Sarah mengintip dari balik pintu, tak terasa air matanya terjatuh. Sarah menyembunyikan kesedihan itu dari Farhan. Untuk pertama kalinya ia menahan egoisnya. Namun, bagaimana kalau ia tidak baik-baik saja tanpa Farhan?
Sarah benci pertemuan bila akhirnya harus berpisah. Keputusan untuk berpisah, Farhan-lah yang terutama menginginkannya. "Kamu pasti akan baik-baik saja tanpaku, Mas," lirih Sarah di balik pintu.
Farhan selesai mengemas semua barang-barang tanpa tersisa. Pria itu menyeret sebuah koper dan melewati tubuh Sarah begitu saja. Farhan pergi tanpa pesan apa pun kepada mantan istrinya itu.
***
"Selamat tinggal, Mas. Semoga kamu bahagia tanpaku," lirih Sarah mengintip kepergian mantan suaminya dari kaca jendela.
Sarah masuk ke dalam kamar, dan bi Ami melihat majikannya. Bi Ami tak bisa membayangkan bila ini berada diposisinya. Seorang istri yang begitu mencintai suaminya, dan sekarang mengkihlaskan semuanya.
Satu minggu berlalu.
Keseharian Sarah hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar, entah apa saja yang dilakukan wanita itu? Bi Ami pun tak berani menegur, ia hanya memanggil bila waktu makan tiba. Sarah tidak tahu harus bagaimana. Namun, ia tak bisa seperti ini terus karena ia tak mungkin mengandalkan hidupnya kepada mantan suaminya itu.
Karena sudah waktunya makan, bi Ami pun memanggil Sarah.
"Bu, sudah waktunya makan malam," kata bi Ami sembari mengetuk pintu. Lalu, Sarah pun keluar. Wajahnya sangat pucat.
"Bu, Ibu sakit? Ibu pucat sekali." Bi Ami terlihat sangat khawatir.
"Kepalaku pusing, Bi." Sarah menyentuh kepalanya yang terasa berat. Sarah pun akhirnya jatuh pingsan tepat di ambang pintu.
"Bu, Bu ..." Bi Ami semakin panik, lalu ia berlari ke depan rumah untuk meminta bantuan kepada supir.
***
Sarah berada di rumah sakit ditemani oleh bi Ami.
"Jadi saya sakit apa, Dok?" tanya Sarah setelah sadar.
"Ibu tidak sakit, Ibu hamil," jawab dokter.
Sarah melempar pandang pada bi Ami. Bi hanya tersenyum karena ini kabar bahagia.
"Ha-hamil, Dok?" tanya Sarah.
"Iya, kandungan Ibu berusia 3 minggu. Banyak istirahat dan jangan banyak pikiran ya, Bu. Saya beri resep obat." Dokter mencatat obat itu lalu diberikan kepada Sarah.
Setelah selesai Sarah pun pulang.
Tersirat kebehagiaan karena dirinya hamil, itu artinya ia bisa kembali kepada Farhan. Karena sejujurnya Sarah tidak ingin berpisah. Namun, ia malah terlihat melamun dan bersandar di jendela mobil.
"Bu, kata dokter Ibu tidak boleh banyak pikiran. Pak Farhan pasti senang mendengar kabar ini," ucap bi Ami.
"Bagaimana kalau mas Farhan tidak suka dengan kabar ini, Bi?" tanya Sarah bingung.
"Hus ... Tidak boleh berpikir seperti itu, bapak pasti senang dan Bibi yakin kalau kalian pasti kembali bersama karena ada ikatan kuat." Bi Ami terus meyakinkan Sarah agar hatinya tenang.
***
Keesokan paginya.
Sarah bercermin sambil memoles wajahnya. Sarah berniat menemui Farhan, ia akan ke kantor untuk memberikan kabar secara langsung kepada mantan suaminya itu. Berharap, kabar ini akan membuatnya bahagia dan kembali rujuk.
"Bi, aku pergi dulu," ucap Sarah pamit kepada bi Ami.
"Ya, Bu. Hati-hati," jawab bi Ami.
Sarah pergi bersama supir. Farhan benar-benar masih menapkahi Sarah meski mereka sudah berpisah. Sarah pun sampai di kantor Farhan. Ia tersenyum melihat gedung tinggi itu. Namun, saat Sarah akan turun dari mobil ia melihat mobil mantan suaminya baru sampai. Sarah semakin tidak sabar untuk mengatakan tentang kehamilannya.
Farhan turun dari mobil, tapi detik itu juga seorang wanita turun menyusul Farhan. Sarah kenal betul siapa wanita itu.
"Nadia," gumam Sarah. Akhirnya Sarah pun turun dari mobil. Farhan dan Nadia melihat keberadaan Sarah di sana. Tak ada sapaan dari siapa pun. Bahkan Farhan sangat terkejut saat melihat mantan istrinya berada di kantornya.
"Ayo, Han. Nanti kita telat," ajak Nadia. Nadia tidak suka akan keberadaan Sarah di sana. "Ayo, cepat. Nanti kita terlambat," ujarnya lagi.
"Kamu duluan saja," jawab Farhan. Ia menghampiri Sarah yang berdiri di dekat mobil. "Ada apa kamu kemari?" tanya Farhan pada Sarah.
"Tidak ada apa-apa, hanya berkunjung saja," jawabnya. Melihat kedekatan Farhan dan Nadia membuat Sarah mengurungkan niatnya tentang kehamilannya. Ia takut Farhan tidak suka mengenai hal ini. Meski pun bersama nantinya hanya akan menyakiti diri masing-masing. Tidak ada lagi cinta dari Farhan untuknya.
"Maaf mengganggu waktumu, aku pamit." Sarah pun langsung masuk ke dalam mobil. "Jalan, Pak."
Sementara Farhan masih berdiri melihat kepergian mantan istrinya. Sarah terlihat berbeda di matanya, sikapnya sangat berubah. Sarah akan marah jika melihatnya bersama wanita lain, tapi sekarang?
Ini yang diinginkan Farhan, tapi melihat ekspresi Sarah yang tidak biasa membuatnya sedikit heran. "Apa Sarah sudah bisa terima ini?" ucap Farhan. Ia tahu kalau sebenarnya Sarah tidak ingin berpisah, ia juga tahu bagaimana perasaan Sarah yang sangat mencintainya.
"Kamu sudah bahagia, kamu bahagia tanpaku. Aku akan pergi, mas. Pergi dari kehidupanmu." Ucap Sarah sembari mengusap perutnya.
***
Satu bulan berlalu.
"Berapa tagihan kartu yang dipegang Sarah?" tanya Farhan pada asistennya yang bernama Bayu.
"Belum dicek," jawab Bayu. Hampir Bayu lupa karena memang tidak ada notif dari kartu yang dipegang oleh mantan istri dari bosnya itu.
Farhan hanya ingin tahu, apa kebiasaan Sarah masih sama seperti dulu? Sering menghabiskan uang membeli barang yang tidak penting. Hampir satu bulan ia tak bertemu dengan mantan istrinya itu, terakhir bertemu sewaktu di depan kantor.
"Bagaimana? Berapa total tagihannya?" tanya Farhan lagi.
Bayu menggelengkan kepala. "Apa maksudmu geleng-geleng kepala?" tanya Farhan.
"Tidak ada tagihan dari kartu itu," jawab Bayu.
Farhan mengerutkan kening bingung. Kenapa tidak ada tagihan? Apa Sarah tidak menggunakan kartu yang ia berikan? Lalu, dari mana biaya hidup mantan istrinya itu?
"Apa perlu aku menemuinya dan memastikannya?"
Di sebuah desa terpencil, seorang wanita tengah memegang perutnya sambil terus menerus mengeluarkan isi dalam perutnya.
"Bu, minum air hangatnya dulu," ujar bi Ami.
Sarah pergi dari kota dan kini tinggal di desa bersama bi Ami. Tanah kelahiran wanita tua itu, bi Ami tidak tega membiarkan Sarah hidup seorang diri. Bahkan dalam keadaan hamil yang tanpa suami. Kehadiran mereka di sana malah menjadi bahan gosip.
Ketiadaan seorang suami membuat orang mengira wanita itu hamil di luar nikah. Karena sudah lama meninggalkan desa membuat warga mengira wanita hamil itu adalah saudara bi Ami. Namun, Sarah tidak peduli apa kata orang. Biarkan mereka mau beranggapan apa padanya karena ia hidup tak minta makan kepada mereka.
Sayangnya, kehamilan ini membuat Sarah harus beristirahat total. Ia hidup sederhana bersama pembantunya yang kini ia anggap orang tuanya.
"Bi, maafkan aku selalu merepotkanmu." Sarah membasuh mulutnya membersihkan dari sisa muntahan.
"Tidak apa-apa, Ibu sudah Bibi anggap anak Bibi sendiri." Sudah tidak segan lagi dengan kedekatan mereka, selama dua tahun Sarah mengenal sosok bi Ami.
"Jangan panggil Ibu lagi, aku sudah tidak bisa menggajimu, Bi. Yang ada aku malah merepotkanmu."
"Minum ini dan habiskan, Bibi mau ke kebun dulu." Memiliki satu petak tanahdi kampung ia jadikan lahan pekerjaan untuk menghidupi mereka.
"Nanti aku nyusul kalau sudah baikan."
Sarah akan muntah-muntah disetiap pagi, meski kata bidan di sana ia harus banyak istirahat. Keadaan yang membuatnya harus melakukannya, ia tidak boleh terus menerus larut dalam kesedihan. Hidupnya harus terus berjalan seiringnya berjalannya waktu.
Setelah merasa baikkan, Sarah pun menyusul bi Ami yang tengah bercocok tanam. Ia juga membawa bekal untuk makan siang bersama. Sendau gurau di antara mereka kerap terjadi. Bi Ami yang melihat tersenyum dengan perubahan majikannya itu. Tak ada lagi sosok manja dalam diri Sarah, perpisahan itu ternyata mengubah semuanya.
"Di sini lebih enak dari pada di kota, Bi. Udaranya juga sejuk." Sarah menghirup udara segar di sana, pohon-pohon pun bergoyang karena diterpa angin.
Lalu, apa kabarnya dengan Farhan, mantan suami Sarah?
Pria itu datang ke rumah mantan istrinya, melihat keadaan sekitar yang nampak sepi tak berpenghuni. Tidak ada penjaga di sana, tapi mobil masih terparkir di halaman rumah. Mobil yang terlihat dipenuhi dengan debu halus.
Lelaki itu putuskan untuk keluar dari mobilnya, lalu bertanya pada seseorang yang lewat. Menanyakan keberadaan Sarah. Sayangnya, orang itu orang baru sehingga tidak dapat menjawab pertanyaannya.
"Lalu ke mana mereka?" Saat ia akan melangkah, tiba-tiba ponselnya berdering. Nadia menghubunginya karena ada meeting mengenai perencanaan perusahaan garment. Membuat cabang baru untuk memperluas lapangan kerja.
Lelaki itu pun kembali masuk dan melajukann mobilnya.
***
"Dari mana saja? Kamu pasti belum sarapan, aku bawakan sarapan kesukaanmu." Nadia menyiapkan sarapan untuk Farhan, selepas masa itu, ia menggantikan posisi Sarah karena itu memang tujuannya sejak awal, menyingkirkan wanita itu dari hidup Farhan.
Tapi sayangnya, Farhan hanya menganggap Nadia teman. Seberapa pun gadis itu mendekatinya dengan perhatian lebih yang tak bisa didapat dari mantan istrinya, tapi tetap saja tidak sedikit pun ia tertarik.
Namun, Nadia tidak henti memberi perhatian. Ia sudah berhasil membuat Farhan bercerai dengan istrinya. Sering kali ia menjatuhkan kelemahan Sarah, sehingga lambat laun Farhan jenuh sendiri dengan sikap istrinya yang memang benar begitu adanya.
Farhan malah kepikiran mantan istrinya, kenapa wanita itu tidak menggunakan kartu yang ia berikan?
"Kamu kenapa sih, dari tadi aku perhatiin melamun terus. Kurang enak badan? Mau aku pijat?"
"Tidak, aku hanya ..." Ucapan Farhan terputus kala Bayu datang menghampirinya.
"Meeting akan segera dimulai," kata Bayu.
Farhan pun pergi menuju ruang meeting. Nadia dan Bayu mengekor dari belakang. Selama meeting, Farhan tidak konsen. Wajah Sarah yang selalu muncul dalam benaknya. Tapi, ia mencoba menepisnya untuk tidak lagi mengingatnya. Cerai adalah keputusannya, bukankah ini yang ia mau. Hidup tanpa sosok wanita manja bersamanya.
Tapi kenapa? Disaat melupakannya malah wajah itu selalu muncul. Menyesalkah dengan perceraian ini? Farhan menyibukkan diri dengan bekerja dan terus bekerja. Hingga pada akhirnya, ia sendiri pun terjun langsung melihat kondisi lahan yang akan dibangun sebuah gedung garment. Bahkan selebaran lowongan pekerjaan sudah dibuat untuk mencari pekerja di perusahaan barunya.
Di sebuah desa itu yang tepatnya di kota Bandung, Sarah dan bi Ami pulang ke rumah. Kucuran keringat membasahi tubuh, walau dengan kesederhanaan Sarah bahagia karena sikap tulus bi Ami yang membuatnya merasa nyaman. Tanpa kepalsuan di dalamnya. Keseharian yang tak bisa ia dapatkan sebelumnya.
Kebiasaan baru Sarah membuatnya lebih tenang dan mampu melupakan apa yang sudah terjadi padanya. Sebuah kenyataan pahit yang harus ia telan.
Di luar, nampak terdengar para tetangga yang bergosip. Akan dibangunnya sebuah pabrik di sana membuat para warga senang.
"Ada apa, Bi? Di luar ramai sekali?" tanya Sarah yang baru selesai mandi.
"Bibi dengar akan ada pembangunan pabrik di sini, tidak akan lama lagi," jawab bi Ami.
Sarah tersenyum, jika ada pabrik yang akan dibangun itu artinya ada lowongan pekerjaan. Semoga setelah melahirkan nanti ia dapat bekerja di sana. Melihat kondisi bi Ami yang seharunya sudah beristirahat dan tidak cape-cape pagi bekerja. Ini saatnya ia membalas budi kebaikan wanita tua itu.
"Bi, nanti Bibi jagain anak-ku saja. Biar aku yang kerja," kata Sarah.
"Iya, kita saling bantu saja ya. Biar Bibi jaga anakmu, kamu tidak usah khawatir, kamu tidak sendiri. Ada Bibi yang selalu bersamamu."
"Terima kasih, Bi. Hanya Bibi yang aku punya." Kedua wanita itu saling berpelukkan.
Hari-hari, Sarah mulai terbiasa dengan hidupnya. Ia tidak mendengarkan apa kata orang di luar sana tentangnya. Dan sekarang, kehamilannya sudah mulai membesar.
"Mang, jangan terlalu dekat. Nanti kebawa sial," ujar wanita yang tengah membeli sayur secara bersamaan dengan Sarah.
Rasanya ingin sekali Sarah menyumpel mulut wanita itu. Yang Sarah lakukan hanya mengelus perut sambil berkata. "Amit-amit," ucapnya kencang.
Tukang sayur itu tidak banyak bercakap, karena sudah tahu mengenai Sarah dari bi Ami langganannya juga. Setelah berbelanja, Sarah segera masuk ke dalam rumah. Dengan kesal ia meletakkan bahan sayuran yang baru saja dibeli. Sambil mulutnya komat-kamit karena kesal.
"Ada apa? Pulang-pulang kok marah-marah," kata bi Ami.
"Amit-amit, punya tetangga mulutnya kaya mercon. Perasaan aku tidak pernah usil pada mereka," jawab Sarah.
"Biarkan saja mereka mau mgomong apa, yang jelas kita tidak seperti itu. Oh iya, tidak lama lagi anakmu lahir kita belum ada persiapan. Siang ini kita ke pasar ya beli perlengkapan bayi."
"Makasih, Bi. Aku tidak mungkin melupakan jasa-mu. Bila nanti saatnya, aku akan mengganti semuanya lebih dari ini. Aku menyayangimu." Sarah mencium pipi yang mulai keriput itu.
***
Sarah dan bi Ami ke pasar menggunakan kendaraan umum, ia melihat gedung yang tengah di bangun.
"Bi, inikah garment yang membutuhkan pekerja itu?" tanya Sarah.
"Iya," jawab bi Ami.
"Letaknya tidak terlalu jauh, kalau menyusui pun aku bisa pulang dulu."
Tibalah mereka di pasar, membeli peralatan bayi yang tidak lama lagi akan lahir. Setelah itu mereka pun segera pulang. Pada saat melintas bangunan garment itu, bi Ami melihat sebuah mobil masuk ke dalam area pembangunan itu. Sebuah mobil yang setiap hari ia lihat di rumah majikannya kala itu. Tapi dengan cepat bi Ami menepis pikirannya. Mobil seperti banyak, itu tidak mungkin mantan majikannya.
"Kenapa, Bi?" tanya Sarah.
"Tidak apa-apa, Bibi tidak sabar menantikan cucu. Dia perempuan apa laki-laki ya?" Bi Ami mengalihkan pertanyaan.
"Mau perempuan atau laki-laki sama saja, Bi. Dia anak pertamaku, aku menerimanya dengan hati bahagia."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!