Carlo mematikan komputernya, membereskan barang serta mengemas tasnya, pekerjaanya hari itu sudah selesai.
Tinggal ia pulang dan mengistirahatkan diri sembari bermain video game, teman yang paling setia dengannya, di luar kekasihnya Chaterine yang saat ini tengah terlibat konflik dengannya.
Masalah kecil yang mungkin nanti akan selesai dengan sendirinya, biasa wanita selalu begitu mencari masalah.
Begitu sampai di luar gedung kantornya, Carlo menunggu bus di sebuah halte sembari menyesap segelas kopi yang dibelinya dari Vending Machine.
Ia merasa tubuhnya cukup lelah, tulang dan sendinya terasa kaku, padahal ia hanya bekerja sekitar enam jam.
Ketika berada di sana, ia melihat air kopi di gelasnya sedikit berguncang karena sebuah getaran, Carlo melihat sekeliling tak ada mesin berat di dekatnya. Lalu guncangan itu terasa lagi, dan kini semakin besar.
Gempa. Carlo tersadar, keluar dari halte itu untuk mencari tempat lapang.
Ketika ia berlari gempa semakin mengguncang, semua orang riuh dan berhamburan di jalanan, gedung dan rumah-rumah yang ada di sekeliling sana berguncang hebat.
Lalu tanpa sadar gedung di samping Carlo perlahan rubuh, ia berusaha menjauh dari sana, tetapi terlambat.
“Sakit.” Carlo mengeluh saat ia mulai tersadar dengan tubuh yang tertimpa bangunan gedung.
Carlo merasakan tak ada lagi guncangan gempa, mungkin ia tak sadarkan diri untuk sesaat tadi setelah tertimpa bangunan itu.
Carlo merasakan tubuhnya tak bisa digerakan, kaki dan tangannya tertimpa puing-puing, satu-satunya yang baginya masih berfungsi hanya otak dan mulutnya.
Matanya pun terasa sudah remang-remang mencoba melihat sekeliling, tapi tak ada apapun. Telinganya tak lagi bisa mendengar.
Saat itu Carlo merasa diambang kematian, nafasnya sudah mulai susah dan pikirannya mulai kacau.
Jika memang sudah waktunya ia mati, semoga ia masuk surga meskipun ia tak pernah berdoa ataupun ke gereja, bahkan seingatnya ia tak bertuhan.
Tetapi jika tidak ia berharap bisa melanjutkan level selanjutnya dari video game yang ia mainkan. Hanya itu yang ia inginkan.
Beberapa saat kemudian Carlo kembali membuka matanya, bukan lagi tumpukan puing-puing yang di dekatnya, tetapi cahaya yang cukup silau, terang dan hampir menusuk matanya.
Apa ini di surga? Batin Carlo bertanya-tanya. Matanya mengitari sekeliling, tak ada apapun di sana, hanya ruangan yang kesemuanya berwarna putih dan terang.
Jika ia berada di surga seharusnya ia kini berada di taman yang indah, bukan? Seperti yang selama ini ia dengar.
Atau, karena ia tak percaya Tuhan ia diletakkan di tempat seperti itu.
Pikiran Carlo berkecamuk, hingga ia menyadari saat berada di sana bahwa ia tanpa selembar pakaian pun, Carlo mencoba menutupi tubuh bugilnya.
“Tak ada orang yang akan melihatmu tanpa pakaian di sini,” ujar sebuah suara dari balik cahaya yang mendekati Carlo.
Carlo terdiam sesaat mencoba mengamati, tetapi tak tahu apa itu.
“Siapa kau? Dan di mana aku?” tanya Carlo kemudian, karena rasa penasarannya sudah memuncak.
“Kau Carlo dan kau di sini, di dunia yang kusebut transisi.”
“Apa ini tempat peradilan, lalu apa kau Tuhan?”
“Tempat apa itu? Aku tak mengenal konsep begitu, aku hanya sebuah entitas yang ada karena ada.”
Carlo mencoba mencerna ucapan makluk yang mengakui sebagai entitas itu padanya.
Sesaat Carlo berpikir bahwa ini kejutan atau jebakan untuknya, tetapi tidak mungkin karena terakhir kali yang ia ingat ia terkena reruntuhan gedung akibat gempa. Memang seharusnya saat ini ia mati.
“Lalu aku di mana? Jangan buat aku pusing.” Carlo mengatakan hal itu dengan sedikit emosi.
“Kau sudah mati saja masih bisa emosi, ya ... Begini, akan aku ceritakan detailnya,” kata entitas itu. “Kau ini sudah mati dan kau tak akan hidup kembali ke duniamu sebagai Carlo. Paham?”
Carlo mengangguk mengerti apa yang dikatakan entitas itu. Namun, bukan itu yang ia ingin tahu.
“Maksudnya aku ini di mana? Kenapa aku bisa di sini? Apa yang aku lakukan di sini?” Kemudian ada banyak sekali pertanyaan yang Carlo utarakan yang ingin ia tahu.
“Manusia terlalu banyak ingin tahu. Tarik napas dulu dan tenangkan diri.” Carlo mencoba menarik napas, tapi tak bisa karena ia sudah mati.
“Aku ini sebuah entitas yang tak banyak orang bisa bertemu denganku, kecuali orang itu terpilih dan kau salah satunya.”
“Salah satunya? Apa ada yang lain?”
“Ada, dan mereka tak banyak bertanya sepertimu. Karena kau sudah terpilih kau akan hidup kembali di dunia lain, aku suka menyebutnya reinkarnasi dan aku memberikanmu permintaan.”
“Permintaan? Seperti Jin dari lampu ajaib begitu?”
“Apapun itu, tetapi aku apa yang sudah aku kabulkan apa jauh dari pola pikirmu tentang permintaan itu.”
Carlo memikirkan apa yang dikatakan entitas itu, semuanya nampak mustahil, tetapi apa yang di depannya saat ini begitu nyata. Gempa tadi, dunia ini dan juga entitas itu.
“Kalau benar aku bisa hidup lagi meskipun di dunia lain, aku ingin di dunia baruku aku memiliki sebuah sistem yang mahakuasa, di mana aku memiliki kekuatan yang sangat besar.”
Carlo mengucapkan permintaannya itu dengan sadar, jika memang entitas itu bisa mengabulkannya berarti ia memang pemilik dunia yang Carlo tempati saat ini.
“Terdengar maruk, tetapi baiklah. Sekarang kau tutup matamu, hitung mundur dari angka lima, setelah itu bukalah.”
Sembari Carlo menutup matanya, entitas itu mengabulkan permintaan Carlo dan dirinya dianugerahi sistem pemburu penyihir. Lalu Carlo bereinkarnasi di sebuah dunia pedang dan sihir.
Dan satu.
Carlo selesai menghitung mundur, ia membuka matanya, kini tempat itu berbeda lagi. Sebuah kamar dengan langit-langit, Carlo bisa mengatur nafasnya sekarang. Benar ternyata ia hidup kembali.
Lalu Carlo memperhatikan dirinya, disibaknya selimut yang ada di atas tubuhnya. Badannya berubah menjadi anak kecil, begitu juga dengan tangan dan seluruh tubuhnya, termasuk isi di dalamnya.
Carlo bangkit dari tidurnya dan duduk, tak jauh dari sana ada kaca cermin yang langsung menampakkan wajahnya yang berubah.
Carlo memegang kedua pipinya sembari terkejut, ia benar bereinkarnasi ternyata dan kini menjadi anak kecil yang mungkin berusia sekitar 15 tahun.
Ia tersenyum, memang tak masuk akal, tetapi itu terjadi padanya. Rasa bahagianya tak berlangsung lama saat ia mendengar sebuah suara berisik, dengan spontan ia langsung melihat sumber suara.
Seorang gadis menjatuhkan ember yang berisi air dan kain di ambang pintu, air itu menggenang begitu saja di lantai. Kemudian gadis itu berteriak dengan kencang.
“Ayah! Ibu!” teriaknya, sedangkan Carlo bingung melihatnya, gadis itu melanjutkan teriakannya. “Carlo bangun!”
Tak lama setelah teriakan itu seorang laki-laki dan perempuan masuk ke kamar, menerjang tubuh Carlo dan memeluknya dengan sangat erat. Keduanya menangis terharu melihat Carlo.
Setelah adegan tangisan itu berhenti untuk waktu yang cukup lama, gadis tadi yang menyebutkan dirinya sendiri sebagai Carmen mengatakan bahwa Carlo sudah koma beberapa tahun terakhir akibat sakit yang dideritanya.
Banyak dokter yang mengatakan Carlo pasti akan mati, tetapi nyatanya ia masih hidup.
Carlo kemudian tahu bahwa ia bereinkarnasi menjadi anak dari keluarga Alfonso, meskipun ia terlahir kembali, tetapi ia tak pernah lupa pikirannya tentang dunia sebelumnya.
Carlo sempat berpikir bahwa ia sedang bermain VR yang pernah dipinjamnya dari seorang teman, tetapi nyatanya ia salah.
Carlo tak sedang berada di rumah sambil memegang stik VR. Apa yang terjadi dalam hidupnya saat ini benar nyatanya, ia memang terlahir kembali di sebuah dunia aneh yang begitu fantasi menurutnya.
Sudah beberapa waktu berselang setelah ia terbangun menjadi Carlo Alfonso, hidupnya begitu tenang, tak ada pekerjaan yang mengganggunya, bos yang cerewet padanya dan kekasihnya yang kadang membuat kesal.
Ia hanya terus bermain setiap hari, berkeliling dan berjalan-jalan di setiap tempat.
Keluarganya juga begitu harmonis dan lengkap, ada ayah dan juga ibu, tak seperti keluarganya di dunia sebelumnya yang hanya tinggal sang ibu saja.
Karena ayahnya sudah meninggal sejak dirinya masih keci, begitu kata ibunya.
Selain itu ada kakak perempuannya bernama Carmen. Menurut orang tua barunya Carlo dan Carmen kembar.
Tetapi rasanya Carlo tak melihat kemiripan di antara dirinya dan Carmen. Mungkin mereka kembar dalam kurun waktu yang lebih lama.
"Apa yang kau lakukan di bawah sini?" tanya Carmen saat melihat Carlon duduk di bawah sebuah pohon, tak jauh dari rumah mereka.
"Menikmati udara hangat musim semi," jawab Carlo.
"Kau tahu, semenjak bangun dari koma kau terlihat aneh." Carmen menatap Carlon.
Kini pandangan keduanya bertemu. Akhirnya ada orang yang berpikir bahwa ia aneh.
Semua orang juga pasti akan merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam tubuhnya setelah Carlo bangun dari koma yang katanya sudah beberapa tahun lamanya.
Carlo tak pasti tahu apa penyakit yang dideritanya, yang pasti ia anak yang sering sakit-sakitan dan mengakibatkan ia koma.
Dokter mengatakan kemungkinan ia sembuh adalah minus dua persen, yang berarti tak akan ada harapan hidup kembali.
Namun, orang tuanya yang ternyata ahli sihir memiliki alat sihir yang membuat Carlo tetap hidup meskipun tanpa jiwa nantinya.
Berarti memang sebenarnya mereka tahu bahwa kemungkinan terbesar Carlo sendiri sudah mati.
"Aneh bagian mananya?" tanya Carlo kemudian berlagak bodoh. Padahal ia tahu maksud Carmen.
"Carlo yang kami kenal adalah anak kecil keceng yang dengan bulu kucing saja bisa alergi, tetapi kau bermain dengan Lugi (kucing peliharaan Carmen).”
“Seolah alergi itu hilang begitu saja. Kau membantu mencari persediaan kayu bakar di hutan dan mengalahkan goblin dengan tangan kosong," papar Carmen mengingat apa yang terjadi pada Carlo setelah ia bangun dari komanya.
“Kau bukan Carlo, kan?”
Carmen kini menatap Carlo dengan intens, tatapannya tajam yang membuat Carlo hanya bisa menelan salivanya.
Carlo kemudian berpikir, apa jika mengatakan yang sesungguhnya bahwa dirinya memang bukan adik Carmen itu melanggar reinkarnasinya?
"Kau berlebihan, aku merasa aku baik-baik saja. Mungkin alat sihir yang menjagaku selama koma menyembuhkan penyakitku." Carlo menjawab asal dengan semua kecurigaan itu.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa setelah bangun koma ia menjadi lebih kuat, ia mengalahkan makhluk berwarna hijau yang bernama goblin di hutan tak jauh dari tempatnya.
Dulu ia pernah belajar beladiri dan ia ingat beberapa trik menjatuhkan lawan, meskipun tubuhnya tak sekuat pria berusia 30 tahun.
Jika masalah kucing, ia tinggal di apartemennya dengan seekor kucing berwarna putih jenis himalaya yang ia nama Pedro.
Kalau ia ingat rasanya ia begitu rindu Pedro, bagaimana keadaan kucing mungil nan menggemaskan itu? Ia berharap Chaterine atau sang ibu datang ke apartemennya dan membawa Pedro bersama mereka.
Carmen tahun bahwa alat sihir itu tak membantu apapun, alat sihir itu hanya memperpanjang rentang waktu kehidupan Carlo saja, bahkan kehidupan Carlo sudah dipastikan tak ada sejak orang tuanya memberikan alat sihir itu.
Namun, kedua orang tuanya begitu menyayangi Carlo. Begitu melakukan banyak hal itu penyembuhan Carlo.
Sebagai seorang bangsawan hal itu wajar, karena Carlo akan meneruskan keturunan keluarga mereka nantinya.
Meskipun awalnya Carlo terbilang cukup lemah, tetapi setelah sebuah ramalan mengatakan bahwa Carlo akan menjadi hebat nantinya, orang tuanya melakukan berbagai cara untuk menjaga dan menyembuhkan Carlo.
"Tapi tak apa asal kau sembuh dan sehat, hal itu tak jadi masalah. Memang benar alat sihir kadang memiliki efek pada penggunanya." Begitu kata Carmen kemudian.
Carlo bisa menarik nafasnya dengan lega, Carmen akhirnya bisa percaya dengan apa yang ia katakan. Meskipun awalnya ia sendiri ragu dengan hal itu.
"Ada festival musim semi yang menarik hari ini, mari kita pergi ke ibu kota," sambung Carmen kemudian.
Carlo hanya mengangguk, lalu mereka bangkit dari sana. Mereka memutuskan untuk pergi ke festival yang memang diadakan setiap tahun di ibu kota.
Festival yang dikatakan untuk menyambut musim semi dan rasa syukur pada Dewa.
Sesampainya di festival itu banyak sekali orang disana, layaknya festival di dunia Carlo sebelumnya. Ada penjualan makanan, pernak-pernik, dan banyak festival lainnya.
Carmen dua buah kalung, dengan batunya berwarna biru berbentuk oval yang disebut replika temos. Temos sendiri adalah batu berharga yang biasanya digunakan sebagai batu sihir dengan kekuatan luar biasa.
Setelah cukup lama di festival itu mereka pun kembali ke rumah mereka, karena hari menjelang malam.
Orang tua mereka pasti khawatir, meskipun Carmen tahu mereka lebih takut jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan pada Carlo.
"Bagaimana festivalnya?" tanya sang ibu pada Carlo dan Carmen saat mereka tengah makan malam.
"Seru. Ada banyak sekali hal menyenangkan di sana, dan Carmen membeli kalung replika batu temos." Carlo menunjukkan kalung itu pada ibu dan ayahnya.
"Indah sekali," puji sang ibu.
Kemudian sang ayah membuka suaranya, "Carlo, usiamu saat ini sudah 15 tahun. Kau seharusnya sudah belajar ilmu sihir."
Carlo menyelesaikan makannya, meletakkan sendoknya. Meskipun wajahnya terkejut, tetapi sebenarnya ia menyukai hal itu. Hal yang sudah ia tunggu selama ini.
"Apakah Carmen juga ikut?" tanya Carlo kemudian.
Sesaat tak ada yang menjawab, semua orang yang ada di meja makan itu terdiam. Wajah mereka menjadi serius, lalu pandangan mereka mengarah ke Carmen.
"Tidak. Carmen akan melakukan sesuatu yang lain sebagai seorang bangsawan." Begitu jawab sang ibu padanya.
Carlo tak lagi bertanya, hingga makan malam itu berakhir. Ia dan Carmen masuk ke kamar mereka untuk mengistirahatkan diri.
"Kenapa kau tak belajar sihir denganku?" tanya Carlo ketika ia duduk di atas tempat tidurnya.
"Kau dengar kata ibu bukan? Aku harus belajar hal yang lain, tetapi itu bukan sihir," kata Carmen.
"Bukan sihir? Bukannya Ibu juga belajar sihir, ia bangsawan dan ia juga perempuan."
Belum sempat Carmen menjawab pertanyaan Carlo tadi, sebuah suara ledakan terdengar cukup keras dari luar kamar. Keduanya terkejut, Carmen langsung memeluk Carlo erat.
"Ada apa?" tanya Carlo berbisik.
Carmen menggeleng. Kemudian ia mengajak Carlo untuk mengintip dari celah pintu kamarnya.
Baik Carlo dan Carmen bisa melihat bahwa di luar kamar mereka ada segerombolan orang yang menggunakan pakaian serba putih di sisi lain keluarganya termasuk ayah dan ibu mereka.
Mereka bersitegang dengan banyak hal, lalu kemudian saling beradu mengeluarkan sihir yang menakutkan.
Seisi rumah itu terasa akan roboh.
Carmen menarik tangan Carlo menjauh dari sana, membawanya masuk ke sebuah ruangan rahasia yang hanya cukup untuk tubuh mereka, yang ada di belakang lemari mereka.
Untuk beberapa saat lamanya mereka di sana, tanpa tahu keadaan luar hingga keduanya tertidur, karena ketakutan.
"Carlo, bangun." Carmen membangunkan Carlo.
Setelah Carlo bangun, keduanya pun keluar dari sana, tetapi mereka terkejut saat mereka keluar rumah mereka sudah sebagian hancur lebur. Bahkan mereka menemukan orang tua dan keluarga yang lain telah mati.
Lalu kemudian mereka tahu bahwa orang-orang yang berhadapan dengan keluarganya tadi adalah Organisasi Purnama Merah.
Keluarga Alfonso hancur, yang tersisa kini hanya mereka berdua, Carmen dan Carlo.
Keduanya begitu sedih dan kecewa berat. Setelah kematian kedua orang tua dan keluarga lainnya, para bangsawan serta duke datang untuk berduka atas apa yang telah terjadi pada mereka.
Prosesi pemakaman dilakukan banyak yang hadir di sana. Baik dari golongan biasa maupun bangsawan dan duke. Namun, dari telinga Carlo mendengar bisik-bisik yang tak enak tentang kematian keluarga Alfonso.
"Anak pembawa sial."
"Anak tanpa sihir."
"Anak angkat."
Dan banyak hal lagi yang Carlo dengar saat itu. Sekilas ia memandang Carmen yang masih tersedu ketika api mulai menyulut kayu yang membakar jenazah orang tua mereka.
Carlo tak begitu paham apa maksud perkataan mereka tentang anak yang sejak tadi mereka mereka rumorkan. Apakah mereka tengah membicarakan tentangnya? Atau itu Carmen?
Jika anak yang mereka katakan tanpa sihir itu Carmen, berarti apa yang ia pikiran benar. Bahwa Carmen tak bisa mewarisi sihir dari kedua orang tuanya, maka dari itu Carmen tak harus belajar sihir.
Di dunia di mana sihir menjadi hal mutlak, kemungkinan tanpa sihir akan menjadi olok-olokan. Namun, bagaimana dengan anak angkat dan pembawa sial? Siapa yang mereka maksud?
Kalau lagi-lagi itu Carmen maka semuanya sudah jelas, mengapa ia dan Carmen tak mirip meskipun dikatakan bahwa mereka kembar.
Kasih sayang selama ini ia dapatkan pun berbeda dengan Carmen, cara orang tuanya yang memperlakukan Carlo berbanding terbalik dengan Carmen.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Carlo mendekati Carmen yang terdiam dengan merunduk, meskipun begitu Carlo melihat bahwa air matanya membentuk kaca bening.
"Ya, aku tidak apa-apa." Carmen menjawab itu dengan nada getir, terlihat bibirnya bergetar.
Carmen mungkin bisa menutupi kesedihannya dari banyak orang, tetapi tidak berlaku untuk Carlo. Carlo sudah berulang kali melihat suasana pemakaman seperti itu dalam kehidupannya di dunia dulu.
Carlo tahu apa yang terjadi pada Carmen, jelas sekali itu nampak. Carmen menahan sakit di hatinya.
Setelah selesai dari pemakaman itu Carlo dan Carmen pulang ke tempat mereka, sebuah rumah yang lain karena rumah utama mereka sudah hancur.
Di rumah itu barulah Carmen menangis dan menumpahkan semua kesedihannya dalam pelukan Carlo.
Carmen tersedu sambil mengingat apa yang terjadi. Sedangkan Carlo hanya bisa mengelus punggung dan kepala Carmen untuk menenangkan saudaranya itu.
"Sabar." Kata itu keluar dari mulut Carlo. Meskipun ia tahu itu tak akan berpengaruh.
Bagi mereka yang sedih kata "sabar" tak akan pernah menjadi penyemangat, tetapi malah menambah beban di pikiran.
Carmen kemudian melepaskan pelukannya dan menatap Carlo, sambil berucap, "kau tahu, apa yang mereka katakan tentang aku itu benar."
Carlo mengernyitkan dahinya, mencoba meyakinkan ucapan Carmen.
"Aku anak angkat tanpa sihir. Itu alasan ayah dan ibu tak mengajari aku sihir." Carmen menyambung ucapannya.
"Sejak kau koma, ayah sudah berulang kali mencoba mengajariku sihir, mencarikan guru terbaik di negeri.”
“Tetapi tetap saja tak ada hasil. Lalu kemudian seorang guru sihir terakhir yang disebut sang sage mengatakan aku tak memiliki sihir.”
“Karena aku bukan bagian dari keluarga Alfonso. Menurut Ibu, orang tua kandungku telah tiada setelah terjadinya Perang akibat pemberontakan."
Carlo akhirnya mendapat jawaban atas banyak pertanyaannya selama ini. Entah ia harus bahagia karena pertanyaan terjawab, atau harus sedih sebab tahu bahwa Carmen bukan saudara kandungnya?
Masalah pelik terjadi begitu saja dalam sekejap mata.
Rasanya ia baru saja bermain, bercanda dan menikmati hari indah bersama dengan keluarganya, tetapi semua berubah dengan cepatnya. Sampai Carlo tak ada persiapan untuk itu.
"Aku lapar setelah banyak kesedihan yang terjadi. Kau bisa mencarikan makan untukku, termasuk kamu juga?" ujar Carmen lagi.
"Ya, aku akan mencarikanmu makanan. Sepertinya di hutan banyak buah-buahan." Carlo beranjak dari duduknya. Mengindahkan apa yang perintahkan Carmen.
Carlo berjalan keluar rumah mencarikan makanan dan buah-buahan seperti apa yang ia janjikan pada Carmen tadi.
Setelah keluarganya habis, hanya tinggal ia berdua saja dengan Carmen. Tak ada lagi yang bisa diandalkan, bahkan ia masih menyangsikan apakah gelar bangsawan miliknya masih ada?
Tak lama Carlo mendapatkan makanan dan buah itu. Sedang senyum bahagia ia kembali ke rumah.
"Carmen, aku mendapatkan banyak ma … kanan." Barang yang Carlo pernah tadi jatuh lalu berserakan di lantai.
Badannya mematung dengan air mata yang menetes di pipinya, ia belum bergerak sedikitpun. Napasnya memburu dan wajahnya berubah memerah, kemudian ia berteriak, "Carmen!!"
Carlo menerjang tubuh Carmen yang saat ini tergantung di langit-langit rumah. Dipeluknya kaki Carmen dengan sangat keras sembari air matanya terus mengalir.
Carlo tak habis pikir dengan apa yang terjadi. Kenapa ia bisa sebodoh itu meninggalkan Carmen seorang diri dalam keadaan bersedih, ia merasa tak berguna, karena tak bisa menjaga Carmen.
Tak ada lagi anggota keluarganya yang tersisa, kini hanya dirinya saja yang harus menanggung beban itu seorang diri.
Rasa sakit dan kesedihan Carlo menjadi kemarahan yang membuatnya tak sadar telah mengaktifkan sesuatu hingga suara yang menusuk telinganya terdengar.
[Sistem pemburu sihir diaktifkan]
Carlo terkejut dengan suara itu. Ia mencari sumbernya, tetapi tak ia temukan.
"Suara siapa itu?" tanyanya penasaran.
[Pengenalan sistem ditampilkan]
Setelah itu muncul papan sistem yang mirip seperti dalam game RPG, yang sering ia mainkan, di papan itu dijelaskan banyak hal.
Carlo bisa menggunakan sihir dengan cepat dan menguasai banyak skill di saat yang bersamaan.
Dia juga dikenalkan dengan Papan level, EXP, Poin Sistem, Shop, Inventory, Quest (Misi), Skill, Sihir Elemen dan masih banyak penjelasan fitur yang ada dalam sistem.
Kemudian Carlo mengingat permintaannya pada entitas yang ia sebut dewa itu, ternyata permintaannya dikabulkan dan ia bisa menggunakan sihir dengan sistem saat ini.
*
Setelah jasad Carmen Carlo kuburkan seorang diri, Carlo ke rumah keluarganya Alfonso yang hanya meninggalkan puing-puingnya saja.
Mungkin ia akan mendapatkan sesuatu di sana, kemana ia harus pergi setelah ini.
Carlo tak tahu tujuannya setelah semua yang terjadi.
Carlo kini melihat rumahnya yang hancur masih saja seperti aja yang terjadi, sejak ia dan Carmen tinggalkan. Kini terlihat kamarnya pun juga sudah hancur tak tersisa.
Carlo menggali lagi beberapa bukti tersisa mengenai kehancuran keluarganya dan menemukan sebuah ruang bawah tanah rahasia yang tidak hancur karena serangan itu.
Di dalam sana Carlo menemukan banyak bukti yang menunjukkan bahwa Organisasi Purnama Merah adalah musuh utamanya, mereka yang telah menghancurkan keluarganya.
Lalu dia berencana untuk pertama kali datang ke Akademi Sihir, di sana dia ingin menyelidiki mengenai Kepala Sekolah Leonarda Cianciulli dan beberapa Guru Sihir yang ada disana.
Menurut bukti yang ia dapatkan mereka ada hubungannya dengan kematian keluarganya dan Organisasi Purnama Merah.
Dengan kekuatan yang saat ini Carlo miliki pasti ia bisa mengalahkan mereka, lalu meminta pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan pada keluarganya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!