Suara tangis perempuan yang sedang mengandung itu memecahkan keheningan malam itu di kontrakan rumah. Rania namanya, sedang mengandung usia lima bulan. Dia mengalami kekerasan oleh lelaki yang pernah berkata akan sehidup semati dengannya. Lelaki yang berkata akan tanggung jawab saat menodainya. Lelaki yang berkata akan selalu bersamanya saat berkali-kali menyetubuhinya. Namun semua untaian kata itu palsu belaka. Kini hanya ada isak tangis pesakitan yang ditanggung oleh Rania.
“Sampai kapan, ya Tuhan, aku harus seperti ini? Gavin selalu memukuliku tanpa sebab yang jelas setiap kali ingat hasil USG terakhir dokter mengatakan calon bayi ini perempuan. Apa salahku? Apa salah bayi ini? Aku harus bagaimana?” Rania bergumam dengan suara yang sumbang di tengah isak tangis yang belum juga reda.
Masa depan Rania di usia dua puluh enam tahun terasa suram karena kejadian ini. Gavin memang menjanjikan tanggung jawab dan saat ini Rania berada di rumah kontrakan Jakarta tempat Gavin menampungnya, tetapi apakah tanggung jawab seperti ini? Prewedding sudah mereka lakukan dan syukuran di rumah orang tua Rania sudah dilaksanakan, tetapi Gavin mendustai Rania dengan janji pernikahan yang indah. Cinta selama lima tahun itu pun mulai pudar karena adanya perempuan lain.
Rania Kusuma merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Lahir dari keluarga sederhana membuatnya sudah terbiasa dengan hal yang susah. Namun ada satu hal yang membuat hidup Rania tidak senormalnya manusia biasa. Memiliki kemampuan di luar akal manusia bukan merupakan keinginan Rania, mungkin karena keturunan dari kakek dan buyutnya.
Sejak usia lima tahun, Rania mulai menyadari kemampuannya melihat makhluk gaib. Awalnya bermula saat Rania marah kepada papanya dan duduk diam di tangga rumah menuju ke lantai atas. Saat itu, hari menjelang petang atau yang sering disebut magrib.
Rania duduk di tangga tanpa menyadari ada sesuatu yang berada di belakangnya. Saat menoleh ke belakang, Rania melihat ada sosok perempuan berambut panjang hingga menjuntai sampai ke tangga dan mengenakan daster putih yang berlumuran tanah seperti agak cokelat muda kotor. Rania yang masih kecil terkejut karena ini kali pertamanya melihat sesuatu yang menurut Rania sangat aneh dan menyeramkan. Awalnya Rania kecil mengira itu mamanya, tetapi saat dia mendengar suara mama dari dapur sedang memasak, Rania akhirnya sadar itu adalah makhluk tak kasat mata. Tiba-tiba makhluk gaib itu menghilang dan meninggalkan suara tawa melengking membuatnya ketakutan dan langsung lari ke ruang tamu.
Setelah kejadian itu, Rania sering melihat makhluk gaib. Mulai dari yang wujudnya biasa saja, hingga wujud yang aneh dan menakutkan. Rania pernah cerita kepada papa dan mamanya, tetapi mereka seolah tidak percaya. Bahkan semakin hari, semakin bertambah tahun, Rania mencoba menceritakan ke teman sekolahnya pun tidak ada yang percaya dan akhirnya Rania mulai sendirian. Semua orang menghindarinya karena dianggap aneh.
Kadang Rania menangis dan merasa tersiksa karena dia tidak pernah menginginkan apa yang bisa dia lihat saat ini. Rania juga tidak pernah berharap mempunyai kelebihan yang tidak wajar seperti ini. Semua berjalan dengan tertatih-tatih meski dalam studi Rania termasuk pandai, tetapi dalam sosial pertemanan sangat terbatas. Hingga akhirnya saat ini Rania menjalani kehidupan yang salah.
Tiba-tiba suara pintu terbuka dan seorang lelaki masuk ke dalam. Rania mengira kalau orang itu tidak akan kembali ke kontrakan setelah marah-marah, tetapi Gavin kembali.
“Nangis lagi, hah?! Dasar cengeng! Gue udah bilang mending lu cari kerjaan aja bantu gue! Mana bunting begitu bikin gue pusing aja! Gue bilang suruh beresin juga lu yang nggak mau! Nyusahin aja!” Gavin kembali ke kontrakan dan menemukan Rania masih menangis di atas kasur ukuran 160 x 200 cm itu padahal sudah sejam yang lalu Gavin meninggalkan kontrakan.
Suara isak tangis Rania masih terdengar mesti sudah mencoba untuk berhenti menangis. Rania takut kalau Gavin akan kalap mata lagi dengan memukul wajah atau tubuhnya. Gavin yang dahulu terlihat baik meski sering berselingkuh, sekarang menjadi menakutkan. Tidak segan-segan Gavin memukuli Rania jika marah.
“Masih nggak mau diem, hah?! Mau dicambuk lagi, ya?!”
Gavin melepas sabuk yang ada di pinggangnya, lalu segera mengayunkan dengan cepat ke arah Rania, mengenai lengan Rania hingga merah dan terasa perih nyeri yang luar biasa. Rania menangis sambil meringkuk melindungi perutnya. Di sana calon bayinya dalam ancaman karena Gavin memang tidak menginginkan hal itu.
“Ampun! Ampun, Pii ….” Rania meringis kesakitan karena kelakuan Gavin yang dia sebut ‘Pii’. Satu cambukkan dari ikat pinggang itu sudah Rania rasakan dan begitu sakit, tetapi lebih sakit hati Rania yang menyadari saat ini pilihan hidup semakin sulit dan tidak bisa pergi dari Gavin karena keluarganya pun tidak mau menerima dirinya.
“Oke, gue ampuni, kalau gitu ....” Gavin menyeringai menatap Rania. Rania pun ketakutan dan menundukkan wajah tidak berani melihat ke arah Gavin. Gavin pun membelai wajah Rania yang masih ketakutan. Gavin pun tega membuat Rania sebagai alat pemuas keinginannya, padahal kandungan Rania sudah mulai membesar. Pasrah, hanya kata itu yang Rania bisa lakukan.
Gavin menyembunyikan banyak hal yang akhirnya Rania ketahui. Saat terlelap dalam tidur, Rania memeriksa ponsel Gavin dan menemukan banyak pesan mesra bahkan beberapa foto dan video syur dengan perempuan yang selama ini meneror di media sosialnya. Rania kembali merasakan nyeri di benaknya. Sudah mengorbankan masa mudanya selama ini untuk Gavin, keluar dari tempat kerja karena banyak orang yang menentang kisah cintanya dengan Gavin, lalu merasa bersalah atas meninggalnya papa Rania yang sakit dua bulan sebelum Rania dinyatakan hamil, lengkap sudah penderitaan Rania. Gavin hanya menjanjikan hal manis dan nyatanya hanya sakit yang Rania rasakan. Sepanjang malam Rania tidak bisa memejamkan matanya karena
Pagi harinya, Rania menegur Gavin sebelum berangkat ke kantor. “Pii ... siapa perempuan bernama Pramayu Larasati yang menghubungimu tadi malam?” tanya Rania yang justru membuat Gavin marah.
“Dasar perempuan tidak tahu diuntung! Ngapain buka-buka handphone gue! Lu mau jadi mata-mata, ya?! Udah, denger aja! Iya, gue punya pacar namanya Pramayu Larasati dan dia jauh lebih cantik, putih, mulus, pintar, penyanyi dangdut, dan juga kaya raya. Beda jauh sama lu yang nyusahin doang!” Gavin kembali melontarkan kalimat-kalimat racun yang makin menyakiti perasaan Rania.
“Gavin ... Kenapa kamu tega seperti itu padaku? Salahku apa?”
“Salah lu? Banyak! Ngapain geledah hape gue?! Dasar! Udah dipelihara, dikasih makan, gue udah baik mau ambil lu dari rumah daripada lu diusir, masih aja nggak tahu terima kasih!” Gavin kembali melayangkan tangannya ke pipi mulus milik Rania yang dahulu selalu diusap lembut oleh lelaki. Rania menahan sakit hati dan sakit fisik karena tahu kalau Gavin akan kembali marah kalau
Apakah ini yang dinamakan cinta? Apakah semenyakitkan ini mempertahankan sang buah hati yang tidak dikehendaki oleh pasangan? Rania tahu kalau dia pernah salah, setidaknya saat ini perempuan yang hampir kehilangan pengharapan itu bertahan demi bayinya. Dia tidak mau berbuat dosa lagi dengan mengikuti kemauan Gavin dan ibunya Rania untuk menggugurkan kandungan. Rania memilih jalan berliku dan pahit untuk dijalani daripada membunuh bayinya.
Andai saja dahulu Rania tidak menerima rekomendasi dari guru untuk bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Mungkin segala hal menyakitkan ini tidak akan terjadi di hidup Rania jika tidak bekerja di sana. Sebagai orang yang mandiri, Rania sangat bersemangat untuk bekerja waktu itu. Setelah mendapatkan izin dari orang tua dan juga kakak dan adiknya, Rania segera melamar pekerjaan di tempat yang direkomendasikan oleh gurunya. Rania lolos dan bisa bekerja di sana mulai tahun 2011. Bekerja di perusahaan swasta meski di bagian pantry dan kantin. Dia menyewa kamar sederhana untuk menjadi tempat tinggal selama bekerja. Rania senang bisa mengirim uang tiap bulan untuk orang tuanya dan membantu membayar sekolah adiknya.
Masa lalu yang tidak mungkin Rania sesali lagi karena saat ini kenyataan harus dihadapi. Tadi pagi Gavin marah besar dan melakukan kekerasan lagi kepada Rania. Perempuan yang memiliki lesung pipi di wajahnya itu jarang keluar dari kontrakan karena khawatir orang-orang akan menanyainya tentang bekas kekerasan yang selalu tampak di wajahnya.
Gavin biasanya mengajak sarapan, lalu berangkat ke kantor. Namun pagi ini tidak ada sarapan untuk Rania. Gavin memintanya untuk makan mie instan yang tersedia atau sekedar minum susu dan makan roti tawar saja.
“Duh, sudah jam sepuluh. Tadi makan roti tawar dan susu, sekarang mulai lapar lagi. Sabar ya, Dek. Nanti Papiimu pasti pulang dan ajak makan siang kalau sudah tidak marah,” ucap lembut Rania sambil membelai perutnya yang mulai membesar.
Sebenarnya Gavin sangat perhatian kalau sedang tidak marah. Bahkan beberapa kali Gavin mengajak Rania menyantap hidangan daging seperti yang selama ini Rania selalu inginkan selama hamil. ‘Ngidam’ istilah orang Jawa menyebutnya karena Rania bukan perempuan yang pilih-pilih makanan hanya saja waktu hamil dia mengalami kesusahan.
Rania teringat saat pertama kali menunjukkan hasil USG janin berusia tiga Minggu pada Gavin. Saat itu bukan kenangan yang bagus bagi Rania karena Gavin bereaksi di luar nalar. Tepatnya siang hari kejadian itu saat Rania sampai di Jakarta naik travel dari Semarang untuk menemui Gavin. Lelaki itu langsung memesan kamar di hotel bintang lima untuk istirahat Rania.
“Pii ....”
“Iya, apa Sayang?”
“Aku hamil ....”
“Hah?! Bercanda lu?!” Gavin terbelalak dan terkejut menatap Rania.
“Aku serius ....” Rania menyodorkan hasil USG dan surat pemeriksaan dari dokter kandungan.
Gavin merebut hasil pemeriksaan itu dan menatap tajam ke arah Rania. “Sudah coba minum soda atau alkohol? Makan nanas muda?”
Rania terkejut dengan jawaban Gavin yang seakan menyudutkan untuk memusnahkan buah cinta mereka. Rania menggelengkan kepalanya perlahan. Tidak mau berbuat hal demikian.
“Sayang ... Mii tahu kan kalau Pii belum bisa untuk itu ....” Gavin mencoba membujuk Rania dengan suara yang mulai melunak. ‘Mii dan Pii’ adalah panggilan sayang mereka berdua.
Rania paham dan tetap menggelengkan kepalanya perlahan. “Jangan, Pii. Ini anak kita. Buah cinta kita. Aku cinta kamu sungguh-sungguh, bukan hanya mainan. Aku tidak akan berbuat hal itu. Kita sudah banyak dosa dengan melakukan itu sebelum menikah, jadi aku tidak mau menambah dosa lagi,” lirih Rania yang mulai menangis.
Entah apa yang dipikirkan Gavin. Lelaki itu memeluk tubuh Rania erat. “Sayang, jangan menangis. Iya, iya, nanti kita pikirkan soal itu ... Sekarang, Pii kangen banget sama Mii. Sudah dua Minggu kita nggak ketemu ....” bisik Gavin kembali merayu Rania untuk menjadi pemuas belaka. Lagi dan lagi, mulut manis itu menghipnotis Rania untuk rela melakukan apa saja.
Rania yang selalu pasrah karena tidak tahu apa yang Gavin lakukan hanya karena keinginan daging saja, bukan berdasarkan cinta. Cinta yang tulus hanya dalam dongeng, tidak pernah Rania rasakan. Gavin merupakan cinta pertama Rania dan justru yang membawa segala dosa padanya. Lelaki yang sudah menjadi duda dengan dua anak itu hanya memanfaatkan perempuan muda yang lugu sebagai pemuas keinginannya.
Sejak awal, Gavin memang tidak menginginkan anak dari Rania. Selain soal ‘merepotkan’, Gavin juga sebenarnya tidak sekaya yang dia tunjukkan kepada orang-orang. Selama ini Gavin masih jadi satu di rumah orang tuanya. Orang tuanya memiliki beberapa usaha yang bisa dibilang lumayan sukses, sedangkan Gavin bekerja di perusahaan sebagai kepala administrasi yang memiliki banyak anak buah. Hal itu yang membuat Gavin mudah mencari ‘mangsa’ para perempuan muda yang masih lugu dan polos.
“Tuhan, bolehkah aku meminta satu hal ... Kuatkan aku menghadapi ini semua demi anak yang aku kandung. Maafkan aku sudah banyak berbuat kesalahan, jangan hukum anakku yang tidak tahu apa-apa,” lirih Rania di dalam kamar yang kembali bersedih kalau ingat masa lalu. Kenapa dahulu Rania tidak percaya perkataan papanya yang mengatakan kalau Gavin bukan lelaki yang baik untuknya? Cinta memang buta dan tuli.
Rania sudah mencari pekerjaan di Jakarta, tetapi setiap calon bos mengetahui kalau Rania sedang hamil, pasti dilarang bekerja dan gagal mendapatkan pekerjaan. Gavin sering marah karena hal itu. Perihal ekonomi. Apalagi kontrakan di Jakarta tidak murah, sebulan harus mengeluarkan uang tujuh ratus lima puluh ribu untuk membayar rumah minimalis itu. Belum dengan biaya hidup dan makan, Gavin lama-lama muak memikirkan semua tanggung jawab itu dan mencoba lepas tangan dari Rania.
Sebenarnya Rania sudah merasakan kalau Gavin akan melepaskan dirinya begitu saja. Apalagi pernikahan yang ditunda dengan banyak alasan padahal Gavin sudah mengadakan prewedding dengan foto-foto menawan serta syukuran di rumah Rania. Jika gagal menikah, hanya pihak Rania dan keluarganya yang akan merasa malu sedangkan Gavin merasa santai apalagi beda kota begitu jauh tak mungkin orang tua Gavin akan tahu kelakuan bejatnya.
Perasaan seorang perempuan itu sangat tajam. Apa yang Rania takutkan benar-benar akan terjadi. Saat ini Gavin juga sudah memiliki target lain yang justru perempuan kaya raya dan cantik. Gavin pasti memiliki seribu satu cara dan alasan untuk mencampakkan Rania karena bukan sekali ini saja Gavin melakukan hal buruk yang merusak hidup perempuan.
Hari demi hari dilalui Rania bagaikan di dalam mimpi buruk saja. Cinta yang dahulu terlihat begitu manis meski ada beberapa kali hal-hal pahit yang terasa, tetapi sekarang menjadi hambar. Rania baru menyadari kalau cintanya bertepuk sebelah tangan. Gavin yang dahulu begitu mencintai Rania, ternyata hanya memanfaatkan untuk kebutuhan biologis saja. Rania saat ini terjebak dengan segala pemikiran buruk yang ada di dalam kepalanya.
Rania tidak memiliki tumpuan lain karena keluarganya membiarkan begitu saja hal itu terjadi. Rania rasa sendirian dan tidak bisa menceritakan kenyataan yang terjadi saat bersama Gavin kepada orang lain. Dia hanya bisa mengenakan topeng senyum palsu di hadapan orang lain demi mempertahankan nama baik keluarganya. Rania setiap malam berdoa agar bisa mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya demi bayi yang ada di dalam kandungan, karena ketika Gavin marah selalu saja melakukan kekerasan kepada Rania.
"Meski Gavin mengatakan bayi dalam kandungan ini adalah bencana, tetapi bagiku adalah berkah dari Tuhan. Aku akan menjaganya sebaik mungkin. Aku akan menjaga dengan baik. Aku janji," gumam Rania sambil mengusap perutnya.
Tepat saat usia kandungan Rania masuk tujuh bulan ....
“Mii, kerjaanku baru susah. Pii kembalikan Mamii ke Semarang dulu, ya,” kata Gavin dengan santai tanpa memikirkan perasaan Rania.
“Pii, tahu sendiri kalau Mama dan Kakak serta Adikku nggak bolehin aku pulang karena kondisi seperti ini,” ucap Rania yang memang takut kalau dikembalikan ke Semarang dalam kondisi sudah tidak memiliki uang atau pekerjaan.
“Tenang, Sayang. Pii akan sewakan tempat tinggal di sana. Uang juga akan selalu Pii kirim. Nanti dua Minggu sekali Pii ke sana. Ya? Please .... Di sana biaya hidup lebih terjangkau. Lagi pula sudah hampir persiapan kelahiran. Jadi nanti biar dekat sama Mama. Mii mau, kan?” bujuk rayu Gavin yang selalu manis di awal akhirnya berhasil.
Rania percaya janji manisnya dan mau dipindahkan ke Semarang. Waktu itu Gavin yang akan menyopir mobil untuk pindahan dari Jakarta ke Semarang karena beberapa barang perlu dibawa pulang ke Semarang. Lagi-lagi Rania percaya kalau Gavin akan menepati perkataannya.
“Baguslah kalau mau pindah Semarang. Mau nggak mau, keluarga lu harus mau ngrawat lu! Dasar cewek nyusahin! Udah gue suruh gugurin aja ogah, jadi ya rasain sendiri!” batin Gavin sambil tersenyum menatap Rania yang segera membereskan semua barang-barang untuk dibawa ke Semarang. Lelaki yang tak punya hati, tidak memikirkan perasaan Rania yang begitu mencintainya dan percaya padanya.
...****************...
Sebuah rumah kecil yang agak terpencil menjadi tempat tinggal Rania saat ini. Gavin meninggalkan Rania di rumah yang berjarak sekitar tiga puluh menit dari rumah mamanya Rania. Saat ini Gavin sudah kembali ke Jakarta karena mengendarai mobil sendirian. Jadi Rania tinggal di rumah itu sendiri.
"Aku akan baik-baik saja. Aku harus bisa bertahan," kata Rania meyakinkan diri sendiri. Gavin hanya memberikan uang lima puluh ribu dengan alasan akan mentransfer uang lagi saat besok sudah sampai di Jakarta. Rania pun percaya saja dengan perkataan itu.
Malam harinya, sesuatu yang tidak diduga terjadi. Malam pertama menempati rumah itu, Rania yang sudah lama tidak bisa melihat makhluk gaib justru kembali diganggu. Antara mimpi dan kenyataan, kondisi Rania yang hamil besar membuat perempuan itu merasa sesak dengan posisi terlentang. Tiba-tiba ada sosok nenek-nenek mengerikan dengan wajah pucat, rambut putih menjuntai di lantai, pakaian seperti daster putih lusuh, kuku hitam panjang sekitar dua puluh sentimeter berdiri menatap tubuh Rania yang kaku tak bisa bergerak.
“Serahkan bayi dalam kandunganmu daripada menyusahkan hidupmu,” kata makhluk nenek tua mengerikan sambil tangannya mengarah ke kandungan Rania. Kuku hitam panjang itu seakan hendak menerkam perut Rania.
Takut? Sangat! Rania gemetar dan tubuhnya susah untuk bergerak. Nenek menyeramkan itu masih di sana dan berusaha untuk mengambil bayi dalam kandungan Rania hingga akhirnya Rania bisa menolak. “Dalam nama Tuhan Yesus! TIDAK BOLEH!”
Rania yang sudah jarang beribadah, tetap berusaha menjaga diri dengan doa. Dia merasa berdosa dan dijauhi banyak orang, tetapi doa kepada Sang Pencipta tidak akan dia lupa.
Seketika makhluk mengerikan itu menghilang dan Rania langsung bisa menggerakkan tubuhnya lagi. Rania langsung duduk dan terengah-engah karena kejadian mengerikan tadi antara mimpi dan kenyataan. Rania langsung berdoa meski ketakutan sendirian di rumah yang Gavin sudah bayar untuk empat bulan ke depan.
Itu kali pertama Rania mendapatkan gangguan gaib di sana. Ternyata kemampuan Rania melihat makhluk tak kasat mata kembali terusik dan menjadi setelah kejadian itu. Gavin seperti biasa tidak percaya dan tidak peduli saat Rania menceritakan hal itu. Apalagi Rania sedang hamil besar, makhluk seperti itu memang suka dengan ibu hamil yang sendirian.
...****************...
Malam kedua saat Rania tidur, mimpi aneh pun terjadi. Rania bermimpi menuruni anak tangga yang begitu banyak dan seolah tidak ada habisnya. Setelah sampai bawah, perut Rania yang besar itu tiba-tiba kempes. Lalu ada nenek mengerikan yang kemarin malam datang, saat ini ada di hadapannya. Rania tahu kalau dia dan bayinya sedang diincar makhluk jahat. Rania pun berdoa dan mampu mengusir makhluk itu hingga dirinya terbangun dari mimpi. Kembali Rania terengah-engah dan keringat dingin mengucur pada pelipis dan juga tubuhnya.
Keesokan paginya, Rania cerita kepada kakaknya dan Gavin. Namun kedua orang itu seakan mengabaikan dan tidak percaya bahkan tidak peduli dengan kondisi Rania yang mulai ketakutan padahal tinggal sendirian di rumah terpencil itu. Rania sering menangis dan berdoa pada Tuhan untuk bisa menghadapi semua itu. Apalagi saat ini Gavin mulai sulit dihubungi.
Rania menelepon, “Pii ... Kamu janji tidak akan cuek padaku. Kenapa sekarang susah dihubungi? Uangku juga hampir habis, aku belum beli susu ibu hamil dan tidak punya makanan di sini.”
Gavin menjawab dengan kesal, “Gue udah bilang sibuk, kan? Mii, please ... Jangan macam anak kecil gini apa-apa merengek! Ntar gue isi saldo buat pesan makanan online, ya? Udah ... Gue kerja dulu.”
Telepon itu berakhir begitu saja dan bahasa Gavin sudah mulai ‘Gue-Lu’ yang berarti tidak sehangat dulu. Rania makin cemas dengan nasib bayi dalam kandungannya. Bagaimana dia akan bertahan kalau Gavin lari dari tanggung jawab sedangkan keluarga Rania tidak mampu dan tidak mau mengurusi Rania? Hal yang makin tak pasti itu membuat Rania makin sedih.
“Tuhan, aku harus bagaimana? Kalau Gavin pergi, bagaimana hidupku dan bayi ini?” Rania kembali dalam kesedihan dan isak tangis sambil mengusap perutnya yang sudah besar.
...****************...
Hari berikutnya ... Hal buruk kembali terjadi. Kali ini makhluk itu menyerupai Gavin datang tiba-tiba setelah petang. Tidak ada suara ketukan pintu, Gavin jadi-jadian sudah masuk ke rumah kecil tersebut. “Mii ....” lirih lelaki jadi-jadian itu.
“Pii? Kenapa tiba-tiba sampai sini?” Rania bingung malam itu kenapa Gavin datang tanpa memberitahu terlebih dahulu.
“Iya, ini Pii bawa makanan. Makan dahulu. Belum makan, kan?” Gavin jadi-jadian menyerahkan kotak putih berisi makanan yang lezat. Sepertinya beli di nasi Padang karena ada rendang daging yang baunya sedap menggoda.
“Duduk dulu, Pii. Tahu aja kalau belum makan. Terima kasih, ya.”
Rania sama sekali belum mencurigai hal itu dan justru segera menyantap makanan yang dibawa oleh Gavin. Setelah selesai makan, Rania bergegas ke dapur kecil untuk menyeduh dua gelas teh hangat. Setelah membawa ke ruangan depan, Rania baru menyadari ada beberapa hal yang aneh dengan Gavin yang saat ini duduk di kasur kamar, tidak di ruang depan.
“Oh iya, mobil Pii mana, ya?” batin Rania yang bergegas menengok ke depan rumah. Tidak ada mobil terparkir di sana. Bahkan yang aneh, tidak ada sepatu atau sandal milik Gavin di luar sana.
Seketika bulu kuduk Rania meremang, seakan sudah merasakan hal ganjil itu adalah sebuah pertanda buruk. Saat Rania masuk dan mencari di mana Gavin ternyata tidak ada. Padahal rumah kontrakan itu tidak memiliki pintu keluar lainnya selain pintu depan. Lalu Rania menengok ke arah kotak kardus berisi nasi tadi yang sudah dimakan olehnya, kotak kardus itu berubah menjadi daun pisang.
Rania pun terkejut dan merasa mual dalam waktu yang sama. Saat membalikkan tubuhnya, betapa terkejutnya Rania melihat sosok kuntilanak dengan rambut hitam acak-acakan yang menjuntai sampai lantai sedangkan tubuh terbalut daster putih kotor dengan tanah itu tidak menampakkan kakinya di lantai. Tinggi makhluk itu pun lebih tinggi dari Rania. Rania terkejut dan berteriak sekeras mungkin. Seketika pandangan Rania pun kabur, dia pingsan di sana tanpa ada yang tahu dan tanpa mengunci pintu depan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!