NovelToon NovelToon

Want My Wife

Bab. 1

Stella adalah wanita berambut gelombang yang kini berusia 26 tahun. Dia adalah gadis yang sangat sempurna di mata wanita lain. Ya, di mata wanita lain. Mereka tidak pernah tahu yang sebenarnya Stella rasakan. Mereka tidak tahu serumit apa hidup Stella saat ini. Melihatnya bersanding dengan pria terkaya di negara ini memang bisa membuat iri wanita lain. Mereka tidak tahu kalau di balik senyum manis Stella ada luka yang begitu mendalam. Ada dendam yang begitu mengerikan.

Setiap wanita pasti selalu memiliki keinginan untuk menikah. Apa lagi di usia Stella yang seperti sekarang. Memakai gaun pengantin yang di balut manik-manik dengan riasan yang membuatnya terlihat seperti barbie. Melihat banyak susunan kado di meja dan memandang senyum semua tamu undangan yang berasal dari orang terdekat kita. Memotong kue pernikahan dan berdansa di saat acara resepsi tiba. Semua adalah impian setiap wanita. Termasuk Stella.

Sebenarnya semua sudah terjadi. Semua telah ia lalui layaknya impian yang ia inginkan. Bahkan foto pernikahannya ada di dalam kamar tidurnya saat ini. Setiap malam Stella bisa melihat wajah cantiknya ketika menggunakan gaun pengantin putih tersebut.

Sayang, senyum itu luntur setiap kali Stella melihat wajah pria di sampingnya. Wajah pria yang bersanding dengannya di pelaminan malam itu. Wajah pria yang sudah resmi menjadi suami Stella. Wajah pria itu bisa di bilang telah membuat goresan luka dihidupnya.

Alby Zachary 29 tahun. Seorang pengusaha yang sukses sejak ia berusia remaja. Orangnya baik dan ramah. Semua orang sangat menyayangi dan menghormatinya. Dia sangat sabar dan yang paling penting dia tampan. Sayang, dia bukan pria yang dicintai Stella. Stella menikah dengannya karena terpaksa. Papa kandung Stella akan bunuh diri jika dia tidak mau menikah dengan Alby.

Sudah 5 tahun Stella menjalani hubungan dengan seorang pria yang sangat dia cintai. Namanya Gavin. Pria misterius yang Stella sendiri tidak tahu sebenarnya bagaimana kehidupan Gavin. Yang ia tahu, Gavin adalah seorang ketua geng mafia. The Wolf. Dia sangat tangguh. Stella sangat suka pria jagoan.

Stella merasa seperti wanita paling beruntung karena bisa mendapatkan cinta Gavin. Gavin tidak pernah membiarkan Stella bersedih apa lagi terluka. Dia memang bisa dibilang pria sempurna yang pernah Stella temui seumur hidupnya. Pahlawan super yang selalu ada ketika dibutuhkan.

Tapi, sayang. Orang tua Stella tidak pernah menyetujui hubungan mereka berdua. Sejuta cara sudah dilakukan agar Stella dan Gavin berpisah. Tapi, semua gagal. Hingga suatu ketika, Gavin mendapat masalah yang sangat besar. Ia harus menjadi buronan polisi karena kasus pembunuhan. Mau tidak mau Stella dan Gavin pun berpisah.

Papa Stella memanfaatkan masalah di antara mereka. Dia mengurung Stella di rumah hingga komunikasi antara Stella dan Gavin benar-benar terputus. Di saat yang bersamaan, Stella dikenalkan dengan Alby. Tentu saja awalnya Stella tidak suka dengan Alby. Ia justru berjuang keras mempertahankan rasa cinta yang ada di antara dirinya dan Gavin. Cinta mereka sangat kuat. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka selain sang pencipta.

Namun, papa Stella memang tidak kenal putus asa. Bukan menunggu sampai Stella siap menerima Alby, justru pria paruh baya itu memaksanya untuk menikah dengan Alby.

Kali ini Stella tidak dapat menolak. Pria paruh baya yang biasa ia panggil papa itu berdiri di hadapannya sambil memegang pisau. Dia lebih baik baik mati daripada harus melihat Stella menikah dengan Gavin. Pria berandal yang ia pikir akan merusak masa depan putrinya.

Stella hanya memiliki papa. Mamanya sudah lama pergi sejak dia dilahirkan ke dunia ini. Kasih sayang seorang papa sangat tulus. Dia memperlakukan Stella layaknya ratu di rumah itu. Stella tidak tega melihatnya bersedih. Apa lagi sampai harus melihatnya bunuh diri dan pergi.

Dengan tetes air mata, pernikahan itu terjadi. Sebuah pernikahan yang dilaksanakan ala kadarnya. Hanya ada keluarga terdekat saja yang hadir. Resepsi mewah berlangsung di rumah Alby setelah dua hari pernikahan mereka.

Syukurnya Alby memang pria yang baik. Sudah satu Minggu usia pernikahan mereka, tapi Alby belum pernah memaksanya untuk berhubungan. Dia tahu kalau Stella sudah tidak perawan lagi. Terkadang Stella sendiri berpikir, kenapa Alby mau menerimanya? Kenapa dia mau menerima wanita bekas pria lain? Dia pria tampan yang sukses. Pasti banyak sekali wanita yang mau menjadi istrinya. Kenapa ia harus hadir di hidup Stella dan merusak hubungannya dan Gavin?

Bukan hanya pernikahan itu saja yang membuat Stella tidak bahagia. Hari ini setelah satu Minggu pernikahan, dia harus menghadiri pemakaman ayah kandungnya. Ya, setelah Stella menuruti semua permintaannya, ternyata takdir berkata lain. Papa Stella harus pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Tapi bukan karena bunuh diri. Papa Stella meninggal karena sakit jantung yang sudah ia sembunyikan sekian lama.

Papa Stella menguping pembicaraan antara Stella dan Alby. Pria paruh baya itu tahu kalau Stella sudah tidak perawan lagi. Miris sekali hidup Stella. Tadinya Stella mengatakan hal itu agar Alby menceraikannya dan membuatnya bisa kembali kepada Gavin. Justru kabar itu memisahkan dirinya dan papa untuk selama-lamanya.

***

Stella berbaring miring ke kanan menghadap ke jendela. Matanya masih bengkak karena terlalu banyak menangis. Setelah pulang dari pemakaman papa, dia tidak lagi mau keluar kamar. Bahkan makan dan minum juga tidak berselera. Bukan hanya hatinya yang kini mati rasa. Tapi inderanya yang lain juga mati rasa.

Sesekali Stella menyeka air mata yang jatuh tanpa bisa dihentikan. Dia mendengar suara pintu terbuka. Stella tahu kalau orang yang datang adalah Alby. Cepat-cepat dia pejamkan kedua matanya agar Alby berpikir dirinya sudah tidur.

Ketika langkahnya semakin dekat, Stella semakin berjuang keras mengatur nafasnya. "Aku tidak mau Alby tahu kalau kini aku sedang pura-pura tidur. Bahkan berbicara dengannya aku sudah tidak mau lagi. Satu-satunya harapanku saat ini, cerai dengannya," gumam Stella di dalam hati.

"Maafkan aku Stella. Bukan maksudku melukai hatimu. Aku akan mengabulkan semua permintaanmu, selain perceraian. Kau hanya bisa pergi dari hidupku ketika aku mati. Selama aku masih bernapas, kau hanya akan menjadi milikku. Istriku."

Ucapan Alby seperti sebuah peringatan bagi Stella. Hanya takdir kematian yang boleh memisahkan mereka. Alby memiliki banyak uang, mengurung istrinya di rumah agar tidak bertemu dengan Gavin lagi adalah hal yang sangat mudah baginya.

"Mulai sekarang hilangkan pikiran untuk menjahuiku."

Alby menarik selimut di bawah kaki dan menutup tubuh Stella hingga ke leher. Dia tidak sadar kalau Stella hanya pura-pura tidur saja. Tangannya yang dingin menyentuh dan mengusap pipi kanan Stella dengan lembut. Setelah itu dia pergi.

Sejak menikah memang mereka belum pernah tidur satu ranjang. Alby memutuskan untuk tidur di kamar tamu karena ia tahu istrinya akan jauh lebih nyaman seperti itu. Alby juga tahu kalau Stella memiliki kekasih dan meninggalkan kekasihnya begitu saja karena menikah dengannya. Bahkan Alby juga tahu kalau Stella mau menikah dengannya karena papanya mau bunuh diri.

"Kenapa Alby sangat keras kepala mempertahankanku yang jelas-jelas tidak layak untuknya," gumam Stella ketika pintu kamar kembali tertutup rapat.

Stella segera duduk di atas tempat tidur. Walau memang dia sedang bersedih, tapi tetap saja perutnya tidak mau kompromi. Seharian tidak makan dan tidak minum membuat tenaganya hilang. Bahkan kepalanya sangat pusing.

Stella melihat makanan dan minuman yang terhidang di atas meja. Ternyata Alby masuk ke dalam sambil membawa makanan dan minuman untuknya. Dia memang pria yang baik, namun tidak pernah baik di mata Stella.

"Terkadang hatiku tidak tega karena sudah menyakitinya separah ini. Dia tidak salah. Dia hanya ingin menjadi suami yang baik dan sempurna untuk istrinya. Berbeda denganku yang berusaha menjadi wanita terburuk agar segera di cerai olehnya. Tapi, bersikap baik padanya itu hanya akan membuatnya semakin berharap besar atas pernikahan ini," ujar Stella.

Stella turun dari ranjang dan mendekati sofa. Walau terasa sangat lapar dan haus, tapi tetap saja dia tidak bisa makan dan minum. Hingga akhirnya, dia putuskan untuk mandi saja. Stella lebih memilih berendam di kamar mandi. Mungkin hal itu bisa membuat hatinya kembali tenang.

Bab. 2

Pagi yang indah. Stella sudah selesai mandi dan kini berjalan menuju lantai bawah. Setiap pagi sebagai istri Alby Zachary, ia harus ada di meja makan untuk sarapan bersama. Bisa dibilang di rumah Alby sarapan bersama adalah sebuah rutinitas yang tidak bisa dilewatkan. Kecuali ada hal mendesak yang harus memaksa untuk tidak sarapan bersama.

"Stella, bagaimana tidurmu?"

Stella menahan langkah kakinya saat suara Alby tiba-tiba terdengar dari belakang. Karena berjalan sambil menunduk dan melamun, ia tidak lagi menyadari kehadiran Alby di belakangnya.

"Biasa saja," ketus Stella dengan wajah jutek. Namun, lagi-lagi Alby tidak menyerah. Ia justru memegang pergelangan tangan Stella dan membawanya berjalan bersama menuju meja makan.

"Hati-hati. Tangganya bisa mencelakaimu jika kau berjalan sambil cemberut seperti itu." Walau ingin menolak, tapi genggaman Alby sangat sulit di lepas. Hingga akhirnya Stella pasrah saja dan menurut untuk berjalan beriringan dengannya.

Setibanya di meja makan, Stella melihat mertua dan adik iparnya yang sudah ada di sana. Seperti biasa, mereka berdua menatap Stella dengan begitu sinis.

Di rumah ini hanya Alby yang bisa menerima kehadiran Stella. Sisanya justru memandangnya seperti benda kotor yang harus diletakkan di tong sampah. Apa lagi sejak mereka semua tahu kalau Stella tidak perawan lagi.

"Pagi, ma." Alby menyapa ibu kandungnya sebelum menarik kursi untuk Stella duduk. Sedangkan Stella memilih diam tanpa mau menyapa dan duduk di kursi yang telah disediakan. Stella bersikap cuek walaupun kini ada dua pasang mata yang menatapnya dengan begitu tajam.

"Ma, jeruknya asem banget ya." Adik kandung Alby yang bernama Marta mulai berulah.

Stella tahu kalau buah yang dimakan Marta tidak mungkin masam. Dia sengaja mengatakan hal itu karena ingin memancing amarahnya saja.

"Iya, ni. Masam banget ya sayang. Padahal sebelum dia datang semua terasa manis," sambung Ny. Zachary sambil melirik ke arah Stella sebelum tertawa meledek.

"Ma, Alby mohon. Mama harus bisa menerima Stella sebagai istri Alby," ucap Alby dengan suara memohon.

"Menerimanya?" Wanita berusia 55 tahun itu terlihat jijik memandang Stella. "Lebih baik mama tidak memiliki menantu daripada harus menerima wanita sampah seperti ini sebagai menantu mama," ketusnya tanpa mau memikirkan perasaan Stella saat ini.

"Cukup ma!" teriak Alby. "Stella istri Alby. Apapun keadaannya, dia tetap istri Alby!" Alby mulai marah.

Perdebatan ini memang bukan pertama kalinya terdengar. Stella sendiri tahu mertuanya itu hanya ingin membuatnya sakit hati dan tidak nyaman tinggal di rumah itu. Wanita paruh baya itu juga berharap agar Stella kabur dengan sendirinya. Tapi sayang, bukan sakit hati justru Stella mendukung perdebatan itu.

"Semoga saja perdebatan mereka kali ini bisa membuahkan hasil. Perceraian antara aku dan Alby adalah hasil yang aku inginkan," gumam Stella di dalam hati.

Sambil mendengarkan Alby dan mertuanya berdebat tidak jelas Stella memutuskan untuk meletakkan selai strawberry di atas roti. Tentunya dengan wajah masa bodoh. Bahkan Stella mengeluarkan lirikan lagu dari bibirnya.

"Kau memang wanita tidak tahu diri! Bisa-bisanya kau bersikap setenang itu ketika suami dan ibu mertuamu bertengkar!"

Marta menatap Stella dengan geram. Namun Stella masih tetap cuek bebek. Ia memasukkan roti ke dalam mulutnya dan mengunyahnya secara perlahan. Menikmati setiap gigitan selai dan roti yang melebur di dalam mulutnya.

"Wanita jala*ng!" Kali ini bukan hanya umpatan saja. Marta melempar pisau yang ada di genggamannya ke arah Stella. Walau lemparanya meleset. Tetapi jika pisau tadi berhasil menyentuh wajah Stella, tentu saja wajahnya bisa cacat.

Stella melirik pisau yang jatuh ke lantai di belakangnya. Ia meletakkan roti yang sempat di genggam dan membalas tatapan Marta dengan tatapan yang tidak kalah menyeramkan.

BRAKKK

Stella berdiri dan menggebrak meja makan. Tidak peduli kalau di sana ada orang yang lebih tua darinya. Gebrakan itu berhasil membuat perdebatan antara Alby dan Ny. Zachary berakhir.

"Tante, sejak awal Tante tahu sendiri kalau saya tidak pernah rela menjadi istri putra Anda. Sudah berulang kali saya meminta cerai. Tapi, anda tahu sendiri kalau putra Anda tidak mau menceraikan saya. Jadi, jika Tante tidak suka dengan saya. Tante tidak perlu repot-repot menyalahkan saya. Karena orang yang seharusnya di salahkan adalah dia!" tunjuk Stella ke arah Alby.

"Dan untukmu Marta. Semoga saja kau bisa menikah dengan pria yang kau cintai. Tapi, aku berharap kau menikah dengan pria yang tidak kau cintai. Dengan begitu kau tahu, bagaimana rasanya ada di posisiku. Oh ya, kau tadi sempat bilang apa? Wanita jala*ng?" Stella melipat kedua tangannya di depan dada. "Bukankah kau juga sering tidur dengan kekasih bule mu itu?" sindir Stella dengan senyuman tipis. Wanita itu pergi begitu saja setelah puas membalas cacian mertua dan adik iparnya.

Marta hampir saja mati kutu. Namun, ia tidak mau kalah dan berusaha menang dari perdebatan kali ini. Ia menatap wajah ibunya dan memegang tangannya dengan mata berkaca-kaca.

"Mommy, itu tidak benar. Wanita itu ingin membuat kita bertengkar mom," rengeknya.

"Mommy tidak akan percaya dengan apa yang dia katakan. Tenang sayang. Mommy percaya padamu," jawab Ny. Zachary sambil memeluk erat putrinya.

Tidak peduli dengan situasi yang selanjutnya terjadi di sana. Stella memutuskan untuk mengambil kunci mobil dan berjalan santai menuju ke arah pintu utama.

"Stella!" Alby mengejarnya dan menahan langkah kakinya. Dia memegang lengan Stella dengan erat dan mencegahnya pergi.

"Lepaskan!" Stella berusaha menghempaskan tangan Alby.

"Mau ke mana? Sarapan dulu."

"Aku tidak lapar!"

"Stella, mama memang seperti itu. Kau harus terbiasa dengan perkataannya. Aku yakin, cepat atau lambat mama akan bisa menerimamu sebagai menantunya."

Stella tertawa kecil mendengar pernyataan Alby. Pria itu bersikap seperti pria bodoh. Jelas-jelas dia tahu kalau hal itu bukan hal yang Stella harapkan saat ini. Tetapi masih juga melakukan pembelaan.

"Tuan Alby Zachary yang terhormat! Anda pasti tahu di mana titik permasalah yang terjadi di antara kita. Anda juga tahu bagaimana solusinya. Jadi, untuk mengurangi dosa anda karena sudah menentang ibu kandung anda sendiri, sebaiknya anda ceraikan saja saya. Mungkin memang seperti itu yang terbaik," ucap Stella dengan senyuman manis.

"Tidak! Kau pasti tahu jawabannya akan selalu tidak!" ketus Alby tidak terima.

"Tapi kenapa?" teriaknya lagi.

"Karena aku-"

Alby menahan kalimatnya. Ia seperti ingin mengatakan sebuah pernyataan yang sangat penting. Tapi, apa? Alby menahan kalimatnya di saat Stella hampir saja mengetahuinya.

"Karena apa? Karena Anda belum puas melihat saya menderita?"

Alby menghela napas. "Stella sayang, masuk ke kamar ya. Jangan keluar hari ini. Suasana hatimu sedang kacau. Aku tidak mau terjadi sesuatu padamu." Alby memasang senyuman manis di bibirnya. Dia memang terlihat seperti pria yang aneh.

"Enggak! Aku mau pergi!" berontak Stella sembari melangkah.

"No no no." Tiba-tiba saja Alby mengangkat tubuh Stella dan meletakkannya di pundak kanan. Kepala Stella terbalik dan rambut panjangnya menutupi wajah. Stella terus saja berontak hingga sendal yang ia kenakan terlepas. Bahkan karena teriakannya sangat kencang, suaranya terdengar memenuhi sudut ruangan rumah luas itu.

"Alby, lepaskan!"

Alby berhenti sejenak. "Bi, siapkan sarapan dan antar ke kamar." Perintah Alby kepada pembantu yang kebetulan berdiri di dekat tangga.

Setelah itu Alby melanjutkan langkah kakinya. Ia berjalan sangat santai seolah teriakan dan pukulan yang Stella berikan tidak ada apa-apanya.

"Lepaskan! Apa yang mau kau lakukan?" ledek Alby di sepanjang jalan. "Kau mau kabur?"

"Aku bebas melakukan apapun yang aku suka!"

"Aku tidak mau istriku terluka. Maka dari itu, aku putuskan hari ini tidak masuk kerja dan menghabiskan waktuku seharian bersama istri tercinta."

"Apa maksudnya? Menghabiskan waktu seharian denganku?" gumam Stella di dalam hati. Kedua matanya melebar.

Memang selama menikah Stella dan Alby belum pernah melakukan hubungan yang seharusnya dilakukan sepasang suami istri. Akankah hari ini semua akan terjadi. Jika memang benar, apa yang bisa dilakukan Stella? Sementara pria yang ingin menyentuhnya adalah suaminya sendiri. Pernikahan mereka sah di mata agama dan negara. Pemaksaan yang akan dilakukan Alby juga tidak bisa di bilang kasus kriminal.

"Demi apapun. Alby, lepaskan aku. Aku mohon." Stella semakin berteriak histeris. Tetapi Alby justru tertawa. Ia mempercepat langkah kakinya menjejaki anak tangga.

"Aku benar-benar sial hari ini. Jika tahu akhirnya akan seperti ini, sejak tadi aku diam saja dan menghabiskan sarapan pagi ku di meja makan. Bukankan semua akan baik-baik saja jika aku bersikap masa bodoh seperti yang aku lakukan selama ini," gumam Stella menyalahkan dirinya sendiri.

"Alby lepaskan!"

"No, honey. Kau sudah semakin nakal. Suamimu ini akan mendidikku menjadi istri yang baik."

"Alby, lepaskan. Aku mohon!"

Alby justru memukul bokong Stella beberapa kali sebelum merem*asnya dengan gemas.

Stella melotot kaget. "Dia benar-benar sangat menjengkelkan. Aku tidak menyangka jika dia akan seberani ini. Padahal selama ini ia memperlihatkan sikapnya yang sopan dan lembut. Bisa-bisanya pagi ini dia terlihat seperti pria mesum yang menjengkelkan."

"Saatnya bersenang-senang Stella sayang …."

Bab. 3

Ketika tiba di kamar, Alby mengunci pintu kamar. Padahal jelas-jelas tadi dia memesan sarapan pagi kepada pembantu yang bekerja di rumah. Namun kini ia tidak memberi jalan kepada para pelayan untuk masuk ke kamar. Stella tidak tahu lagi harus bagaimana jika hal buruk itu benar-benar harus terjadi.

"Alby! LEPASKAN!"

Alby melempar tubuh mungil Stella di atas ranjang. Tubuh Stella terpental beberapa kali sebelum akhirnya Stella merasa pusing. Namun, ia tidak tinggal diam. Stella berangsur mundur untuk menjauh sejauh mungkin dari Alby.

Stella takut jika hal buruk yang baru saja ia pikirkan akan segera terjadi. Sambil menatap wajah Alby, Stella menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya. Jika masih memiliki kesempatan, ingin sekali Stella masuk ke kamar mandi dan melindungi dirinya di dalam sana.

"Apa yang ingin kau lakukan, Alby!" Suara Stella mulai serak. Walau dia bertingkah sok berani, tetapi tetap saja di dalam hatinya kini sedang ketakutan. Kekuatan yang ia miliki tidak akan sebanding dengan kekuatan Alby. Ia yakin, sekuat apapun untuk berontak akhirnya akan kalah juga.

Alby tersenyum tipis. Ia melonggarkan dasi yang ada di leher. Melihat wajah Stella yang ketakutan seperti itu, membuatnya lebih bersemangat mengerjai sang istri. Secara perlahan, pria itu berjalan mendekati. Tentu saja hal itu membuat perasaan Stella semakin tidak karuan.

"Stop!" teriak Stella histeris. Ia meletakkan tangannya ke depan agar bisa mencegah tubuh Alby menyentuh tubuhnya.

"Stop?" Alby menahan langkah kakinya. Ia terlihat tidak peduli.

Alby segera naik ke atas tempat tidur dan menarik paksa selimut yang di genggam Stella. Melemparnya ke lantai begitu saja. Tangan Stella yang sedang menghalangi ia tarik dan ia letakkan di atas kepala Stella. Mengunci kedua tangan wanita itu agar tidak banyak berontak lagi.

"Alby, lepaskan!" Stella kembali berontak menggunakan kaki dan tubuhnya. Terlebih lagi ketika Alby mencengkram kedua tangannya. Secara paksa Alby menindin Stella di atas ranjang. Lalu, pria itu mencium leher Stella dengan posisi mengunci tangan dan kakinya.

"Stttt. Diamlah. Ada hal penting yang ingin aku katakan." Awalnya Alby hanya ingin bercanda. Tetapi, setelah bibirnya mendarat di leher jenjang sang istri. Hasratnya mulai bangkit. Pria itu ingin lebih. Untuk beberapa saat niat kotor itu memenuhi pikirannya. Bahkan dia tidak peduli kalau harus melakukannya secara paksa.

"Aku mohon. Kau pernah bilang tidak akan memaksaku dan menungguku sampai siap. Aku belum siap Alby. Malam itu membuatku trauma," lirih Stella.

Alby mematung mendengar rintihan Stella. Ia mengangkat kepalanya untuk menjauh dari leher yang membuatnya candu. Pria itu menatap wajah Stella dalam-dalam. Buliran bening yang menggenang di manik Stella membuat hati Alby seperti teriris perih.

"Trauma apa Stella?"

Stella masih belum bisa tenang. Ia terus saja berontak agar bisa terlepas dari cengkraman Alby. Sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan Alby.

"Pergi pria breng*sek! Menjauh dari tubuhku!" umpat Stella. Ia tidak mau Alby terus saja memaksanya mengungkit masa lalu itu. Hingga akhirnya Stella memutuskan untuk memaki sang suami. Makian Stella membuat wajah Alby kembali memerah karena marah.

Hingga akhirnya, tiba-tiba saja Alby meletakkan bibirnya di telinga kanannya. Wanita itu terdiam ketika embusan napas hangat Alby terasa begitu menggairahkan.

"Stella sayang, dengarkan aku. Berhentilah marah-marah seperti tadi. Apa kau tahu, setiap kali kau marah dan berteriak. Gairahku langsung bangkit. Itu sangat sulit untuk dikendalikan. Aku sangat menginginkanmu. Tapi, aku tahu kau tidak akan mau memberikannya. Maka dari itu jangan pancing gairahku dengan sikapmu yang menggemaskan itu," bisik Alby sambil mencium aroma rambut sang istri.

"Alby, menjauhlah!"

"Mau marah lagi?" ancam Alby.

"Tidak!" ketus Stella. Ia memalingkan wajahnya ke sisi kanan.

"Berkatalah dengan lembut atau aku akan melanjutkannya," ancam Alby dengan senyum penuh kemenangan.

Stella tidak memiliki pilihan lain. Ia menarik napasnya dalam-dalam untuk membuang sumpah serapah yang sudah berkumpul di ujung bibir.

"Sudah ada pria lain di hatiku. Jangan memaksaku untuk seperti ini Alby. Kau tahu semua itu bahkan sebelum kita menikah," jawab Stella. Namun dengan nada yang jauh lebih lembut di bandingkan sebelumnya.

"Stella sayang, aku tahu jika saat ini masih ada nama pria lain di dalam hatimu. Tapi aku yakin, suatu saat nanti hanya ada namaku di dalam hatimu. Aku suamimu." Alby terlihat sangat percaya diri dengan ucapannya.

Stella membisu. Ia tidak tahu cara apa lagi yang harus ia gunakan untuk membuat Alby membenci dirinya bahkan menceraikannya. Alby beranjak dari tubuh Stella. Pria itu membelakangi Stella untuk merapikan penampilannya yang berantakan.

"Oh ya, satu lagi. Gunakanlah pakaian yang tertutup. Di rumah ini ada banyak pria. Bukan aku saja. Aku tidak suka tubuh istriku di tonton pria lain. Aku akan meminta pelayan untuk membuang semua pakaian pendek mu yang ada di lemari."

"Kau tidak bisa mengaturku seperti ini. Apa kau lupa kalau-"

"Kau mau mencobanya sekarang? Apa kau tidak bisa membedakan kapan seorang pria sedang bergairah dan kapan ia sedang marah? Hemm?" Kali ini sorot mata Alby berkabut hingga membuat Stella merinding ketakutan.

"Tidak!" jawab Stella.

Stella memalingkan wajahnya. Ia memang tahu kalau kini Alby sangat bergairah. Untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan, Stella memutuskan untuk menurut saja. Toh hanya pakaian. Memakai pakaian panjang atau tertutup tidak akan membuat rasa cintanya dengan Gavin berkurang.

"Mulai sekarang, kemanapun kau pergi kau harus pergi bersama denganku!" ujar Alby sebelum melangkah. Ia terus menunggu kalimat berontak dari Stella. Namun, sudah beberapa meter melangkah Stella tidak lagi berteriak.

"Diam itu aku anggap setuju. Terima kasih, Stella," jawab Alby penuh kemenangan.

Alby melangkah ke arah pintu. Tidak lama setelah pintu terbuka, beberapa pelayan berbaris dengan sarapan di tangan mereka. Stella juga segera duduk di atas ranjang. Ia tidak mau pelayan berpikir yang aneh-aneh tentang dirinya dan Alby. Di tambah lagi, penampilan Stella yang acak-acakan dan dasi Alby yang longgar.

"Aku akan kembali beberapa menit lagi. Habiskan sarapanmu. Jangan cegah para pelayan yang ingin membereskan pakaian di lemari," ancam Alby sambil menyunggingkan senyuman

Walau dalam keadaan tersenyum, tetap saja pria itu terlihat sangat menyeramkan.

Stella memandang ke jendela sambil mengatur napasnya yang terputus-putus. Ia bahkan tidak mau melihat Alby yang kini meninggalkan kamar. Tubuhnya kembali berbaring di ranjang mencari posisi yang nyaman. Masih terbayang jelas tingkah laku Alby beberapa menit yang lalu.

"Hampir saja! Aku tidak bisa terus-terusan memancingnya seperti ini. Jika hal itu sampai terjadi, aku tidak memiliki alasan lagi untuk cerai darinya!" gumam Stella di dalam hati.

Melihat sarapan pagi yang sudah tertata rapi di atas meja membuat Stella segera beranjak dari ranjang dan melahap habis sarapan paginya. Ancaman Alby beberapa menit yang lalu berhasil membuatnya takut dan menurut hari ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!