“Bang, tidak mungkin laki-laki tampan dan gagah seperti Abang diperlakukan buruk oleh istri. Abang jangan menjelek-jelekkan Kak Iklima biar saya mau sama Abang. Lelaki memang begitu kalau sudah ketemu yang baru sering lupa sama yang lama.” Protes Rosita pada pria di depannya.
“Iros, saya tidak seperti yang kamu sebutkan itu. Orang tua saya tidak akan merestui saya untuk melamar kamu jika rumah tangga saya baik-baik saja.”
“Lalu kalau rumah tangga Abang tidak baik-baik saja kenapa tidak berpisah saja? Jangan buat Iros seperti perempuan perebut suami orang, Bang.” Rosita masih tidak mau kalah sementara Leman juga tidak mau mundur. Dia harus mendapatkan kata ‘iya’ dari Rosita kali ini.
“Kalau kamu tidak percaya sama Abang, silakan kamu tanya sendiri keluarga Abang. Mereka semua mengetahui dan melihat bagaimana perangai buruk Iklima pada Abang. Kalau apa yang saya katakan ini benar maka kita akan menikah!” Rosita terkejut dengan perkataan terakhir Leman.
“Abang kok maksa?”
“Lalu sampai kapan Abang menunggumu? Abang tidak mau keduluan sama pria lain.”
“Aku tidak mau dicap pelakor, Bang!”
“Mereka mengataimu tanpa melihat bagaimana kejadiannya. Biarkan saja mereka menanggung sendiri fitnahnya!”
“Bang,”
“Abang akan membawa keluarga Abang bertemu keluargamu secepatnya!”
***
Wanita cantik berkulit putih dengan mata agak sipit khas orang Cina walaupun tidak memeliki darah Cina itu keluar dari rumahnya dengan bahagia dan ceria. Statusnya sebagai janda cerai tanpa anak tidak menghalangi keceriaan dan kebahagiaan yang ia dapatkan dalam kesehariannya di berbagai tempat yang ia kunjungi. Kepribadiannya yang mudah bergaul, ramah dan royal itu membuatnya dengan mudah berbaur dalam semua kalangan.
“I hate Monday! Tidak berlaku untuk Rosita. Seberapa benci pun ia pada hari Senin tetap saja harus ia jalani. Dengan semangat 45, ia menenteng tas branded KW premium kesayangannya, kacamata fashion dan sepeda motor matic sebagai teman sejati yang setia menemaninya kemana saja.
“Mak, Pak, aku berangkat dulu ya!”
“Hati-hati!” sahut ibunya yang sedang membantu memberi makan ayam di belakang.
“Nanti siang mau ikan apa?” tanyanya sebelum menyalakan motor matiknya.
“Ikan bandeng saja! Mau Mamak bakar.”
Setelah mendapat jawaban dari sang ibu, Rosita melajukan motornya menuju kecamatan lain sekitar dua kilometer dari rumahnya. Saat masih menikah dulu, ia sempat menempati rumah dinas di dekat kantor lalu setelah bercerai dengan suaminya itu gara-gara suaminya pecandu narkoba. Ia kembali ke rumah orang tuanya. Rosita bersyukur dia tidak diberikan kesempatan untuk memiliki anak dari matan suaminya sehingga ia tidak perlu memikirkan nasib anaknya saat ini. Hatinya yang hancur akan mudah ia atasi tapi jika hati anaknya yang hancur, bagaimana dia bisa mengobati?
Kebiasaan Rosita adalah begitu tiba di ruangannya sebelum jam kerja dimulai, ia akan membuka akun facebooknya terlebih dahulu. Walaupun usianya sudah 35 tahun tapi dia bukanlah wanita katrok yang tidak mengerti dunia maya. Justru dari sana dia bisa mendapatkan kebahagiaanya tersendiri. Seperti sekarang, saat ia membuka akun facebbooknya. Sudah ada beberapa orang yang mengajaknya berkenalan.
“Leman? Siapa ya? Jad penasaran.” Gumamnya lalu mengklik konfirmasi hingga terhubunglah mereka menjadi teman.
“Assalamualaikum, boleh kenalan?” sebuah pesan langsung masuk ke akun facebook Rosita.
“Wah, pagi-pagi dah online nih orang.” Guman Rosita namun jarinya dengan lincah sudah membalas pesan Leman.
“Boleh,”
“Nama kamu siapa?”
Dan perkenalan terus berlanjut hingga jam kerja Rosita dimulai. Rosita langsung menutup akun setelah pamit pada Leman. Pria itu ternyata meminta nomer ponselnya tapi sayang, Rosita tidak mau memberikannya. Rosita belum mengenal Leman jadi dia tidak mau gegabah dengan memberikan Leman nomer ponselnya.
Saat jam istirahat siang, Rosita kembali ke rumah setelah sebelumnya ke pasar untuk membeli ikan bandeng pesanan sang ibu.
“Kak, bagi duit lah!” suara seorang pria dari dalam rumah.
Dia adalah Alim, adik laki-laki satu-satunya. Alim masih menjadi guru honor bakti di sebuah SMP. Namanya boleh Alim tapi dia tidak alim seperti namanya. Selain menjadi guru honorer, ia juga memelihara ayam petarung. Yang sesekali ikut ia adu sebagai hiburan.
Hari-hari Rosita berjalan seperti itu setiap hari hanya saja setelah berkenalan dengan Leman, hari-harinya sedikit berwarna apalagi setelah sebulan mereka berkenalan lewat facebook barulah Rosita memberikan nomer ponselnya hingga setelah itu keduanya sering bertelepon atau berkirim pesan. Dalam sebulan itu pula, Leman sering memberikan sinyal-sinyal cinta yang sayangnya tidak ditanggapi serius oleh Rosita. Ia tidak mudah termakan bujuk rayu pria apalagi mereka belum bertemu secara langsung.
Beberapa kali, Leman pernah mengiriminya foto namun Rosita yang berwatak keras ini tidak mau percaya sebelum melihat langsung. Alhasil, setelah mendapat waktu yang pas, Leman pergi mengunjungi Rosita yang berada di kabupaten sebelah. Butuh waktu dua jam untuk sampai ke rumah Rosita.
Setiap hari minggu Rosita selalu punya janji untuk jalan-jalan bersama teman-temannya namun hari minggu ini terasa berbeda. Rosita sudah bersiap dari pagi. Ia sudah masak, mandi dan menyiapkan diri sebaik mungkin untuk menjemput Leman.
Leman yang tidak tahu kampung Rosita terpaksa berhenti di depan sebuah mesjid pinggir jalan untuk memudahkannya bertemu Rosita. Leman menunggu Rosita di luar mobil seraya menghisa rokoknya. Dari kejauhan, sebuah motor matik berhenti tidak jauh dari mobilnya. Leman memperhatikan wanita yang berkacamata itu sedang mengotak-ngatik ponselnya.
Dreetttt…
Leman tersenyum ke arah Rosita seraya menjawab panggilan itu.
“Abang di depanmu!” Rosita tersenyum manis nan cantik. Ini adalah pertemuan mereka yang pertama dan getaran-getaran aneh langsung terasa saat keduanya bersalaman.
Tatapan mata Leman yang sayu nan lembut tapi sarat ketegasan berpadu dengan mata sipit Rosita yang membuat Leman tidak berdaya menatap wanita di depannya. Bahkan, Leman sudah berniat untuk menjadikan Rosita istrinya sesegera mungkin. Semangat Leman untuk menjadikan Rosita sebagai istrinya langsung terlihat saat Leman meminta Rosita untuk mengajaknya bertemu dengan orang tua Rosita.
Rosita yang memang berniat mencari suami lansung mengiyakan permintaan Leman. Ia kembali mengendarai motor matiknya lalu Leman mengikuti Rosita dari belakang dengan mobilnya. Kurang dari lima menit, motor Rosita sudah memasuki sebuah lorong dan berhenti sekita 100 meter dari jalan raya. Leman memarkir mobilnya di tanah kosong depan rumah Rosita.
Kedua orang tua Rosita mengintip dari dalam saat ada pria asing yang mendatangi rumahnya. Apalagi perilaku Rosita yang sering berbicara di telepon malam-malam membuat orang tuanya jadi menduga-duga jika anaknya sedang menjalin cinta dengan seorang pria. Mereka yakin jika pria yang saat ini sedang turun dari mobil adalah pria itu.
“Mak, Pak, ini Bang Leman!”
***
Prangggg….
Suara pring pecah kembali terdengar dari rumah sebelah yang tidak lain adalah rumah Leman dengan istri dan anak-anaknya. Leman membangun rumah tepat di samping rumah orang tuanya namun tetap terbatas oleh pagar. Rumah mereka juga berjarak karena masing-masing memiliki tanah yang luas. Ada alasan tersendiri kenapa Leman membangun rumah di samping rumah orang tuanya. Itu karena tanah itu adalah tanah warisan dari orang tuanya lalu istri Leman yang bertugas di sebuah rumah sakit sebagai perawat berstatus pegawai negeri sipil memudahkannya untuk meninggalkan anak-anak di rumah orang tua Leman.
“Nek, Adek takut.” rengek Arif yang masih berusia lima tahun.
Ibu Wardiah selaku ibu dari Leman kerap mengusap dadanya setiap kali mendengar pertengkaran anak dan menantunya itu. Sebagai orang tua, ia dan suaminya hanya bisa berdoa semoga rumah tangga anak dan menantunya akan damai seperti saat awal-awal pernikahan dulu.
Suara bentakan, teriakan terus terdengar dan yang selalu mendominasi adalah suara Iklima. Leman bukan pria emosional yang senang berteriak atau membentak. “Nek, kenapa ayah dan ibu selalu bertengkar?” Ibu Wardian dan suaminya yang bernama Bapak Mahyeddin atau biasa dipanggil Pak Din itu hanya bisa menatap satu sama lain saat Ayu, anak Leman yang berumur 12 tahun itu datang ke rumah mereka.
Setiap kali orang tuanya bertengkar, Ayu dan abangnya yang bernama Andi selalu datang ke rumah Ibu Wardiah karena tidak sanggup mendengar pertengakaran orang tuanya yang kerap kali terjadi. sementara, adik kecil mereka justru dari pagi sudah di rumah neneknya. Tidak jarang, anak itu juga memilih tidur di sana saat ibunya harus piket malam di rumah sakit saat ayahnya sibuk membantu usaha keluarga mereka.
Leman lahir dari keluarga berada dengan kekayaan berupa tanah, sawah, ruko dan kebun. Tapi orang tuanya tidak terlihat seperti orang kaya. Mereka sangat bersahaja dan terlihat sederhana.
“Ibu menuduh ayah selingkuh. Makanya, Ibu marah.” ucap Andi, anak tertua Leman yang berumur 15 tahun. Sedangkan anak pertama Leman berumur 19 tahun bernama Agus yang saat ini sedang berada di kota. Agus sedang melanjutkan pendidikannya di sebuah perguruan tinggi negeri di kota. Dia hanya pulang saat libur kuliah.
Ibu Wardiah sebenarnya pernah mendapati anak laki-lakinya sedang berbicara di telepon dan kelihatan dari raut wajahnya saat itu, Leman terlihat tersenyum tanpa henti dan dari cara bicaranya seolah ia sedang berbicara dengan seorang wanita.
Sementara di rumah sebelah, Iklima masih saja meluapkan emosinya dengan kata-kata hingga membuat Leman tidak tahan lagi. Ia memilih pergi menyusul anak-anak ke rumah orang tuanya. Hanya di sana ia bisa merasakan ketenangan. Tidak jarang, ia memilih tidur di sana untuk menghindari pertengkaran dengan Iklima.
“Ya selalu kamu seperti itu, Bang! Kamu selalu bersembunyi dalam ketiak ibumu saat ada masalah. Terus saja kamu berbuat begitu. Sampai kapanpun aku tidak akan membiarkanmu bahagia dengan wanita itu. Aku akan mencari wanita itu, Bang! Dasar pengecut!” teriak Iklima di belakang suaminya.
Leman tiba tepat jam enam sore setelah seharian berkunjung ke kabupaten sebelah untuk bertemu Rosita dan keluarganya.
Ia juga dijamu makan siang oleh orang tua Rosita. Setelah itu, Leman meminta izin untuk berbicara dengan orang tua Rosita tentang niatnya untuk menikah dengan Rosita. Ternyata selama hampir dua bulan menjalin komunikasi dengan Rosita memalui telepon, Leman langsung memantapkan hatinya pada Rosita hingga ia tidak menyia-nyiakan kesempatan seperti saat ini.
“Saya ingin melamar Rosita jika Bapak dan Ibuk merestui. Saya akan membawa orang tua saya untuk melamarnya secara resmi ke sini.”
“Apa Nak Leman sudah tahu kalau si Ta seorang janda?” tanya Buk Maryani.
Leman mengangguk, “Saya tidak masalah dengan itu, Buk, Pak. Dan tentang status saya, Iros akan mengatakannya nanti pada Bapak dan Ibuk. Saya yakin, dia belum menceritakan tentang saya pada Bapak dan Ibuk.” Orang tua Rosita mengangguk pelan.
Setelah menyampaikan tujuannya pada orang tua Rosita, Leman meminta izin pada mereka untuk mengajak Rosita keluar.
“Di mana tempat yang enak buat santai?” tanya Leman setelah mendapat izin dari orang tua Rosita.
“Ke pantai, mau?” Leman mengangguk lalu keduanya memasuki mobil menuju pantai yang biasanya didatangi oleh Rosita bersama teman-temannya saat melepas penat.
“Sekarang kamu sudah yakin kan sama niat saya untuk menikah denganmu?” tanya Leman begitu mereka duduk di salah satu bangku yang disediakan di sana.
“Tapi saya belum yakin.”
“Kenapa? Karena saya sudah beristri?” Rosita mengangguk lemah. Pandangannya tertuju ke hamparan laut lepas di depannya.
Leman menatap wajah Rosita dari samping. Wajah cantik yang membuat hatinya bergetar kembali setelah sekian tahun lenyap oleh keadaan.
“Kenapa? Apa kamu tidak menyayangi Abang? Apa Abang tidak layak mencari kebahagiaan Abang sendiri? Kalau kamu bertanya-tanya alasan tidak menceraikannya itu karena Abang tidak mau anak-anak Abang sedih dan terluka dengan perceraian kami.”
“Maaf, Bang. Aku belum bisa memberi jawaban saat ini. Orang tuaku juga belum tentu merestui apalagi jika nanti mereka mengetahui status Abang yang masih beristri.”
“Dek, Abang akan tetap mengajak orang tua Abang bertemu keluargamu. Biarkan mereka yang mengatakan bagaimana kondisi sebenarnya pernikahan Abang supaya kamu dan keluargamu percaya.”
“Terserah Abang saja.”
Setelah menyampaikan semua keinginannya, Leman langsung mengajak Rosita untuk pulang. Ia juga harus menempuh perjalanan lagi selama dua jam untuk sampai ke rumahnya. Dan begitu sampai di rumah, Leman langsung disambut oleh amukan Iklima yang sedang melupakan amarahnya saat mengetahui dari anaknya jika ia sudah pergi dari sebelum siang dan baru pulang jam enam sore.
“Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang. Wanita mana yang kamu jumpai sampai kamu tega meninggalkan anakmu di rumah ibuk? Ouh, jangan-jangan Ibumu juga mengetahui dan merestuimu untuk berselingkuh? Luar biasa keluargamu.”
“Ma, berhentilah memfitnah orang tuaku. Kenapa kamu selalu menyalahkan mereka? Ini urusanku dan tidak ada hubungannya dengan mereka.”
“Jadi yang aku katakan itu benar? Kamu berselingkuh di belakangku, begitu?”
“Aku juga tidak membenarkan tuduhanmu!” Kilah Leman.
Pranggg….
Iklima membanting piring bekas makanan anaknya ke lantai.
“Katakan, dari mana kamu?” Iklima yang tidak bisa menahan emosi langsung menarik kerah baju suaminya.
“Aku tidak akan membiarkanmu menikah lagi! ingat itu!”
“Lalu aku harus hidup di neraka ini denganmu, begitu? Selama kau bertahan dengan perangai burukmu maka aku juga akan mencari penggantimu!”
“Apa? Penggantiku? Jangan harap Leman!” sarkas Iklima menatap Leman dengan ekor matanya lalu dengan berkacak pinggang di depan Leman, Iklima kembali berkata, “Selamanya kau akan terikat denganku! Jangan harap kau bisa menceraikanku! Aku pastikan tidak akan ada wanita yang akan menjadi istrimu!”
***
Hai...hai...
Tinggalkan Komentar dan jangan lupa LIKE...
Makasih....
“Kali ini apa lagi, Man?” tanya Ibu Wardiah seraya duduk di samping putranya. Hatinya sedih melihat nasib rumah tangga anaknya. Rumah tangga yang sudah lama seperti neraka untuk anaknya akibat perangai buruk Iklima yang mulai terlihat saat jabatannya naik menjadi kepala perawat di rumah sakit daerah.
Dulu, Iklima hanya seorang pegawai negeri biasa sampai setelah menikah dengan Leman karirnya mulai beranjak hingga menempati posisi sebagai kepala perawat dengan status pegawai negeri sipil. Leman sendiri sudah berstatus PNS ketika menikahi Iklima.
“Man,” panggil lembut Buk Wardiah pada sang putra.
“Kamu bertemu wanita lain? Maaf, Ibu mendengar dari anak-anak. Katanya istrimu marah-marah karena kamu selingkuh. Apa itu benar?”
Leman menatap ibunya lama, “Mak, kalau Leman menikah lagi bagaimana? Leman sudah tidak sanggup lagi.”
“Lalu bagaimana dengan Iklima dan anak-anakmu?”
“Leman tidak tidak bisa menceraikan Iklima, Mak. Leman tidak mau anak-anak bersedih kalau tahu ayah dan ibunya bercerai.”
“Kalau begitu kamu tidak bisa menikah di KUA dengan wanita itu. Wanita seperti apa dia, Nak? Dan apakah dia mau menikah secara agama denganmu?”
Di saat Leman sedang membicarakan Rosita. Di kabupaten sebelah tepatnya di rumah Rosita, orang tua Rosita dan kakaknya yang bernama Rosma sedang menceramahi dirinya dengan berapi-api. Rosma dengan lantang menentang pernikahan Rosita dengan Leman setelah mengetahui bahwa Leman sudah memiliki istri dengan empat orang anak.
“Apa tidak ada pria lajang sampai kamu menerima suami orang? Masih banyak pria lain di luar sana kenapa harus pria beristri? Pokoknya, aku tidak setuju kamu menikah dengan pria itu. Mamak dan Bapak juga tidak boleh menyetujuinya. Kalau kamu nekat menikah dengan pria itu sama saja kamu melempar kotoran ke muka kami.”
“Kak, dia punya alasan untuk menikah lagi dan keluarganya juga mendukung.” Protes Rosita.
“Alah, laki-laki memang begitu. Di depan kamu saja dia sudah membuka aib istrinya. Di belakang kamu dia tidur enak-enak di sana. Jangan terlalu naif jadi perempuan. Kalau perangai istrinya tidak baik kenapa anaknya sampai empat? Pikir itu!” Rosita terdiam, dia tidak akan menang melawan kakaknya yang sama-sama keras kepala itu.
“Iya, Ta. Mamak pikir juga begitu. Cari pria lain saja jangan sama dia. Tidak enak kalau kerabat dan tetangga tahu kamu menikah dengan suami orang. Pandangan mereka ke keluarga kita akan buruk nantinya.” Sahut sang ibu.
Makin runtuh lah semangat Rosita untuk menikah dengan Leman. Ibu dan kakaknya kompak melarang mereka menikah. Rosita dilanda kebimbangan, bagaimana caranya menyampaikan pada Leman jika orang tuanya menentang rencana mereka. Sementara Leman sudah bertekad untuk menikahinya dalam waktu dekat setelah mempertemukan keluarganya dengan keluarga Rosita.
Berbeda dengan Rosita yang memilih diam saat diamuk kakaknya, Leman justru dengan semangat 45 berkisah tentang Rosita pada ibunya. Leman memang anak yang baik dan itu terlihat dengan kedekatannya dengan sang ibu.
“Jadi dia juga PNS?” tanya Buk Wardiah memastikan. Leman mengangguk, dia bendahara di salah satu kantor camat.”
“Apa keluarganya mau menerima kamu?”
“Itu yang Leman tidak tahu, Mak. Saat bertemu dengan orang tuanya, Leman belum mengatakan tentang status Leman yang sudah beristri. Leman hanya mengatakan akan membawa keluarga untuk melamar Rosita. Apa Mamak dan Bapak mau melamarnya?” Leman bertanya menatap manik mata sayu milik sang ibu. Wanita yang memiliki hati lapang dan kesabaran yang luas itu tersenyum.
“Mamak tanya Bapakmu dulu, ya?” Leman mengangguk lalu tersenyum.
“Sepertinya kamu bahagia dengan dia.”
“Leman senang diperhatikan, Mak. Sudah lama Leman tidak sebahagia ini.” Ibu Wardiah tersenyum senang. Sudah lama beliau tidak melihat putranya tersenyum semanis itu.
“Anak-anak sudah tidur, apa kamu mau ikut tidur di sini?”
“Tidak, Mak. Nanti Iklima tambah mengamuk karena Leman tidur di sini. Leman pulang sekarang ya, Mak. Anak-anak biar di sini saja.”
Saraya menghela nafasnya, Leman keluar dari rumah ibunya lalu masuk ke dalam rumahnya dan tidur di kamar anaknya. Rumah yang ia bangun dengan niat baikan kini berubah menjadi neraka. Entah apa yang membuat perangai Iklima menjadi buruk seperti itu. Waktu awal-awal menikah, Iklima adalah sosok wanita yang baik dan sopan. Tapi lambat laun usia pernikahan mereka terus berjalan, perangai buruk Iklima mulai bermunculan dan itu membuat rumah tangganya dengan Leman seperti kuburan. Bahkan untuk urusan ranjang, entah kapan terakhir kali mereka bercinta dengan penuh cinta.
Sepertinya saat Iklima hamil anak bungsu mereka karena setelah kelahiran Arif, Iklima mulai berubah. Memerintah, mengatur dan membentak sudah menjadi makanan sehari-hari Leman hingga beberapa kerabatnya langsung menyuruh Leman untuk menikah lagi. Tapi saat itu, Leman tidak berniat karena belum bertemu dengan wanita seperti Rosita. Leman jatuh cinta pada kepribadian Rosita yang hangat dan apa adanya.
“Ck, aku pikir kamu lupa di mana rumahmu.” Sindir Iklima begitu melihat Leman keluar dari kamar anaknya di pagi hari.
“Ma, ini masih pagi. Jangan mulai lagi.”
“Aku tidak mulai, aku hanya mengatakan apa yang aku pikirkan. Kalau kamu tidak senang kenapa tidak pulang saja ke rumah orang tuamu? Bukannya kamu tidak bisa jauh dari ketiak ibumu?”
“Ma, cukup! Aku tidak ingin bertengkar denganmu pagi-pagi. Apa kamu tidak mau setiap hari memperdengarkan suaramu pada orang sekitar?”
“Kenapa aku harus malu? Yang harus malu itu kamu, Bang. Selingkuh saat aku tidak ada bahkan orang tuamu ikut-ikutan mendukung anaknya selingkuh. Orang tua macam apa mereka?”
“Kenapa selalu aku yang salah? Kalau kamu bisa memperbaiki perangaimu tentu aku tidak perlu melirik wanita lain di luar sana.”
“Nah, akhirnya kamu mengaku juga. Jadi siapa wanita yang sudah kamu pacari itu? Jangan-jangan kamu sudah menikahinya? Wah, hebat sekali kamu, Bang. Sekarang kamu protes dengan perangaiku? Perangaiku yang mana yan harus aku perbaiki, heh?”
Leman pergi meninggalkan Iklima. Ia ingin segera berangkat ke sekolah tempatnya mengajar. Sedangkan Iklima berjalan ke rumah orang tuanya. Tanpa salam, ia langsung masuk ke rumah mertuanya itu dan langsung menuju kamar Ayu dan Andi.
“Bangun! Kalian tidak sekolah?” begitu mendengar suara ibunya, mereka langsung bangun dan mengikuti ibunya untuk pulang.
“Kalian makan dulu yok,” ajak Ibu Wardiah ramah namun jawaban sang menantu jutsru membuatnya terdiam, “Biar aku saja yang urus makanan mereka. Aku takutnya mereka malah ikut-ikutan ayahnya untuk menyukai wanita lain dari pada ibunya sendiri.”
Ibu Wardiah kembai mengelus dadanya. Leman sudah bersiap untuk berangkat. Ia berangkat ke sekolah sekalian mengantar anak-anaknya karena mereka satu arah. Iklimi juga satu arah dengan Leman tapi ia memilih untuk menaiki mobilnya sendiri.
“Ayah nikah lagi ya?”
***
Jangan lupa LIKE DAN KOMEN, berikan juga BINTANGNYA ya!!!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!