NovelToon NovelToon

Nikah Kontrak

PROLOG

Gadis itu terus berlari dengan cepat. Sesekali dia melihat jam kecil yang bertengger di pergelangan tangan kirinya.

“Jangan lagi, jangan lagi,” desis gadis itu. Nafasnya mulai tak beraturan saking lelahnya dia berlari. 

Lagi-lagi dia melihat jam tangannya. “Akhh akhirnya tepat waktu,” ucap gadis itu ketika dia sudah tiba di halte bus. Perasaannya agak lega karena dia sepertinya tak akan telat lagi.

Sebuah bus berhenti di hadapannya dan segeralah dia naik. Gadis cantik itu menggunakan kartu untuk membayar bus.

Tepat seperti dugaannya, tak ada satu tempat pun yang kosong. Entah untuk keberapa kalinya akhirnya dia hanya berdiri dan berpegangan pada salah satu tiang di sana.

Sesekali dia membenarkan bajunya yang terlihat sedikit berantakan karena dirinya berlari tadi.

Sialnya, dari halte bus dia masih harus berjalan lagi untuk mencapai tempat kerjanya itu. Sebenarnya kalian tak perlu berjalan jika kalian memiliki sebuah kendaraan.

Sampai, akhirnya dia sampai di tempat kerjanya. Di sebuah perusahaan terkenal yang bergerak di bidang real estate.

“Defira Estiana, kamu telat lagi!” tegur Direktur perusahaan itu, Bara Caleb. Defira menghentikan langkahnya dan masih sibuk mengatur nafasnya.

“Lima menit, Pak.” Defira berusaha mencari pembelaan. Bara merotasikan bola matanya. Hari kemarin, cucian yang dijadikan alasan. Sekarang waktu yang hanya lima menit. Lain kali apa lagi yang akan dijadikan alasan oleh gadis ini.

“Saya peringatkan, sekali lagi kamu telat, kamu akan langsung berhadapan sama Direktur Utama!” final Bara. “Baik, Pak,” cicit Defira.

Tadi, dia sudah sangat yakin jika dia tak akan telat, tapi siapa sangka perkiraannya meleset lima menit. Gadis itu segera menuju ke kubikelnya, menyimpan tasnya dan segera menghidupkan layar komputernya.

Dia hanya seorang karyawan kecil yang beruntung bisa dipekerjakan di perusahan sebesar itu. Bersyukurlah dia karena diberikan otak yang cerdas.

Baru saja dia mendudukkan dirinya di kursi, notifikasi di ponselnya terus bermunculan hingga membuat fokus karyawan lain tertuju padanya.

“Ahh maaf, aku lupa mematikan notifikasinya.” Setelah meminta maaf, dia mematikan dering ponselnya. Tapi dia tentu saja mengecek pesan apa saja yang masuk di pagi hari ini.

Defira menghela nafas, tentu saja notifikasi itu berasal dari para pelanggannya. “Apakah cucianku sudah selesai?”

“Aku ingin kue ulang tahun itu diantar nanti malam.”

“Jangan lupa ambil sampahku, di depan sana sudah menumpuk.”

Satu lagi pesan yang terlihat horor bagi seorang Defira, “jangan telat lagi malam ini atau aku akan benar-benar memecatmu!”

Defira menghela nafas lelah. Rasanya satu hari satu malam dia hanya terus bekerja tanpa ada waktu untuk istirahat.

“Baiklah-baiklah, ayo kerjakan apa yang ada di hadapanmu dulu,” desisnya. Dia kembali fokus pada pekerjaannya sebelum kemudian dia dibuat terlonjak karena sebuah panggilan.

“Defira, kamu dipanggil Direktur ke ruangannya,” ucap salah satu temannya yaitu Klara. “Astaga, apa lagi katanya?” Defira bertanya pada Klara, siapa tahu wanita itu tahu sesuatu.

Namun, Klara dengan cepat menggedikan bahunya tanda dia tak tahu apa-apa. “Aku gak tau, dia gak bilang apa-apa,” ucap Klara. “Hati-hati saja kau diterkam,” lanjutnya dengan berbisik.

Defira memukul ringan lengan temannya itu sebelum dia benar-benar pergi ke ruangan Direkturnya. “Permisi,” panggilnya dengan ragu.

“Masuk!” Setelah mendapatkan perintah untuk masuk, akhirnya Defira masuk ke dalam ruangan itu. Tatapan Bara sudah sangat tidak bersahabat padanya.

“Duduk!” Defira hanya menuruti apa yang diperintahkan bagai boneka. “Defira Estiana,” panggil Bara dengan pandangan terfokus pada gadis itu.

“Iya, Pak.” Gadis itu segera mengangkat kepalanya untuk melihat lawan bicaranya. “Kamu yakin sudah mengerjakan pekerjaanmu dengan benar?” tanya Bara dengan tajam.

Defira berusaha mengingat apa saja yang menjadi pekerjaannya. “Saya yakin, Pak.” Bara terkekeh mendengar jawaban dari karyawannya itu.

“Sepertinya saya harus memberikan perhitungan padamu.”

**** 

“Aku tau, aku juga sedang mencarinya,” jawab seorang pria dengan nada lelah. Tentu saja lelah, bahkan pekerjaannya sangat menumpuk dan kedua orang tuanya terus saja meminta sesuatu yang belum bisa dia kabulkan

Mencari yang dimaksud pria itu hanya sebuah alibi untuk menghentikan permintaan kedua orang tuanya. Sejatinya dia tak pernah mencari, dia hanya menunggu dan terus terfokus pada karirnya.

“Gimana bisa lagi nyari? Seharian kamu kerja terus. Bahkan makan juga kalau Ibu ingatkan,” ucap wanita paruh baya itu.

“Nanti juga kalau udah ada, aku kasih tau. Lagian kan zaman sekarang nyari orang gak perlu tatap muka. Sekarang udah zaman modern, Bu.” Pria itu kembali menjawabnya. Jujur saja dia sedang tak ingin membicarakan ini.

“Bas, Ibu kamu itu benar. Umur kamu udah cukup buat menikah. Jadi cepat menikah atau kita akan carikan untuk kamu.” Kali ini Ayahnya yang berbicara.

Ucapan Ayahnya itu berhasil membuat seorang Bastian Casper mengalihkan pandangannya pada sang Ayah. Bagaimana tidak terkejut ketiak Ayahnya mengatakan akan mencarikan calon istri untuknya.

“Kok jadi gini sih? Kan yang mau nikah aku, kenapa kalian yang cari calonnya?” Bastian sudah tak mengerti lagi dengan kedua orang tuanya itu

“Makanya kita nyuruh kamu cepat nyari biar sesuai sama yang kamu mau,” jawab Ibunya. 

Bastian menghela nafas lelah. “Iya iya naanti cari.” Umurnya yang sudah hampir menginjak kepala tiga memang sudah harus memiliki pendamping dan seorang keturunan.

“Jangan iya iya doang. Udah dari tiga bulan lalu kamu bilang gitu tapi sampai sekarang belum ada wujudnya,” ucap Ayahnya.

“Ayah kasih kamu waktu satu minggu buat kenalin gadis pilihan kamu sama kita. Kalau satu minggu kamu gak bawa dia ke sini, Ayah bakal jodohin kamu sama anak teman Ayah.”

Bastian mengacak rambutnya. Apa-apan dengan semua ini. Satu minggu adalah waktu yang sangat mepet. Bagaimana bisa dia mendapatkan orang itu dalam waktu satu minggu?

“Tapi – “

“Gak ada tapi. Cari dia yang kamu mau atau kamu Ayah jodohkan!” 

“Terserah Ayah.” Bastian pergi dari hadapan kedua orang tuanya. Dia perlu ruang untuk berpikir.

Pria tampan dengan tubuh yang atletis itu menuju kamarnya di lantai atas. Demi Tuhan saat ini tekanan dia rasakan dari berbagai sisi.

Bastian mengambil ponselnya dan segera menelpon orang yang bisa dia mintai bantuan tentang hal ini.

“Masih di kantor?” tanya Bastian pada orang itu.

“Heem, kenapa?” tanya orang di seberang sana.

“Ketemu nanti malam. Ada sesuatu yang mesti dibahas.”

“Oke, nanti malam di tempat biasa.” Setelah menyelesaikan maksudnya, Bastian mematikan sambungannya.

Pria itu merebahkan badannya di ranjang king size-nya. “Astaga, satu minggu dia bilang? Gimana bisa nemuin gadis yang mau langsung diajak nikah dalam satu minggu?” tanya Bastian.

Dia memejamkan matanya, otaknya terus berputar memikirkan cara yang sebaiknya dia lakukan.

Biaya Operasi

Gadis itu manis, namun tampilan manisnya itu tertutupi dengan wajah letih yang selalu dia tampilkan setiap hari.

Seperti saat ini, dia merasa sangat letih. Tangannya terangkat untuk menghapus keringat yang ada di pelipisnya.

“Cuciannya udah di antar, kue juga udah, emm tinggal ...” Gadis itu terlihat memikirkan apa yang dia lupakan. Rasanya siang tadi ada orang yang menyuruhnya sesuatu.

“Ah buang sampah!!” Dia akhirnya mengingatnya setelah berfikir untuk beberapa saat. Defira segera menuju rumah orang yang dituju.

“Yang itu!” Dia menunjuk beberapa rumah dan akhirnya menemukan rumah dengan tumpukan plastik sampah di depannya.

Dia memungutnya untuk di buang ke tempat sampah yang ada di depan komplek. “Padahal cuma buang sampah, tapi orang itu lebih rela memberikan uang mereka.”

Ya, Defira dibayar untuk setiap pekerjaan yang dia lakukan. “Selesai!” serunya. Untuk hari ini pekerjaannya selesai. Tentu saja sudah usai karena jam sudah menunjukan jam sebelas malam.

Defira menuju rumahnya yang terbilang luas. Rumah itu adalah satu-satunya peninggalan orang tuanya. 

Kecelakaan satu bulan silam berhasil merenggut nyawa kedua orang tuanya. Bersyukur Tuhan masih menyayangi adiknya.

Dafa Emilio, pria yang berstatus sebagai adik Defira itu kini terbaring lemah di rumah sakit dengan berbagai macam alat yang terpasang di tubuhnya.

“Mandi dulu deh,” ucap Defira saat dia tiba di rumahnya. Selesai dengan urusannya, dia tak langsung tidur, melainkan pergi ke sebuah rumah sakit. Dia akan tidur di sana dan begitu seterusnya hingga adiknya berhasil disembuhkan.

“Permisi, dengan keluarga Dafa?” Seorang perawat menghampirinya saat dia baru saja akan membuka ruangan adiknya.

“Iya, ada apa ya?” tanya Defira. Malam-malam begini tak biasanya ada perawat yang ingin berbicara dengannya.

“Pasien atas nama Dafa harus segera dioperasi. Kita sudah menundanya cukup lama, dan akan terjadi kemungkinan buruk jika kita terus menundanya. Maaf baru menyampaikannya sekarang. Awalnya kita akan menyampaikan hal ini siang tadi, namun Anda tidak datang.”

Jantung Defira berdetak dengan cepat. Bukannya dia tak ingin adiknya sembuh, tapi biaya untuk operasi patah tulang membutuhkan uang yang tak sedikit.

Itulah alasan kenapa dia selalu menundanya. Dia menabung selama ini dan uangnya juga belum cukup untuk memenuhi biaya opersi itu.

Defira merenung di dalam ruang rawat Dafa. Tentu saja dia memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang yang banyak dalam waktu yang singkat. Tak mungkin juga dia menjual diri.

Gadis itu terus berfikir hingga dia terlelap dalam tidurnya.

**** 

Dua pria bertubuh kekar kini sedang berbicara saling berhadapan di salah satu kafe yang ada di kota itu.

Kafe itu tampak sepi dari luar, namun siapa sangka pengunjungnya sangat banyak. Karena tak ingin terganggu dengan pelanggan lain, Bastian Casper sengaja memesan ruang VIP untuknya.

“Apa masalah yang sama lagi?” tanya pria lain yang berada di hadapannya. Pria itu adalah Bara, bawahannya sekaligus pria yang menjadi sahabatnya.

Sudah hampir sepuluh tahun mereka bersama dan Bara sudah tahu apa yang menjadi permasalahan hidupnya beberapa tahun belakangan ini.

“Hhmm, ada solusi gak?” Bastian bertanya pada pria yang berstatus sebagai sahabatnya itu. Sebenarnya dia sudah bertanya beberapa kali, tapi pria itu selalu tak menemukan jalan keluar.

“Ya udah lah, ikutan kencan buta aja!” sentak Bara karena sudah terlalu bosan dengan permasalahan Bastian.

“Gak bisa gitu juga. Gue mesti tau gimana kehidupan cewek itu,” jawab Bastian. “Cari sendiri! Udah berapa kali gue bilang cari. Lu malah sibuk mulu sama kerjaan lu!!” kesalnya.

“Kalau gue gak kerja, gimana lo bisa hidup?” Ya, penghasilan utama Bara berasal dari perusahaan Bastian, itulah kenapa pria itu berkata demikian.

“Abisnya saking sibuknya lo, lo juga gak pernah tau kan masalah lain yang terjadi di kantor? Lo selama ini kerja juga keseringan di rumah.”

Entah karena mood-nya juga sedang jelek atau dia memang sangat sensitif dengan topik yang mereka bicarakan, Bara menaikan nada bicaranya.

“Emang di kantor ada apa?” tanya Bastian mulai tertarik dengan cerita sahabatnya itu. Bara memang benar, dia tak pernah tahu apa yang sedang terjadi di kantornya.

“Anak itu bikin ulah lagi,” jawab Bara sebelum kemudian dia meneguk kopi yang ada di hadapannya.

“Anak itu? Siapa?” tanya Bastian tak mengerti. “Oh iya, sekalian aja. Besok lo ke kantor, tegur dia. Beberapa hari ini kerjaannya gak ada yang beres. Tugas yang gue kasih juga gak dikerjain, bahkan dia telat mulu datang ke kantor.” Bara menjelaskan keadaan yang sedang terjadi.

Kalian pasti tahu siapa yang sedang pria itu bicarakan. Ya, Defira. Beberapa hari lalu gadis itu benar-benar tak melakukan tugasnya untuk survei tempat dan Bara sudah menegurnya.

Tapi sepertinya gadis itu memerlukan sebuah teguran yang lebih dari yang dia sampaikan. Itulah mengapa sekarang Bara meminta Bastian untuk datang ke kantor besok.

“Gue harus tegur dia?” tanya Bastian sambil menunjuk dirinya sendiri. Bara kemudian mengangguk dengan yakin.

“Teguran gue udah gak dia gubris,” ucap Bara. “Kalau gitu langsung out aja dari perusahaan,” jawab Bastian tak ingin mengambil jalan yang rumit.

“Justru itu, dia salah satu karyawan yang berpotensi. Itulah kenapa kita harus pertahanin dia. Sayang banget kalau dia dikeluarin.” Bara mengatakan alasan tak ingin memecat gadis itu.

Bastian berusaha untuk mengerti sahabatnya itu. “Oke, besok gue ke kantor buat coba ngomong sama dia.”

Bara mengangguk. Dia akan menyerahkan hal ini kepada atasannya saja. 

Meski Bara sudah mendapatkan solusi, tapi Bastian masih dengan pikirannya. Bagaimana caranya dia bisa membawa seorang wanita ke hadapan orang tuanya dan dia hanya diberikan waktu satu minggu.

Bastian berpikir cukup lama sebelum akhirnya dia memikirkan hal ini. Mungkin jika banyak orang yang mencari, hal itu akan terasa lebih mudah, itu yang ada dalam pikirannya.

Dia mengalihkan pandangannya pada Bara. Bara yang merasa ditatap dengan lekat, ikut memandang Bastian dengan pandangan yang bertanya-tanya.

“Sebagai gantinya, dalam waktu seminggu ini bantu gue cariin cewek buat gue kenalin sama orang tua gue. Gue gak peduli kaya apapun dia, yang penting dia mau ketemu sama orang tua gue seminggu kedepan, setelahnya kita gak bakal ada hubungan apa-apa lagi.”

Seorang Bastian tentu saja tak akan melakukan hal itu secara cuma-Cuma. Pria itu memang sangat malas jika diminta datang ke kantor. Jadi, imbalan seperti ini sepertinya cukup untuk membuatnya bersedia pergi.

“Oke nanti gue bantu cari.” Akhirnya mereka melakukan kesepakatan. Hal itu menguntungkan bagi keduanya.

Setelah mereka menemukan titik penyelesaian dari masalah mereka masing-masing, mereka memilih fokus pada kopi yang sedang mereka nikmati.

Bertemu

Hari ini Defira datang ke kantor tak lagi telat. Justru dia datang sebelum yang lain datang. Namun, tak ada semangat sama sekali di wajahnya untuk bekerja.

Pikirannya melayang pada perkataan Bara kemarin. Semalaman dia terus saja memikirkan hal itu.

Defira mendudukkan dirinya di kursi kerjanya. Gadis manis itu menghela nafas dalam. “Yang benar aja. Masa sampai harus ketemu Direktur Utama,” rengeknya.

Dia menyandarkan tubuhnya di kursi sebelum kemudian memejamkan matanya. “Makanya kalau gak mau ketemu Direktur Utama, gak usah cari masalah.”

Suara bariton yang baru saja tertangkap oleh indera pendengarannya membuat gadis itu terlonjak dan meluruskan duduknya.

“Ah, enggak, Pak. Saya cuma lagi ngomong sendiri,” jawab Defira takut. Orang yang baru saja tiba itu adalah Direkturnya, Bara.

Bara terkekeh mendengar jawaban karyawannya itu. “Siang nanti saya tunggu di ruangan saya, sebelum makan siang.”

Setelah mengatakan hal itu, tanpa menunggu Defira menjawab, Bara segera berlalu dari sana menuju ruangannya.

“Hhaahh, mau apa lagi ini?” Defira menghela nafas lagi sebelum kemudian duduk kembali di kursinya.

Rasanya tak ada semangat sama sekali untuk bekerja. Dan lagi, dia harus mempersiapkan diri, siapa tahu Direktur Utamanya itu akan langsung memecatnya karena kelalaiannya.

“Mikirin apa sih?” Lagi-lagi suara seseorang membuat Defira terlonjak. Entah karena fokusnya yang sedang buyar atau memang orang-orang itu berniat mengagetkannya, Defira rasanya selalu terkejut dengan perbuatan orang-orang akhir-akhir ini.

“Ra, ngagetin aja!!” sentak Defira saking kesalnya. Klara yang mendapatkan bentakan itu hanya terkekeh.

Sejujurnya dari jauh tadi dia sudah memperhatikan temannya itu melamun, itulah kenapa dia berniat untuk mengerjainya sekali saja.

“Lagian ngelamun mulu.” “Gak ngelamun, ini lagi mikir,” jawab Defira seadanya.

“Emang mikirin apa sih?” Klara mengambil kursinya dan menggesernya ke samping Defira. Gadis itu memperhatikan wajah temannya yang terlihat sangat tak bersemangat.

“Kamu pernah ketemu sama Direktur Utama?” tanya Defira. Jujur saja, dia merasa takut karena akan bertemu dengan atasannya.

Klara menggeleng. “Gimana mau ketemu kalau dia aja jarang ke sini. Mungkin sekalinya ke sini, aku lagi gak ada di kantor,” jawab Klara.

Dia juga agak penasaran dengan wajah atasannya itu. Banyak sekali karyawan lama yang mengatakan jika Direktur Utama mereka itu sangat tampan.

“Emangnya kenapa?” lanjut Klara penasara karena temannya itu tiba-tiba bertanya soal Direktur Utama.

Defira menggeleng, biarlah dia akan menyimpan hal ini sendiri. “Kata senior di sini sih dia baik. Dia juga ganteng katanya. Atau kamu mau gebet dia?”

Klara berusaha menerka-nerka apa kiranya yang ada dalam pikiran Defira. “Hush, yang benar aja. Kalaupun iya, gak mungkin dia mau,” kekeh Defira.

Tentu saja memikirkannya saja membuat gadis itu tertawa. Bagaimana bisa seorang konglomerat menyukai gadis miskin seperti dia.

“Siapa yang tau kan kalau emang jodohnya,” jawab Klara. Defira juga tak bisa menjawab jika lawan bicaranya sudah membicarakan tentang takdir Tuhan.

“Udah ah, sana kerja!” Defira mengalihkan pembicaraannya. Dia tak ingin banyak berfikir tentang atasannya itu. Bahkan tanpa memikirkan itu, saat ini otaknya sudah terasa ingin meledak.

Klara menggeser kembali tempat duduknya ke asalnya. Dia mulai membuka dokumen-dokumen yang ada di hadapannya begitupun dengan Defira.

“Bagaimana caraku dapat uang buat operasi? Bagaimana kalau aku jual diri? Atau pinjam uang sama Klara? Dia kan kaya.”

Berbagai pertanyaan hinggap di otaknya selama dia bekerja. Dia bahkan tak menyadari jika dia sudah menyelesaikan pekerjaannya untuk hari ini dan waktu telah berlalu berjam-jam.

“Def, dipanggil Pak Bara ke ruangannya,” ucap Sita, sekretaris Bara. Defira melihat jam yang  melingkar di tangannya. Benar saja, jam sudah menunjukan pukul sebelas siang.

“Ah oke. Makasih.” Setelah mendapatkan jawaban dari Defira, Sita segera kembali ke tempatnya.

“Hhaahh semoga gak dipecat.” Terdengar sangat berharap. Bekerja di sini adalah penghasilan yang cukup besar bagi Defira, itulah kenapa dia tak ingin keluar dari sana.

Defira segera pergi ke ruangan Bara, tak ingin atasannya itu menunggunya terlalu lama. Tangan Defira dengan ragu terangkat untuk mengetuk pintu atasannya itu.

Namun, sebelum itu terjadi, ada seseorang di belakangnya yang terlebih dulu membuka pintu itu hingga badan kecil Defira agak terdorong ke depan.

“Astaga,” kagetnya karena badannya agak terdorong. Defira segera menolehkan pandangannya pada orang yang masih berada di belakangnya itu.

Pandangan mereka bertemu. Defira agak bingung dengan orang ini. Pasalnya dia tak pernah melihat pria itu sama sekali.

“Hei, masuk sini! Kenapa pada di sana sih?!” teriak Bara dari dalam ruangannya yang membuat dua orang yang berada di ambang pintu itu mengalihkan atensinya pada Bara.

Tanpa mengatakan apapun, pria jangkung yang membuka pintu tadi segera masuk. Lain halnya dengan Defira yang masih berdiri di tempatnya.

“Ngapain kamu masih di sana? Sini masuk!” perintah Bara. Defira agak terkejut dan kebingungan.

“Ah, i-iya Pak.” Defira masuk dengan ragu. “Duduk!” Defira menuruti perintah Bara dan duduk di sofa yang ada di ruangan itu.

“Ini orangnya,” ucap Bara pada pria itu. Pandangan pria itu langsung tertuju pada Defira. Melihat gadis itu dari ujung kaki hingga ujung kepala seperti sedang melakukan scanning.

“Keluar, biar kita berdua di sini,” ucap pria itu dengan dingin. Pandangannya masih mengarah pada Defira begitupun Defira yang menatap pria itu.

Gadis itu menunjuk dirinya. “Saya yang keluar?” tanya Defira ragu. “Kamu diam di sini, saya yang keluar.” Bukan pria itu yang menjawab melainkan Bara.

Defira semakin dibuat kebingungan, gadis itu terus memandang Bara yang beranjak keluar hingga punggungnya hilang tak terlihat ketika pintu tertutup.

Defira memilin jari-jari tangannya. Sekarang dia memiliki firasat jik yang sedang berada di hadapannya itu adalah Direktur Utama.

“Kamu tau siapa saya?” tanya pria itu dengan tajam. Entahlah mungkin gaya bicaranya memang seperti itu.

Gadis yang ditanya itu menggelengkan kepalanya dengan takut pertanda dia tak tahu siapa orang yang sedang berbicara di depannya. Ingin menjawab, namun dia takut salah. Jadi untuk mencari aman, dia hanya menggelengkan kepalanya saja.

Tanpa diduga, pria itu mengulurkan tangannya sambil menatap Defira dengan lekat. Melihat Defira yang tak menerima uluran tangannya, pria itu kembali memberikan kode agar Defira menjabat tangannya.

Dengan ragu, Defira menerima uluran tangan itu. “Perkenalkan, saya Bastian Casper, Direktur Utama perusahaan ini.” Setelah Defira menjabat tangannya, Bastian baru memperkenalkan dirinya.

Mata Defira terbelalak saat dia mendengar penuturan Bastian. Dengan cepat gadis itu melepaskan tautan tangan mereka dan berdiri kemudian membungkuk untuk memberikan hormat pada pria itu.

“Ahh maaf, Pak. Saya tidak tahu. Maaf,” ucap Defira beberapa kali. Bastian tersenyum tipis melihat pemandangan di hadapannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!