NovelToon NovelToon

Lingkaran Cinta Cucu Sultan

prolog

Happy reading ....

Zein Maliek Bramasta. Kakak Zein, begitu ia biasa disapa. Cucu pertama Salman Al-Azmi, yang merupakan putra tertua Maliek Bramasta dengan Meydina Salman Al-Azmi. Juga kakak dari Amar Maliek Al-Azmi dan Fatima Maliek Bramasta.

Zein kecil yang cadel, sangatlah usil. Namun begitu, ia sangat menyayangi saudara-saudaranya, terutama Fatima yang biasa dipanggilnya 'Baby'.

Sejak usia 15 tahun, Zein tinggal di London bersama adik laki-lakinya, Amar. Dua cucu Salman itu dipersiapakan untuk menjadi penerus perusahaan.

Zein mewarisi Al-Azmi Corporate, sedangkan Amar mewarisi Bramasta Corporate. Di London, keduanya dalam pengawasan Bramasta dan istri yang tak lain kakek dan nenek mereka. Serta dibawah bimbingan Mike Anderson, salah satu orang kepercayaan Salman.

Hari berganti, tahun pun berlalu. Sejak menyelesaikan sekolah menengah atas, Zein sudah menempati posisi CEO Al-Azmi Corp. cabang London. Namun saat ini, Zein ditempatkan di New York-Amerika Serikat.

Darah pengusaha sangat kental pada diri Zein. Ia sangat berbakat dan bertanggung jawab pada setiap tugas yang diembannya.

Alvin dan Maliek juga sangat ketat dalam mendidik penerus Al-Azmi itu. Zein berhasil menyelesaikan pendidikannya hingga jenjang S2.

Tidak hanya dibidang bisnis, Zein juga menjadi salah satu lulusan terbaik sekolah penerbangan di London. Meski tidak menjadi juru terbang pesawat komersial, Zein sering menerbangkan pesawat pribadi untuk sekedar melepas penat atau mewujudkan keinginan masa kecilnya mengantar Fatima mengudara.

Kerasnya didikan juga kesadaran akan beratnya tanggung jawab yang ia emban, membuat Zein tumbuh menjadi sosok arogan, dan dingin terhadap wanita. Sampai menginjak usia hampir 30 tahun, Zein belum pernah menambatkan hatinya pada siapapun juga.

Sebagai ibu dengan latar belakang kehidupan yang sederhana, Meydina sangat mengkhawatirkan putra sulungnya ini. Menurutnya, kehidupan Zein haruslah seimbang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang menyenangkan.

Meydina beberapa kali coba untuk menjodohkan Zein dengan putri kenalannya, atau kenalan Amiera. Akan tetapi belum apa-apa, Zein sudah menolaknya. Meydina yang sudah hampir putus asa pun menjodohkan Zein dengan putri kerabatnya sendiri yakni Zemima.

Zemima atau biasa dipanggil Mima adalah putri Riky dan Alena. Usianya baru 18 tahun, dan sebentar lagi menyelesaikan masa sekolah menengah atasnya.

Mima adalah sosok tomboy yang ceria, supel, cuek, tapi juga manja. Baginya, pacaran itu hanya buang-buang waktu saja. Karena menurut Mima, untuk apa hanya fokus pada satu pria jika bisa berteman dengan banyak pria di luar sana.

Mima sangat ingin kuliah di Amerika. Kedua orang tuanya yang semula keberatan pun memberi syarat padanya. Sebuah pernikahan, agar mereka tenang melepas Mima di negeri orang.

Mima tentu menolaknya. Selain mengikat, pernikahan juga nantinya akan memaksa Mima menjalani peran sebagai istri, sekaligus ibu rumah tangga.

"Big No, Mami!" pekiknya.

"Jangan dulu bilang begitu dong, Sayang. Kamu belum tahu 'kan siapa calonnya?" bujuk Alena.

"Memangnya siapa?" tanya Mima dengan raut penasaran.

"Kakak Zein," sahut Alena singkat.

"What? Maksud mami kakaknya Kakak Fatum? Iih, dia 'kan nyebelin. Udah kaya manekin, nggak ada ekspresi," ujar Mima dengan raut wajah ketus yang dibuat-buat.

"Eh, nggak boleh begitu. Kalau Auntie Mey dengar nggak enak ah Ya udah, kalau kamu nggak mau nikah sama Zein, kuliahnya di sini aja. Tinggal sama mami, sama papi. Ngerti?" tegas Alena.

"Huaaa! Kenapa harus dia sih?" raung Mima.

"Kalau bukan Zein, siapa dong? Orang lain? Emang kamu punya pacar?" cecar Alena. Mima menggeleng pelan dengan bibir yang dimajukan.

"Ya udah, kalau gitu pilihan ada ditangan kamu. Ke USA tapi nikah dulu sama Zein, atau di sini aja sama Mami-Papi," tandas Alena yang kemudian beranjak meninggalkan putrinya.

"Mami kejam! Mami nggak sayang aku," pekik Mima sambil menendang-nendangkan kakinya di udara.

***

Nah loh, bagaimana kira-kira ya love story-nya Zein dan Zemima (ZeZe) ini?

Nantikan episode selanjutnya ya.

pulang ke Jakarta

Happy reading ....

Cuaca panas ibukota menyambut kedatangan para penumpang pesawat dengan rute New York-Jakarta yang baru saja tiba di bandara. Beberapa dari mereka sudah mulai meninggalkan bandara, sementara yang lain ada yang masih menunggu di sana. Salah satunya seorang pria berbadan tegap yang nampak keren dengan kaca mata hitam yang ia kenakan.

Sedari tadi pria itu memperhatikan sekelilingnya, berharap ada seseorang yang ia kenal sudah datang untuk menjemput. Raut wajahnya nampak mulai kesal ketika yang dicarinya belum juga terlihat batang hidungnya.

Pria itupun berniat akan menghubungi seseorang. Namun urung, karena sang Ibu sudah lebih dulu menghubunginya.

"Iya, Mi," sahut pria itu yang tak lain adalah Zein Maliek.

"Gimana perjalanannya, Kak? Lancar?" tanya sang ibu di ujung ponselnya.

"Lancar, Mi. Mami lagi apa?"

"Lagi nunggu kakak datang dong, Sayang."

"Oh, ya udah. Tunggu kakak ya, Mi," ujarnya.

"Iya, Sayang. Arka udah datang, 'kan? Tadi katanya dia yang mau jemput kakak."

"Belum ada, Mi. Mungkin sebentar lagi," sahut Zein sambil celingukan. Tak lama terdengar seseorang memanggilnya dari arah belakang. Zein menoleh dan mengangkat satu tangannya untuk menyapa Arkana yang baru datang.

"Kakak Zein!" seru Arkana riang.

"Mi, udah dulu ya. Arka udah datang."

"Iya. Hati-hati, Kak," pesan Meydina.

"Oke." Panggilan pun diakhiri.

Zein manatap horor pada Arkana yang berpenampilan urakan. Jika Zein terlihat perlente lengkap dengan kacamata hitam dan juga jam branded yang dikenakan, lain halnya dengan adik sepupunya itu. Arkana mengenakan hoodie belel yang dikombinasikan dengan ripped jeans berwarna senada.

"Hai, Kak! Lama ya nunggunya. Arka hampir aja lupa, hehe," seloroh Arka.

"Kebiasaan lo, Ka. Lo yang janji, lo juga yang lupa," ujar Zein sambil berjalan ke arah semula Arka datang.

"Ya, maaf. Telat dikit doang," kilah Arka yang berjalan di samping Zein.

Zein tersenyum tipis, lalu mengacak kasar rambut Arka. Ia menghela napas sambil menatap lurus pada arah langkahnya.

Dua hari yang lalu, Meydina tiba-tiba meminta Zein yang kini berada di New York untuk segera pulang. Zein yang memang tidak pernah banyak bertanya pada Meydina, hanya mengiyakan dan langsung meminta sekretarisnya memesankan tiket tujuan Jakarta.

Sudah hampir satu tahun Zein tidak pulang. Sejak penempatan dirinya di New York, Zein berusaha membuktikan diri mampu dan layak menyandang julukan 'Tuan Muda Al-Azmi', meski ia keturunan keluarga Bramasta. Persaingan di dunia bisnis memaksanya mau tak mau ekstra memeras otak, demi mengibarkan bendera Al-Azmi Corporate di negara tersebut.

Setibanya di tempat parkir, Arka memberikan helm untuk Zein. Sambil mengenakan helm, Zein bertanya, "Lo dari bengkel, Ka?"

"Iya, dong. Tempat nongkrong Arka 'kan di sana," sahutnya santai.

"Pantesnya kamu pacaran sama oli," seloroh Zein yang sudah memposisikan diri di belakang Arka.

"Kak Zein juga pacarannya sama laptop," balas Arka.

Zein mengulumkan senyum dan menoyor kepala sepupunya yang sudah mengenakan helm itu. Arkana hanya terkekeh pelan dan mulai menyalakan mesin motornya.

Di tempat lain ...

Suasana kediaman keluarga Salim tak pernah tenang bila Zemima sudah ada di rumah. Suaranya yang nyaring akan terdengar hampir ke setiap penjuru rumah.

Ada-ada saja tingkah putri semata wayang Riky itu. Seperti saat ini, Mima sedang merengek di sofa sambil menendang-nendangkan kakinya di udara.

Widiya yang terduduk tak jauh dari Mima hanya bisa menggeleng pelan sambil mengulumkan senyum melihat tingkah cucu kesayangannya itu. Begitu juga dengan Salim dan Andri yang sedang mengobrol di ruang tamu. Bagi mereka, bukan hal baru melihat Mima yang seperti itu.

Mima memang terlalu dimanja semua orang dalam keluarganya. Hampir tidak ada yang bisa menolak apapun permintaan gadis itu.

Seorang Mima cukup membuat mereka repot jika sudah ada maunya. Akan tetapi, sejak mengutarakan keinginannya kuliah di luar negeri, Riky mulai membatasi banyak hal untuk putrinya tersebut. Salah satunya dengan meminta Mima untuk mulai belajar mandiri.

"Kalau kamu seperti ini, gimana mami sama papi bisa tenang melepas kamu sendirian di negeri orang? Menjadi mandiri itu harus dilatih, bukan sesuatu yang instan. Harus dibiasakan, Mima." Kata-kata seperti itu sudah biasa didengar Mima jika maminya sedang kesal.

Alhasil, jangankan mendaftar kuliah di luar negeri, bahkan di dalam negeri Mima belum didaftarkan di universitas manapun juga. Entah apa yang dipikirkan Riky dan Alena. Mungkin mereka berada dalam dilema. Di satu sisi sebagai orang tua, pasangan itu ingin mengabulkan permintaan putri mereka. Tapi di sisi lain, mereka belum siap melepas jauh Mima yang manja.

Tapi kali ini lain persoalan. Mima benar-benar kesal. Ia dan teman-teman satu geng-nya sudah merencanakan jauh-jauh hari acara perpisahan di sebuah vila di kota B. Akan tetapi, rencana tinggalah rencana.

Saat teman-temannya sudah berangkat menuju kota tujuan, Mima hanya bisa gigit jari di rumah. Semua itu karena kedua orang tuanya tiba-tiba saja meminta Mima ikut bersama mereka ke Jakarta.

"Cuma dua malam kok, Sayang. Kita juga kan sudah lama nggak nengok opa," ujar Alena sambil meletakkan bowling bag miliknya, juga ransel Mima di atas meja.

"Tapi bisa lain hari kan, Mi," rengek Mima dari balik bantal yang ditangkupkan.

Alena tersenyum menatap Mima yang menyembunyikan wajahnya dibalik bantal sofa. Alena kemudian terduduk di tepi sofa di samping Mima. Perlahan, Alena menjauhkan bantal itu dari wajah putrinya.

Mima memajukan bibirnya dengan wajah yang ditekuk. Melihat wajah cantik putrinya yang terlihat lucu. Alena memijit gemas sambil menarik hidung Mima.

"Aww! Sakit, Mami," pekiknya manja.

"Katanya mau nurut sama papi, sama mami. Diajak ke rumah opa aja nggak mau," delik Alena.

"Bukan nggak mau, Mi. Bisa kapan aja, 'kan? Masalahnya, kenapa harus hari ini sih?" protes Mima kesal.

"Idih, mukanya jadi jelek gitu ih. Tuh! Protesnya sama papi," ujar Alena sambil menunjuk pada Riky yang sedang menuruni tangga. Riky tersenyum lebar sembari menatap pada Mima. Ia sudah menduga putrinya itu akan uring-uringan.

"Kenapa? Kok kamu belum siap-siap? Ayo, Sayang! Kita udah harus ke bandara," ujar Riky lembut sambil mendekati sofa.

"Boleh nggak kalau aku nggak ikut, Pi?" pinta Mima dengan wajah memelas.

Riky menggeleng dan tersenyum lebar sambil mendudukkan bokongnya di samping Widiya.

"Masih mau kuliah di New York nggak?" tanya Riky.

"Mau," angguk Mima cepat dan langsung membetulkan posisi duduknya.

"Papi sama mami punya solusi buat kamu," ujar Riky.

"Solusi? Memangnya Mima ada masalah apa?" tanya Mima bingung. Mima menoleh pada maminya yang membuang kasar napasnya.

"Masalahnya, kamu ngotot mau kuliah di luar negeri, Sayang. Mami sama papimu khawatir dan tidak mengizinkan. Menurut kamu, itu masalah bukan?" tanya Widiya sambil mencoba menjelaskan.

"Bukan," geleng Mima dengan polosnya.

"Huft. Ya, sudahlah. Nanti saja kita bicarakan. Ayo, sekarang kita harus berangkat," ujar Alena sambil berdiri dan beranjak dari sofa.

"Ayo, Sayang!" ajak Alena lagi ketika melihat Mima masih terduduk sofa. Alena mengulurkan tangannya yang disambut malas oleh Mima. Saat mereka berpamitan pada Widiya dan Salim, Mima masih menekuk wajahnya. Bahkan candaan yang dilontrakan Andri tak mampu mengubah mood Mima.

"Dah, Sayang! Jangan lupa kabari oma ya kalau udah sampai," pesan Widiya sambil mencium kening Mima dari jendela mobil yang terbuka.

"Iya, Oma. Bye ...," ujar Mima sambil melambai pelan. Widiya dan Salim mengulumkan senyum melihat bibir Mima yang manyun. Keduanya menatap kepergian Riky dan keluarga kecilnya ke bandara dengan diantar Andri tentunya.

"Apa hari ini Zein pulang?" tanya Salim, dan diangguki oleh Widiya. "Jadi dong?" tanyanya lagi.

"Ya, semoga aja. Papa tahu sendiri gimana Mima," sahut Widiya.

"Hmm ... kalau jadi, rumah kita akan sepi," imbuh Salim datar. Widiya mengangguk dengan raut wajah yang sendu.

_bersambung_

nikah, sama siapa?

Happy reading ....

Pekikan riang anak-anak yang bermain air di kolam renang terdengar saling bersahutan. Amar yang merasa kesal pada Zein yang menolak diajak berlomba sedang menyirami sang kakak dengan menggunakan tangannya.

Zein yang awalnya memilih memandikan barbie bersama Fatima pun membalas Amar. Pada akhirnya, tawa mereka menggema di kolam itu. Kolam renang yang sengaja dibuat Salman untuk menyenangkan mereka.

**

"Kok melamun, Sayang?" tanya Maliek sambil mencium pipi Meydina.

Meydina tersentak dan tersenyum tipis sambil mengusap pipi Maliek yang memeluknya dari belakang. Semua tinggal kenangan. Keceriaan ketiga anak itu sudah tak ada lagi. Mereka kini telah dewasa. Ketiga anaknya telah memiliki dunianya sendiri.

Hanya Amar yang tinggal bersama Maliek dan Meydina. Setelah menyelesaikan pendidikannya di London, Amar langsung menempati posisi yang semula ditempati Maliek di Bramasta Corp.

Zein kini tinggal di New York. Sedangkan Fatima, tinggal di London bersama kakek dan neneknya. Fatima membangun karir di sana. Anak gadis Maliek itu mengikuti jejak Amiera yang menggeluti dunia fashion dan mendirikan sebuah butik yang mulai memiliki nama.

"Kakak kok lama ya, Pi?" tanya Meydina pelan.

"Arka yang jemput, 'kan?" tanya Malik dan diangguki Meydina.

"Jangan-jangan Arka lupa, Mi. Dia kalau udah main oli lupa segalanya." Maliek terduduk di samping Meydina, menghadap pintu kaca yang memisahkan rumah itu dengan kolam renang.

"Enggak kok, tadi waktu mami nelpon Arka udah datang," sahut Meydina.

"Ooh, syukur deh."

"Pak Riky kapan ke sini, Pi?" tanya Meydina kemudian.

"Mungkin lagi di pesawat," sahut Maliek singkat.

Meydina tersenyum tipis mengingat sosok Mima yang cukup dekat dengannya. Bahkan putri Alena itu memanggilnya 'mami' seperti ketiga anaknya. Hal itu karena Mima sering menginap di rumahnya saat Fatima masih tinggal bersama mereka. Namun, sejak Fatima tinggal di London, Mima hanya sesekali main ke rumah itu dan tidak tentunya tidak menginap.

Suara motor Arka yang bising mengalihkan perhatian mereka. Meydina langsung bangun dari duduknya dengan senyuman yang lebar. Meydina menoleh pada Maliek yang mengangguk pelan. Setelahnya ia pun bergegas menuju ke bagian depan rumahnya.

"Mami!"

Meydina menatap haru pada Zein yang berjalan menuju padanya dari ambang pintu dengan kedua tangan yang direntangkan. Bayangan Zein kecil yang berlari menghambur padanya berkelebat begitu saja. Meydina tersadar saat merasakan Zein mendekap dan memeluknya sangat erat.

"Mami," bisik Zein. Meydina tersenyum sambil mengusap bagian belakang kepala Zein.

"Papi kira kamu lupa jalan pulang, Zein," seloroh Maliek sambil berjalan mendekati mereka.

"Nggak dong, Pi. Selama ada mami di rumah, kakak nggak mungkin lupa jalan pulang," sahut Zein.

"Si anak mami ... semua mami," sindir Arka yang melewati mereka sambil bernyanyi.

"Sirik, Lo," ujar Zein sambil melepaskan pelukannya pada Meydina, lalu menyalami serta memeluk papinya.

"Auntie, Arka lapar nih. Minta makan ya," ujar Arka sembari melangkah menuju ruang makan.

"Boleh dong, Sayang. Kakak juga belum makan, 'kan?" tanya Meydina pada Zein yang ditatapnya sangat lekat.

"Belum, Mi. Kakak lapar," sahut Zein manja sambil mengusap-usap perutnya.

"Kasihan anak mami. Ayo makan bareng Arka, Sayang." Meydina mengusap dada Zein yang bertingkah manja. Ia tahu putranya itu tidak benar-benar lapar. Namun begitu, Meydina meladeni tingkah Zein yang pastinya sudah sangat ia rindukan.

"Ayo," sahut Zein bersemangat sambil merengkuh pundak Meydina. Mereka meninggalkan Maliek yang tersenyum masam melihat kedekatan istri dan putranya.

"Kok gue serasa jadi nyamuk ya?" gumam Maliek sambil menggaruk tengkuknya. "Hei, Kalian! Kok papi ditinggalin? Awas ya," ujar Maliek sambil mempercepat langkahnya. Maliek menyela diantara Meydina dan Zein sambil merengkuh keduanya. Meydina mengulumkan senyum sambil mencubit gemas perut Maliek yang kemudian mengaduh tanpa bersuara.

Maliek terduduk di kursi yang biasa ditempatinya. Sedangkan Zein terduduk di sisi kiri Maliek, bersebelahan dengan Arka. Sementara itu, Meydina di sisi kanan suaminya, bersebrangan dengan Zein.

Arka dengan cueknya mendahului tuan rumah menyendok nasi beserta lauk pauknya. Tak ada yang keberatan akan hal itu kerena mereka sudah terbiasa dengan sikap putra Rendy dan Amiera tersebut.

"Tumben sedikit makannya, Ka?" tanya Meydina yang hendak menyendok nasi setengah menggoda keponakannya.

"Tenang Auntie, ini baru pemanasan," sahut Arka disela suapan.

"Kakak dulu, Mi," pinta Zein sambil menyodorkan piringnya.

"Papi dulu dong," timpal Maliek tak mau kalah. Maliek tersenyum manis pada Meydina yang meminta pengertiannya untuk mengalah kali ini saja dengan isyarat wajah. Tapi Maliek bersikeras dan tersenyum lebar saat Meydina memilih mendahulukannya.

"Ish, Papi," delik Zein.

"Yee makanya kamu nikah dong, biar ada yang melayani dengan sepenuh hati," ujar Maliek setengah menyindir.

"Apa hubungannya makan sama nikah?" gerutu Zein sambil menerima piring berisi nasi dari Meydina.

"Ya biar ada yang masakin, Kak. Gitu aja masa nggak ngerti," timpal Arka. Maliek mengangguk cepat pertanda menyetujui ucapan Arka.

"Kakak gini-gini juga bisa masak, Ka. Memangnya kamu," delik Zein.

"Ya kalau gitu biar ada yang ngelonin," imbuh Arka santai. Kali ini Maliek mengacungkan ibu jarinya.

"Emangnya baby di kelonin," timpal Zein datar sambil menyuapkan makanannya.

"Eh ini anak, nggak paham juga. Biar ada partner di ranjang, Zein. Bair nggak main solo terus, ngerti nggak sih?" ujar Maliek gemas.

"Idih, Papi. Nggak malu apa ngomong begitu?" tanya Zein datar.

Arka terkekeh pelan melihat ekspresi Maliek yang tertohok oleh ucapan Zein. Maliek merasa geram, tapi langsung diam saat menyadari Meydina membulatkan mata ke arahnya. Begitu juga Arka yang langsung mengatupkan bibir saat Meydina menoleh padanya.

"Papi benar, Kak. Sebaiknya kamu segera menikah. Biar ada yang ngurusin," ujar Meydina.

"Setuju," ujar Maliek dan Arka bersamaan sambil mengacungkan ibu jari mereka.

"Nikah sama siapa dong, Mi? Bosan deh, tiap pulang yang dibahas nikah lagi, nikah lagi," sahut Zein menggerutu.

"Jangan-jangan auntie udah punya calonnya nih buat Kak Zein. Anak teman mama ya?" todong Arka.

"Kalau dia anak teman Auntie Amie, buat lo aja. Selama ini nggak ada yang masuk kriteria gue. Silahkan lo ambil," ujar Zein pada Arka.

"Ogah. Aku belum mau nikah. Kalau aku nikah duluan, ngelangkahin tiga orang dong? Eh empat, sama Kak Queen," kilah Arka.

"Ya, biarin," delik Zein.

"Udah-udah, nggak usah ribut. Papi sama mami sudah memutuskan, malam ini kamu akan tunangan, dan bulan depan kamu menikah, titik," tegas Maliek.

"Enak aja. Memangnya Zein mau ditunangin sama siapa? Nggak bisa gitu dong, Pi. Mi ...," protes Zein yang diakhiri nada manja saat meminta pengertian Meydina.

Meydina bergeming dan memilih pura-pura tidak mengerti sambil menikmati makan siangnya. Melihat ibunya yang bersikap tak acuh, Zein terlihat mulai frustasi. Zein membulatkan matanya pada Arka yang sedang mengulumkan tawa.

Sementara itu di tempat lain ....

Riky dan keluarganya baru tiba di salah satu bandara yangvada di Jakarta. Mima terlihat masih kesal dan malas untuk melangkah. Riky merengkuh pundak Mima sambil sesekali mencubit gemas pipi putrinya.

"Udah dong marahnya, Sayang," bujuk Riky lembut.

"Kita mau dijemput Kakak Queen lho, dan kita juga mau ke resto. Katanya Auntie Laura udah nyiapin menu kesukaan kamu," timpal Alena yang berjalan di samping Mima.

"King ada di sana nggak?" tanya Mima.

"Ada," sahut Alena singkat.

"Oke, deh. Pi, solusi yang papi omongin itu maksudnya apa sih?" tanya Mima pelan.

"Oh, itu. Ya ... semacam syarat biar papi sama mami mengizinkan kamu kuliah di Amerika," sahut Riky santai.

"Syarat? Apa itu, Pi?" tanya Mima antusias. Mima menghentikan langkahnya dan bersiap mendengar ucapan Riky.

"Syaratnya ... kamu harus nikah dulu dengan calon yang udah papi-mami siapin untuk kamu," sahut Riky.

"Whats, nikah?" tanya Mima yang spontan memekik. Mima menoleh pada Alena yang mengangguk pelan sambil tersenyum.

"Bukan kita yang nyiapin, Pi. Mima kok yang bercita-cita jadi istrinya," ujar Alena santai.

"Istri siapa? Kapan aku punya cita-cita begitu? Nikah sama siapa sih?" tanya Mima dengan ekspresi wajah horor.

"Kakak Zein," sahut Alena.

"Apa? Si-siapa, Kak Zein? Kakaknya Kak Fatum itu, kan?" pekik Mima. Alena mengangguk pasti.

"Hah? Big No, Mami!" rengek Mima.

"Ssstt, kamu malu-maluin ah," tegur Alena saat menyadari sikap putrinya menarik perhatian orang yang berlalu-lalang di sana.

"Nanti aja kita bicarakan di mobil ya. Sstt, Mima sekarang udah besar. Udah mau kuliah, 'kan? Belajar malu, Sayang. Jangan merengek di mana aja," bujuk Riky pada Mima.

"He-em, kamu juga udah mau nikah," timpal Alena sekenanya.

"Mami gitu ih. Aku 'kan belum setuju," protes Mima kesal. Mima berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya.

Diam-diam Alena mengulumkan senyum melihat reaksi putrinya itu. Begitu juga dengan Riky. Malam ini, mereka akan mempertemukan dua insan dalam sebuah ikatan pertunangan.

_bersambung_

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!