"Ma, Alya bilang Alya tidak mau dijodohkan. Alya tidak mau menikah sama anak teman papa. Alya benar-benar belum siap buat menikah. Alya masih muda dan masih ingin menikmati masa muda Alya sebagai wanita karir. Harus berapa kali sih, Ma, Alya bilang agar Mama sama papa bisa mengerti?" tegas Alya untuk yang kesekian kalinya.
Alya, gadis berusia 23 tahun itu duduk di depan meja riasnya dengan wajah cemberut. Dia tidak pernah menyangka bahwa tujuan orang tuanya memanggilnya untuk kembali ke rumah hanyalah untuk mempertemukannya dengan seorang pemuda yang dipilih oleh sang papa untuk dijadikan sebagai calon suaminya.
Seandainya aku tahu penyakit papa tidak seserius yang aku bayangkan, lebih baik aku tidak usah pulang sekalian. Batin Alya kesal. Kendati demikian, gadis itu tetap tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain hanya pasrah dengan keputusan yang sudah diambil oleh kedua orang tuanya.
"Nak, sebelumnya Mama minta maaf, dan Mama juga mewakili papa kamu untuk meminta maaf yang sebesar-besarnya sama kamu." Mama Rosa mencoba untuk membujuk putri semata wayangnya tersebut.
"Mama tahu, kami berdua sudah sangat egois karena menerima perjodohan ini tanpa meminta persetujuan kamu terlebih dahulu. Tapi satu hal yang mesti kamu ingat, Sayang, papa kamu selama 2 tahun terakhir memang sudah sering sakit-sakitan, dan keinginan terbesar papa sebelum dia pergi meninggalkan dunia ini hanyalah dua, yaitu melihat kamu menikah dengan laki-laki pilihannya lalu bahagia dan memiliki anak. Begitu pun dengan Mama. Harapan terbesar kami sebelum kami pergi, kami hanya ingin melihat putri semata wayang kami hidup bahagia bersama keluarga kecilnya. Dengan begitu, jika waktu kami sudah tiba, kami bisa pergi dengan tenang." Mama Rosa membelai puncak kepala putrinya dengan lembut sambil terus memberikan pengertian.
"Ma ... please jangan bicara seperti itu, Alya paling tidak suka mendengarnya. Pokoknya sampai kapan pun, Mama sama papa tidak boleh pergi meninggalkan Alya meski pun Alya sudah punya suami atau bahkan memiliki beberapa orang anak. Kalian harus tetap sehat dan berada di sisi Alya sampai kapan pun." Alya mencebikkan bibirnya seraya memeluk erat tubuh sang mama. Sebagai anak tunggal dan harapan satu-satunya di keluarga mereka, Alya sungguh tidak rela kedua orang tuanya pergi meninggalkan dunia ini sebelum dia sempat membahagiakan kedua orang tua yang teramat dia cintai dan sayangi.
Mama Rosa pun terus membujuk dan memberi pengertian pada Alya agar anak gadisnya itu setuju untuk dijodohkan. Meski pun Alya belum mengenal siapa calon suaminya, tapi Mama Rosa berani menjamin bahwa laki-laki yang mereka pilihkan untuk Alya bukanlah laki-laki sembarangan. Pemuda pilihan mereka merupakan kandidat calon suami terbaik yang mereka pilih untuk menjadi pendamping hidup putri semata wayang mereka.
"Baiklah, Ma, demi papa dan Mama, Alya akan berusaha ikhlas menerima perjodohan ini," putus Alya kemudian. Tidak terasa air matanya menetes juga. Meski pun berat, tapi dia rela dan berusaha untuk ikhlas demi membahagiakan kedua orang tuanya.
.
.
Alya didampingi oleh sang Mama mulai berjalan menuruni tangga hendak menemui calon suami beserta kedua calon mertuanya yang katanya sudah datang sejak beberapa menit yang lalu. Sebenarnya Alya sangat penasaran, dengan siapa sebenarnya kedua orang tuanya menjodohkan dirinya. Bagaimana mama dan papanya tahu bahwa calon yang mereka pilihkan merupakan kandidat calon suami terbaik, sedangan perjodohan mereka dilakukan secara mendadak sekali. Alya bahkan baru tahu bahwa ternyata dirinya dijodohkan sejak semalam, saat dirinya baru selesai membereskan barang-barang yang dibawa pulang dari rumah sakit.
Kemarin, sang papa memang sempat rawat inap di rumah sakit selama 2 hari, tapi begitu melihat putri satu-satunya datang, kondisi Papa Ilyas, papanya Alya tiba-tiba langsung membaik dan bersemangat untuk segera pulang ke rumah.
"Ma, Alya nerveous, Ma," bisik Alya pada Mama Rosa begitu dirinya melihat penampakan seorang pria bertubuh tinggi tegap dan lumayan berisi, mengenakan kemeja batik lengan panjang sedang berdiri di ruang tamu sambil membelakanginya.
Kalau dilihat-lihat, sepertinya pilihan Papa dan Mama tidak begitu buruk. Hanya melihat postur tubuh dan penampilannya dari belakang saja aku sudah yakin kalau dia pasti lumayan tampan. Aku jadi penasaran, seperti apa wajahnya jika dilihat dari depan. Batin Alya. Semakin dia berjalan mendekat dadanya semakin berdebar-debar.
"Jangan gugup. Ada Mama di sini. Kamu santai saja, ya," bisik Mama Rosa.
Alya terus berjalan dituntun oleh sang mama dengan wajah tertunduk karena masih malu-malu. Sedikit pun dia tidak berani mengangkat kepalanya untuk sekedar menatap sekilas ke arah orang-orang yang tengah berkumpul di ruang tamu.
Sementara itu, pria tampan bernama Adam yang telah dijodohkan dengan Alya terus menatap calon istrinya dengan wajah tersenyum dan mata yang berbinar. Semenjak dia menyadari kedatangan Alya, sekali pun matanya tidak pernah berkedip karena menatap gadis cantik yang merupakan calon istri idamannya tersebut.
Alya, semoga saja kamu tidak terkejut setelah tahu bahwa ternyata pria yang akan menikahimu adalah aku, laki-laki yang dulunya sangat kamu benci saat kita masih sama-sama remaja. Batin Adam.
"Alya, tidak usah malu-malu. Kita semua di sini juga sudah saling mengenal kok," kata pria paruh baya yang merupakan ayah Adam.
Mendengar suara yang begitu familiar di telinganya membuat Alya sontak mendongak menatap pemilik suara tersebut. Matanya seketika membulat saat melihat sosok yang ternyata bos besar pemilik perusahaan Damar Holdings tempat dia bekerja selama ini 1 tahun terakhir.
"P-Pak Damar? Kenapa Bapak bisa ada di sini?" tanya Alya bingung sekaligus penasaran.
Pak Damar tidak menjawab, justru malah tersenyum sambil melempar tatapan ke arah putranya, sehingga membuat Alya otomatis ikut melihat ke arah yang sama. Mata Alya seketika membulat saat melihat siapa sosok pria yang akan dijodohkan dengannya tersebut. Alya sungguh tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ternyata, pria yang akan dijodohkan dengannya adalah Adam Al-Farizi, laki-laki yang paling dia benci di muka bumi ini.
"Ka-kamu? Kenapa malah jadi kamu?" Alya berkata sambil menunjuk ke arah Adam.
Adam tersenyum seraya mengulurkan tanganya ke arah Alya. "Alya, apa kabar? Lama tidak bertemu."
B e r s a m b u n g ...
Flashback On
SMA Tunas Bangsa
Triiing!!!
Bel jam pulang sekolah akhirnya berbunyi. Hampir semua siswa berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing, kecuali Alya beserta dua sahabatnya, Dhea dan July, yang selalu memilih untuk keluar kelas paling terakhir dibandingkan teman-teman mereka yang lain.
"Eh, lo berdua mampir ke rumah gue, ya? Hari ini bang Jay lagi ulang tahun, dan nyokap gue bikin acara kecil-kecilan gitu terus nyuruh gue buat ngajak kalian berdua buat datang ke rumah," kata Dhea pada Alya dan July.
"Oke sip," jawab Alya dan July bersamaan.
"Ah, gue tuh ya, paling seneng kalo ada ajakan makan-makan begini ke rumah Dhea, selain masakan nyokapnya enak banget, bang Jay juga cakep banget."
"Idih ... abang gue udah punya pacar kali," ucap Dhea.
"Ya gak apa-apa. Kan pacar bang Jay bisa gue tikung," kata July dengan PD-nya.
"Coba aja kalo lo gak takut nangeees," ledek Dhea.
"Siapa takut?" balas July.
"Sudah, sudah. Lo berdua tuh, ya, hobby banget adu mulut," kata Alya menengahi kedua sahabatnya tersebut.
Saat ketiga gadis berseragam putih abu-abu tersebut melewati lorong dekat parkiran, mereka secara tidak sengaja mendengar dua orang menyebut-nyebut nama Alya.
"Bro, share dong videonya si Alya, gue juga pengen liat. Penasaran gue," kata seorang siswa laki-laki pada temannya.
"Oh, gak bisa, Bro. Gue yang udah capek-capek manjat tembok buat ngintip dia ganti baju di toilet, masa lo mau enaknya sih tinggal ambil aja. Usaha dong," kata siswa laki-laki yang memiliki postur lebih besar dan lebih tinggi dari temannya tersebut.
"What? Gue gak salah denger, 'kan?" tanya Dhea sembari menarik tangan Alya dan July agar kedua sahabatnya itu juga ikut berhenti di tempat bersamanya.
"Iya, iya, kita juga denger kok," jawab July.
Sementara itu, Alya yang disebut-sebut namanya hanya bisa memutar bola matanya dengan malas. Tanpa melihat orangnya pun, dia sudah tahu siapa yang sedang membicarakannya tersebut.
"Gila ya tuh anak, gak ada bosan-bosannya cari masalah sama gue." Seketika Alya mendadak emosi. Siapa lagi yang berani mengganggunya di sekolah kalau bukan Adam, kakak kelasnya yang resek yang dulunya pernah Alya tolak pernyataan cintanya sebanyak 3 kali.
"Jangan mentang-mentang orang tuanya yang paling kaya di banding semua siswa yang ada di sekolahan ini, dia jadi mau seenaknya mengganggu gue. Dia pikir gue gak bisa bales. Liat aja, kali ini gue gak bakalan tinggal diam, gue bakalan ngasih dia pelajaran, berani-beraninya dia ngintip gue di kamar mandi."
Alya berjalan cepat penuh amarah ke arah Adam dan temannya, dan tentunya kedatangannya tidak disadari oleh kedua kakak kelasnya tersebut. Dengan cepat Alya langsung merampas ponsel yang ada di tangan Adam. Mata Alya langsung membelalak saat melihat gambar dirinya pada layar ponsel Adam yang hanya mengenakan tank top tali spaghetti berwarna hitam. Setelah itu, Alya juga masih menemukan video berdurasi pendek saat dirinya tengah mengganti pakaian olahraganya dengan seragam putih abu-abu yang sekarang ini dia kenakan. Melihat video tersebut, Alya sangat yakin bahwa Adam mengambil gambar dan video dirinya tersebut tadi pagi.
"Alya, balikin handphone gue," kata Adam, tapi Alya justru menatapnya dengan tajam disertai mata merah yang sudah berkaca-kaca. Terlihat jelas bahwa gadis itu sangat marah padanya.
Plak!
Saking emosinya, Alya langsung mendaratkan tamparan di pipi mulus Adam.
"Bang sad lo ya! Kurang ajar!"
Plak!
Sekali lagi Alya mendaratkan tamparan di sisi lain pipi Adam.
Sementara itu, Adam yang mendapat dua kali tamparan dari Alya merasa dirinya seperti terkena mental. Seumur-umur, ini pertama kalinya ada orang yang berani memukulnya, tapi menyadari kesalahan besar yang sudah dia perbuat, Adam tentu saja tidak bisa melawan apalagi melakukan pembelaan atas perbuatannya, karena bukti kejahatannya jelas-jelas sudah ada di tangan Alya. Dan juga, dia memang pantas mendapatkan tamparan dari gadis tersebut.
"Adam Al-Farizi! Gue salah apa sama lo, hah?! Tega-teganya lo mau mempermalukan gue kayak gini!" Alya mencengkeram kerah seragam Adam yang jauh lebih tinggi darinya. Meski pun badan Alya kecil, tapi gadis itu memang terkenal galak dan pemberani. Tidak ada satu orang pun yang berani mengusiknya di sekolah selain Adam, karena dia tidak akan segan-segan untuk melawan jika ada yang berani mengganggunya.
Jika sebelum-sebelumnya Alya lebih memilih untuk bersikap abai jika Adam selalu berusaha untuk mengganggunya, lain halnya dengan sekarang, Alya tidak akan diam lagi karena perbuatan kakak kelasnya itu sungguh sudah sangat keterlaluan, sehingga membuat Alya sakit hati dan semakin membenci Adam.
"Alya, gue-"
"Sst, diam. Gue masih punya satu hadiah buat lo, Adam Al-Farizi." Alya melepas cengkeraman tangannya pada kerah seragam Adam. Lalu mengedarkan pandangannya ke tanah. Begitu melihat sebuah batu besar, Alya segera mengambilnya lalu menumbuk ponsel Adam menggunakan batu besar tersebut hingga hancur.
Tak!
Tak!
Tak!
Mata Adam, Dhea, Mona, beserta teman Adam hanya bisa membulat terkejut saat mereka semua menyaksikan Alya menghancurkan ponsel mahal Adam yang seharga motor itu dengan batu besar hingga membuat layarnya pecah, hancur tak berbentuk.
Setelah menghancurkan ponsel milik Adam, Alya pun pergi dari sana disusul oleh kedua sahabatnya.
B e r s a m b u n g ...
Keesokan harinya.
Hari itu Alya datang lebih lambat dari biasanya, sebab dia terlambat bangun. Semalam gadis itu susah tidur karena menangis memikirkan masalahnya dengan Adam yang membuatnya semakin sakit hati dan membenci kakak kelasnya tersebut.
Namun, pagi itu Alya merasa ada sesuatu yang aneh. Sepanjang dia berjalan menuju kelasnya, para siswa dan siswi yang dia lewati justru malah saling berbisik sambil menatapnya dengan tatapan aneh.
Kenapa sih mereka ngeliat gue sampai segitunya? Apa mungkin gara-gara mata sembab gue kali ya? Duh, jadi ketahuan 'kan kalau gue habis nangis semalaman. Gumam Alya dalam hati, sambil mencoba mengabaikan tatapan aneh yang dilemparkan oleh teman-teman satu sekolahnya tersebut.
"Al ... Alya." Dhea dan July memekik tertahan sambil menyeret Alya masuk ke dalam toilet sekolah.
"Kalian berdua kenapa sih keliatan panik begitu, hah? Ada apa?" tanya Alya penasaran.
"Al ... gawat, Al," kata Dhea.
"Iya, Al, ini benar-benar gawat," tambah July.
"Ini semua salah kita berdua yang kemarin gak mencegah lo mencari gara-gara sama kak Adam," imbuh July.
"Iya, bener. Gue sampai gak tahu gimana caranya buat ngejelasin masalah ini sama lo." Dhea nampaknya sangat frustasi, begitu pula dengan July.
"Memangnya apa sih? Lo berdua tuh kalau ngomong yang jelas dong, jangan bikin gue jadi tambah bingung," kata Alya sambil menatap kedua sahabatnya itu secara bergantian.
Bukannya menjawab, July dan Dhea malah saling menatap, lalu saling melempar untuk menjelaskan pokok permasalahannya pada Alya.
"Lo aja deh yang jelasin, Jul, gue gak tega," ucap Dhea.
"Gak, Dhea, lo aja. Karena masalahnya gue juga gak tega," tolak July.
"Tapi gue-" Dhea mengusap wajahnya dengan putus asa. Mata gadis itu nampaknya sudah berkaca-kaca, begitu pula dengan July. Kedua gadis itu sangat yakin jika Alya, sahabat baik mereka pasti akan merasa sangat terpukul jika sampai mengetahui masalah besar yang menyangkut dirinya.
"Lo berdua kenapa sih? Coba jelasin sama gue. Memangnya ada apa? Kenapa muka kalian berdua kayak itu. Feeling gue jadi gak enak tau gak," kata Alya.
Setelah saling menatap selama beberapa waktu, July dan Dhea pun akhirnya memutuskan untuk menjelaskannya bersama-sama.
"Al, sebagai sahabat terbaik lo dari sejak kita masih sama-sama duduk di bangku SD, SMP, sampai ke jenjang SMA seperti sekarang ini, gue mohon- akh ... sumpah, gue gak bisa ngejelasinnya, Jul. Lo aja deh yang ngelanjutin," kata Dhea.
"Tapi, Dhe, gue juga gak tega, gue gak sanggup," balas July.
"Gini aja, gini aja, karena kita berdua sama-sama gak bisa ngejelasin ke Alya, lebih baik kita share video itu ke dia, biar dia juga bisa liat secara langsung," usul Dhea.
"Oke, sepertinya itu bukan ide yang buruk."
"Video? Video apa maksud kalian?" Seketika Alya merasakan firasat buruk, apalagi saat melihat kedua sahabatnya itu malah memilih bungkam dan tidak ada yang menjawab pertanyaannya.
Ting!
Sebuah pesan video masuk ke inbox Alya, matanya langsung membulat, tangannya terkepal erat, hatinya juga seketika terbakar amarah saat melihat video yang sama yang dilihatnya kemarin di ponsel Adam yang sudah dia hancurkan. Rupanya, hanya menghancurkan ponsel itu tidaklah cukup untuk membuat Adam jera, karena ternyata dia masih memiliki video cadangan.
"ADAM AL-FARIZI!!!!" teriak Alya dengan penuh amarah. Dia akan melabrak kakak kelasnya itu detik ini juga.
Pertama-tama, Alya mencari Adam di kelasnya, tapi pemuda itu tidak ada di sana. Alya yang didampingi oleh Dhea dan July pun segera berjalan menuju kantin, dan disana Alya akhirnya menemukan apa yang dia cari.
"ADAM AL-FARIZI!!!" teriak Alya dengan penuh amarah. Tanpa mempedulikan orang-orang yang ada di sekitarnya, Alya langsung saja melabrak kakak kelasnya itu mendorongnya hingga jatuh dari kursi kantin yang didudukinya. "Dasar kurang ajar lo, ya?"
"Hey, apa-apaan ini, Alya? Kenapa lo ngedorong gue sampai jatuh kayak gini? Emangnya gue salah apa?" tanya Adam sambil berusaha untuk bangkit dari posisinya.
"Cih, lo masih nanya apa salah lo? Hg, luar biasa. Dasar pengecut!" Ucapan Adam yang seolah-olah tidak mengetahui apa-apa membuat emosi Alya semakin terbakar. "Tega banget lo, ya? Gue salah apa emangnya sama lo, hah? Sampe lo tega nyebarin video gue yang kemarin."
"Hey, apa maksudnya ini, Alya? Bukannya lo sendiri yang sudah ngancurin handphone gue kemarin? Apa lo lupa? Jadi mana mungkin gue bisa nyebarin video itu lagi?" kata Adam berusaha membela diri.
"Halah, b*llsh*t. Kalau bukan lo, terus siapa lagi yang nyebarin video ini sampe satu sekolah udah pernah melihatnya?!" Alya menyodorkan layar ponselnya ke depan wajah Adam sehingga membuat Adam bisa melihat video yang sedang terputar di layar ponsel Alya dengan jelas.
"Al-Alya, sumpah, bukan gue yang nyebarin video itu," kata Adam.
"Kalo bukan lo, terus siapa lagi? Masih aja lo gak mau ngaku," kesal Alya. "Gue benci sama lo. Benci banget. Dan sampe kapan pun, gue bakalan tetap terus benci sama lo. Gue gak bakalan maafin lo sampe kapan pun dan gue juga gak bakalan pernah ngelupain kejadian ini seumur hidup gue. Lo udah tega mempermalukan gue satu sekolah, Adam. Ingat itu."
Alya pergi meninggalkan kantin tersebut sambil menangis karena merasa sangat sakit hati pada Adam. Pagi ini dia memutuskan untuk langsung kembali ke rumah dan meminta orang tuanya untuk mengurus surat pindahnya ke sekolah lain. Dia tidak mungkin bersekolah lagi di sekolahnya yang lama setelah semua orang melihat videonya yang sangat memalukan itu. Dan juga, bisa saja di kemudian hari Adam kembali melakukan hal yang lebih parah dan lebih memalukan dari hari ini.
Flashback off.
B e r s a m b u n g...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!