Laura meremas tas sekolahnya di tengah hujan yang cukup deras. Seragam putih abu-abu yang ia kenakan sudah basah dan lusuh karena tadi sempat terjatuh beberapa kali di genangan air.
Gadis berusia delapan belas tahun itu berjalan tak tentu arah sembari menangis terisak-isak.
Tubuhnya sudah sangat lemas karena tadi sempat pingsan di sekolah, dan sampai detik ini ia belum memakan apa pun.
"Bagaimana ini? Ujian tinggal tiga bulan lagi, tapi ... tapi." Laura tak kuasa meneruskan bicaranya lagi. Ia mengeluarkan tujuh buah tespack bekas pakainya dari dalam tas, lantas membuang benda sialan itu ke selokan setelah memastikan tidak ada orang yang melihat gerak-geriknya.
"Kenapa aku bisa hamil?" lirih gadis itu. Kenyataan pahit yang baru saja ia terima benar-benar mengguncang masa depannya.
Laura adalah murid pintar dan berprestasi. Tiga bulan lagi ia akan menjalani ujian dan dinyatakan lulus.
Namun, semua harapan itu seketika lenyap saat garis dua melambaikan tangan kepadanya. Jiwanya sekarang dipenuhi rasa takut dan penyesalan setelah mendapat kenyataan mencengangkan pada hari ini.
"Bodoh ... Aku memang bodoh! Tidak seharusnya dulu aku melakukan hal konyol seperti itu," umpat Laura sambil memukul-mukul perutnya di bawah sana.
"Kenapa kamu harus dateng sekarang, si? Apa kamu gak tau kalo kedatangan kamu cuma bikin aku tambah malu! Pergi, aku gak mau kamu di sini! Aku masih mau sekolah. Aku mau lanjut kuliah!" Laura meremas perutnya sekuat tenaga, tapi yang keluar hanya rasa sakit dan jerit dari mulutnya.
Ia kemudian melihat sebuat halte kosong, lalu memutuskan duduk sejenak untuk berteduh.
Laura merogoh ponselnya di dalam tas. Hal pertama yang Laura buka setelah mengusap layar ponselnya adalah nomor Arga, si tersangka utama yang membuat Laura jadi begini. Ia hendak mendial nomor tersebut, tapi keraguan tiba-tiba datang merasuki diri.
"Enggak! Aku enggak bisa kayak gini. Gimanapun juga Arga gak salah. Aku gak mungkin nyuruh Arga tanggung jawab pada masalah !"
Laura memasukkan kembali ponselnya. Ia benar-benar bingung. Ia merasa usianya masih belum cukup mendapat cobaan sebesar itu. Mau menanggung sendiri pun rasanya tidak mungkin. Ia bukan anak orang kaya, ia tak punya banyak cukup uang untuk membesarkan calon anaknya.
"Apa aku gugurin aja?" Gadis itu menatap langit seolah tengah berbicara pada Tuhan. Dingin yang menusuk sekujur tubuh membuat Laura gemetar dengan ujung bibir yang kian membiru. "Kira-kira Tuhan marah gak ya?"
Laura menunduk lalu mengusap perut datar tersebut. "Aku tahu anak ini gak salah apa-apa, sebenernya aku juga kasihan, tapi kalo aku biarin dia tumbuh, gimana caranya aku ngerawat dia?"
Air mata Laura berderaian tak karuan. Rasanya ingin sekali ia memberitahu hal ini kepada Arga, tapi waktu itu Arga sudah memberi peringatan keras kepadanya.
"Ingat, kalo lo sampe hamil gue gak bakalan tanggung jawab!"
Kata itu terus membayangi pikiran Laura. Lagi pula Arga hanya anak kelas dua SMA, memangnya dia bisa apa?
Mungkin Laura bisa saja meminta tanggung jawab kepada orang tua Arga karena ia mengenal baik ayah Arga. Namun, rasanya tidak etis karena ia sudah terlanjur berjanji pada Arga.
Dia tidak akan meminta tanggung jawab pada Arga.
Kenapa bisa seperti itu?
Kisah pun dimulai dari sini ......
***
Banyak hal yang harus dilalui Laura sebelum garis merah dua menghancurkan masa depannya.
Dan, semuanya berawal dari sini ......
"Gue cinta sama lo, Arga!"
Gadis bernama Laura itu berteriak di sebuah lorong kelas. Disaksikan beberapa guru, kakak kelas, adik kelas, dan seluruh murid yang lalu lalang di jam istirahat. Dengan tidak tahu malunya gadis itu meneriaki objek manusia yang ia lihat bernama Argantara Mega.
Tidak susah menemukan cowok yang suka dipanggil Arga itu. Bahkan dalam jarak dua puluh meter, Laura dapat mengenali tubuh Arga dengan jelas. Di manapun Arga berada, di situlah ada seorang gadis bernama Laura yang selalu menggerayangi kehidupan Arga.
Mengiringi setiap waktu berharga Arga dengan berbagai macam ulahnya yang menyebalkan.
Dan, Arga benci itu!
Lima belas menit yang lalu, seorang cowok nyeleneh yang tidak lain adalah teman sekelas Arga, telah menantang seorang gadis bernama lengkap Laura Anna, untuk menyatakan cintanya di depan umum.
Cowok itu berkata, jika Laura benar serius mencintai Arga, Laura harus sedikit berkorban alias menahan rasa malu demi sesuatu yang manis dan romantis. Tidak disangka, gadis itu menurutinya. Mengikuti tantangan nyeleneh dari sahabat Arga.
"Kalo lo mau bikin hati Arga tersentuh, Nyatain cinta lo buat Arga, di lorong kelas!" perintah anak itu sambil menaik turunkan alisnya.
"Oke! Siapa takut!" Laura mengangguk tanpa mikir-mikir lagi.
Siapa sangka? sebuah kalimat dari mulut sialan itu telah berhasil memprovokasi otak dari seorang gadis nekat bernama Laura.
"A ... R ... G ... A! Arga!" teriak Laura sengaja mengeja nama Arga keras-keras. Kira-kira frekuensinya sekitar 120 desibel, setara dengan kencangnya sebuah galangan konser musik rock. Di mana suara itu dapat membuat sebagian gendang telinga mahluk normal mendadak stress.
Fiks! cewek gila, nih! Beberapa orang yang melihat saling berbisik.
"Argaaaa!"
"Gue suka sama lo, sejak lo kelas satu SMA!" Gadis ajaib itu berteriak lebih kencang, mengalahkan suara bell yang tiba-tiba berbunyi. Para siswa mulai berdatangan untuk melihat gadis aneh yang sedang berdiri di tengah lorong itu.
"Ralat deh ... gue cinta lo sampai kiamat. Udah gak ada obat!" teriaknya menggelegar.
Gila! cewek ini sudah gila ...!
Teriakan beberapa orang di sampingnya tak dihiraukan oleh Laura. Dengan perasaan malu, Arga gagas menghampiri gadis yang sedang berdiri di tengah lorong kelas itu. Menarik paksa lengan nya untuk menjauh dari khalayak ramai.
Arga harus menghentikan aksi nekat gadis ajaib itu. Kalau tidak, Arga akan semakin dibuat malu karena gadis itu terus meneriaki namanya.
Arga membawa Laura ke belakang sekolah yang lebih sepi. Entah harus menaruh urat malu nya di mana, yang jelas Arga tidak berani menatap sedikit pun lingkungan di sekitarnya. Pandanganya fokus membawa gadis gila itu dari kerumunan ramai tadi.
"Lo, gila?"
"Hah? Gila? Enggak lah! Laura itu cinta sama Arga... Laura engga gila!" Gadis kelahiran meganthropus erectus itu berujar polos. Matanya berbinar dipenuhi benih-benih cinta.
Cinta monyet.
"Lo itu kaka kelas gue, harus nya lo bisa bersikap lebih dewasa dari gue! Bukan jadi badut tontonan semua murid kayak begini!" maki Arga sambil menunjuk kening Laura geram.
Kalau bukan karena malu, mungkin cowok itu tidak akan sudi bersentuhan dengan makhluk aneh seperti itu. Apalagi sampai menggandeng tangannya seperti tadi. Cuih, rasanya Arga ingin meludah saat ini juga.
Dengan tidak berdosanya gadis itu menjawab, "Hmmmm. Laura emang kaka kelasnya Arga! Tapi umur kita sama, Ga. Kenapa sih, kamu itu ngga pernah paham sama perasaan Laura? Emangnya gak mau gitu, sedikit aja ngertiin perasaan aku!"
"Setaaan!" maki Arga lirih.
Gadis itu mencebik. Menghentak-hentakan kakinya tidak berdosa. Bibirnya manyun karena sebal.
"Argaa," lirih gadis itu penuh binar.
"Iskh! Sialan! Kenapa si, gue harus selalu berususan sama yang modelan begini!" Arga menggeram lirih.
Sumpah ya ... melihat tingkah gadis ini membuat bulu roma Arga merinding jijik, lebih baik ia melihat mba kunti dari pada harus melihat Laura.
Laura Anna.
Ialah gadis yang wajib Arga hindari di lingkungan sekolah.
"Lo itu punya urat malu ngga, sih? Lo tau gak, kelakuan lo itu kampungan banget. Lo cewe! Harusnya lo punya harga diri sedikit!" Arga menonjok tembok sekuat tenaganya.
Hatinya bergemuruh dipenuhi rasa emosi. Andai orang tuanya mengizinkan, lebih baik ia pindah dari sekolah ini.
Ya ... Selama satu tahun Arga selalu diganggu oleh gadis ajaib ini. Hobinya mendatangi Arga dari sudut mana saja.
Pokonya selalu ada saja tingkah nyeleneh dari gadis menyebalkan yang sering dipanggil dengan nama Laura tersebut.
"Kalau Laura cuma punya cinta buat Arga, gimana?" ujar Laura lagi. Gadis itu menekankan nada bicaranya.
"Kayaknya si itu aja yang Laura miliki! Masa iya Arga gak pernah ngerti?"
"Oh my goodness! Susah ya ternyata, ngomong sama orang kayak lo! Bener-bener gak ada otaknya!" Arga menghela berat setelah itu, merasakan pusing mendadak, terutama nyeri pada bagian kepalanya.
Berasal dari mana sih cewek yang satu ini?Pikir Arga geram sendiri.
"Dengerin ya Arga Sayang, Laura itu tulus sama kamu. Sampai kapan pun Laura akan tetap cinta sama Arga meski Arga menolak ribuan kali! Paham?"
Mendengar itu, Arga tersenyum miring. "Dan sampai kapan pun gue gak akan pernah cinta sama, lo! Meksi lo nembak gue ribuan kali! Paham?" Lelaki itu berteriak jahat tepat di wajah Laura. Anak itu bahkan menonjok tembok sekali lagi sebagai bentuk sumpah serapahnya barusan.
"Ati-ati kalo ngomong, Ga! Entar kamu cinta dikutuk mati sama aku, loh." Laura memperingati.
"Bodo amat!" Arga mendengkus. Dua bahunya setengah mengedik tidak peduli.
Sudah tidak aneh. Cowok itu memang menyimpan sejuta kebencian terhadap gadis yang ada di hadapannya kini. Hampir setiap hari Laura selalu membuat Arga malu dan merasakan keanehan dari tingkah lakunya.
"Ya udah kalo bodo amat! Tapi engga usah pukul tembok juga kali, nanti tangan Arga bisa sakit."
"Mata gue jauh lebih sakit dengan adanya lo! Ngerti?" Emosi Arga makin tak terkontrol lagi. Hal itu membuat Laura mengambil satu langkah mundur.
Gadis itu mendesah. "Ya Tuhan! Kenapa sih calon jodoh aku kayak gini banget? Emangnya dia bener-bener nggak bisa suka sama aku aja ?" Laura mendongak ke atas langit seolah ia tengah bicara dengan Tuhan.
"Cuih, percaya diri amat ini manusia!" Arga merinding jijik.
Gadis itu kemudian menyandar pasrah pada dinding tembok, meremas jari yang saling bertaut sembari menundukan kepalanya. "Arga, kata papah kamu aku itu baik loh, aku cocok sama kamu. Papah kamu bilang setuju kalo kamu nikah sama aku. Malahan dia bilang pengin punya mantu sebaik aku!" lirih Laura. Arga hanya membalas dengan cibiran.
Masih ingin ngoceh panjang kali lebar, Laura mendongak. "Kalau dia udah ngomong gitu, artinya Papah kamu suka sama aku, 'kan?"
"Cuih! Apa hubungannya sama gue, Laura Bambang?" Arga berdecih kesal. "Gue saranin mendingan lo pacaran aja sama bokap gue! Nggak usah ajak-ajak gue, gue gak mau ikutan!"
"Eh, sembarangan kamu! Kan aku sukanya sama Arga, bukan papah Arga. Lagi pula Laura gak mau jadi pelakor, apalagi sampe jadi ibu tiri kamu," jawab gadis itu sok polos seperti tidak memiliki dosa. Arga lalu menggemelutukkan gigi-giginya.
"Gue juga gak mau kali, punya ibu tiri kayak lo! Bisa mati gue."
"Ya udah, makanya kita nikah aja!"
Sontak Arga membulatkan matanya lebar-lebar.
Cewek itu ya Tuhan ... ada saja yang diomongin, membuat Arga semakin muak saja. Demi Neptunus dan kerang ajaib, Jika Laura adalah seekor plankton, sudah dipastikan Arga akan menginjaknya hingga mati tak tersisa.
"Plissss, cinta sama Laura aja ya Ga. Kalo gak sekarang nanti juga boleh. Semisal kamu nggak mau pacaran, kita ta'aruf aja gimana? Yang penting Arga jadi milik Laura," rengek gadis itu lagi.
"Ngga ada ahlak lo emang! Cowok macam mana yang mau ta'aruf sama cacing pita kayak lo!" Arga menoyor dahi Laura dengan ujung telunjuknya cukup keras. "Dah, lah. Lama-lama gue bisa struk ngomong sama cacing pita kayak, lo!"
Cowok itu kemudian meninggalkan Laura sendirian di belakang sekolah. Bisa gila kalau berlama-lama di dekat Laura. Sedari tadi Arga sudah mati-matian menahan rasa emosi, dan kali ini ia sudah tak tahan lagi.
"Arga ... Jangan pergi, Laura masih mau ngobrol lagi sama Arga. Kita bicarain semua ini baik-baik, oke!" teriak Laura.
"Baik-baik mata lo soak!" balas Arga kemudian berlalu di ujung tiang.
Gadis ajaib itu menatap lunglai kepergian Arga, merasakan hawa sesak yang melingkupi ruang di dadanya. Jiwanya mengambang dalam lautan luka yang tidak berdasar. Air matanya menetes bersamaan dengan lenyapnya tubuh Arga dari pandangan Laura.
Laura nggak akan nyerah gini aja, loh! Suatu saat Laura pasti akan mendapatkan hati Arga, janji gadis itu dalam hatinya.
Satu hal yang menyingkirkan rasa sakit hatinya, hari ini adalah pertama kalinya Arga mau melakukan kontak fisik dan berbicara dengan Laura lebih dari tiga kalimat.
Yupsz. Arga sempat menggandeng tangan Laura, walau ia melakukanya dengan terpaksa.
Laura mengenal Arga semenjak ia masih duduk di bangku SMP. Dari pertama kali ia mengenal Arga, gadis itu langsung tertarik mendekati cowok itu. Entah apa yang gadis itu rasakan, tapi Laura tidak pernah sedikit pun menyerah pada usahanya yang selalu dianggap sia-sia.
Selama ini gadis itu terlalu sibuk mengutarakan perasaanya pada Arga, bahkan ia tidak pernah tahu tujuan hidupnya mendekati Arga untuk apa.
Laura hanya senang melakukanya, jadi hatinya akan gunda jika sehari saja tidak mengganggu Arga.
Yang dia mau sekarang hanya ingin melihat Arga setiap hari. Memberikan segala perhatianya untuk Arga seorang, bila perlu seumur hidup juga tidak masalah.
Hanya itu yang ingin dilakukan Laura.
Mencintai tanpa tujuan. Mungkin perasaannya bisa disebut begitu. Karena di lubuh hati Laura sendiri juga belum ingin menjalin hubung berpacaran.
Mungkinkah ia hanya terobsesi saja?
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!