Mulai menjalankan misi.
Jalanan ibukota cukup ramai sore ini. Seorang gadis bernama Lusi Asmarani yang tengah berusia sembilan belas tahun itu, tengah berjalan keluar kantor tempatnya bekerja, dengan langkah tergesa. Sebuah tas ransel usang yang menjadi kebanggaannya itu, bergelayut manis pada bahunya.
Setelah kesepakatan dangkal yang tercapai bersama seorang bos besar yang menduduki jabatan sebagai Executive Asst Manager, Lusi bisa bernafas lega.
Satu persatu hutangnya terbayar lunas, serta ia tak akan bingung lagi dengan biaya sekolah adiknya yang hendak memasuki sekolah menengah pertama. Kini, tinggal pekerjaan Lusi yang sesuai kesepakatan, bahwa ia harus bisa mendekatkan sahabatnya, Renata yang juga bekerja di hotel itu, menduduki jabatan sebagai front office.
Dengan langkah pasti, Lusi berjalan kaki keluar dari sana, sangat berbanding terbalik dengan semua orang kantor yang rata-rata menggunakan kendaraan mewah roda empat, juga motor mewah dengan suara mesin yang halus.
Sepintas Lusi memang tampak biasa saja, tak menunjukkan keistimewaan apa pun. Namun bila dipandang cukup lama, banyak yang tak menyadari bahwa Lusi memiliki aura yang kuat dan wajah yang manis.
Alisnya yang tertata rapi, matanya yang tajam dan tatapannya yang menghangatkan, hidung yang mancung, bibir yang sensual dan selalu basah, disertai bentuk wajahnya yang menyerupai hati, membuat gadis itu tampak memiliki kecantikan yang sempurna. Ditambah lagi, lesung Pipit di kedua pipinya, membuat daya pikat Lusi semakin kuat.
"Lus, ikutlah denganku. Ayo, aku akan memboncengmu dan mengantarkanmu hingga ke rumah." Ucap seorang temannya yang tiba-tiba mengejutkannya.
Dialah Renata Aylam, sahabat Lusi yang memasukkan Lusi ke dalam kantor, ya meski hanya sebagai office girl karena Lusi hanya lulusan sekolah menengah atas.
Lusi tampak membalikkan badan secara spontan.
"Astaga. Kau mengapa selalu mengejutkanku? Pulanglah dulu. Kurasa aku hanya perlu jalan kaki sebentar saja." Lusi tampak menolak halus.
"Aku bisa pulang sendiri. Pulanglah, kau harus istirahat dulu karena nanti malam, aku mengundangmu makan malam ke rumah. Ya, meski hanya sekedar dengan nasi dan sambal."
Renata tampak terkekeh ringan, Lusi memang selalu suka menolak bantuannya sejak dulu dengan dalih tak ingin merepotkan. Hanya saja, Renata benar-benar tak habis pikir dengan sahabatnya ini.
"Oh ayolah. Aku akan mengantarkan dirimu, dan nanti malam aku tetap akan datang kesana. Lagi pula aku juga sudah rindu pada Shila. Ayo. Jangan biarkan Shila menunggumu terlalu lama."
Ucap Renata sambil menarik tangan Lusi dan memaksa.
"Ya sudah. Bila sudah begini, aku tak kan bisa menolaknya." Lusi tertawa sebelum kemudian naik ke atas motor mahal Lusi.
Keduanya tak menyadari, ada sepasang mata yang menatap mereka dengan senyum simpul di bibirnya yang sensual.
**
Sore ini adalah sore paling melelahkan bagi seorang pemuda yang bernama Marcel Dinata. Lelaki itu berjalan dengan menyampirkan jasnya di bahu kirinya, setelah turun dari mobil yang ayahnya belikan, Dion Hadinata.
Senyum tak luntur di bibir lelaki yang berusia dua puluh satu tahun itu. Hatinya terlampau berbunga-bunga.
Sebuah rumah sederhana dengan ukiran rumit di sudut daun pintu, menjadi rumah bagi Marcel pulang. Meski rumah sederhana, namun itulah rumah paling nyaman dan menenteramkan bagi Marcel.
"Marcel, sudah pulang? Kau pasti lelah. Mau ibu buatkan teh, atau apa?" Tanya seorang wanita paruh baya yang masihlah cantik jelita di usianya yang tak lagi muda. Dialah Inora, sang ibu yang melahirkan.
Tak jauh dari Inora, Dion tampak melirik sekilas sambil menutup koran yang baru saja ia baca.
"Aku ingin teh tawar panas, Bu. Beri aku roti dua lembar, aku sedikit lapar." Ucap Marcel sambil mengecup pipi ibunya, sebelum ia menghampiri sang ayah.
"Baiklah." Inora berlalu pergi ke dapur membuatkan minuman untuk putranya.
"Apa yang ayah baca?" Tanya Marcel kemudian.
"Sebuah berita heboh Minggu ini. Bagaimana harimu? Oh ya, bagaimana kabar papamu?" tanya lelaki yang bernama Dion itu. Lelaki itu lantas meletakkan kacamatanya di atas meja, bersama koran yang tadi dibacanya.
"Hariku diwarnai kesibukan, ayah. Papa Alex baik-baik saja. Dia orang kaya yang tak akan kehabisan uang sekalipun." Jawab Marcel.
"Aku bekerja dengannya pun, tak ingin menjadi bahan ungkit-ungkit di masa depan. Itulah sebabnya aku selalu menolaknya saat memberiku pekerjaan dengan jabatan tinggi di perusahaan pusat. Alih-alih di perusahaan pusat, aku lebih suka bekerja di perusahaan cabang dekat sini."
"Tak apa, asal kau menerima kenyataan bahwa ia adalah ayah biologismu saja, ayah sudah lega." Ucap Dion sambil menepuk bahu putranya yang saat ini sudah liat berotot.
Sang ibu datang, membawa segelas teh tawar dan dua lembar roti dengan selai kacang kesukaan Marcel.
"Bu. Aku ingin tinggal di apartemen seorang diri yang dekat dengan tempat kerjaku. Bagaimana menurut ibu? Ibu tak keberatan, bukan? Aku akan pulang sesekali pada akhir pekan."
"Senyaman kau saja. Ibu tak akan menekan anak-anak ibu. Memangnya, kapan kau akan pindah? Apa kau sudah membelinya?"
"Ya. Aku menyicilnya. Tetapi, tak apa kan, Bu? Masih belum pasti juga kapan aku pindah." Tanya Marcel, masih merasa ragu.
"Tak apa, tak masalah asal kau nyaman dan jaga kesehatan serta pola makan, ibu tak akan keberatan." Jawab Inora kemudian.
Senyum cerah terbit di bibir Marcel. Lelaki itu lantas membayangkan banyak rencana dalam kepalanya. Ini tentang kebebasan dirinya dalam meraih Renata. Meski Hanya apartemen biasa, namun Marcel berharap ia nyaman tinggal disana.
"Kenapa kau senyum-senyum sendiri?" Tanya Dion, sang ayah yang curiga.
"Aku sedang jatuh hati pada seorang gadis di tempatku bekerja. Dia, dia adalah bawahanku. Doakan aku, ibu, ayah, aku ingi bisa meraih hatinya." Jawab Marcel.
"Astaga, kau serius? Baiklah, ibu akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu." Sahut Inora penuh antusias.
"Sekarang ceritakan pada ayah, bagaimana tentangnya." Dion pun tak kalah antusias saat ini.
"Dia adalah wanita yang baik, ramah dan juga ceria. Dia menduduki jabatan sebagai front office di kantor. Aku selalu terbayang-bayang wajah cantiknya saat menyapaku di kantor, bukankah jatuh cinta itu seperti ini? Ayah, bahkan bila sehari saja dia absen di tempat kerja, aku sudah rindu padanya."
"Dasar anak nakal. Kau boleh jatuh cinta, tapi ingat satu hal, kau jangan pernah menyentuh wanita jika belum menikahinya." Sahut Inora tiba-tiba. Sebuah masa lalunya yang kelam, ia takut putranya melakukan hal yang buruk seperti masa lalunya.
"Tidak. Baiklah, jika aku tak boleh menyentuhnya, aku akan menidurinya saja." Candaan Marcel, tak urung membuat sang ibu setengah murka. Sebuah majalah yang cukup tebal, berhasil Inora pukulan pada bahu Marcel.
"Jangan pernah bercanda untuk sebuah kata-kata, Marcel. Ingat, apa yang kau katakan hari ini, malaikat penjaga tubuh bisa saja mencatatnya." Tegas Inora sambil terus memukul-mukul Marcel dengan majalah.
Tawa keluarga kecil itu, menjadi sebuah kehangatan yang tak pernah Marcel lakukan.
**
"Apa yang ingin kau katakan, Lus? Sepertinya itu sangat penting sekali." Tanya Renata, saat ia baru selesai makan.
Renata baru saja meletakkan piring yang baru aja ia gunakan untuk makan, sebelum ia cuci bersih. Wanita itu duduk seenaknya di kursi usang tepat di depan televisi yang hanya sebesar empat belas inchi.
Tepat di sebelah Renata, Shila, adik Lusi tengah makan makaroni pedas kesukaannya. Camilan rumahan yang mudah di jumpai di toko-toko biasa dengan harga terjangkau.
Lusi memperhatikan sahabatnya itu, menatap lekat wajah cantik dengan kulit putih terawat.
'Pantas saja tuan Marcel menyukaimu, Ren. Kau cantik dan memiliki pesona yang luar biasa.' Batin Lusi dalam hati.
"Ada seorang pria yang menyukaimu. Dia ingin dekat denganmu. Ya ... hanya dekat. Tidak lebih. Maksud arti kata dekat itu sendiri, hanya sekadar ingin berbincang dan saling mengenal agar lebih akrab. Tidak untuk uang aneh-aneh." Ucap Lusi, dengan meneguk segelas air putih.
"Huh, kau ini. Aku tak ingin membuka hatiku untuk siapa pun saat ini." Jawab Renata.
"Salah sendiri, kau tak membagi tahu siapa yang menjadi penghuni hatimu. Aku pikir, dia hanyalah pria khayalan saja." Kata Lusi kemudian.
"Belum saatnya aku mengungkap identitasnya. Memangnya ... Siapa sih, pria yang kau maksud menyukaiku?" Tanya Renata.
"Aku tak bisa menyebut namanya secara langsung. Dia ada di dekat kita. Tidakkah kau ingin membuka hatimu?" Tanya Lusi kemudian.
"Ah, kau ini. Bisa tidak, jangan membuatku penasaran begini? Astaga, kau ini." Renata berdecak.
Suasana kembali hening. Lusi tenggelam dalam pikirannya, begitu pula dengan Renata.
"Aku akan mengenalkan kekasihku nanti, jika ia sudah siap. Jadi jika boleh aku meminta, jangan kau sodori aku lelaki mana pun."
"Kau yakin kau tak ingin membuka kesempatan untuk pria lain. Memangnya, sesempurna apa kekasihmu?" Tanya Lusi kemudian.
"Bukan lelaki kaya raya idaman, juga bukan pria tampan dan mapan layaknya Don Juan. Hanya saja, aku nyaman dan sangat cocok dengannya." Ungkap Renata penuh kebanggaan.
Lelaki yang selama ini ia puja mati-matian, tak mungkin bagi Renata untuk berpaling ke lain hati. Bagaimana mungkin, setelah perjuangan besar yang Renata lalui, kini Renata diminta secara halus untuk melepas kekasihnya begitu saja? Tidak. Renata tak akan mampu melakukannya.
"Baiklah." Ucap Lusi kemudian.
Sejujurnya, Lusi tak mampu bila ia harus menjadi makcomblang. Sejak dulu ia tak pernah melakoni peran sebagai tukang jodoh, lantaran Lusi terlalu sibuk mencari pekerjaan untuk biaya hidupnya.
Terdengar suara obrolan ringan di ruang tamu yang merangkap menjadi ruang santai. Sesekali, Shila akan tertawa keras bersama Renata, karena sebuah candaan. Di tempatnya, Lusi merasa tak berdaya.
Gadis itu semakin tertekan oleh keadaan serta kesepakatan dangkalnya bersama Marcel. Rasanya ini seperti beban tersendiri bagi Lusi.
Sudah banyak uang Marcel yang Lusi gunakan untuk biaya hidupnya, serta kebutuhan sekolah Shila yang hendak masuk ke sekolah menengah pertama.
Jika Renata tak bisa ia dekatkan dengan Marcel, bukankah itu artinya Lusi gagal menjalankan kesepakatan tersebut? Lalu, apa jadinya jika nanti Marcel meminta uannya kembali, karena Lusi tak becus menjalankan misinya?
'Ah, rasanya kepalaku mau pecah. Bagaimana ini?'
Lusi mengeluh dalam hati.
"Lus, kau mengapa hanya diam saja? Kau baik-baik saja, bukan?" Tanya Renata, seraya menaikkan sebelah alisnya.
"Hah? Aku? Aku, aku tak apa-apa." Jawab Lusi.
"Kau tak mungkin tak apa-apa, sedang kau sangat jelas terlihat panik begini. Jika ada masalah besar, katakanlah, aku akan membantumu dengan senang hati." Ucap Renata lagi.
"Tak ada masalah apapun. Hanya saja, aku harap kau tak menyesal nanti. Lagi pula, apa salahnya andai kau bersedia menemui lelaki yang mengagumimu itu." Pinta Lusi tak putus asa.
"Tapi . . . aku bahkan sudah merencanakan pernikahan beberapa bulan lagi dengan kekasihku. Bukannya aku sombong karena tak menemuinya. Hanya saja, aku tak ingin menjadi wanita munafik dengan memberikan harapan palsu. Aku tak ingin menyakiti hati orang lain. Kau tau sendiri bagaimana karakterku." Tandas Renata.
Lusi terdiam di tempat. Renata selain memiliki paras yang cantik, juga memiliki kepribadian yang luar biasa baik. Baik pembawaan maupun karakter sesungguhnya, selalu menampakkan bahwa ia wanita yang baik.
"Ya sudah jika begitu." Ucap Lusi. Lusi bertekad untuk tak akan menyerah. Mungkin dengan pertemuan-pertemuan tak sengaja antara Marcel dan Renata, akan memercikkan cinta diantara keduanya.
**
Di sebuah taman yang cukup sepi, Lusi duduk seorang diri dengan mengenakan jaket yang tak terlalu tebal. Gadis itu sengaja keluar di waktu malam yang telah larut ini, karena menunggu sang adik terlelap di alam mimpi.
Sejujurnya, ia sangat bingung merangkai kata, andai nanti ia bertemu dengan Marcel. Bagaimana caranya agar nanti Marcel mengerti, bahwa ia sudah berusaha membujuk Renata.
"Sudah dari tadi?" Tanya seseorang yang berhasil mengalahkan atensi Lusi.
"Tidak juga. Duduk dulu, tuan. Maaf kalau . . . ." Ujar Lusi, yang kemudian kalimatnya terpotong oleh kalimat Marcel.
"Sudah aku katakan. Panggil aku Marcel saja saat di luar jam kerja dan hanya berdua. Aku tak suka dipanggil dengan embel-embel TUAN." Ungkap Marcel kemudian.
"Bagaimana makan malamnya?"
"Oh baiklah, maaf. Renata sudah mengukuhkan hatinya pada pria lain. Kabarnya, beberapa bulan lagi ia akan merencanakan pernikahan. Hanya saja, aku tak tahu tepatnya kapan." Ungkap Lusi.
Lusi panik, dan begitu khawatir Marcel marah mengingat Marcel telah banyak mengeluarkan banyak uang untuknya. Ia pasrah, andai nanti Marcel memintanya mengembalikan uang yang sudah lelaki itu keluarkan untuknya.
"Tak apa. Kita bisa memakai cara lain. Kau tahu, Lusi? Ada banyak jalan menuju Roma. Selama janur kuning tak juga melengkung, aku tak akan berhenti meraihnya. Kita perlu cara yang lebih kuat dari misi pertama." Ungkap Marcel dengan penuh serius.
Lusi terhenyak di tempatnya. Ditatapnya lelaki yang menatapnya itu. Matanya yang sipit, namun memiliki pesona yang dalam dan penuh misteri, menghanyutkan jiwa Lusi yang terasa hampa selepas meninggalnya kedua orang tua.
"Lus? Kau mendengarku?" Tanya Marcel. Marcel menatap tajam Lusi yang tergagap akibat ketahuan memandangi Marcel.
"Ya, aku mendengarmu, Marcel. Hanya saja, aku tak yakin untuk rencana ini." Ungkap Lusi pelan.
"Jangan pernah menyerah. Ini bukanlah hasil akhir dari perjuangan kita. Ayo, bantu aku lebih keras lagi untuk bisa meraih Renata. Jika perlu, aku tak keberatan andai nanti harus menghancurkan hubungan kasih Renata dengan lelakinya. Tak ada salahnya, mereka belum menjadi pasangan suami istri." Ungkap Marcel lagi.
"Hah? Kau merencanakan niat buruk untuk Renata?" Tanya Lusi.
"Bukan niat buruk. Papa Alex berkata bahwa, jika kita tak bisa mendapatkan sesuatu dengan cara baik, tak ada salahnya jika kita sedikit bermain intrik." Ucap Marcel tersenyum manis.
"Dan mulai sekarang, kita berkawan. Kau dan aku, kita teman baik."
Dalam diam seraya menatap Marcel, Lusi gamang. Marcel datang padanya layaknya malaikat yang baik, mengulurkan bantuan untuknya dan sang adik, Shila. Tapi di lain momen, Marcel menunjukkan, bahwa ia tak sepenuhnya baik.
'Sebenarnya, pribadi seperti apa kau ini, Marcel?'
Batin Lusi penuh tanya.
**
Di sebuah sudut apartemen di ibukota, Marcel berdiri di balkon apartemen, dengan sebatang rokok yang terselip diantara jari manis dan jari telunjuknya. Sesekali, Marcel menghisap pangkal rokok, meniupkannya ke udara hingga menciptakan bayangan asap samar, membentuk pola abstrak sebelum ditelan angin tanpa sisa.
Pikiran Marcel bertempat pada sosok Renata. Gadis cantik dengan sorot menyenangkan dan ramah terhadap banyak orang. Gadis itu tampak baik, juga tampak peduli terhadap sesama. Tak pandang perbedaan. Buktinya, ia bisa bersama Lusi dan menjalin pertemanan yang sangat dekat meski berbeda kelas sosial.
Dalam diam, Marcel memejamkan mata. Ia berusaha untuk menyimpan bayangan Renata di dalam memori kepalanya. Senyumnya, cara bicaranya, cara berjalannya, juga bahkan setiap kedipan matanya, semua akan senantiasa Marcel simpan dalam kepalanya.
Bosan dengan kesendirian, Marcel memilih untuk membuang puntung rokoknya, masuk dan menutup pintu apartemen berbahan kaca itu. Bagi Marcel, apartemen ini cukup mewah.
Sejak sang papa dan mama mendengar bahwa Marcel ingin tinggal terpisah dari ibu dan ayah, mama dan papanya, Alex segera mencarikan Alex sebuah tempat tinggal yang cukup mewah. Bahkan, sebagian besar pembayaran apartemen, merekalah yang membayar, dan Marcel membayar sisanya.
"Hai, Lus. Kau dimana? Sibuk, tidak?" Tanya Marcel, ketika pemuda itu menempelkan ponselnya, ke telinga.
"Hai, Marcel. Aku ada di rumah, sedang menemani Shila belajar mengerjakan PR. Ada apa?" Jawab Lusi, dan balik bertanya.
"Aku sejak sore tadi hanya sendiri. Mau tidak, jika aku mengajakmu makan malam bersama. Ajak Shila juga jika perlu. Nanti aku yang akan mentraktir kalian." Ungkap Marcel.
"Hah? Aku, aku sudah banyak merepotkanmu. Kau juga sudah sering mentraktirku. Jadi, aku segan kalau . . . ."
"Tak perlu segan. Oh ayolah, bukankah kita berkawan?" Tanya Marcel.
Mau tak mau, Lusi mengangguk seraya menggigit bibir bawahnya. Ingin menolak, tapi ia takut Marcel tersinggung.
"Ya, baiklah. Aku akan membawa adikku ikut serta. Kita bertemu dimana?"
Tanya Lusi kemudian.
"Aku akan berangkat sekarang juga. Bawa adikmu keluar dari gang dan tunggu aku di jalan besar." Pinta Marcel.
"Ya, baiklah. aku akan berangkat sebentar lagi."
Sahut Lusi kemudian.
**
Suasana makan malam kali ini sangat nikmat bagi Lusi. Gadis itu sesekali tertawa lepas bersama sang adik, ketika Marcel mengajaknya bercanda ria.
"Shila, sebenarnya apa yang menjadi hobimu?" Tanya Marcel pada Shila yang sibuk mengunyah makanan.
Anak itu, selalu suka makan sejak dulu, namun tubuhnya tetap kurus. Maklum saja, Uang Lusi tak cukup bila harus memasak menu yang enak-enak setiap hari.
"Aku hobi makan, kak Marcel. Selain itu, aku juga ingin menjadi pelukis. Menggambar bisa membuatku bahagia." Ungkapan Shila dengan suara khas anak yang nyaris beranjak remaja.
"Baiklah, sering-seringlah menggambar. Jika kau bisa melukis siluet wajahku, aku berjanji akan membelikan kau set kuas mahal yang juga sering dipakai pelukis ternama." Ungkap Marcel sambil menyuapkan makanannya.
"Benarkah?" tanya Shila penuh antusias.
"Ya, tentu saja. Aku suka royal pada anak yang berbakat." Ungkapnya lagi.
"Sudahlah, Marcel. Aku tak ingin kau memberikan Shila barang-barang yang mahal. Biarkan begini saja. Kau tahu, aku tak ingin kau menghabiskan uangmu hanya untuk membantu kesulitanku dan adikku." Timpal Lusi kemudian.
Gadis itu merasa tak nyaman, karena Marcel sering membantunya, padahal dirinya merasa tak mampu membantu Marcel menggapai Renata.
"Jangan berpikiran yang aneh-aneh, Lusi. Aku tulus ingin memberikannya pada Shila. Biar bagaimana pun, kita sahabat sekarang." ungkap Marcel kemudian.
Di tempatnya, Shila cemberut, merasa bahwa kakaknya menyia-nyiakan kesempatan emas. Padahal, jarang-jarang ada orang kaya yang bersedia memberinya apa pun secara tulus dan sukarela.
"Kau tak malu bertemankan gadis miskin sepertiku?" Tanya Lusi sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
"Untuk apa malu? Aku pun bukan orang kaya. Aku dibesarkan oleh ayah sambungku, dan ibu kandungku. Asal kau tahu saja, Papa Alex adalah ayah biologisku." Ungkap Marcel.
Lusi mengangguk di tempatnya.
"Oh ya, bagaimana dengan Dia? Apa kau mendengar atau mendapati info, kemana ia pergi akhir pekan ini?" Tanya Marcel kemudian. Tentunya Marcel maupun Lusi enggan untuk menyebut nama Renata di depan Shila.
"Yang aku dengar, ia akan pergi ke pinggiran ibukota bersama pacarnya." Jalan Lusi.
"Beri tahu saja alamatnya. Nanti biar aku yang membuntutinya sendiri. Jika kau tak keberatan, ikutlah denganku." Ungkap Marcel.
"Baiklah. Nanti aku akan beri tahu alamatnya." Sahut Lusi.
Hingga makan malam usai, Marcel segera mengantarkan Lusi hingga di rumah. Tak lama, Marcel mengajak Lusi untuk berbincang di ruang tamu. Beruntung, Shila sudah terlelap di dalam mobil Marcel, sejak mereka masih dalam perjalanan pulang tadi.
"Aku berencana untuk membuat Renata membenci kekasihnya. Bagaimana?" Tanya Marcel pada Lusi. Tentu saja Lusi menggelengkan kepalanya.
"Jangan begitu, Marcel. Kau ini bagaimana? Merusak tali kasih pasangan lain itu tak baik. Memangnya, apa tak ada wanita lain yang lebih baik dari Renata? Percayalah. Caramu itu salah. Banyak gadis yang masih lebih baik dari Renata." Ucap Lusi hati-hati.
Sebagai seorang sahabat Renata yang sering kali membantunya, Lusi tak sampai hati bila melihat Renata bersedih. Tentu saja Lusi tak sejahat itu.
"Kau ini sebenarnya di pihakku, atau di pihak Renata?" tanya Marcel sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Aku tulus membantumu selama ini, tanpa imbal balik. Aku tak butuh apa pun, hanya butuh bantuan dirimu untuk bisa lebih dekat dengan Renata."
"Renata sahabatku, kau juga sahabatku. Aku hanya tak bisa membayangkan apa jadinya nanti, jika Renata batal menikah dengan kekasihnya." Ungkap Lusi.
"Maka Renata akan aku nikahi, meski usianya Lima tahun di atas usiaku." Ungkap Marcel mantap. Lelaki itu benar-benar keras kepala dan tak ingin melirik wanita lain, jika sudah jatuh hati pada seorang wanita.
"Bagiamana jika seandainya, Renata dan kekasihnya tetap tak bisa dipisahkan?" Tanya Lusi untuk memancing.
"Maka kau yang harus menjadi tumbalnya." Ujarnya santai. Tentu saja Lusi melotot sempurna saat mendengarnya.
"Apa pun caranya, selama Renata masih belum resmi dimiliki orang lain, maka saat itu pula aku masih memiliki celah."
"Kau yakin kau mencintai Renata, Marcel? Apa kau yakin, jika itu bukan obsesi semata?" Tanya Lusi kemudian.
Marcel diam tak menjawab. Antara obsesi dan cinta, Marcel sulit membedakan. Inilah letak kekurangan Marcel.
"Yang jelas, aku selalu terbayang wajahnya dan senyumnya. Sehari saja aku tak menjumpainya, aku sangat rindu. Itu yang aku rasakan." Kata Marcel dengan jujur.
"Lalu, bagaimana jika tuhan menggariskan takdir, bahwa Renata bukan jodohmu." Tanya Lusi kemudian. Marcel tampak berpikir. Lelaki itu agaknya tengah menimbang keputusan yang tepat.
"Maka aku akan menawar agar jodohku hanya Renata saja." Jawab Marcel.
"Bagaimana jika tuhan tak mau?"
"Ya sudah. Biarkan kau saja yang menggantikan Renata." Kelakar Marcel sambil tertawa puas, karena berhasil membuat Lusi kesal.
Seiring bertambahnya waktu, bahkan kini baik Marcel maupun Lusi, keduanya semakin dekat dan akrab saja.
Hingga kemudian sebuah ide di kepala Marcel muncul, maka saat itulah Lusi semakin tak habis pikir pada sahabatnya itu.
**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!