JASMINE menatap pantulan dirinya pada cermin besar yang menyatu dengan lemari bajunya. Saat ini dia tengah berada di walk-in closet miliknya. Dia memoleskan bedak tabur di kulit cerahnya serta memakai pemerah bibir agar wajahnya semakin terlihat segar. Dia juga menyemprotkan parfum aroma vanila ke tubuhnya.
Saat dirasa masih ada yang kurang, dia berjalan ke arah meja kaca besar di yang terletak di tengah ruangan dan mengambil salah satu dari sekian banyak aksesori koleksinya. Dia mengaitkan sebuah kalung di leher jenjangnya.
Sempurna. Penampilannya kian memukau malam ini.
Kemudian Jasmine mengambil tas selempang hitam bertali panjang dan mengalungkan benda tersebut di pundaknya. Dia keluar meninggalkan ruangan bernuansa abu-putih itu dan melangkahkan kaki menuruni tangga. Di sana Jasmine melihat Altair yang sedang memainkan ninetendo-nya sambil berbaring di sofa.
"Alta, bunda ke mana?"
"Ke rumah tante Sabiya," balas Altair tanpa menoleh.
"Kalo gitu gue cabut dulu. Mau ke Trendy's bentar."
Altair menoleh kearah kakaknya. "Kalo pulang jangan lupa beliin nasi goreng depan komplek. Potongan cabe rawitnya banyakin," ucapnya lalu kembali sibuk pada ninetendo-nya.
"Hmm." Jasmine hanya berdehem singkat lalu menuju ke garasi mobil. Tenang saja, beberapa bulan yang lalu dia sudah mendapatkan SIM-nya setelah lolos mengikuti tes mengemudi.
Dia menjalankan mobilnya menuju Trendy's. Hanya memerlukan waktu 20 menit saja untuk sampai di sana. Dia memarkirkan mobilnya di area parkir mobil yang luas. Dia turun dari mobilnya kemudian berjalan ke area gemerlapnya kafe dua lantai tersebut.
Trendy's adalah sebuah kafe indoor-outdoor yang pelanggannya kebanyakan para muda-mudi yang gemar keluar malam. Trendy's selalu menjadi pilihan yang tepat untuk dijadikan tempat tongkrongan karena semua menu masih ramah di kantong pelajar.
Kafe yang penuh estetika itu tak pernah sepi pengunjung sejak pertama kali dibuka hampir dua tahun lalu; semakin malam justru semakin ramai. Selain itu, banyak anggota band dari berbagai sekolah yang gemar manggung di sana. Trendy's benar-benar tempat yang mengasyikkan.
Terdengar bunyi lonceng ketika Jasmine membuka pintu masuk. Membuat seseorang yang sedang berbincang di samping meja resepsionis menoleh ke arahnya.
"Yoo, Jasmine!" Rakas menyapa sambil memasang senyum lebar.
"Loh, Bang Rakas?" Jasmine terkejut ketika melihat pria dengan kemeja putih tersebut. "Gue kira lo masih di Bali. Kapan pulang?"
"Iya, seminggu sebelum libur semester selesai, gue sempatin buat balik. Trendy's nggak bisa gue tinggal lama-lama," balas Rakas. Pemuda berusia 23 tahun tersebut adalah pemilik Trendy's. "Abang lo apa kabar? Udah lama gue nggak ketemu sama dia."
"Masih sibuk kuliah sama bimbingan anak didiknya. Main aja ke apartemennya kalo mau."
"Sip, nanti gue bakal mampir. Omong-omong, temen-temen lo udah pada nunggu dari tadi. Langsung ke rooftop aja. Jauzan emang gila. Sok kaya banget bisa booking rooftop malam ini cuma buat acara kalian," kelakar Rakas sambil tertawa renyah.
Jasmine hanya bisa tersenyum kikuk mendengar perkataan Rakas.
"Yaudah, kalau gitu, gue ke atas dulu, ya, Bang," kata Jasmine pada Rakas.
Setelah mendapat anggukan dari Rakas, Jasmine segera berlalu menuju atap bangunan tersebut. Di sana sudah ada Jauzan, Kaisar, Jonathan, Camelia dan Shana yang menunggu kedatangannya sedari tadi. Mereka berlima duduk melingkar pada meja besar penuh makanan dan minuman.
"Hoi! Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga!" Kaisar berteriak pada teman-temannya, membuat empat remaja lain yang tadinya masih sibuk berbincang menoleh ke arah Jasmine dan ikut bersorak menyambut kedatangannya.
Jasmine berjalan ke arah mereka kemudian menepuk pelan muka Kaisar membuat cowok dengan head-band di kepalanya itu mengaduh pelan.
"Berisik, lo!" Jasmine mendengus pelan.
"Jadi cewek nggak boleh galak-galak, honey!" Kaisar berkata sambil memberengut lucu. Oh, ekspresinya yang lucu benar-benar tidak selaras dengan wajahnya yang maskulin.
Jasmine hanya memutar bola mata dengan malas ketika mendengar panggilan yang justru terdengar menggelikan di telinganya.
"Duduk." Jauzan menyambar pelan lengan Jasmine agar dia duduk tepat di sampingnya. Gadis itu hanya patuh dan langsung mendudukan diri di samping lelaki berdarah campuran tersebut.
Jasmine duduk sambil bersila diatas kursi. Teman-temannya sudah terbiasa melihat Jasmine dengan kebiasaan anehnya itu.
Jasmine menyelipkan rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinga agar tidak menutupi wajah. "Jadi, ada tujuan apa kita ngumpul di sini?"
"Kita mau ngadain farewell party buat lo, Jel," balas Shana. Teman sebangku Jasmine selama dia bersekolah di SMA Gellius itu memasang ekspresi sedih. Bahkan mata gadis berwajah imut itu sudah berkaca-kaca.
"Shana, gue bukan mau pindah negara atau bahkan benua. Gue cuma mau pindah sekolah dan itu masih satu kota," kata Jasmine sembari memutar kedua matanya.
"Tapi beneran, deh, Jel. Nyadar nggak kalo lo udah bikin heboh satu sekolah? Anak-anak pada nggak rela kalo lo pindah. Hampir aja mereka mau demo di depan rumah lo. Untung udah gue sumpel mulutnya biar nggak macem-macem!" Jonathan menyahut setengah berkelakar.
"Nggak usah ngarang, lo! Mereka mana berani, anjir! Lo kan tahu sendiri ayahnya Jela wataknya kayak apa!" Shana berseru.
"Inget nggak kalian, waktu kita pertama kali main ke rumah Jela?" Kaisar merinding ketika mengingat suatu hal.
"Yang waktu itu lo sempet ngompol gegara kita disuruh ngasih makan Milktea, Choco, Boba sama Honey?" Jauzan tergelak.
"Mampus! Kan gue udah bilang, terlalu ngelatih mental kalo kalian main ke rumah gue." Jasmine terbahak ketika teringat memori itu.
"Gue pikir itu nama anjing apa kucing gitu, kan! Eh, ternyata itu nama buat---"
"Uler sanca, labrador retriever, buaya sama macan peliharaan bapaknya Jela!" Shana memotong ucapan Kaisar sambil bergidik.
"Emang rada-rada yang namain hewan buas pake nama unyu kayak gitu," ucap Jonathan.
"Itu idenya Lucas." Jasmine tersenyum tipis. Agak enggan menyebut nama saudara tirinya.
"Pantes. Emang dasar jiwa-jiwa psiko hello kitty!"
Jasmine menoleh ke arah Jauzan. "Btw, gue jadi nggak enak. Kata Bang Rakas, lo---"
Jauzan berdesis pelan memotong perkataan Jasmine, lalu tangan kirinya mengusap pelan kepala Jasmine sembari tersenyum. "Nope. Lo nggak perlu ngerasa nggak enak."
"Udah, nikmatin aja. Besok status lo bukan murid Gellius lagi, Pit," kata Jonathan. Dia gemar sekali mengolok Jasmine dengan sebutan Sipit walau mata gadis tersebut tidaklah sipit sama sekali. Bahkan jika gadis itu tersenyum, matanya akan membentuk bulan sabit yang terkesan manis.
"Jo, mata gue nggak ada sipit-sipitnya masih aja manggil gue kayak gitu," dengus Jasmine.
"Panggilan sayang, asek lah!"
"Mau mati lo?" Jauzan menatap tajam Jonathan.
"Ehehe, cuma bercanda, Bos!" Jonathan mengkeret di tempatnya.
"Kalian nggak perlu khawatir. Gue bakal jagain Je dari para dementor dan patogen di Duaja Wijaya," sela Camelia sembari menikmati bakso bakarnya. Dia adalah salah-satu murid di SMA Duaja Wijaya.
"Awas aja kalo Jela sampe kenapa-napa. Gue jadiin prekedel terus gue deportasi lo ke Krusty Krab!" Kaisar mengancam dengan nada berkelakar.
"Alah, bacot amat lo jadi cowok!" Shana mencerca Kaisar dengan ganas.
Kaisar mendelik menatap kembaran tak identiknya itu. "Eh, kutil. Mulai durhaka, lo, ya, sama Abang sendiri!"
Shana menjulurkan lidah mengejek. "Sori. Kayak gue peduli aja."
Kaisar mencengkram pelan kedua sisi wajah Shana. Membuat wajah gadis berpipi tembam itu sedikit terlihat aneh. "Ngomong kasar sekali lagi, gue aduin ke papi biar jatah duit jajan lo bulan ini dikasih semua ke gue!"
"Enak aja! Kalo lo ngerasa kere ya tinggal jaga lilin kayak biasa! Biar Jojo yang jadi babinya," seloroh Shana setelah berhasil melepaskan cengkraman tangan Kaisar dari pipinya.
Jonathan melotot. "Heh! Sembarangan kalo ngomong. Yakali gue keliling komplek sambil bilang di kobok-kobok airnya di kobok-kobok."
"Ya bagus, dong! Kali aja cewek-cewek yang demen mangkal depan komplek pada mabok denger suara lo. Bisa lo culik terus bawa pulang, dah, tuh. Biar jadi mantunya bunda Agesa!"
"Lo kira gue hiholo."
"Gigolo, Jon! Bukan hiholo!"
"Itu namanya typo, Mbem!"
"******! Lo tuh pengen banget, ya, gue ngomong kasar di sini? Hah?"
"Halah, jadi cewek nggak usah sok jaim, lo. Kalo mau ngomong kasar, ya ngomong aja kali!" Balas Jonathan lagi.
"Nyebelin!"
Semua tergelak ketika melihat wajah Shana yang semakin memerah lucu. Di antara mereka berlima memang Shana, Kaisar dan Jonathan lah yang paling bisa mencairkan suasana.
Jasmine menatap teman-temannya yang masih tergelak penuh canda dengan tatapan menerawang. Seandainya dia bisa menolak perintah orang tuanya. Besok dia harus kembali beradaptasi lagi dari awal. Tapi, setidaknya dia merasa beruntung karena di sana masih ada Camelia, sepupunya.
"Eh, foto, yuk. Terus share ke sosmed!" Shana berseru tiba-tiba. Dia meraih ponselnya dia atas meja dan membuka aplikasi kamera. "Jel, coba pose, terus nanti upload ke sosmed lo. Nanti biar gue repost di akun resmi Gellius."
Jasmine berdecak malas. "Nggak mau. Lo, kan, tahu sendiri kalo gue males banget buat kayak begituan."
"Lo kalo disuruh foto susah banget, dah!" Timpal Jonathan.
"Gue nggak terbisa pose, Jo!"
"Buruan pose!"
"Gak!"
Kaisar berdecak. "Zan, coba bilang ke Jela biar mau foto. Foto terakhir sebagai anak Gellius, nih!" Usulnya yang diangguki oleh Camelia dan Shana.
"Lebay amat lo. Nggak usah maksa bisa nggak?" Jasmine berkata sambil menatap kesal ke arah Kaisar.
Jauzan mengambil ponsel milik Jasmine dan membuka sandinya tanpa bisa Jasmine cegah. "Biar gue yang fotoin. Nurut."
"Jauzan, please!"
Jauzan menatap Jasmine dengan lembut. "Jangan buat mereka kecewa sama lo. Foto bareng aja, Mine."
Jasmine berdecak nyaring. Tapi kemudian dia hanya bisa pasrah. Lelaki itu terlalu keras kepala untuk di lawan. "Jangan cemberut."
Jasmine memutar berdecak malas. "Ya udah, iya!"
Jasmine segera berpose sambil tersenyum ke arah kamera. Bisa dilihatnya Jauzan yang ikut tersenyum manis ketika melihatnya berpose.
"Jela kalo sama Jauzan nurutnya minta ampun!" dengus Jonathan.
"Ye, sewot aja lo. Dasar jomlo!" sinis Camelia.
Jonathan mengambil kaca milik Shana yang tergeletak di meja lalu mengarahkannya je muka Camelia. "Wesh, ngaca dong lo, ngaca! Kayak lo punya mantan sebanyak gue aja!"
Camelia memberengut. "Dih, punya mantan banyak aja bangga!"
"Woo ya harus dong, Mbaknya!" Jonathan tersenyum dengan bangga.
"Cantik," ucap Jauzan ketika melihat foto hasil jepretannya. Dia menyerahkan ponsel pada pemiliknya.
"Apa sih!" Jasmine menyahut dengan malu-malu.
"Nah, sekarang kita foto bareng-bareng," seru Camelia.
Mereka mulai sibuk berpose dengan berbagai macam gaya.
Shana berseru, "Buruan posting, Je! Mau gue repost sekarang juga!"
"Iya-iya! Bawel banget jadi manusia." Jasmine memutar bola matanya sebal, tapi tak urung untuk segera memposting beberapa hasil jepretan di akun sosmednya.
Mereka terus berbincang-bincang membahas hal random mulai dari Togong, kucing milik Shana yang suka nabur benih sembarangan sampai membahas deretan mantan Kaisar yang membentuk aliansi untuk menghancurkan hubungan Kaisar di masa depan hingga membuat lelaki dengan rambut sedikit gondrong tersebut menjadi jomlo bapuk.
"Gue ke kamar mandi dulu, ya?" Ucap Jasmine tiba-tiba.
"Mau gue antar?" Tawar Jauzan yang mendapat gelengan dari Jasmine.
"Nggak perlu. Cuma sebentar kok."
Jauzan mengangguk singkat. "Oke. Take your time."
Jasmine tersenyum sebelum berlalu pergi. Dia menurun tangga ke bawah lalu belok ke kiri di mana kamar mandi berada. Dia membasuh tangannya di wastafel dan berumur setelahnya.
Baru saja dia hendak mengambil tisu yang terdapat di samping wastafel, tapi gerakan tangannya terhenti ketika dia mendengar sebuah suara yang aneh di salah satu bilik kamar mandi. Jasmine menolehkan kepalanya penasaran.
Jasmine tidak sepolos itu untuk tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh orang-orang itu. Bukan suara *******, tapi lebih ke geraman tertahan dan bunyi yang dihasilkan ketika dua orang saling berc---oh, dia menghentikan pikiran kotornya.
Sangat menjijikan.
Jasmine menyenderkan punggung di ujung wastafel kemudian memasang senyum miris menatap tempat di mana suara itu berasal. Di bilik paling pojok.
BLAK!
Suara pintu menjeblak sedikit nyaring. Jasmine melotot melihat seorang gadis seumurannya keluar dari bilik tersebut. Gadis itu menatapnya dengan sinis seakan-akan dia telah mengusik kegiatannya.
Hell ya. Memang apa yang Jasmine lakukan? Gadis itu menghentakkan kakinya, membuka pintu lalu keluar dan menutup pintu dengan sedikit sentakkan.
Apa maksudnya itu? Benar-benar tidak masuk akal.
Jasmine mengangkat sebelah alisnya dan memandang pintu hitam yang sudah tertutup itu dengan sorot remeh.
Jasmine hendak beranjak dari tempatnya sebelum sebuah tangan kekar menahan pinggangnya dan menyeret tubuhnya hingga menempel di tembok.
"AKHHH!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Halo, jika kalian suka dengan cerita ini, jangan lupa beri feedback dan follow penulis biar gak ketinggalan update-an yaa, terimakasih🥰 Jangan sungkan untuk berkomentar di lapak ini wkwk see u next chapter!
"AKHHH!"
Jasmine memekik kecil. Seseorang menyeret tubuhnya ke dinding pojok di depan bilik di mana suara menjijikan tadi berasal. Orang itu mengunci gerakannya dengan menurung tubuhnya di antara lengannya yang kokoh.
DEG!
Netra Jasmine sedikit membeliak tajam ketika mendapati remaja lelaki yang memakai kaus putih polos dengan outer berwarna hitam sedang menatap lekat ke arahnya.
Tubuhnya hanya mencapai telinga lelaki asing tersebut. Matanya tepat berada di depan bibir merah merekah yang sialnya terlihat sangat menggoda dan berhasil membuatnya sedikit gelagapan.
Jasmine sedikit mendongakkan kepalanya dan memandang lelaki tersebut dengan dahi mengkerut halus.
Lihat bagaimana netranya bertubrukan dengan netra gelap lelaki itu. Surainya hitam dengan poni yang menutupi setengah dahi itu terlihat sedikit basah. Dapat Jasmine lihat dengan jelas sisa air yang menetes turun membasahi kulit wajah rupawan yang sedikit kecoklatan itu.
"Lepasin gue! Lo pikir, apa yang udah lo lakuin?" sentak Jasmine dengan suara sedikit tertahan.
Heh, bagaimana dia tidak gugup? Dia belum pernah merasa sedekat dan seintim ini dengan lelaki asing mana pun! Haruskah dia melaporkan lelaki kurang moral ini atas tindakan pelecehan?
Harusnya Jamsine memberontak, tapi dia malah diam saja dan hanya menatap tajam lelaki asing yang kini memasang seluas senyum miring di bibirnya.
This jerk!
Lelaki itu terlihat menghela napas pelan lalu sedetik kemudian menyentuh rambut Jasmine dengan lembut.
"Harusnya, gue yang bilang itu ke elo. Lo pikir apa yang udah lo lakuin tadi?"
Jasmine menatap lelaki itu dengan sorot bertanya. "Gue nggak ngelakuin apa pun! Bisa minggir, nggak? Rasanya nggak etis banget kalo lo nahan gue di sini tanpa alasan yang jelas."
"Elo yang nggak etis karena udah ganggu kesenangan gue, Darling."
Kesenangan matamu!
Jasmine hampir saja melayangkan sebuah tamparan ke wajah tampan lelaki mesum itu. Lelaki tidak tahu diri itu benar benar membuatnya merasa muak.
"Elo yang nggak etis c*** di sembarang tempat, bego." Jasmine berkata dengan penuh penekanan.
Lelaki asing itu terdengar sedikit mengumpat.
Ternyata gadis cantik di depannya ini benar-benar menyaksikan perbuatan tidak senonohnya tadi?
Lelaki itu mengamati wajah cantik Jasmine dengan lekat kemudian dia mengukir seringaian samar di bibirnya yang berwarna kemerahan dan sedikit bengkak.
"Lo anak mana?"
"Maksud lo?"
Lelaki itu mengangkat satu alis tebalnya. "Biar gue tebak. Lo anak Gellius, kan?"
Jasmine sedikit terkejut.
Tunggu dulu! Bagaimana lelaki asing ini bisa tahu jika dia bersekolah di Gellius? Apa lelaki asing ini adalah seorang penguntit? Oke, Jasmine merasa situasi yang dia hadapi sekarang semakin berbahaya.
"Bukan." Jasmine menjawab dengan reflek. Dia berusaha bersikap setenang mungkin agar tidak terlihat seperti orang yang sedang berbohong.
"Bohong."
"Gue nggak bohong!"
Jamsine mengumpat dalam hati. Kenapa nada suaranya jadi terdengar panik? Jasmine memaki dirinya sendiri. Demi apa pun dia malu!
Suara Jasmine yang meninggi dan terdengar panik tadi justru membuat lelaki asing itu terkekeh pelan. Netra gelapnya memandang Jasmine dengan gemas karena menyadari jika wajah gadis yang terkurung di dalam kedua lengannya kini benar-benar memerah.
"Gue tahu lo anak Gellius, jadi nggak usah bohong. Lo lucu banget kalau panik kayak tadi," kata lelaki itu sembari mengukir seringaian geli.
Jasmine mendesis pelan. Astaga, bisa-bisanya dia berada di dalam satu ruangan dengan lelaki asing yang seenaknya menahan tubuhnya di kungkungan lengannya dan membuat tubuhnya menyender pada tembok marmer, sedikit terhimpit dengan dada bidang milik lelaki asing itu.
Oh, bahkan jarak tubuh mereka tidak lebih dari 20 senti!
"Nggak usah tanya gue bisa tahu dari mana." Lelaki itu memandang wajah Jasmine. Mengagumi betapa cantik dan menariknya penampilan gadis ini. "Gue pernah lihat lo sama salah satu temen sekelas gue."
Jasmine tercenung ditempatnya.
Apakah yang dimaksud lelaki ini adalah Cemelia? Jika iya, itu artinya lelaki ini adalah salah satu siswa di SMA Duaja Wijaya. Dan parahnya lagi, lelaki ini adalah teman satu kelas sepupunya, Camelia!
Demi apa pun Jasmine tidak mengira jika Camelia mempunyai teman sekelas yang benar-benar gila seperti lelaki asing di depannya ini. Masih muda tapi sudah berani melakukan hal tidak terpuji di tempat umum. Jasmine bergidik dalam hati. Mau jadi apa lelaki itu saat dewasa nanti? Hiholo?
"Gue nggak peduli lo tahu dari mana. Sekarang, singkirin tubuh lo dari hadapan gue dan biarin gue pergi dari sini."
"Mmm." Lelaki itu bergumam seperti seseorang yang sedang berfikir. Dia mengamati setiap inchi wajah Jasmine dengan lekat. "Kalau gue nggak mau lepasin lo, gimana?"
Jasmine berdecak keras dan menatap lelaki itu dengan raut kesal.
"Mau lo apa, sih, sebenarnya?"
"Mmm, mau gue?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Jasmine dengan jelas, lelaki itu justru membuat Jasmine dilanda rasa panik ketika melihat lelaki itu justru semakin mendekatkan diri ke arahnya.
Bahkan, sekarang Jasmine dapat mencium aroma mint menyegarkan yang menguar dari tubuh lelaki asing ini. Untung kewarasan Jasmine masih terjaga dengan baik jadi gadis itu tidak terjerumus terlalu dalam dengan aroma candu milik lelaki asing ini yang bisa membuat gadis mana pun merasa terlena.
"Lo bener-bener minta dihajar, ya?" Jasmine menggeram marah.
"Kenapa jadi lo yang marah? Harusnya gue yang marah sama lo." Lelaki asing itu tersenyum manis.
"Dasar cowok nggak tahu diri!"
Lelaki itu mengabaikan umpatan Jasmine dan memilih mendekatkan wajahnya menuju telinga gadis dengan gaya rambut chic mini space buns itu.
"Lucu banget."
Jasmine hanya bisa menahan kesal ketika msndengar lelaki asing itu berbicara tidak jelas. Benar-benar menyebalkan.
Lelaki itu mengukir senyum tertahan. Entah kenapa gaya rambut gadis itu terlihat menggemaskan di matanya. Alih-alih terlihat aneh, gaya rambut itu benar-benar terlihat cocok dengan citra dingin gadis itu.
"Singkirin lengan lo sekarang juga! Jangan bikin gue makin muak sama lo, ya!"
Lelaki itu menggeleng pelan. "Nggak mau."
Lelaki itu justru sedikit menggeram ketika mencium aroma vanila yang menguar dari tubuh gadis cantik di dalam kungkungannya itu. Dia menghirup aroma manis memabukkan itu lalu dia beralih untuk membisikkan sesuatu tepat di telinga Jasmine.
"Close your eyes and close your ears, Darling. Lupain apa yang udah lo saksikan tadi. Kalo sampe apa yang lo lihat tadi bocor, gue akan cari lo di mana pun lo berada." Lelaki itu menatap tepat di manik Jasmine.
Cup!
Lelaki itu mencium pipi Jasmine sebagai tanda perpisahan kemudian dia melepaskan kungkungannya pada tubuh Jasmine. Lelaki asing itu kemudian berlalu pergi meninggalkan Jasmine yang terdiam kaku di tempatnya.
Saat tersadar apa yang baru saja terjadi, Jasmine langsung mengusap pipinya dengan kasar, mencoba menghilangkan bekas kecupan lelaki mesum tadi.
Oh, crap!
Benar-benar menggelikan.
Disgusting!
Pagi ini, Jasmine memarkirkan mobilnya di dalam gedung parkir sekolah barunya. Tepat hari ini, dia resmi menjadi murid baru dI SMA Duaja Wijaya. Salah satu sekolah favorit yang seringkali menyabet gelar kejuaraan dalam kompetisi bidang akademis maupun nonakademis.
Jasmine keluar dari mobilnya lalu melangkahkan kaki jenjangnya dengan anggun menuju keluar gedung.
Rambut hitamnya melambai dengan halus saat angin segar di pagi hari menerpa wajahnya. Irisnya yang nampak kecokelatan ketika terterpa sinar matahari itu menatap sekeliling tempat parkir. Sangat ramai, bahkan sekarang masih pukul enam lebih lima menit.
Tentu saja karena hari ini adalah hari Senin. Upacara bendera akan dilaksanakan sebentar lagi.
Ketika Jasmine melangkahkan kaki menuju ruang guru, banyak pasang mata melirik ke arahnya dengan berbagai pandangan.
Terkejut, kagum, penasaran, bahkan tidak luput dari pandangan sinis tak berdasar beberapa siswa perempuan. Sayangnya, Jasmine tidak merasa terintimidasi sama sekali. Dia dengan tidak acuh terus berjalan layaknya supermodel yang berjalan di atas ubin berlapis karpet merah!
Jasmine memiliki pengendalian diri yang baik. Dia tidak akan memberi umpan balik selama mereka tidak menganggunya dengan sentuhan fisik.
Jasmine mengetuk pelan ruang guru kemudian memasukinya.
Tunggu dulu. Sepertinya dia masuk di saat yang tidak tepat karena dia melihat dua siswa---satu laki-laki dan satu perempuan---sedang meributkan sesuatu dengan seorang guru perempuan.
Jasmine memilih berdiam diri di tempatnya dan mencoba menelisik apa yang terjadi.
"Duh, gimana dong, Bu? Anak-anak nggak ada yang berani buat gantiin Cello, Bu," ucap Komar, seorang siswa laki-laki dengan kacamata minus yang bertengger manis di hidung bangirnya.
"Kalian gimana, sih! Udah mau lulus kok mentalnya masih lembek kayak ingus!"
"Kita juga nggak tahu kalau situasinya mendadak jadi seperti ini, Bu. Kita mana tahu kalau ayahnya Cello mendadak masuk rumah sakit!"
"Minta tolong anak paskib aja, gimana, Bu?" Usul Karina.
Bu Grahita mendelik tajam. "Ya nggak bisa, dong, Karina! Mereka sudah ada jatahnya sendiri setiap sebulan sekali. Ibu jamin mereka nggak bakalan mau. Yang ada kalian jadi bahan tertawaan!"
Karina meringis pasrah mendengar ucapan Bu Grahita. Benar sekali ucapannya. Jika mereka meminta bantuan anggota ekskul paskib, bukannya mereka dapat pengganti, eh, malah jadi bahan guyonan karena teman sekelasnya bahkan tidak ada yang berani mengajukan diri.
"Lagian, apa susahnya jadi pemimpin upacara? Minggu lalu, kan, kalian latihan bareng hampir setiap hari!"
"Iya, Bu. Tapi, kan---"
"Siapa di antara kalian atau teman kalian yang pernah jadi pemimpin upacara sebelumnya?"
Situasi mendadak hening beberapa detik. Tidak ada yang berani menjawab maupun mengangkat tangan. Kedua siswa itu menundukkan kepala dan saling melirik satu sama lain tanpa berucap sepatah kata pun.
Mereka pasti juga akan mendapat makian jika mereka berani menunjuk salah satu teman mereka yang saat ini tengah berada di aula.
Demi upil Jarjit yang bulatnya seperti biji salak, mental mereka benar-benar lebih lembek dari nasi kadaluarsa! Dari sekian siswa dalam satu kelas, masa yang berani jadi petugas upacara cuma Cello aja?
Jasmine diam-diam tersenyum remeh di tempatnya ketika melihat reaksi gugup dua orang siswa tersebut.
"Kalian itu, ya! Benar-benar bikin Ibu pusing aja!" Bu Grahita mencebik kesal seraya berkacak pinggang.
Namun, tiba-tiba mata guru paruh baya tersebut melirik kearah di mana Jasmine berdiri. Tentu saja kedua siswa berbeda gender itu juga ikut mengalihkan pandangan ke arahnya. Baru menyadari ada seorang murid yang nampak asing di dalam ruangan guru yang luas ini.
"Loh, Nak Jasmine?" Bu Grahita berceletuk kecil sembari berlari kecil menghampiri Jasmine yang masih menatap tenang sambil menyenderkan bahu di dekat pintu masuk.
Kedua siswa itu memberikan atensi pada Jasmine. Melayangkan pandangan seolah-olah berkata, siapa yang berani menganggu diskusi penting menyangkut hidup dan mati kelasnya?!
Dan entah dari mana guru flamboyan tersebut mengetahui nama Jasmine. Padahal, statusnya adalah sebagai murid pindahan yang baru masuk hari ini.
Dapat Jasmine pastikan juga bahwa name tag miliknya tertutup sempurna oleh rambut hitamnya yang menjuntai hampir sesiku.
Apa Jasmine seterkenal itu? Dia memang termasuk jajaran siswi populer di sekolah sebelumnya. Tapi, apakah kepopulerannya merambat sampai SMA Duaja Wijaya?
Sepertinya dia hanya populer di kalangan guru yang mengajar di Duaja Wijaya. Buktinya dua siswa di depannya menatap penuh sorot bertanya ke arahnya.
"Nak Jasmine sudah lama menunggu di sini?" Bu Grahita bertanya sambil tersenyum manis. Mata hitamnya menyorot lembut kearah Jasmine.
"Belum," balas Jasmine dengan singkat.
Karina berdecak. "Bu Grahita! Gimana jadinya, Bu? Mepet, nih, waktunya!"
"Kalian memang bisanya bikin panik aja!" Bu Grahita melotot tajam kearah kedua siswa tersebut.
"20 menit lagi upacara dimulai, Bu! Kita jelas panik, lah," balas Komar seraya membenarkan letak kacamata bulatnya. Sungguh, dia terlihat semakin manis dengan itu.
Tiba-tiba saja, seakan baru memenangkan lotre berlusin-lusin tupperware, Bu Grahita menatap Jasmine dengan sorot penuh binar bahagia yang terlihat sangat berlebihan di mata Jasmine.
Hal itu membuat perasaannya tiba-tiba tidak enak. Dan benar saja tebakannya ketika Bu Grahita melontarkan sebuah kalimat yang membuat Jasmine sedikit merasa tidak nyaman.
"Ehm, Nak Jasmine bisa bantu Ibu?"
Jasmine diam-diam mengembuskan napas berat. Sepertinya, hari ini akan jadi hari yang penuh dengan kejutan tak terduga.
Inikah cara mereka menyambut siswa baru sepertinya?
Luar biasa!
"Perkenalkan, namanya Jasmine. Dia murid baru kelas sebelas," jelas Bu Grahita kepada Karina dan Komar yang masih berdiri dengan gelisah di depannya.
Karina menggerutu lirih. "Terus urusannya sama kita apa?"
Perkataan Karina sukses membuat Jasmine menoleh ke arahnya dengan tatapan memicing. Calm down, bukankah ini masih terlalu awal untuk menilai bahwa Karina adalah gadis yang menyebalkan?
"Kalian cukup percaya sama Ibu. Nak Jasmine punya kualifikasi yang lebih dari cukup untuk membantu kalian. Iya, kan, Nak Jasmine?" Bu Grahita melayangkan tatapan mata penuh harapan kepada Jasmine.
Sekarang Jasmine mengerti situasi nya. Bu Grahita membutuhkan bantuannya untuk menggantikan tugas seorang siswa bernama Cello yang absen sebagai pemimpin upacara. Karena Bu Grahita masih saja menatapnya penuh binar kepercayaan, jadi dia hanya bisa menarik napas pelan kemudian mengangguk mengiakan.
Mana bisa dia menolak jika situasinya seperti ini.
Bu Grahita tersenyum lega dan mengucapkan terima kasih, sedangkan Karina dan Komar menatapnya skeptis.
"Emang boleh, ya, Bu? Anak kelas sebelas ikut jadi petugas upacara anak kelas dua belas?" Karina memandang ragu ke arah Jasmine yang masih menyender santai di tembok.
"Sah-sah saja, kok! Lagian, kan, cuma jadi pemimpin upacara pengganti saja. Emang kamu mau saya tunjuk jadi pemimpin upacara?" Bu Grahita mendelik sinis. Sedangkan Karina mendadak terdiam, takut untuk menjawab.
"Saya, kan, udah jadi pembawa bendera, Bu," balas Karina lirih.
"Ya sudah kalau begitu. Kalian percaya saja sama Nak Jasmine. Sudah, sana bawa ke lapangan upacara!" Bu Grahita mengakhiri perdebatan kali ini.
Karena tidak ada pilihan lain, Karina menggandeng tangan Jasmine menuju lapangan upacara, diikuti Komar di belakang Jasmine, mengawasi, takut kalau gadis cantik yang terlihat sedikit arogan tersebut kabur dari tugas yang dialihkan padanya.
Sesampainya di lapangan, ternyata sudah ada sekumpulan siswa yang menunggu kedatangan mereka. Sangat kentara bahwa wajah mereka menampakkan raut cemas, seakan bisa mati jika tidak menemukan pemimpin upacara pengganti Cello yang tidak masuk.
"Woy! Gimana?" Fabian bertanya dengan raut panik. Dia adalah salah satu murid yang bertugas menjadi Kompi Satu.
"Guys, kenalin, dia Jasmine. Murid baru kelas sebelas!" Jelas Karina kepada seluruh murid yang sekarang jadi petugas upacara.
Fabian menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Ya terus buat apa, ******! Siapa pengganti Cello?"
"Jasmine penggantinya." Karina menunjuk Jasmine dengan dagunya.
Semua teman Karina meganga.
Apa?!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!