NovelToon NovelToon

Ikrar Palsu Pernikahan

BAB 1 PROLOG

"Pernikahan ini membuatku bertanya-tanya. Tidak pantaskah aku mendapat dan merasakan kebahagiaan? Mengapa setiap hari di dalam pernikaan ini hanya ada sayatan luka dan rasa perih yang ditorehkan oleh kejamnya perilaku dan tajamnya tutur kata yang menyakitkan hati? Segala janji yang pernah terucap hanyalah sebuah ikrar palsu belaka."

Saat itu, euforia penyambutan malam tahun baru tengah berlangsung. Nyala kembang api berpendar-pendar memenuhi permukaan langit yang diliputi awan gelap. Suara riuh terompet terdengar bersahut-sahutan dan begitu bising di telinga.

Seorang gadis bernama Azkira (21 tahun), tengah bekerja di sebuh restoran bernama Chili Sauce Resto, yang merupakan milik dari seorang pengusaha muda bernama Fathan (25 tahun), pria berparas rupawan dan mapan di usianya yang terbilang masih sangat muda. Namun, dia juga dikenal angkuh dan tidak pernah mau mentolelir kesalahan dalam bentuk apapun. Owner dari Chili Sauce Resto itu tidak akan segan-segan memberi hukuman tanpa mau berpikir ulang.

Akhirnya, waktu bekerja pun telah usai. Namun, sebuah kejadian tak terduga menimpa Azkira, ketika dia hendak pulang. Seorang pria tak dikenal menghampiri dan menggoda Azkira yang saat itu sedang berdiri menanti sebuah jemputan dari seorang driver ojek online yang telah dipesannya.

"Hai, Manis. Sedang menunggu siapa? Ayo biar kuantar pulang," kata Pria asing yang dengan lancangnya langsung menyeret lengan Azkira hingga tubuh Azkira merapat padanya.

"Lepaskan!" pekik Azkira seraya meronta dan menepis tangan Pria itu. Akan tetapi, pria itu tidak mengindahkan Azkira dan masih terus saja berusaha memaksanya.

Dalam waktu bersamaan, ada yang diam-diam memotret kejadian tersebut. Dalam gambar yang diambilnya itu terlihat seolah Azkira sedang bermesraan dengan Si Pria. Lebih anehnya lagi, Pria yang menggoda Azkira itu langsung pergi setelah beberapa bidikan foto didapatkan oleh seseorang yang lain. Sepertinya mereka sengaja melakukan persekongkolan, tapi untuk apa? Enthlah, tidak ada yang mengetahuinya untuk saat ini.

Tidak lama berselang, ojek yang dipesan Azkira pun tiba dan mengantarkannya pulang.

****

Keesokan harinya, Azkira kembali bekerja seperti biasa. Saat itu dia masuk di shift tiga yang artinya dia akan bekerja dari waktu sore hingga malam hari. Akan tetapi, Gadis berparas jelaita itu merasa aneh dengan sikap dari teman-teman kerjanya yang tiba-tiba berubah. Mereka menatap Azkira dengan sinis dan seolah enggan bertegur sapa.

"Sebenarnya ada apa dengan mereka?" gumam Azkira sembari mengernyitkan dahinya.

Lalu, seorang waitress bernama Nina menghampiri Azkira. "Dasar perempuan gatal," hardik Nina sambil mencebikkan bibirnya penuh ejekkan. Gadis berambut panjang itu hanya menghela napas kasar saat mendengar cibiran Nina.

Azkira sudah biasa pada sikap Nina yang begitu, karena Nina memang tidak menyukainya sejak awal. Nina selalu melontarkan kata-kata tidak mengenakkan, pada Azkira. Akan tetapi, yang membuat Azkira heran saat itu adalah sikap semua orang yang dirasanya aneh. Bukan hanya Nina, tapi semua orang yang bekerja di Chili Sauce Resto yang biasanya penuh kehangatan menjadi acuh pada dirinya.

Tidak lama kemudian, Dion (26 tahun), selaku Manager restoran sekaligus sahabat dari Fathan datang dan memanggil Azkira. Mereka pun duduk di sebuah meja tamu yang kosong.

"Mohon maaf, Pak Dion. Sebenanya ada apa, ya? Kenapa Bapak memanggil saya?" cetus Azkira dengan sejuta kebingungan yang melandanya.

"Begini, Azki," ucap Dion sambil menghela napas kasar.

"Kenapa, Pak? Saya salah apa?" imbuh Azkira tidak sabar menanti jawaban.

"Sebenarnya, saya tidak ingin percaya pada berita yang beredar mengenai kamu di media sosial. Tapi, karena ini menyangkut nama baik Chili Sauce Resto, jadi mau tidak mau saya memanggil kamu untuk meminta penjelasan," beber Dion.

Azkira menyimak sambil berusaha menelaah kata-kata Dion. "Penjelasan seperti apa, Pak? Langsung saja katakan, Pak," ucap Azkira dengan nada bicara yang mulai ketakutan dan mata yang mengembun.

"Tentang foto-foto ini, Azki. Di situ tampak kamu sedang bermesraan dengan seorang pria. Tapi bukan itu yang jadi masalahnya, melainkan kamu yang masih memakai seragam kerja Chili Sauce Resto pada saat itu. Berita itu sudah tersebar luas di media sosial dan kemungkinan akan berdampak buruk pada restoran." Dion menunjukkan bebrapa foto dan pemberitaan yang beredar di media sosial tersebut.

Azkira pun terhenyak dan kaget bukan kepalang. Dia tidak menyangka bahwa kejadian yang dialaminya semalam berbuntut pemberitaan bohong dan sebuah fitnah yang beredar luas di ranah publik. Mata Azkira tak sanggup lagi membendung tangisannya.

"Saya berani bersumpah, Pak. Saya tidak mengenal pria itu. Dia tiba-tiba datang dan menarik tangan saya semalam, saat saya sedang menunggu ojek online yang saya pesan. Saya tidak mungkin melakukan hal serendah itu, Pak," tutur Azkira sambil menyeka air matanya yang terus mengalir.

Belum sempat obrolan itu selesai, tiba-tiba saja Fathan datang menghampiri Azkira, dengan tatapan membunuh dan deru napas yang penuh amarah. "Ikut saya!" ujarnya sambil menarik paksa lengan Azkira.

Dion berusaha mencegah Fathan untuk menenangkannya saat itu, akan tetapi Fathan yang terlanjur emosi tidak bisa dikendalikan. Dia terus membawa paksa Azkira menuju ke dalam mobilnya yang bertengger di area parkir restoran. Sementara itu, Azkira hanya bisa menangis pasrah.

Sang Pemilik restoran itu melajukan mobilnya dengan segera. Dia mengemudi dengan kecepatan tinggi, hingga Azkira tampak ketakutan. Lantas, dia berhenti dan menepikan mobilnya setelah menempuh beberapa puluh menit perjalanan.

"M-Maaf, Pak Fathan. Kenapa saya dibawa ke sini?" tanya Azkira dengan mimik bingung dan perasaan ngeri. Gadis cantik itu mengedarkan pandangannya ke arah luar mobil. Mereka berada di sebuah jalan yang begitu sunyi dan sepi kala itu.

Fathan masih diam saja dan mengabaikan semua pertanyaan Azkira. Selekas kemudian, tangan kekar dengan jari-jari yang panjang itu mencengkeram kuat lengan Azkira, hingga dia meringis kesakitan. Tatapannya semakin tajam membidik Azkira seolah menelanjangi.

"S-Sakit, Pak," pekik Azkira sembari berusaha melepaskan cengkeraman Fathan dari lengannya.

"Kamu tahu, dampak dari perbuatan tidak senonoh kamu itu bisa membuat restoran jadi sepi pengunjung dan mengarah pada kemungkinan merugikan lainnya, huh?" lontar Fathan sembari mengeraskan rahang tegasnya.

"Kamu telah berani merusak citra baik restoran saya dengan tingkah murahanmu itu. Kenapa tidak lepas dulu seragam kerjamu saat kamu ingin melayani pria hidung belang yang menyewamu?" tutur Fathan dengan geram.

Sontak saja, pernyataan Fathan itu membuat Azkira mengernyitkan dahinya. "Apa maksudnya, Pak? Saya berani bersumpah, bahwa saya benar-benar tidak pernah melakukan semua itu, Pak. Itu jelas sebuah fitnah," sangkal Azkira.

"Jangan mengelak kamu. Lihat ini ... ada orang yang sampai mengirm pesan pada saya dan menanyakan berapa harga sewamu semalam," ungkap Fathan sambil menunjukkan sebuah pesan singkat yang tertera di layar ponselnya.

Azkira terhenyak saat membaca pesan yang bernada merendahkan dirinya itu. Dalam pesan tersebut juga tampak potret dirinya dan pemberitaan miring sama persis seperti yang Dion tunjukkan tadi.

"Siapa yang tega memfitnahku?" batin Azkira.

"Kamu paham sekarang? Gara-gara kamu saya dituduh mempekerjakan wanita murahan!" bentak Fathan.

Azkira memejamkan matanya sambil menghela napas kasar. Ada rasa nyeri yang menyeruak di dalam dada Azkira, kala dia mendengar kata-kata Fathan. Sungguh, dia merasa heran dan tidak habis pikir. Mengapa sampai ada orang yang tega melakukan hal itu padanya? Menyebar fitnah sampai mengundang kemarahan dari seorang Pemilik restoran tempatnya bekerja.

"Maafkan saya, Pak. Tapi sungguh, saya tidak melakukan semua yang dituduhkan dalam berita itu," imbuh Azkira dengan sebenarnya.

"Saya tidak perduli dengan pembelaan diri kamu. Yang jelas, kamu harus menerima konsekuensinya karena sudah membuat saya malu dan mencoreng nama baik restoran dengan kelakuan kamu!" tukas Fathan sambil melajukan kembali mobilnya.

Azkira terisak dihujani air mata yang kian deras membasahi pipi mulusnya. Sedangkan Fathan, hanya fokus menyetir sambil sesekali melirik Azkira dengan tatapan dingin yang terasa bagai tusukan sebilah belati. Lantas, Gadis berkaki jenjang itu kembali dibuat terkejut saat mendapati Fathan, yang membawanya ke sebuah penginapan.

Dengan kasar Pria itu menyeret Azkira masuk ke dalam sebuah kamar dari penginapan itu. Kemudian, tanpa basa basi lagi Fathan langsung menindih tubuh Azkira sambil menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhnya. Gadis itu berteriak meronta berusaha untuk melepaskan diri dari Fathan. Namun, tenaganya yang tak seberapa itu kalah kuat oleh tenanga Fathan yang jauh lebih besar.

"Ayo, tunjukan kelihaianmu, Gadis murahan!" hardik Fathan tanpa mengindahkan perasaan Azkira yang sangat terluka oleh sikapnya.

Bersambung ....

Hallo, aku kembali lagi menyapa kalian dengan sebuah karya. Jangan lupa berikan dukunganya, ya. ❤🖤

BAB 2 Terjaga Sepanjang Malam

"Jangan, Pak! Saya mohon ... jangan lakukan ini," raung Azkira sambil terus memberikan perlawanan.

Melihat Azkira yang terus menangis dan juga tak berhenti memohon, Fathan menghentikan aksi bejadnya itu. Dia membuat jarak dengan Azkira, lalu memberikan kembali pakaian Azkira yang terlanjur dia tanggalkan dengan paksa. Entah karena iba atau ada maksud lain, tapi waktu itu Fathan benar-benar berhenti menyentuh Azkira.

Pria itu berjalan menjauh beberapa langkah dari ranjang, sembari meremmat rambutnya frustasi. "Dasar Gadis sialan! Kamu membuatku marah di waktu yang salah," hardiknya dengan emosi yang sudah tersulut.

Azkira masih menangis sampai tak ada lagi suara. Hanya hujan air mata yang terus terurai bersamaan dengan rintik gerimis yang mengundang di luar sana. Selain musim penghujan, saat itu semesta seakan tahu bahwa ada seorang gadis yang sedang tercabik-cabik hatinya. Meski akhirnya mahkota kegadisannya tetap utuh, namun harga dirinya terlanjur terluka dan hancur lebur berkeping-keping.

"Tolong biarkan saya pulang, Pak. Saya takut nenek saya mencemaskan saya di rumah," lirih Azkira dengan keadaannya yang sudah sangat kusut.

Fathan meyoroti Azkira dengan pandangan yang mulai meredup. Mungkin pria itu akhirnya sadar, bahwa perbuatannya adalah sebuah kesalahan besar. Dia kembali duduk di tepi ranjang dengan perlahan.

Mendapati Fathan yang hanya diam tak menjawab, Azkira mengulangi kata-katanya. "Pak, tolong biarkan saya pulang. Nenek saya pasti sangat mengkhawatirkan saya," kata Azkira lagi.

"Tidurlah dulu di sini! Di luar hujan dan ini sudah sangat larut. Saya akan mengantar kamu pulang besok pagi," titah Fathan dengan suara beratnya yang khas.

"Tapi, Pak-"

"Jangan membantah! Jangan pancing kemarahan saya lagi, atau kamu akan menanggung akibatnya," ancam Fathan menyela kata-kata Azkira.

Azkira langsung meringkuh memeluk lututnya. Keberaniannya kembali diruntuhkan oleh kata-kata bernada ancaman yang keluar dari mulut Fathan. Wajahnya ditundukkan dalam-dalam dengan tubuh yang gemetar didera ketakutan.

"Shiiitt! Apa aku semenakutkan itu baginya?" umpat Fathan sambil menatapi Gadis malang tersebut.

"Tidurlah dengan benar!" tandas Fathan yang melihat Azkira tak juga merebah. Dia menarik lengan Azkira, dan membuat gadis itu kembali berteriak.

"Jangan! Jangan sentuh saya, Pak," jeritnya dengan gigil ketakutan. Perasaannya benar-benar kacau dan tidak karuan.

"Kalau begitu tidurlah dengan benar!" ulang Fathan memberi perintah.

Azkira terpaksa menuruti Fathan. Dia tidak mau mengambil resiko dengan mebuat Pria itu marah lagi. Sebab, ada simbol kehormatan yang harus tetap dia jaga dengan baik. Azkira pun merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk itu dengan perasaan was-was.

Fathan bergerak mematikan lampu kamar. Kemudian, dia mengambil satu bantal dan tidur di sebuah single sofa yang ada di kamar penginapan itu. "Apa yang sudah aku lakukan ini?" gumamnya sambil memijat-mijat keningnya sendiri.

"Mimpi buruk apa yang sedang aku alami ini? Kenapa aku harus menerima sesuatu yang tidak pernah aku harapkan? Apa hidup ini begitu tidak memihak untuk membiarkan aku tenang?" jerit Azkira dalam hati yang berkabut duka. Malam itu dia tidak dapat tidur dengan nyenyak meski tempat itu begitu nyaman.

****

Keesokan hari pagi-pagi sekali. Azkira yang belum tidur sepanjang malam pun sudah duduk dengan posisi memeluk dirinya sendiri. Kantung matanya tampak sembab, bagian putih matanya sedikit memerah akibat terlalu banyak menangis. Kepalanya pun terasa sangat berat dan sakit.

Fathan yang tertidur di sofa kala itu menggeliat dan bangun. Dia melihat ke arah Azkira, lalu melihat pada arloji yang ada di pergelangan tangan sebelah kirinya. "Masih jam setengan enam pagi. Apa dia terus terjaga sepanjang malam?" batin Fathan bertanya-tanya.

Dia bangkit dari sofa itu, lalu bergegas membuka pintu kamar. "Ayo, saya antar kamu pulang." lontar Fathan.

Keduanya pun bertolak dari penginapan itu menuju ke rumah Azkira, tepatnya rumah neneknya. Karena Azkira selama ini memang tinggal bersama Sang Nenek. Sementara, kedua orang tuanya telah lama meninggal dalam sebuah tragedi kecelakaan, sejak dirinya duduk di bangku SD.

"Kemana arah rumahmu?" tanya Fathan dengan nada datar. Kala itu mereka sudah menempuh sekitar 30 menit perjalanan.

"Kanan lurus saja, Pak. Nanti ada gang masuk. Rumah saya ada di sebelah kanan jalan dengan cat berwarna putih," jawab Azkira yang tampak sangat lemas.

Sekilas semua itu tampak tidak masuk akal. Bagaimana mungkin semua itu bisa terjadi?Seorang owner sebuah restoran bermalam dengan waitressnya dalam satu kamar. Dan atas sebuah paksaan juga masalah yang sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Tapi sekali lagi begitulah seorang Fathan. Dia tidak pernah berpikir ulang saat mengambil sebuah tindakan sekali pun itu sangat merugikan orang lain.

Sesampainya di depan rumah Nenek Azkira. Keadaan menjadi sangat gelap dan kepalanya terasa sangat berat. Lalu, semuanya tidak bisa dikendalikan lagi. Azkira hilang kesadaran dan pingsan.

"Hey! Bangun ... kenapa kamu pingsan di dalam mobil saya?" ucap Pria itu tanpa rasa bersalah.

"Aaarrrhhh, Gadis pembawa siaaal!" maki Fathan. Lantas, dia bergegas membawa Azkira ke rumah Neneknya yang sempat dia beritahukan sesaat sebelum kesadarannya hilang.

"Permisi ...," ujar Fathan sambil membopong tubuh Azkira yang tak berdaya itu.

"Ya ampun, Azki! Apa yang terjadi pada Cucuku?" sentak seorang wanita tua yang tidak lain adalah Sinta, neneknya Azkira.

"Dia pingsan, Nek," jawab Pria itu yang seolah tidak berdosa atas semua yang terjadi pada Azkira.

"Cepat bawa dia masuk!" titah Sinta sembari panik bukan kepalang.

Bersambung ....

BAB 3 Merasa Penuh Dusta

"Nenek, ada apa dengan Azki?" tanya seorang Pria yang baru saja datang ke rumah Sinta.

Pria itu tampak menganalisa keadaan dan memindai wajah Fathan yang kala itu duduk di samping Azkira yang sedang pingsan. "Kamu apakan Azkira?" ujar Pria itu sembari mengancamkan sebuah pukulan pada Fathan.

"Revan, jangan main hakim sendiri, Nak!" cegah Sinta pada pria yang ternyata bernama Revan tersebut.

Siapakah Revan? Dia adalah anak tetangga Sinta, neneknya Azkira. Revan sangat menyayangi Azkira seperti adiknya sendiri. Dia tidak akan pernah diam saat tahu Azkira ada yang mengganggunya.

"Tapi, Nek-"

"Sudahlah, Nak. Kita 'kan belum tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Sinta menjeda kalimat Revan.

"Kalau sampai terbukti kamu yang sudah membuat Azki begini, lihat saja! Tidak akan kubiarkan hidupmu tenang!" ancam Revan pada Fathan. Dia tampak benar-benar marah dan tidak terima.

"Sebaiknya jangan terlalu yakin," olok Fathan sambil menyeringai.

Sinta membalurkan minyak angin pada leher dan pelipis Azkira. Dia juga mendekatkan aroma minyak angin yang menyeruak itu ke dekat permukaan hidung Azkira, agar bisa terhirup dan berharap Azkira akan cepat sadar. Wanita tua itu tampak sangat telaten mengurusi Cucu semata wayangnya itu.

"Sini, Nek, berikan padaku." Revan mengambil minyak angin itu dan membalurkannya pada telapak kaki Azkira sambil memijat-mijatnya dengan pelan.

Tidak berapa lama kemudian, Azkira pun siuman. Sinta dan Revan langsung tersenyum dan mendekati Azkira. Berbeda dengan Fathan yang mecebikkan bibirnya dan bersikap acuh saja. Seakan tidak pernah merasa bahwa dialah yang menyebabkan Azkira tidak tidur semalaman sampai pingsan begitu.

"Nenek, Bang Revan," seru Azkira dengan suara lirih.

"Azki, kamu kenapa? Siapa yang membuatmu begini?" tanyai Revan dengan nada cemas dan gusar.

Azkira memejam seraya meneguk salivanya. Lalu, dia membuka mata dan mengarahkan pandangannya pada Fathan, hingga Pria itu tampak terhenyak. Mungkin Fathan merasa takut atau entahlah.

Melihat tatapan mata Azkira tertuju pada Fathan, Revan dan Sinta pun turut melihat padanya. Tak ayal, hal itu membuat wajah Fathan semakin tegang. Revan dan Sinta saling menatap dan mengernyitkan dahi, seakan mencari jawaban.

"Terima kasih sudah mengantar saya pulang, Pak Fathan," lontar Azkira tanpa diduga.

Ketegangan Fathan pun memudar setelah mendengar kata yang keluar dari mulut Azkira, yang ternyata sebuah ucapan terima kasih. Padahal, tadinya Fathan mengira bahwa Azkira akan membeberkan kebenarannya, tapi ternyata tidak. Sekali lagi, Fathan lolos dari masalah yang mengancam di hadapannya.

"Kalau begitu, saya permisi dulu," pamit Fathan sembari mengangguk pada Sinta, dan Azkira. Namun, dia memberikan senyum tidak simetris pada Revan sebagai ejekan.

"Terima kasih ya, Nak Fathan. Kamu sudah menyelamatkan Azkira dan mengantarkannya pulang," tutur Sinta sembari mengantarkan Fathan ke depan pintu.

"Haruskah aku meng-iya-kan semua ini?" batin Fathan. Dia merasa penuh dusta kala itu.

"Tak apa, Nek. Semoga Azkira lekas membaik." Akhirnya, hanya kata itu yang terurai dari mulut Fathan untuk menjawab dugaan aksi heroik-nya terhadap Azkira, yang sebenarnya tidak pernah ada.

Pria itu pun lantas pergi melesakkan kemudinya, meninggalkan kediaman Azkira. Dalam benak yang dipenuhi kemelut, Fathan bertanya-tanya. "Mengapa dia tidak mengatakan yang sebanarnya? Apa dia kasihan padaku? Atau dia takut akan diberhentikan dari pekerjaannya kalau seumpama dia memberitahu kejadian yang sesungguhnya?" gerundal Fathan sambil terus fokus mengemudi.

****

Fathan tiba di rumahnya yang luas dan megah. Baru saja dia melangkah masuk, dia sudah disambut oleh pertanyaan yang memberondong dirinya. Sungguh, itu sangat memperkeruh suasana hati Fathan kala itu.

"Fathan, bagaimana hubunganmu dengan Ellena? Kapan kalian akan menikah? Ayah tidak mau menunggu lebih lama lagi. Kalau Ellena tidak bisa menerima pernikahannya denganmu dalam waktu dekat, lebih baik kamu cari gadis lain saja yang bisa dinikahi dengan segera!" tandas Antoni. Ya, dia ayah kandung Fathan.

"Ayah, bisakah untuk tidak membahas hal ini skarang? Aku merasa lelah," timpal Fathan dengan nada malas. Dia langsung bergegas menuju kamarnya.

"Fathan! Ayah memberimu waktu tiga hari lagi untuk memastikan pernikahanmu dengan Ellena. Kalau kamu tidak sanggup, maka kamu harus menikah dengan gadis pilihan Ayah!" teriak Antoni dengan amarah yang meringkuhi dirinya.

"Aaaarrrgghhh! Kenapa hidupku harus penuh tuntutan seperti ini?" geram Fathan sembari meremmat kepalan tangannya.

Fathan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur sambil memejamkan mata, meresapi semua hal tidak mengenakkan yang dia rasakan. "Ibu, andai saja Ibu tidak pergi secepat itu. Pasti hidup Fathan tidak akan semenyebalkan ini, Bu. Ayah selalu saja memaksakan kehendaknya pada Fathan."

Mata Fathan mengembun meratapi nasibnya. Dia merindukan sosok Sang Ibu yang telah meninggal dunia tujuh tahun silam. Kerinduan itu semakin menyeruak saat dia menghadapi hal-hal surupa yang dialaminya saat ini.

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!