NovelToon NovelToon

Sebatas Pengganti

Hancur

Hai, para pembaca tercinta. Aku kembali dengan cerita ini. Setelah aku bawa kesana kemari, akhirnya dia kembali lagi ke sini. Tenang aja, aku akan mengontrakkan karyaku ini di sini. Jadi, jangan lupa untuk tambahkan ini ke rak kalian ya. Jangan lupa like dan komen agar aku semakin semangat 🥰

"Cahaya, kenalkan, ini Lia, istriku."

Begitulah ucapan yang keluar dari mulut Bram, calon suaminya yang beberapa hari lagi akan menikah dengannya.

Di sampingnya ada seorang wanita cantik yang tak lain adalah istri Bram yang bernama Lia.

Tubuh Cahaya seketika bergetar, giginya gemeretak menahan emosi yang siap ia tumpahkan. Ia menatap Lia dengan tatapan sangat tajam.

"Apa-apaan kau, Mas! Apa maksud mu? Kita akan menikah!" Cahaya berteriak sembari meneteskan air matanya.

"Karena kita akan menikah, makanya aku memperkenalkan dirimu pada istri yang tadi pagi baru saja aku nikahi." Bram menoleh ke Lia, lalu tersenyum. Tampak jelas binar-binar cinta di wajahnya.

"Kau sudah gila! Kita akan menikah, Mas!" Cahaya kembali berteriak. Membuat gema di ruangan kecil yang sebenarnya adalah rumah paman dan bibinya. Sayang sekali paman dan bibinya tidak ada di sana untuk menyaksikan kejahatan yang Bram lakukan pada Cahaya?

"Ya, kita memang akan menikah. Dan kau akan menjadi istri keduaku." Bram tersenyum menyeringai. Tatapan lembut yang selama ini dilihat Cahaya seakan hilang, berganti tatapan tajam bak ingin menerkam. Senyuman yang dulunya sangat menenangkan hati, seakan berubah menjadi senyuman devil.

Mendengar perkataan Bram, Cahaya semakin emosi. Ia pun maju dan mencoba menarik rambut Lia. "Dasar pelakor! Wanita tidak tahu diri!" 

"Hentikan!" Bram mendorong tubuh Cahaya hingga ia jatuh terjerembab ke lantai.

Cahaya menatap Bram tidak percaya. Ia seperti tak mengenal Bram yang selama ini selalu bersikap lembut dan sangat menyayangi dirinya.

"Dengar, ya, suka atau tidak suka, kau harus menerima Lia sebagai istri pertama ku!" Bram menatap tajam ke arah Cahaya yang masih terduduk di lantai.

"Aku tidak mau menikah denganmu!" Cahaya berteriak sembari bangkit dari posisinya. Memangnya, siapa juga yang mau menjadi istri kedua?

"Hahaha, kita lihat saja apa yang akan om dan tantemu katakan. Aku akan mencium kakimu jika kau bisa menghentikan pernikahan kita." Bram tersenyum menyeringai. Jika dulu Cahaya menyukai senyumannya, kini ia sangat membencinya.

"Kau jahat, Mas!" teriak Cahaya lagi.

"Aku tidak peduli, yang penting aku akan mempunyai dua istri sekaligus." Bram pun pergi dengan istrinya, meninggalkan Cahaya yang masih menangis meratapi nasibnya.

"Ya Allah, kenapa nasibku jadi begini? Kenapa, Ya Allah? Apa salahku hingga aku berakhir seperti ini? Aku tidak mau menjadi istri kedua, ya Allah. Apalagi Mas Bram tidak mencintaiku. Apa bedanya hidupku yang sekarang dan nanti jika aku hidup bersama orang yang tidak punya hati."

Jeritan tangis Cahaya terdengar memilukan dan menyesakkan dada. Perlahan, ia bangkit dari posisinya, lalu pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.

Satu jam kemudian, om dan tantenya baru saja pulang dari restoran yang merupakan usaha mereka. Mereka begitu terlihat lelah dan pusing. Sepertinya pekerjaan mereka sangat berat. Berkali-kali terdengar hembusan nafas kesal dari keduanya.

"Huh, bagaimana ini, Pa, kalau begini terus restoran kita akan bangkrut," keluh Ririn yang merupakan tantenya Cahaya.

"Sabar, Ma, setelah Cahaya menikah dengan Bram, dia pasti akan memberikan suntikan dana dan kita pasti akan mendapatkan tambahan untuk menarik pengunjung agar seramai dulu," ujar Doni, omnya Cahaya.

"Benar, Pa, oh ya, mana anak itu, Cahaya!!!!" Ririn memanggil Cahaya dengan suara yang cukup keras.

"Iya, Tante." Cahaya datang dengan tergopoh-gopoh. Sudah tidak ada air mata lagi di wajahnya. Hanya mata yang sedikit sembab, namun itu tidak akan menarik perhatian dari Ririn dan Doni.

"Ini sisa makanan dari restoran, makanlah, masih hangat." Ririn menyerahkan bungkusan plastik dengan sekotak menu di dalamnya.

"Terima kasih, Tante." Cahaya mengangguk.

"Karena kau akan menikah, jadi kami harus memberikan mu makanan enak agar kau tidak terlalu kurus karena hanya makan tempe dan tahu seperti biasanya."

"Anu, Tante, sebenarnya ada yang ingin Cahaya katakan pada Om dan Tante." Cahaya terlihat ragu.

"Ya sudah, katakan saja."

"Tadi Mas Bram datang ke sini."

"Lalu?"

"Di-dia membawa istrinya yang baru saja dia nikahi."

"Apa? Istri? Jadi Bram sudah menikah? Dan akan menjadikan mu istri kedua. Benar-benar kurang ajar dia!" Ririn berkacak pinggang dengan wajah kesal. Begitu juga dengan Doni yang juga terkejut dengan berita yang baru saja disampaikan Cahaya.

Cahaya terharu, ternyata om dan tantenya begitu memperdulikan perasaannya, begitu pikirnya.

"Benar, Ma, kalau Cahaya menikah dengannya nanti, pasti dia harus membagi uang untuk dua istri. Kalau begitu, kita tidak bisa mendapatkan uang banyak dari Cahaya." Doni menambahkan.

"Licik sekali dia!"

Cahaya tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ternyata Om dan tantenya hanya peduli pada uang saja, bukan pada perasaannya.

"Om, Tante, Cahaya tidak ingin menikah dengannya." Akhirnya Cahaya memberanikan diri untuk berkata.

"Apa kamu bilang? Tidak mau?" Ririn memelototi Cahaya sambil mencengkram tangan Cahaya dengan kuat.

"Dasar keponakan tidak tahu diri. Harusnya kau bersyukur karena kami mau merawat mu setelah orang tuamu meninggal saat kau masih bayi." Doni juga memelototi Cahaya sembari menunjuk wajah Cahaya dengan jarinya.

"Tapi Cahaya tidak ingin menjadi istri kedua, Om, Tante. Tadi saja dia sudah bertindak kasar pada Cahaya."

"Kami tidak peduli tentangmu. Kau harus menikah dengannya, atau, kau harus keluar dari rumah ini. Dan sebelum itu, kau harus mengembalikan semua biaya hidupmu selama ini. Kalau kau tidak bisa membayar, maka kau harus bersiap menjual ginjalmu!" ancam Ririn. Memang seperti itulah cara yang selalu ia lakukan untuk membuat Cahaya menurut. Yaitu menakutinya.

Sontak ancaman tersebut membuat Cahaya ketakutan dan merinding. Jika ia harus menjual ginjalnya, bagaimana ia bisa hidup dengan baik. Apalagi harus keluar dari rumah tersebut. Rumah yang menjadi satu-satunya tempat dirinya bernaung sejak orang tuanya meninggal.

"Dengar, ya, Cahaya, kalau bukan karena bantuan dari kami, pasti sejak bayi kau sudah mati karena penagih hutang orang tuamu, menginginkan organ tubuhmu sebagai bayarannya." Doni menambahkan.

"Dan jika kau mencoba untuk kabur, maka kami akan menangkapmu dan langsung menjual mu!" Ririn kembali mengancam.

Cahaya hanya bisa menangis. Begitu berat yang harus ia jalani. Sejak kecil, ia selalu dimarahi dan dipukul jika melakukan kesalahan. Dirinya sudah seperti pembantu yang harus mengurus rumah itu dua puluh empat jam dan hanya mendapatkan makanan seadanya.

"Baiklah, Tante."

Dan akhirnya, ia hanya dapat mengangguk pasrah, menyetujui pernikahan yang akan mengikatnya dalam kesengsaraan.

"Bagus! Ingat, jangan coba macam-macam atau kau akan tahu akibatnya!" Bram menambahkan.

Dengan langkah gontai, ia pun berjalan menuju kamarnya untuk sekadar merenungi nasibnya kini. Apakah memang ini penderitaan yang harus ia lalui hanya karena ia menumpang?

Putus Asa

Beberapa hari kemudian, tepat sehari sebelum akad nikah dilaksanakan, Cahaya mendatangi kediaman Bram dan istrinya. Ia dipaksa mengantarkan makanan oleh Tantenya untuk menarik simpati Bram. Sebenarnya ia tidak mau, tetapi karena paksaan tantenya, ia pun pergi ke sana.

Mobil taksi yang ia tumpangi sudah sampai di sebuah rumah yang lumayan besar, yang nanti akan ia tempati bersama Bram dan juga istri pertamanya.

Cahaya menarik napas, lalu mengeluarkannya perlahan. Ia masih belum siap untuk bertemu mereka setelah kejadian waktu itu.

Memang, tantenya sudah menelepon Bram dan memberi tahu bahwa pernikahan tetap berlanjut, tetapi, ia belum bisa memastikan apakah Bram akan sekasar kemarin atau tidak.

Langkah Cahaya berhenti tepat di depan pintu rumah Bram setelah sebelumnya satpam membukakan pintu gerbang untuknya.

Ia ingin mengetuk, namun terdengar tawa renyah dua orang insan di bagian samping rumah. Cahaya melangkah menuju samping rumah yang terdapat taman kecil di sana. Ternyata benar, Bram dan Lia ada di sana sedang bercanda ria dengan mesranya di atas ayunan besi.

Hati Cahaya sangat sakit melihatnya. Meskipun Bram telah jahat padanya, tetapi ia tidak bisa memungkiri bahwa ia masih menaruh rasa pada Bram.

Ia hendak menghampiri mereka, tetapi langkahnya terhenti saat Bram berceletuk.

"Bagaimana menurut mu? Aku sangat pintar, kan? Aku memenangkan taruhan dengan teman-temanku untuk mendapatkan cinta gadis bodoh itu. Kau lihat mobil mewah yang mereka berikan sebagai hadiah kemenangan ku." Bram tersenyum senang.

"Kau sangat pintar, Sayang. Lalu, kenapa kau masih mau menikah dengannya? Apa kau mencintainya?" tanya Lia penuh selidik.

"Tidak, Sayang. Mana mungkin aku mencintai gadis bodoh itu. Dengar, menurut mu, bagaimana kalau kita tidak perlu membayar jasa asisten rumah tangga." Bram tersenyum penuh makna.

"Apa maksud mu? Mana ada yang mau bekerja tanpa dibayar? Hanya orang bodoh yang,,,,," Lia menghentikan ucapannya ketika menyadari sesuatu. Ia pun tersenyum pada Bram. "Maksud mu, Cahaya akan menjadi pembantu kita secara gratis?"

"Benar, kita tidak perlu repot-repot menggajinya. Dan ketika kita punya anak nanti, biar dia saja yang mengurus, kita hanya perlu bersenang-senang."

"Ku dengar kau akan menyuntikkan dana yang cukup besar pada keluarga itu?"

"Ya, tapi dengan catatan sebagian saham restoran menjadi atas namaku. Aku pintar, 'kan?"

"Hah! Apakah mereka setuju?"

"Mereka setuju karena restoran mereka di ambang kebangkrutan. Dan hanya aku yang mau menyuntikkan dana pada mereka. Jadi, hartaku tidak akan ku berikan percuma pada mereka."

"Wah, kau sangat pintar." Lia mencubit pipi Bram dengan gemas.

Cahaya terduduk setelah mendengar semua rencana Bram. Tidak sangka, cinta tulusnya akan dibalas penghianatan yang begitu menyakitkan. Bahkan ia akan dijadikan pembantu gratis di rumah besar ini. Tidak, Cahaya tidak akan sanggup.

Ia pun segera kembali ke rumah untuk melaporkan berita ini pada Om dan tantenya.

Namun, sesampainya di rumah, ia melihat om dan tantenya sedang bertengkar dan saling menyalahlan. Mereka memecahkan barang-barang di dalam ruang tamu yang sudah seperti kapal pecah.

"Sial!!! Kenapa bisa begini! Kau itu memang istri yang bodoh! Bagaimana bisa kau bisa menggunakan uang tanpa seizinku? Kau tertipu oleh investasi bodong! Padahal uang itu akan kita gunakan untuk menggaji para karyawan dan juga untuk biaya hidup kita!" Doni membentak Ririn dengan sorot mata yang sangat tajam.

"Aku tidak tahu kalau mereka menipu. Aku hanya ingin menggandakan uang kita. Kau juga bersalau karena menggadaikan rumah ini tanpa sepengetahuan ku untuk modal usaha, padahal untuk bermain perempuan!"

"Aku sudah minta maaf padamu dan aku juga salah! Aku juga ditipu olehnya! Jangan menutupi kesalahan mu dengan menyudutkan ku. Apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau juga bermain api dengan berondong?" Doni menatap Ririn dengan tatapan ingin membunuh.

Ririn terkejut karena perbuatannya diketahui suaminya.

"Aku, aku melakukan itu karena kau yang duluan selingkuh!" Mencoba membela diri.

"Sudah! Sekarang bukan waktunya memikirkan itu. Sekarang pikirkan bagaimana menyelamatkan restoran kita! Bram telah meminta saham 50 persen jika ingin dia menyuntikkan dana. Tentu itu akan mengurangi pendapatan kita" Doni duduk ke sofa sembari memegangi kepalanya, begitu juga dengan Ririn.

"Tapi mau bagaimana lagi? Kita tidak punya pilihan! Apa kau punya ide?"

Doni mengangkat kepalanya setelah mendapatkan ide brilian. "Lupakan Bram. Aku lupa memberitahu jika ada seorang pria tua yang ingin menikahi Cahaya dan memberikan kita uang satu milyar. Itu jumlah yang sangat banyak dibanding dengan tawaran Bram berengsek itu."

"Tapi pernikahannya besok."

"Itu hanya pernikahan siri dan tidak ada resepsi. Kita bisa membatalkannya. Aku akan menghubungi tua bangka itu." Doni langsung menelepon pria tua itu. Terlihat ia tersenyum senang saat mendengar jawaban dari si pria tua.

Ia menatap Ririn dengan senyuman. "Dia mau! Cahaya akan menjadi istri ke-empatnya."

"Bagus, bagaimana memberitahu Bram?"

"Aku akan menyuruh wakilku ke rumahnya dan memberitahukan pembatalan ini. Pernikahan akan tetap dilakukan besok. Kita hanya perlu menunggu Cahaya pulang. Tidak perlu diberitahu, dia hanya perlu menurut saja."

Ririn pun tersenyum lega. Akhirnya masalah mereka terpecahkan.

Cahaya yang sedari tadi menguping dari luar hanya bisa menangis pasrah. Ia jatuh terduduk di samping teras rumah tersebut.

Hari yang semakin sore membuat hatinya kian berkecamuk. Ia pun memutuskan untuk pergi dari rumah itu tanpa sepengetahuan mereka. Bukan untuk kabur, melainkan untuk mengakhiri hidupnya yang sudah tidak ada harapan lagi.

***

Hari sudah gelap, namun jembatan penyeberangan masih banyak orang. Cahaya pun menunggu hingga jembatan tersebut sepi. Ia memilih tempat yang ramai untuk bunuh diri. Karena kalau di tempat sepi atau sungai, ia takut jasadnya akan lama ditemukan atau malah membusuk dengan kondisi mengerikan. Jika gantung diri, katanya sakitnya akan menyiksa. Ia hanya ingin mati dengan sekali lompat. Kalau menabrakkan diri ke mobil, belum tentu langsung tewas, begitu pikirnya. Ia pun menunggu di bawah jembatan, tepatnya di trotoar sambil menangis.

Sementara di rumah, om dan tantenya kebingungan karena Cahaya belum pulang. Kalau sampai besok Cahaya tidak jadi menikah, maka mereka akan menggelandang di jalanan. Mereka sudah menelepon ke semua orang yang mungkin Cahaya temui, namun tak satupun tahu keberadaannya. Kini, mereka menyesal kenapa dulu tak memberikan Cahaya ponsel untuk sekadar berfungsi menelepon dan berkirim pesan.

Malam semakin larut, setelah dirasa sudah sepi, Cahaya pun berjalan ke atas jembatan penyeberangan dengan mata sembab dan bengkak, ia berjalan dengan langkah gontai. Sesekali wajahnya menghadap ke atas langit. Ada rasa ragu dalam dirinya, namun rasa itu langsung lenyap seketika ketika mengingat nasibnya besok jika ia tetap hidup.

Ia pun melangkah ke tengah-tengah jembatan. Melihat ke sisi kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada orang yang akan melihatnya.

Ia pun membuka sendal usang yang dipakainya. Pandangan matanya sudah mulai buram karena menangis seharian.

Ia pun menaiki pagar jembatan satu persatu hingga sebagian tubuhnya sudah melewati ujung pagar yang terbuat dari besi tersebut.

"Ya Allah, maafkan aku, aku sudah tidak sanggup hidup lagi di dunia ini. Sejak kecil aku sudah yatim piatu, tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari om dan tanteku, dijadikan seperti pembantu, dan besok aku harus menikahi pria tua beristri tiga demi memuaskan keserakahan om dan tanteku. Aku terpaksa mengakhiri hidupku agar aku tidak menderita lagi."

Cahaya menaiki pagar besi hingga akhirnya ia berada di luar pagar dengan masih berpegangan. Saat melihat ke bawah, ia sangat takut dengan ketinggian jembatan yang hanya bisa diseberangi orang itu.

"Tinggi sekali, apa aku pindah tempat saja?" gumam Cahaya sambil menatap ngeri pada jalanan dengan beberapa mobil yang lalu lalang meski sudah larut malam.

"Tidak! Kalau aku pindah, belum tentu tempatnya akan sepi seperti tempat ini. Baiklah, aku akan melompat. Selamat tinggal dunia, sampai pada mereka bahwa aku terluka." Cahaya menutup matanya sembari melepaskan pegangannya pada besi pagar.

Tiba-tiba, seseorang menahan tubuhnya. Cahaya terkejut karena ternyata masih ada orang di sana. Ia pun menoleh dan melihat seorang pria berbadan tegap tengah menahan tubuhnya dengan memegangi tangannya supaya tidak jatuh.

"Lepaskan, Tuan, aku ingin mati!" Cahaya memberontak meminta dilepaskan.

"Jangan, Nona, hidupmu masih panjang. Masih ada cara menyelesaikan masalahmu." Pria itu mencoba membujuk Cahaya.

"Kau tidak mengerti. Masalahku sangat berat!"

"Nona, kalau kau bunuh diri, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Apa kau tahu, jika orang yang bunuh diri akan kekal di neraka? Kau mau kekal di sana?" Pria itu mencoba memperingatkan Cahaya.

"Tapi aku sudah cukup menderita hidup di dunia!"

"Di akhirat kau akan menderita selamanya. Bahkan ratusan kali lipat lebih pedih daripada penderitaan mu di dunia. Nona, Allah membenci manusia yang menyia-nyiakan hidupnya!"

Cahaya terdiam. Benar juga kata pria itu, jika dia mati, maka penderitaannya diakhirat jauh lebih menyiksa dan juga kekal.

Ia pun berbalik hendak mengurungkan niatnya. "Tuan, aku akkkkkhhhhh!!!" Kaki Cahaya terpeleset dari pinggir dan kini ia bergelantungan dengan satu tangan yang masih dipegang pria itu.

"Nona! Pegang tanganku!" Pria itu kembali berteriak.

"Tolong aku! Aku tidak ingin mati sekarang!" Cahaya kini menangis kencang menyesali kebodohannya tadi. Bergelantungan begini saja sudah membuat jantungnya hampir copot. Bibirnya sampai bergetar sangking takutnya menghadapi kematian jika pegangan tangan dari pria itu terlepas.

Pria itu dengan sekuat tenaga menarik tangan Cahaya hingga akhirnya Cahaya berhasil di selamatkan.

Karena refleks, Cahaya langsung memeluk pria tersebut dan menangis. Ia benar-benar takut setengah mati.

Pria tersebut menenangkan Cahaya sembari menepuk-nepuk punggungnya. "Sudahlah, sekarang kau baik-baik saja."

Cahaya melepas pelukannya. Dilihatnya dengan jelas, bahwa pria tersebut berpakaian rapi seperti orang penting, mempunyai postur tubuh yang tinggi, dan berwajah sangat tampan.

Setelah memastikan bahwa pria tersebut bukan tukang culik, Cahaya kembali memeluknya dengan erat sembari mengucapkan terima kasih.

Lamaran

Davin dan Cahaya sudah sampai di rumah om dan tante Cahaya. Begitu turun dari mobil, Cahaya enggan masuk ke dalam kamar karena takut akan penolakan nantinya.

"Jangan takut, ayo kita masuk." Davin meyakinkan Cahaya.

Cahaya pun mengangguk. Mereka segera masuk ke pekarangan rumah yang tak terlalu besar itu.

"Cahaya! Darimana saja kau!" Ririn langsung datang menghampiri Cahaya, ingin menarik rambutnya.

Namun, karena melihat seorang pria yang bersama Cahaya menaiki mobil mewah, ia pun mengurungkan niatnya.

"Siapa kau?" tanya Ririn dengan nada sedikit merendah.

"Boleh saya masuk, Tante." Davin berbicara dengan sopan.

"Tapi,,,,,"

"Ma!! Cepat bawa Cahaya kemari!" Suara teriakan Doni dari dalam rumah membuat Ririn berdecak kesal.

"Cahaya, masuk ke dalam dan temui om dan juga Pak Adi."

"Apa? Pak Adi ada di dalam, Tante?" Safira terlihat takut.

"Iya, karena tadi kau kabur, kami menyuruhnya datang kemari untuk membantu mencari mu."

"Tante, izinkan saya masuk," tawar Davin.

"Tapi kau mau apa?" Ririn terlihat ragu.

"Saya akan memberi kalian suntikan dana yang sangat banyak." Davin langsung to the point.

Mendengar ucapan Davin, mata Ririn membola sempurna. Ia langsung mempersilakan Davin untuk masuk.

Setelah berada di dalam rumah, kini Ririn dapat melihat dengan jelas wajah Davin, begitu juga dengan Doni.

'Kenapa dia begitu mirip dengan anak pengusaha terkenal yang bernama David?' batin Doni.

'Mana mungkin anak pengusaha kaya datang ke sini. Pasti dia hanya mirip saja,' batin Ririn.

Sedangkan Pak Adi yang merupakan juragan peternakan sapi tidak begitu mengenal Davin karena jarangnya menonton televisi dikarenakan lebih suka menonton tiga istri muda dan cantik yang akur di rumah.

"Nak, tadi kau bilang ingin memberi suntikan dana, kan?" tanya Ririn ingin mengingatkan.

"Benar, Tante. Tapi bukan hanya itu. Saya ke sini juga untuk melamar Cahaya."

"Apa?" Pak Adi berdiri dan melotot ke arah Davin.

Cahaya hanya diam saja dan memilih pasrah dengan apa yang akan terjadi.

"Enak saja! Cahaya itu akan menjadi istri saya! Saya sudah menyediakan mahar senilai satu milyar untuknya!" Pak Adi terl6 berapi-api.

"Mahar atau suntikan dana?" tanya Davin.

"Ya mahar sekaligus suntikan dana."

"Saya akan berikan suntikan dana 1 milyar, dan mahar sebuah rumah, lahan perkebunan, peternakan, dan uang satu milyar." Davin menjawab dengan santai. Harta itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kekayaan yang ia miliki sekarang.

Mendengar hal itu, mata Doni dan Ririn membulat sempurna. Mulut mereka mengaga seakan tak percaya. Apalagi Cahaya. Ia menatap Davin tanpa henti. Ia tidak menyangka bahwa Davin akan memberikan mahar yang sangat banyak padanya.

"Jangan sombong! Kau itu bukan siapa-siapa. Aku yang sudah menyepakati pernikahan dengan Cahaya, kau terlambat." Pak Adi mencoba melawan Davin.

"Oh ya? Sekarang tanyakan pada mereka, siapa yang pantas menjadi suami Cahaya." Davin melirik ke arah Doni dan Ririn.

"Emm, Pak Adi, maaf, kami akan menerima lamaran dari anak ini." Doni menegaskan. Daripadanya Cahaya menikah dengan kakek tua yang hanya memberi sedikit, lebih baik Cahaya menikah dengan pengusaha kaya, bukan?

"Apa? Jangan seenaknya! Kalian jangan percaya begitu saja, bisa jadi dia bohong. Dan mobil di luar itu hanya mobil sewaan saja!" Pak Adi masih tidak mau mengalah.

Davin mengeluarkan dompet, lalu menyodorkan sebuah kartu nama. "Ini kartu nama saya."

Doni dan Ririn melihat nama dalam kartu itu. Tertulis dengan jelas, bahwa namanya adalah Davin Pramudya, pemilik Davine Company dan juga salah satu perusahaan Armadja.

Mata mereka melotot tak percaya. Ternyata dugaan mereka tadi benar, dia adalah anak David Pramudya dan Sevina Armadja. Pengusaha kaya yang hartanya takkan habis tujuh turunan kecuali mereka kalah berjudi.

"Kenapa kalian melotot. Siapa dia?" tanya Pak Adi merasa heran melihat ekspresi mereka.

"Dia ini Davin Pramudya, Pak. CEO Davine Company dan juga perusahaan Armadja." Doni menjelaskan.

"Siapa dia? Sekaya apa dia sampai kalian begitu." Pak Adi masih dengan sikap sombongnya. Mengira kalau dirinya adalah orang paling kaya di sana. Ia belum tahu saja sekuat apa pengaruh keluarga Davin di dunia bisnis.

"Pak, peternakan yang Bapak punya pun bekerja sama dengan pabrik susu miliknya." Ririn menambahkan.

Mendengar hal itu, Pak Adi masih tidak percaya. Ia lantas membuka internet dan mencari nama Davin Pramudya. Matanya pun kini membulat sempurna saat melihat total kekayaan Davin saat ini yang sangat banyak itu. Belum lagi, ia adalah keturunan dari pengusaha kaya yang sangat terpandang dan punya banyak kekuasaan.

"Ya sudah, kalau begitu, sa-saya permisi dulu." Pak Adi pun pergi dengan kaki yang gemetaran.

Untung Davin hanya diam saja. Jika sampai ia memutus kerja sama, tentu ini akan menjadi Boomerang untuk Pak Adi karena hanya perusahaan itu yang dapat memproduksi susu dengan jumlah yang banyak dan laris dipasaran.

Cahaya akhirnya dapat bernapas lega, akhirnya ia tidak jadi menikah dengan pria tua bangka itu.

"Nak, bagaimana dengan suntikan dana dan maharnya?" Ririn mengingatkan.

Davin mengeluarkan cek dari dompetnya, menulis nominal angka, lalu menyerahkannya ke Doni.

"Ini saya berikan setengah dari suntikan dana sebagai tanda jadi. Saya akan datang dengan keluarga saya satu minggu lagi untuk melamar dan memberikan sisanya dan juga mahar untuk Cahaya. Tapi saya minta, berikan perawatan sempurna untuk calon istri saya. Jangan suruh dia bekerja, karena saya tidak ingin calon istri saya kelelahan."

"Ba-baik, kami berjanji ketika kau datang ke sini, Cahaya akan sangat cantik dan terawat." Doni memegangi cek dengan perasaan yang sangat riang.

"Kalau begitu, saya permisi. Oh ya, berikan Cahaya ponsel agar saya dapat menghubunginya. Saya tidak akan meminta apapun dari restoran pada Om dan Tante, jika kalian menepati janji."

Mendengar kalimat Davin, lagi-lagi mata Doni dan Ririn berbinar-binar. Mereka langsung mengangguk dan tersenyum. Dikasih uang gratis tanpa perlu membagi keuntungan? Siapa yang tidak mau? Hanya orang bodoh yang menolak rezeki nomplok, begitu pikir mereka. Memang, kalau sudah tamak, mendengar uang pun matanya langsung hijau, apalagi menerima langsung seperti ini?

"Baik, Nak Davin, kami akan membelikan Cahaya ponsel, kami berjanji." Ririn mengangguk cepat dengan senyuman yang terus merekah.

Setelah itu, Davin pun pergi setelah sebelumnya memberikan nomor ponselnya pada Cahaya.

Sepeninggal Davin, Doni dan Ririn langsung memeluk Cahaya sembari meminta maaf. Mereka bahkan menyuruh Cahaya tidur di kamar mereka agar lebih nyaman, sementara mereka tidur di kamar Cahaya yang sangat sempit itu. Tak apalah, toh sebentar lagi mereka akan punya banyak kekayaan dari mahar yang diberikan Davin untuk merenovasi rumah. Karena rumah yang diberikan Davin sudah pasti akan ditinggali mereka nantinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!