NovelToon NovelToon

Terpaksa Meminang

Bab.1

Hubungan yang terjalin sekian tahun tidak menjadi sebuah jaminan kesetiaan itu akan bertahan seterusnya. Terkadang hati bisa saja terbagi saat ada mimpi lain lebih menarik untuk di wujudkan.

Meski tanpa sadar, untuk mewujudkan mimpi yang lain, seorang pria harus mengorbankan perasaan wanita yang selalu memegang teguh arti kesetiaan.

.

.

.

Hari ini seorang gadis baru saja sampai di depan cafe, wajahnya begitu sumringah, seolah ada kerinduan yang sebentar lagi akan di curahkan.

Laila Maharani, gadis berumur dua puluh lima tahun melangkah masuk kedalam sebuah cafe langganannya. "Naima, coffe latte satu ya."

Naima adalah sahabat baik Laila, sekaligus pemilik dari cafe itu. "Siap, Rehan sudah pulang, sepertinya ada yang mau melepaskan kerinduan. Kamu mau ke apartemennya?"

Sambil mengunyah kacang bawang dari dalam toples yang ada di hadapannya, Laila menganggukkan kepalanya perlahan. "Begitulah, dia pulang sejak kemarin tapi aku sengaja tidak menghubunginya dulu."

Naima menyodorkan segelas kopi yang tersegel di dalam kantong plastik. "Tau deh, yang makin hari makin bucin. Rehan sepertinya makin serius sama kamu, La."

Mendengar ucapan Naima, Laila menjadi salah tingkah sendiri. "Ehm, ya begitulah. Kalau begitu aku pergi dulu ya, aku takut di berangkat ke kantor." Saat hendak berbalik pergi, Laila kembali melihat kearah Naima. "Aku titip mobil ku."

"Oke, sana pergi." Naima melambaikan tangannya hingga sang sahabat menghilang dari balik pintu. Ya, apartemen di mana kekasih Laila tinggal memang bersebelahan dengan cafe milik Naima.

~

Sampainya di depan unit apartemen Laila tidak memencet bel karena memang ia sudah tahu password pintu dari apartemen kekasihnya, Rehan.

Setelah memasukkan kode pintu Laila pun langsung masuk begitu saja, sekilas ia nampak menghela napas panjang ketika melihat pakaian Rehan berserakan di ruang tamu.

"Hufftt, satu hari saja aku tidak datang, apartemen ini pasti berantakan." Laila mengikat rambutnya tinggi keatas lalu mulai membereskan pakaian-pakaian itu.

Laila yakin Rehan pasti masih tidur nyenyak karena kelelahan. Saat sedang membersihkan sofa, ia melihat baju teronggok di bawah meja, tanpa ragu ia pun meraih baju itu. "Wah baju ini cantik seka--"

Saat menyadari ada sebuah keganjalan, Laila langsung terlihat kaget sekaligus bingung, bagaimana bisa baju seorang wanita ada di apartemen Rehan. "Jangan-jangan."

Tanpa pikir panjang, Laila melangkah cepat membuka pintu kamar dan akhirnya semua kebingungannya terjawab sudah. Sekujur tubuhnya terasa begitu lemas bahkan kopi yang hendak ia berikan kepada sang kekasih terjatuh ke lantai begitu saja.

"Laila." Rehan muncul dari kamar mandi dengan bertelanjang dada, ia kaget melihat kedatangan sang kekasih.

Seolah tak mendengar apapun, Laila terus fokus melihat seorang wanita di balik selimut tebal di atas tempat tidur kekasihnya. "Apa yang sudah kalian lakukan, kamu harus menjelaskan semua ini," ucap Laila sesaat setelah menoleh melihat Rehan.

Rehan mendekat dan langsung menarik sang kekasih keluar dari kamar itu. Wajahnya begitu panik, bingung sekaligus kesal kenapa Laila tiba-tiba datang. "Laila ini tidak seperti yang kamu lihat, malam tadi aku mabuk dan ka--"

"Dia sepupu ku!" Seruan Laila menggema ke sekeliling ruangan. Matanya berkaca-kaca dan gejolak emosi kekecewaan mulai menyesakkan dada. "Jika kamu khilaf dengan seorang ja*Lang mungkin aku masih bisa berpikir tenang, tapi ini ... ini Farah?"

"Laila!" Rehan mencengkram erat kedua sisi pundak sang kekasih. "Aku akan jujur, aku tidak mencintai Farah, kami hanya ... hanya terjebak dalam situasi. Selama kita pacaran, kamu selalu menolak bahkan untuk sekedar berciuman, aku juga laki-laki biasa."

Paakkk.

Satu tamparan keras Laila berikan tepat di pipi Rehan. Kejujuran Rehan tidak membuatnya tenang tetapi malah membuat ia semakin tahu jika kekasihnya itu adalah pria brengsek.

"Pria yang benar-benar mencintai wanitanya, bukan hanya tentang cinta tapi juga menjaga kesetiaan! Jika kamu tidak bisa menjaga hasrat mu sebagai lelaki, tidak bisa menjaga mata mu dari segala godaan, apa kamu pantas di sebut laki-laki? Pecundang."

Laila hendak berbalik pergi namun langkahnya terhenti ketika melihat Farah berdiri di ambang pintu kamar dengan memakai selimut untuk menutupi tubuh polosnya.

Air mata Laila benar-benar sudah tidak tertahankan tetapi amarahnya lebih besar dari kesedihannya, hingga ia tetap bisa menahan diri. Ia menyeret langkahnya menghampiri Farah yang hanya bisa tertunduk, tak berani melihat wajahnya.

"Farah, selama ini aku selalu menutupi semua aib mu dari kedua orang tuamu. Semua itu aku lakukan karena aku tahu kamu bisa bertanggung jawab atas dirimu sendiri dan kamu bisa mencari kebahagiaanmu sendiri. Tapi inikah balasan yang kamu berikan kepadaku?"

Perlahan Farah mengangkat kepalanya, memberanikan diri untuk menatap mata Laila, sepupunya. "Kamu sudah banyak berkorban untuk ku, tidak bisakah kamu merelakan Rehan untuk ku? Ya, aku sejak dulu sudah mencintainya secara diametral."

"A-apa." Sekeras apapun Laila mencoba untuk menahan air matanya agar tidak tumpah tetapi pada akhirnya ia runtuh juga. "Kau gila?"

"Farah kenapa kamu bicara seperti itu." Rehan mencengkram erat lengan Farah karena kesal.

"Kenapa, Rehan? Dia sudah terlanjur tahu, jadi biarkan saja dia mengetahui semuanya bahwa kita sudah menjalin hubungan satu bulan belakangan ini."

Deg.

"Satu bulan?" Laila hampir tak percaya, satu bulan ia tertipu dengan keadaan yang membuatnya terlena hingga tanpa sadar telah di tusuk berkali-kali oleh orang-orang yang ia sayangi.

"Laila, jangan dengarkan dia, aku benar-benar khilaf." Saat hendak memeluk Laila, Rehan malah di dorong oleh Laila hingga hampir membentur tembok.

"Kamu pikir aku sebodoh itu? Rehan, selama kurang lebih dua tahun belakangan ini aku tetap setia kepadamu meski kedua orang tua ku tidak setuju dengan hubungan kita. Ternyata ucapan kedua orang tua ku tentang mu itu benar, kamu hanyalah pria brengsek!"

Laila berbalik melangkah cepat meninggalkan unit apartemen itu. begitu banyak kenangan yang mereka lalui bersama Namun karena satu kehilafan Rehan sudah menghancurkan kepercayaan Laila.

"Laila, aku tidak akan melepaskan kamu! Aku akan terus datang menemui mu sampai kamu kembali kepada ku!" seru Rehan saat Laila meraih handel pintu.

Sejenak Laila menghentikan langkahnya, entah mengapa ucapan Rehan terdengar seperti ancaman baginya. Tak ingin terus larut dalam kesedihannya sendiri, ia kembali melenggang pergi dari tempat itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Kini tinggallah Rehan dan Farah di sana. Dengan sorot mata yang begitu tajam, Rehan menoleh menatap Farah. "Dasar wanita murahan! Kenapa kau membeberkan semuanya."

"Why? Kamu yang memulai dan sekarang penghalang hubungan kita sudah tidak ada." Farah melepaskan selimut itu yang membalut tubuh polosnya dan langsung memeluk Rehan. "Aku sangat mencintaimu, sangat mencintaimu."

Dengan satu gerakan Rehan menjauhkan Farah dari tubuhnya. "Kita tidur bersama hanya karena hasrat masing-masing, tanpa cinta! Aku mencintai Laila, bukan kamu."

~

Setelah memergoki sang kekasih selingkuh Laila pulang tanpa berpamitan terlebih dahulu kepada Naima di cafe. sebelum masuk ke dalam rumah ia mencoba untuk menormalkan dirinya.

Tak lupa ia memoles kembali wajahnya dengan make up agar wajah sebabnya bisa tertutupi. meyakinkan Laila pun beranjak keluar dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumahnya.

"Laila, Sayang."

Namun langkah Laila untuk masuk ke dalam kamar pun mengalami kendala, karena Ibu tiba-tiba saja datang dari lantai. "Ibu, bukannya tadi mau pergi arisan?"

Ibu yang sejak tadi tersenyum-senyum sendiri menuntun Sang Putri duduk di sofa yang ada di sebelah tangga. "Sepertinya kamu salah dengar ibu bilang kalau hari ini Ibu yang dapat arisan kamu tolong pergi ambil catering pesanan ibu di alamat ini ya."

Ibu menyodorkan sebuah alamat yang harus Laila datangnya untuk mengambil pesanan catering. "Baik Bu, aku pergi dulu."

~

Saat mobil Laila memasuki jalan raya tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna merah langsung berhenti tepat di hadapannya tentu saja ya mau tidak mau mengerem mendadak.

Wajahnya nampak begitu kesal karena ia tahu mobil itu adalah mobil Rehan.

Tanpa pikir panjang Laila pun langsung keluar dan menghampiri Rehan yang juga sudah turun dari mobil. "Kamu gila ya?! Singkirkan mobil mu aku mau lewat."

"Laila Aku tidak mau putus denganmu apapun yang terjadi kamu tetap akan menjadi milikku," cetus Rehan penuh ancaman.

"Kau gila, sudah mengkhianati ku sekarang mau aku kembali? Sudahlah aku banyak urusan." Saat hendak kembali ke mobil, Rehan kembali menarik tangan Laila. "Apa lagi?"

"Aku mencintaimu Laila, Aku akan terus menemuimu sampai kamu menerima aku kembali."

"Hentikan! Jangan ganggu aku lagi, karena aku akan segera menikah." Ucapan itu terlontar begitu saja dari mulut Laila padahal Ia saja tidak tahu akan menikah dengan siapa, dia hanya asal ceplos saja agar Rehan berhenti mengganggunya.

"Tidak mungkin, kau bergurau kan?"

"Tidak, aku akan menikah sebentar lagi lihat saja," ucap Laila lalu melangkah pergi meninggalkan Rehan yang diam terpaku di sana.

Bersambung 💕

Jangan lupa tinggalkan komentar+like, vote and hadiah 🙏🥰

Bab.2

"Pernikahan kamu dan Laras di Riau pun sudah batal karena keluarga Laras tidak lagi mau menerima kamu yang plin-plan. Sekarang Mama tidak mau tahu, secepatnya kamu harus mencari calon istri Firman, atau Mama yang akan mencarikan lagi."

Sudah berbulan-bulan semenjak rencana pernikahan Firman dan seorang wanita asal kepulauan Riau gagal di laksanakan. Ya, Firman yang tidak bisa melupakan cinta pertamanya menjadi pemicu awal.

"Mama tenang saja, nanti aku cari." Ia segera meneguk susu di gelasnya hingga habis agar segera bisa pergi. "Mana nasi kotak dan kue pesanan teman Mama, aku harus berangkat ke kantor sekarang."

"Sudah di siapkan sama Bibi dan mang ujang di depan, tinggal masuk bagasi mobil kamu saja. Semenjak kamu membangun perusahaan sendiri, jadi susah di mintai tolong."

"Nanti kalau perusahaan ku semakin berkembang pesat aku akan menutup usaha katering Mama. Sebenarnya Mama tidak perlu capek-capek lagi bekerja, aku bisa membiayai hidup Mama. Terlebih lagi Mama mempunyai gaji pensiunan dari pemerintah."

Mama nampak terharu ketika mendengar ucapan Sang putra. Selama ini Mama sudah banyak membuat Firman menderita dengan ikut campur dalam kehidupan asmaranya, hingga membuat Firman kehilangan wanita yang sangat dicintai.

"Fir, Mama minta maaf masalah Syifa, Mama benar-benar menyesal seharus--"

"Sudahlah Ma, Syifa sekarang sudah bahagia dengan rumah tangganya. Mungkin dulu Aku dan Dia pernah melangitkan doa agar bisa dipersatukan dalam hubungan pernikahan tetapi jika Allah sudah berkehendak, aku bisa apa."

Firman yang sudah selesai memakai jasnya segera mendekati sang Mama untuk berpamitan sebelum pergi ke kantor. "Aku pergi kerja dulu, Ma. Pulang kerja nanti aku mau mampir ke rumah Ayah sebentar ya, kata Akbar Ayah sakit."

"Ayah kamu pasti kepikiran karena kamu gagal menikah, temui dia. Oh iya Mama titip salam untuk Umi Akbar." Sudah menjadi rahasia umum jika kedua orang tua Firman sudah berpisah sejak lama tetapi mereka tetap menjalin hubungan silaturahmi dengan baik.

Ayah Firman pun sudah menikah dengan seorang wanita yang baik dan dari pernikahan itu Ayah Firman dikaruniai anak laki-laki bernama Akbar yang sangat disayangi oleh Firman. "Iya, Ma. Aku pergi, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

~~

Mobil yang dikendarai oleh Laila melaju dengan kecepatan sedang karena sebentar lagi ia akan sampai ke tempat tujuan. "Mobil hitam ... sepertinya itu." Ia pun segera menepikan mobilnya.

Saat turun dari mobil Laila kembali memastikan plat mobil yang dikirimkan oleh sang ibu kepadanya. "Iya sepertinya ini benar orangnya."

Laila bisa melihat pria berjas hitam itu sedang berdiri di samping badan mobil, tetapi ia enggan untuk menyapa dulu karena pria itu sedang menelepon seseorang.

Akhirnya Laila memutuskan untuk menunggu sembari terus melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. Saat sedang menunggu tanpa sengaja Laila mendengar percakapan pria itu lewat telepon.

Ya, pria itu adalah Firman. Ia mendapatkan telepon dari sang Ayah yang sama-sama mendesaknya untuk segera menikah secepatnya.

"Iya Ayah, aku secepatnya akan mencari calon istri. Kita lanjut bicara nanti lagi ya, aku mau ke kantor. Assalamualaikum." Ia mematikan panggilan telepon itu.

Saat berbalik ke belakang Firman terkejut melihat seorang wanita berdiri di belakangnya. "Kamu siapa?"

Bukannya menjawab pertanyaan Firman, Laila malah sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia memandangi ujung kaki hingga ujung kepala Firman yang baginya nampak sempurna sebagai seorang pria.

Ternyata ini anak dari teman Ibu, batin Laila seraya terus memperhatikan penampilan Firman dari atas sampai bawah.

"Hello Nona, apa Anda mendengar saya?" Firman melambaikan tangannya di depan wajah Laila.

"Eh iya maaf." Laila mengulurkan tangannya ke hadapan Firman. "Perkenalkan saya Laila, anak dari Bu Maya."

"Oh iya salam kenal, saya Firman." Bukannya meraih uluran tangan Laila, Firman hanya menyatukan kedua telapak tangan seraya tersenyum, maklum bukan muhrim.

Laila nampak malu sekaligus bingung karena untuk pertama kalinya ada pria yang menolak menjabat tangannya. Hal itu pun semakin membuat dia yakin dengan ide gila yang mulai bergentayangan di pikirannya.

Suasana nampak hening sesaat, sampai akhirnya Firman ingat tujuannya menunggu di depan halte bus itu. "Oh iya pesanan Mama mu ada di bagasi mobil, sebentar saya ambil."

Firman mengambil catering pesanan Ibu Laila di bagasi. Setelahnya ia membantu Laila meletakkan kue dan nasi kotak itu di bagasi mobil Laila. "Karena sudah selesai, saya pamit. Assalamualaikum."

"Eh tunggu sebentar." Laila menghadang langkah Firman, ia merasa sudah gila tetapi ia akan benar-benar menjadi gila jika tidak menemukan pria yang bisa ia ajak kerja sama.

"Ada apa lagi ya?" Firman kembali melihat jam di pergelangan tangannya, untung saja rapatnya pagi ini di undur jadi ia bisa lebih santai.

Apa dia adalah pria yang aku cari, aaakkk!Laila Laila kenapa juga kamu berkata seperti itu kepada Rehan tadi, sekarang jadi bingung sendiri kan, batin Laila.

"Emm itu ... saya, saya ... apa kita bisa bicara sebentar saja di cafe di seberang jalan sana." Laila menunjuk lurus kearah cafe yang ada di sebrang jalan. Melihat ekspresi kebingungan Firman, Laila pun mencoba untuk memasang wajah bayinya. "Saya mau bicara sebentar saja, ini sangat penting."

Firman terdiam sejenak, ia ingin menolak tetapi ia tidak enak hati karena Laila adalah anak dari teman akrab sang Mama. "Baiklah, sepuluh menit cukup?"

"Iya sangat cukup." Laila terlihat begitu antusias lalu melangkah beriringan bersama Firman menyebrangi jalan raya menuju sebuah cafe.

~

"Apa, menikah?" Firman hampir tak percaya wanita yang ada di hadapannya ini mengajak ia untuk menikah. Mereka bahkan baru bertemu setengah jam yang lalu.

Ya, Laila sudah menceritakan tentang masalah yang ia hadapi kepada Firman, termasuk Ia juga menceritakan tentang bagaimana rasa sakit hatinya setelah dikhianati.

Laila sudah menduga pasti Firman akan memberikan ekspresi dan tanggapan seperti ini, tetapi jika ia tidak mencoba untuk menawarkan, siapa yang tahu lagi pula ia tahu Firman juga sedang mencari calon istri.

"Maaf jika aku lancang, tapi tadi saya tidak sengaja mendengar pembicaraan kamu dan seseorang di telepon. Anggap saja ini adalah hubungan simbiosis mutualisme, kamu di desak menikah dan aku harus segera menikah agar tidak terus di teror."

Firman menggelengkan kepalanya perlahan. "Saya tidak bisa menikah atas dasar seperti itu. Kamu bisa mencari pria lain. Saya anggap tidak pernah mendengar ini, karena saya menghargai kamu sebagai wanita, permisi."

Saat melihat Firman hendak beranjak pergi, Laila pun segera menyusul seraya mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Jangan langsung memutuskan, kamu bisa menghubungi ku."

Firman menghela napas berat saat melihat Laila menyodorkan sebuah kartu nama kepadanya. Ia yakin jika menolak, Laila pasti akan terus mengejarnya.

Wanita ini sepertinya mantan pasien RSJ, batin Firman.

Firman mengambil alih kartu nama itu dari tangan Laila. "Baiklah, saya pergi dulu." Ia pun melanjutkan langkahnya keluar dari cafe tersebut.

"Kabari aku secepatnya ya. Nanti surat lamaran ku menyusul!" serunya sambil melambaikan tangan. Ia seolah sengaja membuat Firman semakin kaget, untuk apa juga membuat surat lamaran.

Firman tak lagi menanggapi seruan Laila dan terus melanjutkan langkahnya pergi secepat mungkin dari tempat itu.

To be continued...

Bab.3

Dengan raut wajah pucat, Firman melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit. Pikirannya benar-benar kacau, saat mendapatkan kabar dari Ibu tirinya jika sang Ayah masuk rumah sakit.

Langkahnya melambat saat dari kejauhan ia melihat sang Mama, adik dan juga ibu tirinya sedang menunggu di kursi tunggu. Rasa khawatir terus membayangi, karena ketakutan terbesar Firman adalah kehilangan orang yang ia sayangi.

"Abang Firman!" Adik Firman yang bernama Akbar berhambur memeluk sang Kakak. "Abang Ayah pingsan, Akbar takut."

"Tidak apa-apa, Abang yakin Ayah akan baik-baik saja. Kita doakan Ayah ya." Ia berusaha untuk tetap terlihat kuat meski pikirannya kacau karena rasa takut akan kehilangan.

Firman melanjutkan langkahnya sambil menggenggam tangan sang adik. Tangis kedua Ibunya pun kembali pecah, Kedua wanita paruh baya itu memeluk Firman sambil terus terisak-isak.

"Sudah Umi, Ma. Kita doakan Ayah baik-baik saja ya, kapan operasi pemasangan ring akan di lakukan?"

Umi dan Mama melepaskan pelukannya sambil menyeka air mata. Kedua wanita paruh baya itu meski saat ini Ayah belum sadarkan diri.

"Dokter menunggu kondisi Ayah stabil dulu," jawab Umi.

Klek.

Pintu ruang unit gawat darurat terbuka. Seorang perawat melangkah keluar menghampiri firman dan keluarga. "Pak Ilham sudah sadar, beliau ingin bertemu dengan anaknya Firman."

"Saya Sus." Firman langsung mendekat seolah tak sabar untuk menemui sang Ayah.

"Mari ikut saya." Perawat itu kembali berbalik masuk kedalam ruangan di ikuti Firman dari belakang.

Sesampainya di dalam ruangan, matanya mulai berkaca-kaca saat melihat semua peralatan medis yang menempel di bagian tubuh sang Ayah.

Air mata Firman tak tertahankan saat sang Ayah menoleh melihatnya sambil tersenyum. Ya, begitulah sang Ayah, selalu saja tersenyum dalam kondisi apapun.

Perlahan Firman duduk di samping sang Ayah sambil menggenggam tangannya erat. "Ayah, Aku datang."

Ayah kembali tersenyum kepada sang putra. "Jangan melihat Ayah seperti itu. Ayah baik-baik saja."

"Ayah masih berkata seperti itu? Pokoknya Aku mau Ayah sembuh, jangan tinggalkan Firman dan Akbar. Kami masih butuh sosok pembimbing."

"Ayah tidak bisa mendahului kehendak Allah, tapi kalau memang Ayah di panggil ... Ayah mau melihat kamu menikah."

Firman tertunduk lemas. Ia benar-benar tidak siap di hadapan dengan situasi seperti ini. Setelah beberapa saat ia kembali menatap sang Ayah dengan mata berkaca-kaca.

"Aku janji akan secepatnya menikah ... be-besok aku akan membawa calon istri ku ke hadapan Ayah, tapi Ayah harus janji sembuh. Ayah harus melihat ku menikah, Ayah harus melihat aku mempunyai anak yang lucu-lucu."

Air mata Ayah mengalir dari sudut mata. Seolah ia kembali mempunyai harapan, semangat untuk bertahan hidup. "Ayah mau sembuh, Ayah mau melihat cucu Ayah."

"Tentu saja, Ayah pasti bisa sembuh. Jangan pernah berkata seperti itu lagi." Firman semakin mengeratkan genggaman tangannya, bibirnya tak lagi mengucapkan apapun, namun pikirannya begitu ramai dengan pertanyaan.

Ya, saat memutuskan untuk berkata seperti itu yang ada di pikiran Firman hanyalah ayahnya harus sembuh dan satu-satunya wanita yang ia pikirkan untuk ia mintai tolong adalah wanita yang sempat ia g*la pagi tadi.

ΩΩΩΩΩ

Klek.

Pintu kamar Laila terbuka, Naima masuk sambil membawa paper bag di tangannya. "Heh, kamu benaran sakit? Baru juga kemarin happy karena Rehan pulang." Ia meletakkan paper bag itu lalu duduk di samping Laila.

Helaan napas berat terdengar lirih, Laila menatap sang sahabat dengan raut wajah sendu. "Aku dan Rehan putus."

"Hah, La ini tidak lucu ya." Naima nampak begitu tak percaya, ia menatap Laila lekat seolah mencari kejujuran. Baru kemarin semua baik-baik saja, dan sekarang malah putus.

"Aku serius. Saat aku datang ke apartemennya, aku memergokinya tidur dengan wanita lain dan sialnya wanita yang tidur dengan dia adalah sepupuku sendiri, Farah."

"Astaga, La. Aku benar-benar tidak menyangka Farah dan Rehan bisa melakukan hal itu. Jadi sekarang apa yang kamu lakukan?"

"Ya aku minta putus. Tapi Rehan tidak mau, pagi ini saja dia terus mengacam dan menelpon ku. Kemarin saat aku sedang di jalan dia mencegatku dan tanpa sadar aku bilang ke dia kalau aku sebentar lagi aku akan menikah."

Naima semakin tidak habis pikir. Ia di buat terkejut berkali-kali bahkan sebelum sepuluh menit dia duduk di sana. "Kau gila, kenapa kau berkata seperti itu. Memangnya kamu mau menikah dengan siapa?"

Laila menutup wajahnya dengan kedua tangan jika mengingat aksi nekatnya mengajak seorang pria yang baru ia temui satu kali. "Aku pasti sudah gila, Na." Ia kembali melihat sang sahabat dengan raut wajah lemas. "Saking frustasinya kemarin aku meminta seorang pria yang baru aku temui untuk menikah dengan ku."

"What!" Andai Naima punya penyakit jantung, ia pasti sudah pingsan sejak tadi. "Gila sih, kamu kok bisa melakukan itu?"

"Aku tidak sengaja mendengar pembicaraannya lewat telepon, sepertinya dia di desak untuk menikah. Jadi aku ajak saja kerja sama. Aku yakin setelah menikah, Rehan tidak akan menggangu ku lagi, tapi kamu tahu yang terjadi, dia menolak ku."

"Ya sudah pasti di tolak lah. Sejak dulu kamu itu selalu saja spontan saat memutuskan sesuatu. Aku tahu kamu sedang sakit hati, panik dengan situasi tapi aku yakin ada jalan lain."

Mendengar ucapan sang sahabat Laila kembali merebahkan tubuhnya, melihat kearah langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

"Na, kamu pernah tidak, sakit hati sampai dada kamu benar-benar terasa sakit? bukan cuma mentally hurt, tapi sakitnya beneran terasa sampai rongga-rongga dada. Kamu kecewa, sakit, sesak tapi kamu bingung harus ngapain. Kemarin yang ada di pikiran ku hanya bagaimana cara agar Rehan tidak mengganggu ku lagi, aku tidak akan pernah memaafkan dia, apalagi memberikan dia kesempatan."

"Terus sekarang kamu mau apa? Apa perlu aku pasang pengumuman mencari jodoh untuk mu?"

Pug!

Satu tepukan yang cukup keras mendarat di paha Naima. "Haisss, tidak sampai begitu juga kali. Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang. Kalau Ibu ku tahu aku putus, bagaimana ya tanggapnya?"

Naima terperangah sambil menggelengkan kepalanya. "Sudah pasti Ibu mu akan menyumpahi mu. Dari dulu juga Ibu mu sudah tidak setuju kamu pacaran dengan Rehan, feeling seorang Ibu memang tidak pernah salah."

Hembusan napas panjang kembali keluar dari mulut Laila. Jika ditanya cinta tentu saja masih ada tetapi Laila sudah enggan memaafkan, karena pria seperti Rehan tidak patut untuk dipertimbangkan.

Truudd...truddd...truddd.

"La, ponsel kamu bunyi tuh," sahut Naima.

"Hadeh siapa lagi yang menelpon, tidak tahu orang lagi pusing apa." Ia meraih ponselnya, saat melihat yang tertera adalah nomor baru, pikiran Laila langsung berkata, itu pasti Rehan. "Ck, sekarang dia menggunakan nomor baru."

"Angkat saja, dari pada dia menelepon terus. Kamu harus lebih tegas."

Dengan malas Laila mengangkat telepon itu. "Ya hallo."

[Apa benar ini Laila Maharani?"

Seketika mata Laila membulat, dengan gerakan cepat ia bangkit dari posisi berbaringnya. "Ya benar, ini saya sendiri."

[Masalah tawaran kamu yang kemarin ... saya terima. Apa kamu bisa ke rumah sakit XX sekarang?]

Bersambung 💕

Jangan lupa berikan dukungan untuk Author ya reader 🥰...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!