"Pergi ke kamar mandi, bersihkan dirimu! Aku gak sudi memakai barang yang kotor yang sudah biasa dipakai pria lain!”
Suara pria itu terdengar tegas dan dingin di telinga Hawa. Dengan rasa takut dan tidak ingin membantah, Hawa pergi ke kamar mandi, melakukan apa yang diperintahkan pria itu.
15 menit kemudian dia kembali dengan hanya menggunakan bathrobe putih yang disediakan di hotel mewah itu.
Mitha sudah mengajarkan cara menggunakan fasilitas di hotel agar saat melayani pelanggan dia tidak menjadi kaku dan terlihat bodoh.
"Sudah, tuan," ucapnya menunduk, lalu berjalan ke depan pria itu, setelah mendapatkan panggilan lewat lambaian tangannya.
Adam Mahesa, pria 29 tahun, pengusaha sukses yang saat ini popularitasnya banyak dibicarakan orang-orang. Memiliki harta melimpah, penampilan Adam juga didukung oleh fisiknya yang baik atletik dan wajah yang sangat tampan.
Tapi tidak banyak orang yang tahu, dibalik pesona yang tercipta pada dirinya, Adam adalah pria sombong, dan juga berhati dingin, terlebih pada wanita. Hatinya sudah jauh dari kata cinta dan kesetiaan, dua hal yang selama ini dia junjung tinggi, akhir hancur dua tahu lalu, saat dirinya memergoki Abang kandungnya bercinta dengan kekasihnya yang sudah dia pacari selama lima tahun.
Pengkhianatan yang dia dapatkan membuatnya tidak percaya pada siapapun juga. Perusahan kelurga Mahesa memang diserahkan oleh almarhum papanya ke tangannya.
Bukan tanpa pertimbangan, anak pertama di dalam keluarganya adalah pria yang tidak suka bekerja, hanya ingin bersenang-senang dan tanpa beban pikiran.
Pernah suatu hari, ayah dan abangnya ke kantor, menunjukkan apa saja yang harus dikerjakan Gara. Seminggu bekerja, data yang dikelola hancur. Sejak saat itu ayahnya tidak lagi percaya menyerahkan perusahaan padanya dan menunjuk Adam, anak kedua di keluarga itu.
"Segera naik ke ranjang, tunggu aku di sana," ucapnya tanpa terselip nada ramah. Sementara dia duduk di sofa yang ada di seberang ranjang. Dalam cahaya remang, Adam menatap tajam ke arah Hawa, gadis itu terlihat sangat gugup dan tampak tidak nyaman dengan posisinya saat ini.
Adam masih menimbang, apa malam ini dia akan memakai jasa Hawa karena sebenarnya malam ini dia tidak bergairah. Sejak lima bulan lalu, sejak pengkhianatan itu terbongkar olehnya, Adam sama sekali tidak berniat menyentuh wanita mana pun juga.
Dendam dan sakit hatinya pada seorang wanita sudah mengubahnya menjadi pria yang benci sekaligus tidak mau percaya pada wanita manapun kecuali ibunya.
Perihal wanita yang kini ada di hadapannya ini, dia bingung harus diapakan. Tuan Fred dengan seenaknya melempar Hawa yang sudah dia booking untuk melayaninya malam ini ujuk-ujuk dioper padanya.
Awalnya Adam sudah menolak, tapi rasa terima kasih Fred padanya membuat pria tua itu terus memaksa untuk menyerahkan
Hawa bergumul dalam benaknya, apa sebaiknya dia kabur saja? Masih ada waktu, dia belum dijamah, kan?
Tapi kemana lagi dia harus pergi? Dia sudah melangkah sejauh ini. Wajah ayahnya yang saat ini dalam keadaan sakit parah, terlintas begitu saja di matanya. Kalau bukan demi pengobatan ayahnya, mana mungkin dia akan memilih jalan seperti ini.
Dia sudah mencoba mencari pekerjaan di kampung, gaji yang dia terima sebagai pegawai toko pakaian hanya 500 ribu setiap bulannya, tidak cukup mendanai pengobatan ayahnya.
Mengingat dia punya sahabat di kota, Hawa mencoba menghubungi Mitha, teman satu sekolahnya yang sudah satu tahun bekerja di kota.
"Aku bisa kasih kamu kerjaan, gajinya lumayan, asal kamu mau kerja keras, duit puluhan juga gampang lah terkumpul," terang Mitha melalui sambungan telepon.
"Kerja apa?"
"Kamu datang aja dulu ke sini. Wa, kalau kamu benar-benar ingin menolong ayahmu, mau mencari uang, gak usah pilih-pilih pekerjaan, yang penting bisa dapat uang, udah."
Setelah memikirkan dengan seksama, dan meminta pendapat dari ibunya, Hawa berangkat ke Jakarta.
Bayangan mendapat pekerjaan yang bisa menghasilkan uang yang banyak, membaut Hawa sangat bersemangat menemui Mitha. "Ayah, aku akan segera mengirimkan uang untuk berobat ayah," gumamnya kala itu.
Tapi semua khayalkan indahnya menjadi anak berbakti, hancur seketika kala setibanya di kosan Mitha, wanita itu menjelaskan jenis pekerjaan apa yang dia tawarkan pada sahabatnya itu.
"Astagfirullahaladzim, eling kamu Mit. Kamu kerja seperti itu?" Bola mata Hawa membulat, seujung kuku pun dia tidak menyangka kalau Mitha yang dipuji-puji oleh orang-orang di desanya karena suka bagi-bagi hadiah buat orang kampung, ternyata menghasilkan uang dari hasil bekerja sebagai wanita penghibur.
"Wa, hidup itu keras. Aku gak mau terus jadi orang miskin, lihat aku sekarang, tinggal di kosan dengan fasilitas lengkap, bisa ngirim uang ke kampung, punya nama baik di desa, punya uang dan hidup happy. gak ada beban pikiran," jawab Mitha tanpa ada rasa malu.
Hawa menarik napas. Jalannya buntu. Bagaimana ini, mana mungkin dia kembali ke desa, ibu bapaknya sudah memberangkatkan dirinya dengan doa dan harapan, mana mungkin dia berani mengecewakan harapan orang tuanya. Tapi untuk terjun di dunia gelap ini, batinnya juga gak terima.
"Sekarang gini aja, kalau kamu benar-benar mau menolong ayahmu, lakukan pekerja ini. Kamu gak mau kan ayahmu meninggal karena gak bisa mendapat pengobatan? Tapi terserah padamu, kalau kamu gak mau, ya sudah kamu kembali saja ke kampung."
Lama Hawa berpikir, selama ini dia sangat takut pada yang maha Kuasa, taat beribadah dan melakukan kewajibannya, tapi kini dia dihadapkan pada posisi sulit. Ingin kembali tapi merasa berat. Ini keputusan sulit, tapi dia tidak punya pilihan lain, semua demi ayahnya.
Malamnya, setelah didandani dan dipinjami gaun oleh Mitha, Hawa pun dibawa bertemu mami Cinta, germo yang selama ini mengasuh Mitha.
"Siapa nih, Mit?"
"Teman aku, Mih. Dia mau kerja di sini."
Cinta memandangi penampilan Hawa dari atas ke bawah, lalu manggut-manggut. Wajah Hawa tidak diragukan lagi, sangat cantik dan alami. Matanya begitu indah, setiap memandang, lawan bicara pasti akan bertekuk lutut, dan bibirnya yang sensual mengundang lawan jenis ingin mencicipi rasanya.
"Boleh, barang bagus. Tapi kamu tahu sendiri kan, Mit, peraturan di sini? Mamih gak mau karena sedikit, usaha yang mamih bangun selama ini jadi hancur."
Mitha mengangguk lemah. Dia lupa akan peraturan itu, hingga lupa juga bertanya pada Hawa. "I-iya, Mih. Aku ingat kok, aku juga sudah tanya padanya. Selama ini dia desa dia juga udah biasa melakukan hal dengan pacar-pacarnya," jawab Mitha tersenyum kaku.
Hawa yang tidak mengerti hanya melihat penuh tanya pada Mitha lalu berganti pada Cinta.
"Ya sudah kalau begitu. Kamu bawa dia ke dalam tunggu mamih carikan dia pelanggan."
Selepas Cinta pergi, Hawa yang diliputi rasa ingin tahu bertanya pada Mitha. "Maksud kamu tadi apa sih, kalau aku sudah biasa melakukan dengan pacar-pacarku? Kamu tahu sendiri kalau aku belum pernah pacaran."
"Sorry, Wa. Aku lupa, peraturan utama untuk bisa diterima di sini adalah, seorang wanita yang sudah tidak perawan dan pintar memuaskan para pelanggan."
"Hei, mengapa kamu masih ada disitu? Kemari!" Hardik Adam memanggil Hawa dengan lambaian tangannya yang malas.
Deg!
Jantung Hawa kembali berdetak kencang. Apa sudah tiba waktunya? Dengan canggung dan takut, Hawa menyeret langkahnya mendekat ke arah Adam yang duduk dengan santai.
Salah satu alis matanya naik ke atas, menatap penuh heran pada Hawa yang lebih cocok berperan sebagai gadis bodoh ketimbang wanita penghibur.
Bukankah seharusnya wanita malam itu lebih agresif? Harusnya dia sudah mendekati Adam dan mulai mencumbu pria itu, alih-alih justru berdiri di depannya.
"Kau tidak dibayar hanya untuk diam saja." Kembali suara Adam membentak Hawa hingga nyalinya menciut. Dia harus apa?
"Kenapa harus bohong sih, Mit?" Tanya Hawa kala Mitha menjelaskan cara kerja di 'LeRoi'.
"Memang begitu, tidak semua pelacur bisa bekerja di sini. Mami Cinta milih-milih juga mau menerima orang. Beruntung dia mau terima kamu. Udah, pokoknya kalau ada yang tanya bilang kamu udah gak perawan lagi, dan sudah biasa melakukan hal itu, dan tahu betul cara memuaskan pria!"
Hufffh, dan kini tiba lah Hawa melakukan pembuktiannya. Dia harus biasa melayani tamu pertamanya ini hingga pria itu puas. "Ingat, tuan yang ada di dalam ini adalah pria yang menjadi pelanggan tetap mami, kamu jangan sampai buat malu," ucapnya memperingatkan Hawa. Mami Cinta yang tidak tahu kalau yang akan memakai jasa Hawa bukan lagi si tua Fred melainkan Adam Mahesa, membawa gadis itu ke dalam kamar. "Tunggu di sini. Tuan Fred lagi ada pertemuan!"
"Hei!" Suara tegas Adam menyadarkan Hawa dari lamunan panjangnya. Dia mendongak menatap wajah pria yang terlihat samar karena pencahayaan kamar yang temaram.
"Maaf tuan, Anda ingin aku melakukan apa dulu?" Tanyanya benar-benar bingung.
"Apa?" Adam memekik keras. Dia sedang tidak ingin bercanda, apa yang sudah ditawarkan tuan Fred padanya. Apa pria itu ingin menghina dirinya dengan mengirim seorang wanita dungu!
"A-aku tanya, tuan mau aku melakukan apa dulu ini," tanya Hawa semakin gugup, dia meremas tangannya. Lihat saja kakinya bahkan sudah gemetar, tubuhnya lemas melihat tatapan setajam elang itu.
Ini sudah di luar kendalinya. Tidak masuk akal! Dia akan menemui penanggungjawab tempat ini, lalu bila perlu dia akan memutus kerja samanya dengan tuan Fred!
Adam bangkit, berjalan ke arah pintu, melewati Hawa yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. Tiba-tiba dia sadar kalau pria itu mau pergi, tepat saat tangan Adam memegang handel pintu.
Panik akan dilaporkan pada mamih Cinta, Hawa tanpa pikir panjang, berlari mengejar Adam, dan menarik wajah pria itu hingga Adam sedikit menunduk karena memang sangat tinggi. Hawa menyatukan bibir mereka, dengan segala pengetahuannya yang minim.
Sontak Adam kaget dan mulai menjauhkan Hawa dari dirinya, tapi lengan wanita itu sudah melingkar di leher pria itu, memaksa untuk tetap menunggu agar dia bisa tetap mencium bibir Adam.
Hawa sama sekali belum pernah melakukan hal itu sebelumnya, yang dia tahu kalau berciuman ya bibir sama bibir disatukan.
Oh iya, dia juga ingat kata Mitha tadi, "Jangan lupa kalau ciuman sedot yang kuat."
Jadi bukan salah dia kalau saat ini dia sedang menyedot bibir Adam hingga pria itu kesulitan bernapas.
Tidak terima akan kegilaan gadis itu, Adam mengangkat tubuh Hawa dan menghempasnya ke atas ranjang hingga telentang.
Adam yang sudah dikuasai amarah, akhirnya melangkah dan kembali mencoba untuk membuka pintu, tapi Hawa segera berlari kembali.
Kali ini dia segera memegang kaki Adam, memeluk dengan posisi bersimbah. "Aku mohon tuan, jangan keluar. Kata Mamih Cinta kalau pelanggannya cepat keluar dari kamar, maka uang ku akan dipotong 50 persen. Aku butuh sekali unang itu tuan, aku mohon."
"Lepaskan!" Bentak Adam mendorong tubuh Hawa yang masih duduk menempel di kakinya.
"Gak mau. Aku gak mau tuan. Aku harus membuat tuan puas kalau mau dapat uang."
Adam diambang kesabarannya. Dia bisa gila kalau lebih lama bersama gadis itu. "Berdiri," hardik Adam menarik bathrobe begitu kuat hingga Hawa berdiri, lalu mendorong kembali ke ranjang dengan posisi terlentang dan pengikat jubahnya terjuntai.
Tubuh mulus molek dan dada sintal Hawa terpampang jelas di hadapan Adam. Pria itu menatap dari atas sana semua yang ditawarkan Hawa.
Glek! Susah payah Adam menelan salivanya. Setelah satu tahun, dan kini dihadapkan pada keindahan seperti itu, tentu saja birahinya mencuat.
Hatinya sudah menginstruksikan agar mengalihkan pandangannya, tapi entah mengapa justru matanya sama sekali menolak. Hawa yang ditatap seperti itu, segera membenarkan jubahnya.
Amarah Adam menurun, entah mengapa tatapan tulus dari Hawa menentramkan hatinya.
"Kesini!" Perintah Adam melangkah ke sofa tempatnya semula duduk. Hawa mengikuti pria itu, lalu berdiri tepat di hadapan Adam.
"Kalau kau memang mau aku tidak keluar dari sini, maka puaskan aku sekarang juga!"
Kini Hawa yang bingung. Kalau tadi dia berharap Adam jangan pergi, kini dia malah bingung harus apa saat ditantang pria itu.
"Cepat! Waktuku tidak banyak. Tapi kalau kau memang tidak tahu cara melakukannya, maka aku akan pergi dari sini!"
"Jangan pergi. Aku akan melakukan apapun yang tuan mau."
"Tunggu apa lagi?" Kali ini amarah Adam kembali naik lagi."
Hawa menarik sudut bibirnya, tersenyum kaku dan menggaruk rambutnya yang sama sekali tidak gatal. "Aku gak tahu harus mulai dari mana."
Entah ini lelucon atau memang gadis yang ada dihadapannya dini bloon, Adam sudah tidak sanggup lagi bertahan.
"Sudah, lupakan saja. Aku tidak punya waktu meladenimu!"
Hawa memutar otak, dia ingat adegan sinetron di televisi, dimana ada seorang wanita yang coba menggoda bosnya.
Hawa pun meniru adegan itu, dia duduk di pangkuan Adam yang tadi hendak berdiri. Meraba dada Adam yang bidang. Rasa panas yang terasa dari lapisan kemeja Adam mampu menembus hingga ke kulitnya.
Itu hanya sentuhan amatiran, tapi anehnya bisa membuat seluruh syaraf di tubuh Adam bekerja. Tangan mungil itu terus naik dan berhenti di pipi pria itu. Tatapan keduanya terkunci di satu titik lurus.
Adam yang mulai terbakar, menyentak tangan Hawa dan penarik leher Hawa hingga wajah gadis itu mendekat.
Hembusan napas gadis itu kini mulai terasa di kulit Adam. Dengan kasar, pria itu menyatukan bibir mereka. Menikmati rasa yang ditawarkan oleh Hawa padanya. Rasa yang sulit dia gambarkan, rasa dari seorang gadis yang polos dan juga sepenuh hati melakukannya.
Ciuman itu berubah menjadi ******* dan kini menjadi semakin menuntut. Dia ingin lebih, dan rasa gadis itu mampu membiusnya hingga hanya fokus pada pesona seorang Hawa saja, hingga Adam yang sudah tidak tahan lagi, menggendong tubuh Hawa ke ranjang. "Aku menginginkanmu sekarang!"
Adam mencumbu Hawa tanpa beban, tanpa sedikitpun terbayang oleh wajah Reka, sang mantan yang sudah berulang kali menghantuinya setiap dia mencoba bercinta dengan wanita lain pasca perpisahan mereka.
Justru pria terlihat rileks dan sangat menikmati permainan mereka. Adam mulai mencicipi sejengkal demi sejengkal kulit leher Hawa, lalu turun ke dadanya yang ranum, menantang untuk dicicipi.
Adam melakukannya, dia memuaskan rasa penasarannya mengenai rasa puncak yang tampak menggoda itu.
Hawa sudah melayang jauh, napasnya tersengal, menahan kenikmatan yang tiada tara yang diberikan Adam padanya. Ini adalah pengalaman pertamanya, bahkan dia juga tidak akan tahu bagaimana akhirnya, tapi yang jelas, dia terbuai.
"Aaach... "Desahnya menahan sesuatu di bawah sana yang sudah keluar. Tubuhnya lemas tapi terasa ringan.
Adam tidak sempat melakukan apapun lagi, walau dia sangat niat untuk menjelajahi tubuh Hawa. Keinginan sudah diambang batas, dan dia ingin menggapainya sekarang juga.
Adam sudah menempatkan dirinya, di antara kedua paha Hawa, lalu membelai milik gadis itu dengan jarinya sebelum berganti dengan senjata pamungkasnya.
Perlahan, Adam memasuki Hawa, begitu sempit dan terasa sakit, tapi birahi yang sudah menguasainya tidak bisa bersikap lembut dan mengerti keadaan Hawa yang merasa yakin di bawahnya.
Satu kali dorongan, dan akhirnya Adam bisa berhasil menerobos masuk. Bola mata nya membulat kala merasakan ujung miliknya merobek sesuatu di dalam sana. Dia menatap wajah gadis itu yang terpejam karena merasakan sakit dan perih. Dari sudut mata gadis itu, menetekan bulir air mata. Untuk sesaat Adam berhenti, miliknya berkedut, merasakan cairan hangat yang dia sadari adalah darah gadis itu.
Dia ingin menyudahi, tapi miliknya sekali lagi ingin dipuaskan. Dengan menutup mata, Adam mulai menggoyang hingga miliknya memuntahkan bukti gairahnya di permukaan inti Hawa.
Napas Adam naik turun. Dia tidak pernah sepuas ini. Pria itu menjatuhkan tubuhnya di samping Hawa yang susah payah berbalik membelakanginya. Hawa menangis, dengan tertahan tanpa ada suara. Dia menggigit sudut sarung bantal untuk meredam tangisnya.
Sakit, terkoyak, terhina dan merasa hancur harga dirinya, tapi ini sudah terjadi. "Ayah, ibu, maafkan anakmu," batinnya menangis terisak. Dia tidak bisa membendung lagi air matanya, dan suara tangis begitu saja kuat dari bibirnya.
Adam menoleh, dia bisa mendengar dengan jelas suara tangis itu. Dia sendiri pun kehilangan kata-kata. Siapa yang menyangka kalau wanita penghibur yang diberikan padanya ternyata gadis yang masih perawan?
Tidak mungkin mundur. Bukan, dia bukan pria munafik, bukan tidak ingi mundur tapi tidak mau. Dia jelas sangat menginginkan gadis itu. Rasanya sungguh berbeda. Bahkan baru selesai, dia langsung menginginkan gadis itu lagi. Ini sudah gila, dia sudah mulai kecanduan gadis itu.
Tapi tangis Hawa membuat sedikit perasaannya tergugah. Terselip rasa bersalah dan dia ingin mendengar penjelasan gadis itu.
Adam bangkit, berdiri di depan ranjang mengenakan jubahnya. Matanya menangkap bercak darah yang menempel di permukaan seprai, lalu kembali melihat ujung miliknya yang masih mengacung, di sana juga masih terlihat bekas noda darah yang mulai tersamarkan.
Setelah selesainya membersihkan dirinya dari kamar mandi, Adam meminta hawa untuk datang menghadapnya.
Wanita itu pun bangkit, izin ke kamar mandi lalu setelah membersihkan diri duduk di hadapan Adam. Dia menunduk, tidak ingin melihat ke arah pria itu.
"Katakan padaku, mengapa kau berbohong? Bukankah peraturan di LeRoi tidak menerima perawan? Harus yang profesional!"
Hawa mengangkat wajahnya, kalau sampai pria itu cerita pada Mamih Cinta, dia tidak akan bisa bekerja di sini lagi, padahal dia sudah tidak perawan.
Gadis itu tidak ingin pengobatannya jadi sia-sia. "Aku mohon, jangan katakan pada mamih Cinta, nanti aku diusir. Aku perlu uang untuk ayahku yang sedang sakit di kampung." Hawa menghapus derai air matanya yang turun berderai di pipinya. Hawa pun menceritakan pada Adam asal muasal di datang ke Jakarta hingga akhirnya dia terjun ke dunia hiburan ini.
Hati Adam tersentuh, dia bisa melihat ketulusan Hawa. Adam justru merasa kasihan, gadis lugu yang datang dari desa seperti Hawa jadi salah jalan karena keadaan.
"Berikan padaku nomor rekeningmu. Aku akan mengirim sejumlah uang untukmu yang bisa kau gunakan untuk biaya ayahmu."
"Benarkah, Tuan?"
"Apa aku terlihat seperti seorang pembohong?"
"Bukan, bukan begitu, hanya saja aku gak punya nomor rekening. Besok aku akan minta nomor Bu Titin, tetangga kami di desa, agar bisa mengirimi ayah uang."
"Baiklah, besok aku akan mengirimkan nya padamu."
Adam ingin merengkuh sekali lagi kenikmatan itu, tapi tidak jadi karena ibunya menghubunginya. "Baik, Ma. Aku ke sana."
"Tuan mau pergi?" Tanya Hawa pucat. Diliriknya jam dinding kamar hotel, masih pukul sebelas malam. Mamih Cinta bilang kalau pelanggan meras puas, mereka akan tinggal sampai subuh.
"Jangan takut, kau tetap lah istirahat di sini, agar wanita germo itu tidak tahu. Aku ada urusan penting."
Hawa menatap pintu setelah kepergian Adam, meninggalkannya sendiri di kamar hotel itu. Tapi dia memang butuh istirahat, tubuhnya lelah dan terasa sakit.
***
Pukul sembilan pagi, utusan mamih Cinta datang menjemputnya. Hawa masih merasakan sakit di sela pahanya kala harus berjalan cepat.
Mobil yang menjemputnya mengantarkan Hawa ke kosan Mitha. Begitulah mereka bekerja, pagi sampai sore istirahat, malam hingga subuh harus banting tulang melayani tamu.
"Gimana hari pertama mu? Apakah si tua gendut itu bermain kasar? Pasti menjijikkan ya pengamalan pertama harus dengan tua bangka," ujar Mitha merasa tidak enak hati pada temannya itu.
"Sakit, dan perih. Tubuhku sampe sekarang aja masih seperti dipotong-potong."
"Nanti juga kamu akan terbiasa. Nanti malam mama Cinta ngasih honormu, segera minta nomor rekening Bu Titin."
Untung Mitha mengingatkan, segera Hawa menghubungi wanita itu. "Halo, Bu, iya ini aku Hawa. Maaf Bu, aku boleh minta nomor rekening Ibu? Mau ngirim sama ayah dan ibu."
"Gimana? Sudah?"
Hawa mengangguk lemah.
"Ya sudah kita istirahat. Nanti jam lima sore kita harus siap-siap buat kerja lagi."
***
Malamnya di LeRoi, tampak ramai seperti biasa. Banyak pengunjung yang bersenang-senang di lantai dansa mendengarkan live musik dari DJ yang tiap malam bergantian bertugas.
"Hawa, sini," panggil mama Cinta yang diangguk Hawa.
"Ini honor kamu semalam. Malam ini tunggu instruksi dari saya. Kamu duduk sambil minum aja di bar," ucap mamih Cinta menyerahkan amplop coklat. Bola mata Hawa terbelalak melihat tumpukan uang itu. Sepanjang hidupnya dia belum pernah melihat uang sebanyak itu.
"Ini untuk aku, Mih?" Tanyanya tidak percaya.
"Iya, itu semua buat kamu. Kan, hasil kerja kerasmu."
Hawa tersenyum gembira, dia akan segera mengirimkan uang itu besok. "Sekarang kamu tunggu di bar itu, biar mamih cari pelanggan buat kamu malam ini."
Hawa mengangguk lemah. Dia harus melayani pria hidung belang lainnya. Sesaat dia ingat pada pria semalam yang sudah memerawaninya.
"Apa aku sudah harus bekerja, mamih?" Tanya Hawa saat melihat kedatangan Cinta.
"Gak. Kamu sebaiknya pulang, kamu sudah dibooking selama tiga hari ke depan!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!