NovelToon NovelToon

Gadis Kesayangan Tuan Agra

Gadis Pembawa Sial

Di sebuah pedesaan yang asri, tepatnya di kediaman keluarga Gunawan, sudah berhiaskan pernak pernik pernikahan, didekor dengan sedemikian rupa indahnya. Tetapi penghuni rumah bukan berbahagia melainkan suara isakan tangis lah yang saling bersahutan.

Suasana penuh bahagia itu sudah tidak ada lagi di sana. Bendera kuning pun sudah di kibarkan di beberapa sisi rumah. Pelayat berdatangan setelah mendengar sebuah berita yang di gaungkan dari surau desa.

Seorang gadis sedang tertunduk dengan pilu karena di hadapannya terdapat sebuah jenazah pria yang di cintainya, di kelilingi sanak keluarga dan para tamu yang semestinya datang untuk turut berbahagia tapi harus menyampaikan kata berbelasungkawa.

Kiran Wulandari, nama gadis yang seharusnya menjadi ratu semalam di hari pernikahannya, kini menjelma menjadi gadis yang penuh duka. Dengan gaun pernikahan serba putih lengkap dengan riasan wajah yang cantik, Kiran malah membanjirinya dengan air mata yang terus saja mengalir bebas.

Kiran merasa menjadi gadis yang membawa sebuah kesialan dan itu yang di percayai oleh warga desa. Apabila seorang gadis di tinggalkan oleh kekasihnya tepat di hari pernikahan akan di cap sebagai gadis pembawa sial!

Bukan hanya orang lain, bahkan keluarga sendiri pun akan berpikiran seperti itu. Dan itu terbukti saat ini juga, sang ayah dari Kiran sudah bertolak pinggang setinggi dada dengan membawa sebuah tas besar yang berisikan baju-baju milik Kiran.

Sungguh, penderitaan Kiran sudah sangat lengkap. Kekasihnya yang meninggal di hari pernikahan mereka, dan sang Ayah yang sudah bersiap akan mengusirnya karena menganggap dirinya sebagai gadis pembawa kesialan.

“Kau bisa pergi, sebelum aku menyeret mu keluar!” Usir Gunawan pada anak gadisnya.

“Ayah... Dia itu anak kita, kenapa Ayah setega ini,” bela Dini, sang ibu dari Kiran.

“Ibu enggak perlu ikut campur, dia memang anak kita, tapi dia akan membawa kesialan untuk kedepannya.” Kiran yang mendengarnya hanya bisa menangis tersedu-sedu, rasa sakit itu sangat nyata, bukan hanya orang lain yang mencercanya bahkan ayah kandung sendiri pun ikut menghinanya.

“Benar Gun, kamu sudah mengambil keputusan yang tepat. Jika anakmu masih tinggal di desa ini, akan di takutkan datangnya bala,” timpal salasatu warga desa yang berbicara menurut kepercayaan orang-orang di sana.

“Lalu, bagaimana caranya dia bisa terlepas dari kesialan itu?” Suara barinton terdengar dari belakang kerumunan orang.

Semua mata tertuju padanya, memicing dengan heran, siapakah laki-laki ini? Kenapa nampak asing.

Seorang pria paruh baya segera mendekat ke arah laki-laki itu, matanya terbelalak dengan senyum yang sumringah lalu berkata, “Tuan Agra! Wah selamat datang di desa kami. Hei kalian... beliau ini adalah Tuan tanah serta pemilik perkebunan sawit tempat kalian bekerja!” ucap pria paruh baya yang menjabat sebagai kepala desa disana dengan suara yang menggebu-gebu.

“Aku tanya sekali lagi, bagaimana caranya agar kesialan gadis itu menghilang.” Lelaki bernama Agra itu mengulang kembali pertanyaannya dengan nada yang begitu lantang.

“Tuan, hanya ada satu cara. Bila ada pemuda yang siap menampung kesialan si gadis. Dengan cara menikahinya tepat di hari ketujuh dari sekarang,” jelas kepala desa itu.

“Baik kalau begitu, biar aku yang akan menikahinya, sekarang juga! ” Tegas Agra begitu lantang yang tentunya membuat semua orang terbelalak kaget.

Semua pelayat ricuh karena mendengar langsung ucapan Agra, begitu juga Gunawan dan Dini. “Anda jangan main-main, ini bukanlah sebuah guyonan.” Gunawan pun menyela.

“Apa saya terlihat main-main? Tapi dengan syarat, Anda atau siapapun itu yang berasal dari desa ini, tidak boleh berhubungan dengannya. Karena aku akan membawa dia pergi jauh dari sini.”

“Izinkan aku menikahi mu, menggantikan posisinya walaupun tanpa cinta darimu.” Alex menatap langsung netra Kiran.

Pernikahan pun terjadi, walaupun jenazah sang kekasih masih terbujur di ruangan lain. Dengan berat hati Kiran pun mengikuti rangkaian adat pernikahan sesuai kepercayaan di sana.

“Reza... maafkan aku...” lirih Kiran yang terus melirik ke arah ruangan yang terdapat jenazah kekasihnya.

Acara demi acara sudah Kiran lakukan. Tibalah saatnya Agra akan membawanya, tapi Kiran memohon agar menunda kepergian mereka sebelum acara pemakaman Reza benar-benar selesai.

“Dimana harga dirimu? Mereka tidak ada yang menginginkanmu ada disini.” Jelas Agra membuat Kiran tertunduk sedih walaupun itu benar adanya.

Agra meraih tangan Kiran, beranjak dari sana, dan di susul dengan Dini yang juga ikut bangun dari duduknya. “Nak Agra... Bisa kau beri waktu sebentar lagi,” ucap Dini dengan memohon.

“Nak? Aku bukan anak mu! Panggil aku, Tuan!”

“Hei anak muda, Anda jangan kurang ajar! Dia ibu dari gadis yang kau nikahi!” Sambar Gunawan dengan kesal karena sikap Agra yang arogan.

“Gadis yang ku nikahi tidak memiliki siapapun, dia adalah anak sebatang kara setelah kalian tidak lagi menerimanya!”

“Kalau kau memang ibunya, kau akan bertarung sampai darah penghabisan agar anak mu tidak terusir dari rumahnya sendiri, tapi tidak! Kau hanya bisa menunduk patuh dengan ucapan suami mu! Ayok!!” Agra menarik Kiran dan membawa nya dari sana. Menyeretnya sampai ke depan mobil miliknya tanpa mempedulikan tangisan Kiran yang berontak meminta di lepaskan.

...

Di sebuah rumah yang megah, Agra membawa Kiran kesana, yang dapat dipastikan bahwa rumah itu adalah milik dirinya. Masih terdengar suara isakan lirih dari Kiran tapi Agra tidak mempedulikan itu.

Dengan sikap dinginnya, Agra membukakan pintu mobil dan meraih tangan Kiran. Bukan, bukan menyeretnya seperti tadi, tapi kali ini lebih tepatnya, menggandeng Kiran sampai masuk ke dalam rumah dan sebuah kamar.

Tangan yang hangat dan lembut, sedikit membuat Kiran berdebar, pasalnya lelaki yang saat ini tengah menggenggam tangannya, lelaki yang sama sekali tidak ia kenal tapi sudah menjadi suaminya.

Lelaki yang rela menanggung kesialan seperti yang di katakan warga desanya. Tapi Kiran masih tidak mengerti, kenapa Agra mau melakukan itu semua, dan siapa Agra?

Di sela-sela lamunannya, Kiran pun tersadar kalau dia sudah ada di dalam sebuah kamar dan tangannya yang sudah terlepas dari genggaman Agra.

Kiran hanya diam di sisi samping ranjang sembari memperhatikan Agra yang tengah menutup gorden besar yang ternyata masih terbuka lebar.

“Kamu istirahat dulu. Aku akan memanggil mu setelah makanan siap,” kata Agra sembari berlalu pergi.

Tidak ada sahutan dari Kiran, karena dia juga masih canggung bagaimana berinteraksi dengan lelaki yang tiba-tiba menjadi suaminya itu. Bahkan dia juga lupa namanya walaupun saat ijab kabul tadi ia mendengar jelas nama itu.

Kiran duduk di tepi ranjang, ingatannya masih melayang pada jazad kekasih tercintanya, pria yang selama ini bersama dengannya sampai ketika akan mewujudkan impian mereka bersatu di pelaminan, tapi impian itu tiba-tiba sirna karena tewasnya Reza yang secara tiba-tiba.

Kepalanya mengadah ke atas, seorang diri di sebuah ruangan membuat dia terus mengingat tragedi naas itu, terlebih lagi harus menerima cercaan dengan menyebut dirinya sebagai gadis pembawa sial, dan itu pun keluar sendiri dari mulut sang Ayah.

Cinta pertamanya, orang yang dahulu dia anggap malaikat hidupnya, orang yang begitu penting untuknya. Tiba-tiba menghancurkan perasaannya hanya karena sebuah mitos yang berkembang di desanya.

“Ayah... Kenapa kau begitu tega,” lirih Kiran yang kembali meneteskan air matanya. Hatinya yang hancur karena ucapan sang ayah masih amat terasa perih. Dadanya ia tekan keras-keras berharap rasa sakit itu sedikit berkurang tapi malah semakin membuat nya sesak.

Agra Madava Nadindra

Sebuah aroma masakan yang tercium lezat menyeruak masuk ke dalam rongga hidung Kiran. Matanya yang terpejam tetapi perutnya yang tiba-tiba berbunyi, membuat Kiran membuka matanya karena merasakan lapar.

Ya, tidak terasa ia tertidur setelah menangis beberapa saat lalu. Rasa lelah dikalahkan dengan rasa laparnya. Saat dia membuka matanya ia sudah melihat seseorang yang tengah duduk di sofa yang berjarak beberapa meter darinya, dan di sana terdapat dua piring makanan yang masih mengeluarkan kepulan asap.

‘Apa kepulan asap itu yang membuat perut ku berbunyi?’ Kiran membatin.

“Kenapa hanya melihatnya dari jauh, apa kau tidak lapar?” tanya Agra yang sudah lebih dulu melahap makanan miliknya.

Masih di tempatnya, Kiran tidak berani untuk mendekat, ia hanya bisa menelan ludahnya ketika Agra melahap makanan yang dapat Kiran lihat itu adalah nasi goreng.

“Apa kau tidak lapar?” tanya Agra lagi dengan mulut yang penuh, “Kalau tidak lapar biar aku bantu habiskan,” lanjutnya yang berhasil membuat Kiran goyah dan beranjak dari duduknya.

Perlahan tapi pasti, dan akhirnya sampai di samping sofa, Agra hanya meliriknya dan melanjutkan makannya. Merasa kalau pria itu acuh, akhirnya Kiran pun duduk di sofa yang paling pinggir dan mengambil piringnya lalu menghadap secara berlawanan dengan posisi Agra saat itu.

Terlukis sebuah senyuman kecil pada bibirnya sehingga menghasilkan sebuah dimple yang sangat jarang terlihat, tapi segera Agra sembunyikan. Entah kenapa Agra tiba-tiba tersenyum seperti itu.

Diam-diam Agra melirik ke arah Kiran yang tengah memakan nasi goreng buatannya begitu lahapnya. “Dia benar-benar kelaparan,” gumam Agra.

Suara dentingan sendok dari Kiran membuat Agra tak tahan untuk tidak berbicara yang pada akhirnya ia pun berkata, “Pelan-pelan, aku tidak akan mengambil makanan mu,” ucap Agra dengan tangannya yang tidak sadar telah mengusap pangkal kepala Kiran dan berlalu keluar kamar.

Perlakuan Agra yang spontan itu membuat Kiran berdebar, bukan karena jatuh cinta hanya saja dia lagi-lagi mengingat kenangannya bersama Reza, mendiang kekasihnya. Perlakuan manis dan hangat sudah sering ia rasakan dari Reza, dan itupun ia rasakan juga dari Agra.

Agra kembali ke kamar dengan dua gelas air putih di tangannya, bukan duduk di sofa, tapi Agra malah duduk di meja tepat depan Kiran yang sudah mematung masih dengan menyangga piring yang masih berisikan nasi goreng tadi. “A-ada a-apa?” tanya Kiran dengan terbata-bata.

“Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin melihat wajahmu dengan jelas,” sahut Agra dengan menatap intens wajah Kiran yang sudah memerah karena gugup.

“Tapi kamu bisa duduk di sofa kan.''

“Kenapa? Apa ada aturan yang melarang suami duduk berdekatan dengan istrinya?” Perkataan Agra semakin membuatnya salah tingkah. ‘ Apa! suami? Ya Tuhan, aku bahkan lupa dengan namanya, bagaimana bisa kita di sebut pasangan suami, istri .’ Keringat dingin bercucuran dari pelipisnya. Piring yang berada di tangannya sudah berpindah ke tangan Agra dan diletakkan di atas meja tepat samping nya.

“Jangankan berdekatan, aku bahkan sudah memiliki hak untuk meminta lebih dari mu,” ucap Agra dengan sedikit berbisik juga, mengarahkan pandangannya ke beberapa bagian tubuh Kiran, sehingga membuatnya bergidik ngeri di buatnya.

Kiran menggelengkan kepalanya dengan cepat, memundurkan kepalanya kebelakang dan dapat dilihat oleh netra Agra bahwa saat ini Kiran sedang merasakan gugup serta ketakutan. Entah setan apa yang merasuk pada diri Agra, laki-laki itu malah semakin mendekat pada wajah Kiran dan semakin membuat Kiran gemetaran sehingga matanya pun terpejam sangat erat. Dan... Tuk’

Agra menyentil hidung kecil Kiran sampai meninggalkan bekas di sana dengan di susul gelak tawa dari Agra. “Hahah... Kau pasti mengira aku akan mencium mu, kan?” ledek Agra.

“Jangan berharap lebih. Hem... ya sudah aku pergi dulu. Kamu istirahat saja.” Agra beranjak dari duduknya dan berjalan menjauh dari Kiran yang sudah bisa bernafas dengan lega.

“Tapi sepulang ku nanti, jangan harap kamu bisa lepas, hm? Jika kamu lupa dengan mengunci pintu kamar,” goda Agra lagi tetapi kali ini dengan kerlingan mata kirinya yang lagi-lagi membuat Kiran bergidik geli.

Dengan segera, Kiran bergegas merapikan piring-piring dan mengelap meja dengan bersih, sebelum Agra kembali. Membayangkan nya saja membuat ia ngeri, apalagi benar-benar terjadi. Tidur dengan pria yang tidak sama sekali ia kenal dengan bermodal status akan membuat suasana aneh baginya.

Tapi begitu Kiran akan membawa piring kotor keluar kamar, ia terkejut, karena berbarengan ia membuka knop pintu seseorang juga ingin masuk ke dalam, orang yang juga tidak dia kenal, dia adalah pria dengan berpakaian pelayan.

“Maaf Nona, telah mengejutkan Anda. Saya mohon izin mengambil piring kotor itu,” ucap pelayan pria itu yang kemudian mengambil alih piring dari tangan Kiran.

Setelah pelayan itu pergi, Kiran langsung menutup pintu dan tidak lupa menguncinya, ia takut jika Agra kembali akan berbuat macam-macam padanya, ya... walaupun memang Agra itu suaminya yang sah, tapi tetap saja dia belum siap untuk melakukan itu.

Naik ke atas ranjang dan meraih selimut tebal untuk menutupi seluruh tubuhnya tanpa terkecuali. Sepuluh menit, dua puluh menit sampai lamanya setengah jam, Kiran masih dengan tingkat kewaspadaannya, tapi belum juga ada tanda-tanda pintu di ketuk ataupun di buka. Pikiran buruk itupun ia coba buang jauh-jauh dan ternyata rasa kantuknya menyerang. Perlahan matanya terpejam dan tidak menunggu waktu lama ia sudah pulas, tertidur di bawah selimutnya yang tebal.

Pagi sudah datang, matahari sudah mencoba menerobos masuk melalui celah jendela tetapi penghuni kamar itu masih saja terlelap di bawah selimut nya. Klik’ pintu terbuka karena ada seseorang yang membukanya dari luar, siapa dia? yang tak lain adalah pemilik rumah itu, Agra Madava Nadindra.

Bibirnya tersenyum melihat sebuah gundukan yang di bungkus selimut diatas ranjang sana, kepalanya menggeleng sambil berjalan mendekat ke arah ranjang lalu berdehem. “Hemm...” alis tebal Agra mengernyit karena Kiran yang sama sekali tidak terganggu dengan dehemannya.

Dengan ragu-ragu akhirnya Agra pun mencoba membuka selimut yang menggulung tubuh Kiran itu dan nampaklah gadis yang tidur dengan posisi macam binatang tringgiling, “Menggemaskan,” celetuk Agra tanpa sadar.

Setelah berhasil menyingkirkan selimut dari tubuh Kiran, Agra pun berjalan ke arah gorden yang menutupi cahaya matahari dari jendela kaca raksasa kamar itu. Merasa ada yang mengganggu matanya karena silaunya cahaya, perlahan Kiran pun membuka matanya dan yang pertama kali dia lihat adalah Agra yang tengah berdiri di samping jendela. Semula ia belum terlalu sadar, matanya terus menatap Agra yang pagi itu terlihat sangat tampan. Kaus oblong dengan celana pendek di tambah rambutnya yang masih basah. “Sepagi ini sudah ada malaikat?” gumam Kiran dengan suara sengau.

“Apa kamu masih mau tidur, hm?”

‘Suara itu? Suara Tuan itu?’

Mata bulat kiran terbelalak dan seketika ia melompat dari ranjang ke lantai dengan berteriak. “Kyaaakkk...!!!”

Kecupan Perdana

“Kenapa kamu bisa masuk?!” Tanya Kiran dengan berteriak.

“Karena ini rumah ku?”

“Tapi tadi malam, ya tadi malam aku sudah menguncinya-.”

Agra menunjukkan sebuah kunci dengan melambungkan nya di udara, mata Kiran mengikuti kunci yang di mainkan oleh Agra, kepalanya ia gelengkan dengan cepat. “Astaga... Ya benar kau kan pemilik rumah ini, pastinya juga memiliki semua kunci,” kata Kiran dengan lemah, menundukkan kepalanya karena merasa malu.

“Tapi ini juga rumah mu,” balas Agra yang membuat Kiran langsung mengangkat kepalanya.

“Hah?”

“Ah sudahlah... Cepat turun, aku lapar. Hanya kau satu-satunya yang berani membuat aku menunggu ,” ucap Agra sembari berlalu keluar dari sana.

Mendengar penuturan Agra, Kiran menelan ludah nya dengan susah payah, siapa sebenarnya dia? Pertanyaan itu kembali muncul di benaknya. “Apa katanya tadi, hanya aku yang berani membuat dia menunggu? Apa dia orang yang penting?” gumam Kiran lagi sebelum ia berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya terlebih dahulu sebelum turun menemui Agra.

Di Halaman belakang, terdapat sebuah meja makan yang sudah tersedia berbagai jenis makanan yang terlihat sangat lezat, dan di sana pula Agra yang sibuk dengan ponselnya tidak menyadari kehadiran Kiran yang masih berdiri di ambang pintu. Ketika menoleh Agra pun segera memutuskan sambungan telepon itu dan berjalan ke arah meja makan.

“Duduklah, jangan sungkan. Ini juga rumah mu, dan mereka pelayan yang siap membantu mu.” Agra tidak menunggu Kiran mengambilkan makanan, seperti kebanyakan pasangan suami istri.

“Apa maksudmu, ini juga rumah ku?” tanya Kiran tanpa menatap langsung wajah Agra.

“Kamu adalah istriku yang sah, apa yang menjadi milikku, itu juga termaksud milikmu. Dan kelak untuk satu tahun kedepan aku akan merepotkan mu, untuk mengurus rumah ini dan para pelayan,” ucap Agra yang semakin membuat Kiran tidak mengerti.

“Lusa aku akan pergi ke Amrik selama setahun, dan selama aku pergi, kau jaga rumah ini. Bukan menjaga seperti penjaga, tetapi bantu aku mengurus semuanya, kau bisa?”

“Setahun?”

“Ya, setahun. Tapi kau tenang saja, aku akan bertanggung jawab penuh atas dirimu. Karena memang kau adalah istriku, walaupun sebenarnya kau tidak menginginkan diriku sebagai suami mu.” Suara Agra semakin menekan pada mengatakan kalimat terakhirnya.

Agra telah menghabiskan sarapannya, dia meletakkan sendok dan garpu di atas piring yang kosong, meminum air yang sudah tersedia di sana. Terdiam sebentar kemudian bicara kembali. “Kiran, mungkin kamu masih bingung kenapa aku tiba-tiba datang dan mengambil keputusan untuk menikahi mu kan?” Kiran mendengar intonasi suara Agra seketika menelan makanan nya dengan susah payah. Ia tahu kalau saat ini Agra tengah bicara serius kepadanya.

“Ayahku sakit, Kiran. Kakek ku melimpahkan semua tanggung jawab pada orang tua ku. Saudara-saudara ayah tidak ada yang bisa di percaya, maka dari itu akulah yang mengambil alih semuanya untuk sementara. Semua bisa kudapatkan dan akan menjadi milikku seutuhnya dengan beliau memberikan ku syarat, yaitu menikah.”

Agra menjeda ucapannya, menatap Kiran yang juga sedang menatap dirinya mendengarkan apa yang akan di ucapkan selanjutnya.

“Aku akan pergi selama satu tahun, dan ketika aku kembali nanti. Aku akan memberikan hak mu untuk memilih. Melanjutkan Pernikahan kita, atau berhenti. Jika kau setuju aku akan membuatkan sebuah surat perjanjian, bagaimana?”

Kiran terdiam, mencoba menelaah apa yang di katakan Agra panjang lebar tadi, dapat di pahami kenapa Agra tiba-tiba bersedia menikahinya. Tapi ada satu hal yang sangat ingin ia tanyakan.

Kiran menggigit bibir bawahnya, ingin bersuara tapi ada rasa takut dalam dirinya dan itu di sadari oleh Agra. “Apa ada yang ingin kau tanyakan?”

Kiran mengangguk pelan, Agra hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Kiran sedikit terpukau melihat Agra yang tersenyum dengan manisnya. ‘apa dia seorang malaikat yang di turunkan untukku’ Kiran segera menggelengkan kepalanya mengusir jauh-jauh pikiran seperti itu. ‘ingat Kiran, kekasih mu baru saja meninggal, kau malah bermain mata dengan pria lain’

“Katakan.”

“Hah?”

“Katakan apa yang ingin kau tanyakan,” ucap Agra lagi.

“Emmm... Dalam pernikahan ini sudah pasti nya Anda yang di untungkan, lalu aku?”

Agra tertawa kecil mendengar nya, tidak menyangka kalau gadis polos itu justru memikirkan untung ruginya dalam pernikahan mereka, walaupun seharusnya Kiran cukup berterima kasih karena telah menyelamatkannya dari jerat rumor kesialan itu, tapi Agra dapat memakluminya.

“Apa yang kau inginkan? sebutkan saja, keinginan apa yang belum kau capai selama ini,” ucap Agra dengan menawarkan sebuah permintaan.

“Aku sangat ingin berkuliah.”

“Baik.”

“Aku tidak ingin di batasi dalam melangkah.”

“Di kabulkan.”

“Aku tidak ingin tinggal disini.”

“Siap, aku akan memberikan mu rumah lengkap dengan kendaraan juga pelayan.”

“Bukan! Bukan seperti itu yang kumau, aku hanya ingin tinggal jauh dari sini, kamu hanya perlu memberikan ku tempat, tidak perlu dengan kendaraan dan pelayan.” Agra membuang semua dugaannya yang menerka kalau Kiran adalah gadis materialistis tapi tidak, justru Kiran terlihat naif di mata Agra setelah mendengar penolakan Kiran tadi.

“Baik kalau begitu, aku akan membuat surat perjanjian untuk kita tanda-tangani. Kau lanjutkan makan, aku pergi ke ruang kerja ku dulu.” Agra pun berlalu pergi dari ruang makan meninggalkan Kiran yang harus menghabiskan sarapannya. Menangis semalaman membuat tenaganya terkuras habis.

Selesainya dengan sarapan, Kiran pun berniat akan mencuci piring bekasnya dan juga Agra, tapi secepat mungkin pelayan di sana mengambil alih dari tangan Kiran, “maaf nona, biar kami yang melakukan nya,” ucap salasatu pelayan Agra.

“Terima kasih kak, eummm ruangan dia dimana ya?”

“Dia? Oh maksud nona, mungkin tuan Agra ya, mari saya antar.”

Sesampainya di depan ruangan yang terdapat Agra di dalamnya. Kiran pun masuk setelah pelayan yang mengantar nya berpamitan pergi. Mengetuknya terlebih dahulu kemudian masuk setelah mendapatkan sahutan dari dalam. “Kiran, kemarilah,” pinta Agra yang duduk di kursi kerjanya.

“Ini, kamu tanda tangan di sana.” Agra menyerahkan sebuah lembaran kertas yang bertuliskan sebuah perjanjian yang sudah ia tanda tangani.

Kiran pun meraih kertas itu lalu mentanda-tangani nya tanpa membacanya terlebih dahulu.

“Kenapa kau tidak membaca isi perjanjian nya terlebih dahulu?”

“Saya percaya pada Anda,” jawab Kiran dan Agra tersenyum senang mendengarnya.

..

Hari dimana kepergian Agra pun tiba, koper sudah di siapkan oleh ajudan Agra yang bernama Anas, pria yang usianya tak jauh dari usia Agra, tapi dia sangat berbeda dengan Tuannya, Anas pria yang kaku, bahkan tersenyum pun tidak pernah. “Kiran yang baru saja keluar dari kamarnya melihat Agra yang juga baru keluar dari kamar sebelah, mereka saling melemparkan senyuman dan Agra melangkah menghampiri Kiran.

“Apa kau tidur dengan nyenyak?” tanya Agra dengan menepuk puncak kepalanya, dan harus Agra tahu, jantung Kiran berdegup kencang setiap menerima perlakuan lembut seperti itu.

“Apa Anda akan pergi?”

“Iya, aku kan sudah mengatakannya kemarin padamu. Oh ya sebentar.” Agra menjeda ucapannya lalu menoleh ke arah Anas yang berdiri di belakangnya. “Nas, kamu bawa koperku saja kemobil, nanti aku menyusul,” ucap Agra dan di angguki oleh Anas.

“Kemarilah.” Agra menarik lembut tangan Kiran dan membawamu ke kamar milik Agra, dan itu membuat Kiran panik. “M-mau apa?”

Agra memegang kedua pundak Kiran dan memintanya untuk duduk, duduk di ranjang? Hah! Kiran pun semakin di buat gugup. Agra duduk di depan Kiran, mereka saling berhadapan, bertatap wajah dengan canggung. “Aku pergi selama setahun, tapi ingat ya. Walaupun ini pernikahan kontrak, kau tetap istriku, jaga diri dan jaga nama baik ku, aku percaya padamu. Dan... Ini, Anas sudah mengurus tempat masuk kuliah kamu.” Agra menyerahkan amplop coklat surat penerimaan mahasiswa milik Kiran.

“Hah? Tidak ada tes kah?” gumam Kiran dalam hatinya.

“Dan satu lagi, Cup’,” Kiran terbelalak karena Agra yang menciumnya dengan tiba-tiba, ya walaupun hanya di kening tetapi tetap saja membuat dia terkejut sehingga pipinya pun memerah.

“Jangan nakal, dan jangan merindukan ku.” Kiran masih diam, dia masih tidak menyangka dengan apa yang Agra lakukan dan katakan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!